Tips Membuat Foto-Foto Ciamik Dari Kamera Poket

Kali ini The Traveling Precils menghadirkan artikel dari kontributor: Radityo Widiatmojo. Mungkin nama ini sudah familiar bagi pembaca setia blog. Foto-foto Radityo memang sudah sering nampang untuk ilustrasi blog ini. Di tulisan ini Radityo berbagi tips memaksimalkan penggunaan kamera poket. Ternyata motret dengan kamera poket, kalau punya ilmunya, hasilnya nggak kalah dengan kamera DSLR lho. Enjoy! ~ The Emak

Bagi yang suka jalan-jalan, kamera poket adalah pilihan paling tepat. Jepret sana jepret sini dan tralala trilili. Namun lebih sering hasilnya kurang memuaskan. Maka puaskanlah dengan memaksimalkan kamera poket anda. Berikut tips dan triknya:

Matikan Flash. Dengan mode flash off maka kamera akan membaca cahaya tanpa bantuan flash. Kamera akan menangkap available light ketika shutter ditekan dan hasilnya akan lebih natural.

Gunakan mode Manual (jika ada). Dengan mode manual, anda akan dengan mudah melakukan kontrol terhadap cahaya, dan bisa menghasilkan foto setara dengan kamera DLSR. Kamera poket yang memiliki fasilitas ini biasanya harganya di atas kamera poket biasa. Pilihan kedua setelah mode manual adalah Aperture Priority. Foto di bawah ini menggunakan manual mode. Dua hasil berbeda dengan mode manual, foto yang kedua adalah foto yang sesuai dengan keinginan saya.
Gunakan kompensasi, biasanya dalam kamera poket ada di menu EV. Kalau terlalu terang turunkan EV-nya ke -2.0, artinya kamera poket akan meng-under-kan foto. Efek siluet (agak siluet sihhh) bisa dihasilkan dengan memaksimalkan EV ke posisi -2.0. Foto pertama saya pake EV 0 alias normal aja motretnya. Foto kedua saya pake kompensasi EV -2.0. Anda bisa lihat foto kedua agak siluet dan langitnya lebih pekat dari pada foto pertama.
Macro Mode. Aktifkan mode macro, pada umumnya simbol macro mode di kamera poket adalah gambar bunga. Ini adalah favorit saya. Bikin foto macro menggunakan kamera poket sangat menyenangkan. Pada mode ini pastikan flash tetap off agar natural hasilnya. Saya juga memanfaatkan macro mode untuk bikin latar belakang lebih blur/bokeh seperti 2 foto di bawah ini.
Low Angle. Kamera poket adalah rajanya low angle. Foto sepatu di atas diambil dengan sudut rendah sekali. Saya sangat suka efek dari low angle kamera poket karena dalam keseharian kita kan tidak pernah memandang suatu benda pada posisi serendah 2 foto di bawah.
Slow Speed. Saat motret di indoor dengan mode Flash-off, maka kita akan selalu mendapatkan slow speed, kamera poket akan mengeluarkan simbol “tangan” sebagai tanda kalau kita motretnya tidak boleh goyang. Kalau tangan kita stabil maka foto dengan efek slow akan anda dapatkan.

Gunakan file RAW. Untuk hasil olah digital yang maksimal kita harus selalu menggunakan file RAW. Kalau tidak ada format RAW, pakai file dengan ukuran paling besar. Kamera poket sekarang sudah memiliki ukuran file yang hampir sama dengan kamera DLSR.
Dari segi non teknis, kamera poket memiliki keuntungan: karena ukuran yang kecil membuat para traveller mudah mengeluarkan kamera dari saku (namanya juga kamera poket). Bagi para traveller, selamat memaksimalkan kamera poket anda.
Semoga bermanfaat. 2w_^

~ Radityo
Radityo adalah mahasiswa Photomedia di CATC Design School, Sydney. Untuk mendapatkan tips dan trik fotografi lainnya, kunjungi blog Radityo di http://fototiptrik.blogspot.com.au

Tips Packing ke Australia dan New Zealand

Tas keluarga The Precils. Foto oleh Radityo Widiatmojo.
Golden rule of packing: Take half of the clothes you were planning to bring and twice the money.
Aturan yang menurut saya bener banget itu saya baca dari artikel di website National Geographic. Barang bawaan seharusnya tidak membuat perjalanan menjadi merepotkan. Bagi kami, tambahan dua precils sudah cukup menyita perhatian, jangan ditambah dengan acara menyeret koper atau menggendong ransel yang berat. Tapi jangan khawatir, keahlian packing ini akan semakin meningkat seiring jumlah perjalanan yang dilakukan.
Prinsip saya: bawa sesedikit mungkin. Dari foto di atas terlihat 5 tas yang biasa kami bawa kalau bepergian. Anak-anak punya koper mereka sendiri. Ini membuat mereka belajar mengepak dan bertanggung jawab atas barang-barang mereka. Juga memudahkan kalau mereka mencari barang, selalu ada di koper mereka sendiri. Tas saya adalah ransel coklat kecil yang ringan digendong. Saya memilih ransel kecil karena dua tangan saya harus bebas untuk menjaga Little A sambil melakukan satu hal lagi, update status FB, misalnya 🙂 Kadang Little A capek dan terpaksa saya harus menggendong sekaligus menyeret Trunki-nya. Big A sudah bisa mandiri mengurus barang bawaannya sendiri di koper Sammies dari Samsonite (foto koper di tengah). Koper ini mempunyai roda sehingga mudah diseret.
Apa isi ransel kecil saya? Jawabnya adalah barang-barang gawat darurat untuk The Precils. Yang sudah punya anak pasti tahu, banyak pernak-pernik yang harus dibawa kalau jalan-jalan sambil membawa precils. Daftar gawat darurat saya adalah: 1 set baju ganti masing-masing untuk Little A dan Big A, tas kresek untuk menampung muntah (sambil berdoa jangan sampai mereka muntah), satu botol kecil minyak telon, tisu basah dan tisu kering, susu Little A plus tempat minum kesayangannya, air putih dan permen/coklat (hanya dikeluarkan kalau Big A ada tanda-tanda pusing). Selebihnya adalah gadget, dompet dan notes pribadi saya.
Sementara itu, Si Ayah membawa ransel hijau dan koper hitam. Isinya adalah laptop, kamera, segala macam kabel charger, buku bacaan, baju, sepatu dan… rice cooker. Si Ayah juga yang bertanggung jawab terhadap dokumen perjalanan seperti paspor, tiket dan voucher hotel. Biasanya untuk perjalanan sampai dua minggu, kami hanya mengepak baju untuk 3 hari. Dalam perjalanan, kami menyempatkan mencuci baju di laundry koin. 
Agar tidak mati gaya, usahakan membawa baju yang bisa dipadu padankan. Ketika kami liburan ke Tasmania dan New Zealand, saya membawa 1 dress putih dengan corak garis-garis oranye, biru, abu-abu dan kuning, sehingga bisa dipadu-padankan menjadi 4 gaya! Untuk tidur, saya memilih celana yoga (yang tidak pernah dipakai yoga) yang nyaman. Sebenarnya celana seperti ini bisa juga untuk jogging, tapi saya selalu terlambat bangun pagi 🙂 Sepatu, saya cukup bawa dua: sepatu kanvas warna navy blue dan sepatu olahraga yang ‘rencananya’ untuk jogging :p
Packing baju untuk Si Ayah lebih gampang, 3 atasan dan 3 bawahan sudah pasti menjadi 9 gaya :p Sementara The Precils saya suruh pilih sendiri baju-baju yang akan mereka bawa, yang cukup untuk 3 hari (termasuk dua pasang baju tidur) dan tambahan ekstra 2 stel. Tak lupa kami membawa rain coat (yang cukup bagus dan keren) untuk jaga-jaga kalau hujan.

Berikut adalah pertanyaan yang sering diajukan ke saya melalui email tentang packing, dan jawabannya:

1. Baju apa yang harus dibawa?
Jenis baju yang dibawa ke Australia dan New Zealand harus disesuaikan dengan musim ketika kita berangkat. Aussie dan NZ adalah negara dengan 4 musim, dan karena berada di belahan bumi selatan, musim mereka berkebalikan dengan musim di Amerika dan Eropa. Di Australia dan NZ, musim dingin jatuh pada bulan Juni-Agustus dan musim panasnya dari bulan Desember sampai Februari. Bulan September-November adalah musim semi, dan bulan Maret sampai Mei adalah musim gugur. Ramalan cuaca dan suhu bisa dicek online di Badan Meteorologi Australia dan Met Service New Zealand.

Kalau jalan-jalannya pas musim dingin, jelas perlu jaket atau sweater tebal plus aksesori seperti syal, topi wool dan sarung tangan. Tak kalah penting adalah kaos kaki dan baju dalam thermal. Baju dalam thermal dari bahan polypropylene atau merino ini sangat membantu melindungi tubuh dari angin dingin yang menyusup ke kulit. Atasan baju dalam thermal seperti kaos dalam biasa tapi lengan panjang. Bawahannya seperti legging, dan untuk laki-laki ada istilah khusus yaitu long johns. Kalau sudah memakai thermal underwear, kita tinggal pakai baju biasa lengan panjang dan dilapisi jaket. Untuk the precils, saya membelikan thermal underwear ukuran anak-anak di Kathmandu. Sementara saya dan si ayah cukup membeli dari departemen store yang lebih murah :p Kalau susah mendapatkan thermal underwear di Indonesia, belanja saja di Australia, buka katalog online di Lasoo dan ketikkan kata kunci: thermal underwear. Lasoo akan memberi tahu toko mana yang sedang diskon 🙂

Traveling ketika musim panas tentu lebih mudah, bawaannya tidak seberat musim dingin. Tambahannya mungkin baju renang. Perlu dicatat bahwa suhu musim panas di New Zealand masih cukup dingin bagi orang Indonesia. Ketika kami jalan-jalan ke New Zealand musim panas tahun lalu, saya tetap membawa cardigan dan jaket untuk Si Ayah dan anak-anak. Suhu musim gugur dan musim semi di Australia pun kadang masih terasa dingin bagi orang Indonesia. Selalu cek suhu dan prakiraan cuaca sebelum berangkat di tautan yang saya tulis tadi.

Tips: bawa sarung bali yang bisa digunakan sebagai alas piknik, sarung, sajadah, selimut ekstra dan sprei cadangan.

2. Seperti apa colokan listrik di Australia?
Perkara ini penting banget: nggak lucu bawa gadget macam-macam kalau nggak bisa nge-charge. Colokan di Australia bentuknya berbeda dengan yang ada di Indonesia, sehingga kita perlu adaptor. Di Australia dan New Zealand, lubang colokannya tiga pipih. Kalau sering bepergian, belilah adaptor internasional yang bisa juga digunakan di negara-negara lain. Saran saya, belilah adaptor ini di Indonesia, di toko alat-alat listrik. Di Sydney, harganya lumayan mahal, sekitar $20.

3. Boleh Nggak Bawa Makanan?
Harga makanan di Australia memang mahal, sekitar 3 sampai 5 kali lipat harga makanan di Indonesia. Membawa makanan dari Indonesia sepertinya ide bagus, untuk menghemat dan tentu saja melawan home sick (kalau bepergiannya lama). Tapi sayangnya peraturan custom Australia lumayan ketat, beberapa barang makanan dilarang masuk ke negara ini. Australia dan New Zealand melarang kita membawa bahan-bahan mentah seperti telur, daging, ayam, ikan, sayuran dan buah-buahan. Australia juga melarang masuk susu (kecuali susu formula kalau kita membawa balita) dan produk turunan susu seperti krim dan keju. New Zealand memperbolehkan kita membawa susu, tapi melarang madu. Saya pernah menulis tentang barang-barang yang tidak boleh dibawa ke Australia dan New Zealand. Baca aturan custom Australia di sini dan aturan custom New Zealand di sini.

Kalau ingin mulus ketika melewati custom, saran saya jangan membawa makanan yang dilarang seperti abon, ikan teri, rendang dll. Pengalaman saya dulu membawa masuk sambal dan mi instant bisa lolos custom. Tapi kalaupun tidak membawa Indomie, di Australia, terutama di kota-kota besar dijual makanan Indonesia kesayangan kita semua itu. Mi instan ini dijual di supermarket umum seperti Coles dan Woolworth, harganya sekitar 50 sen, tiga kali lipat dari harga di Indonesia. Kalau ingin beli makanan khas Indonesia di Sydney, mampirlah ke supermarket IGA Thaikee di atas paddys market, Sydney. Di sana, ada satu lorong (isle) yang khusus menjual makanan Indonesia seperti sambal, kecap, bumbu instan, kerupuk, agar-agar dll.

Tips: kalau memang ingin membawa makanan ke Australia, sebaiknya dijadikan satu tas tersendiri. ketika melewati custom untuk diperiksa, hanya satu tas tersebut yang perlu dibuka.

Dan, pertanyaan terakhir, the ultimate question from Indonesian traveler:
4. Perlu bawa rice cooker nggak?
Jawabannya tergantung apakah kamu tipe orang yang nggak kenyang kalau nggak makan nasi dan apakah anggaran kamu cukup untuk selalu beli makanan di Aussie dan NZ.
Saya termasuk orang yang tidak harus makan nasi. Roti jenis apapun, jagung dan kentang cukup mengenyangkan bagi saya. Begitu juga anak-anak yang sarapannya cukup senang makan dengan sereal dan susu saja. Sementara Si Ayah, bisa nggak makan nasi, tapi lebih mantap kalau ada nasi. Kami membawa rice cooker ketika liburan ke Melbourne selama lima hari dan Tasmania plus New Zealand selama dua minggu. Alasan sebenarnya adalah untuk menghemat biaya makan. Menu makanan tipikal kami adalah nasi, barbekyu daging, ayam (atau salmon!) dan lalapan mentimun, selada dan tomat. Kami membeli daging yang sudah dibumbui (marinade) di supermarket dan memanggangnya di alat BBQ yang biasanya disediakan di apartemen, motel atau Holiday Park. Ketika menginap di hotel, kami membeli lauk saja dan makan dengan nasi di kamar hotel.

Sebagai gambaran, harga seporsi makanan di restoran kelas menengah di Sydney sekitar $15-25, food court dan kafe sekitar $9-12, happy meal Mc Donald dan KFC meal $5. Harga beras satu kilo $2,50. Sila diputuskan sendiri mau bawa rice cooker atau tidak 🙂

Piknik di Glenorchy, South Island, NZ beralas sarung Bali. Look, that’s our small rice cooker! :p

Baca juga tips packing dari website Dua Ransel: tips mengepak baju dan mencuci baju di wastafel ala Dina dan Ryan.

Yuk, siap berangkat?

~ The Emak

Picasso Mampir ke Sydney

Art Gallery of NSW. Foto oleh Anindito Aditomo
Kami bukan keluarga yang paham tentang seni, tapi ketika ada pameran karya Picasso di Art Gallery of NSW, kami menyempatkan diri berkunjung. Kapan lagi bisa mengajak anak-anak melihat karya asli Picasso yang khusus didatangkan dari museum di Paris sana?
Di Sydney, pameran karya seni dikemas menarik sehingga orang-orang awam yang tidak begitu mengenal seni pun bisa menikmatinya. Biasanya ada juga program khusus untuk anak-anak, melatih mereka mengapresiasi seni sejak kecil, dengan cara yang menyenangkan.
Meskipun pameran seni umum dikunjungi sydneysider, saya tetap terkejut melihat keramain galeri seni ketika kami berkunjung. Kami datang Sabtu sore dan susah sekali menemukan tempat parkir. Sampai di dalam lobi, ramainya galeri seni ini sudah seperti pasar, atau Mal di Indonesia. Ternyata di galeri seni ada program “Midnight Art”, mereka buka sampai tengah malam. Saya jadi ingat di Indonesia juga ada program-program tengah malam seperti ini, tapi sayangnya adanya midnight sale, bukan midnight art :p Di Sydney, Mal tutup jam lima sore, makanya orang-orang menghabiskan malam di galeri seni.
Art Gallery of NSW adalah salah satu dari tempat wisata di Sydney yang saya rekomendasikan untuk dikunjungi. Letaknya di dekat Botanic Garden dan The Domain. Sekitar 15 menit jalan kaki dari kota, atau dari stasiun St James (Hyde Park). Biaya masuknya gratis, sudah bisa melihat koleksi permanen, seperti lukisan dan instalasi dari Australia, Eropa, Asia dan Aborijin. Kalau ingin melihat pameran khusus, ada biaya masuk khusus pula. Picasso Exhibition ini biaya masuknya $25 untuk dewasa dan $18 untuk pelajar dan anak-anak.
Big A sudah pernah ke pameran Picasso bersama rombongan dari sekolah. Mereka diajari mengapresiasi seni dengan booklet khusus yang didesain untuk anak-anak. Booklet ini seperti lembar kerja siswa, yang memberi detil tentang lukisan, patung dan instalasi tertentu, memberi pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik dan menyuruh siswa untuk mereproduksi karya picasso atau mengembangkan lukisan sesuai imajinasi mereka. Meski sudah pernah ke sini, Big A tetap semangat untuk melihat pameran ini lagi, untuk menceritakan pengalamannya ke Si Ayah.
Begitu masuk ke ruang pameran, kami disambut oleh tulisan di dinding: I paint the way some people write their autobiography. The paintings, finished or not, are the pages from my diary ~ Picasso. Tulisan ini seolah mengantar kami memasuki dunia pikiran Pablo Picasso. Area pameran dibagi menjadi 5 ruang yang memajang karya-karya Picasso (1881-1973), seniman dari Spanyol ini, dari awal dia memasuki dunia seni sampai karya di akhir hayatnya. Di ruang pertama, suasana masih ramai sekali. Jangankan bisa melihat lukisan dari dekat, mengintip sekilas saja tidak bisa karena bule-bule berbadan besar menghalangi pandangan kami, dan stroller Little A membatasi gerak kami. Duh, saya sempat frustasi karena mencoba mendengarkan podcast yang sudah saya unduh dari rumah saja tidak bisa, konsentrasi terganggu Little A yang mood-nya masih jelek banget.
Di pameran ini, tidak ada guided tour-nya, tapi pengunjung bisa mengunduh gratis podcast tentang karya Picasso dari website galeri seni. Ada dua macam podcast: untuk dewasa dan untuk anak-anak. Sudah bisa ditebak, podcast untuk anak-anak lebih menyenangkan :p Isi podcast untuk anak-anak adalah pengenalan sekilas karya Picasso, latar belakang pembuatannya dan kemudian pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik untuk mengapresiasi karya tersebut. Misalnya untuk lukisan Picasso di awal karirnya, podcast menanyakan pilihan warna yang digunakan, apakah termasuk warna yang hangat atau dingin? Apakah lukisan ini dibuat di waktu senang atau sedih? Sementara podcast untuk dewasa isinya lebih kompleks, selain menceritakan latar belakang pembuatan karyanya, juga membahas teknik yang digunakan, beserta politik di balik karya tersebut. Di awal-awal karirnya, karya Picasso terpengaruh oleh karya suku-suku primitif di Afrika. Ketika itu, karya seperti itu tidak dianggap seni sama sekali oleh masyarakat Eropa yang masih mengagungkan keindahan dan kemegahan. Karenanya, karya-karya Picasso dianggap sebagai karya alternatif di zamannya. Kadang saya tidak begitu paham dengan isi podcast untuk dewasa. Mungkin memang level apresiasi seni saya masih setingkat anak-anak 🙂

Little A belajar membaca. Foto oleh Anindito Aditomo.
Suasana foyer Galeri Seni NSW. Foto oleh Anindito Aditomo.
Setelah menghirup napas panjang dan menenangkan diri, saya mencoba menaikkan mood Little A dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan sesuai minatnya. Lukisan pertama yang kami ‘bahas’ adalah ‘Three figures under a tree‘. Saya bertanya, “Lihat, ada berapa orang di lukisan itu? Dua ya?” Ini adalah trik kuno untuk menarik perhatian anak-anak: sengaja bicara salah sehingga anak-anak tertarik untuk membenarkan. Little A langsung protes, “No, Mommy. It’s three people. Look, one, two, three.” Hehe, it works all time. Setelah itu kami membahas warna-warna yang dipakai. Saya bertanya ke Little A apakah dia suka dengan warna yang dipakai Picasso. Jawaban Little A mengagetkan saya: “I think they need a bit of sparkle.” Memang lukisan itu agak suram, warnanya hijau tua, coklat dan hitam. Memang maksudnya Picasso ingin melukis hutan. Kemudian ketika ditanya apa yang sedang dilakukan orang-orang itu, Little A menjawab: “I think they are looking for spiders.” Wow, menarik sekali mengetahui apa yang ada dipikirkan oleh anak kecil ketika melihat sesuatu. Sudut pandangnya berbeda dengan orang dewasa. Sejak lukisan pertama yang sukses kami bahas ini, saya memulai perjalanan apresiasi seni dengan Little A yang jauh lebih menarik daripada kalau saya hanya melihat pameran sendiri dan mendengarkan isi podcast.
Ruang berikutnya adalah karya Picasso dengan gaya Kubisme. Big A sudah sibuk sendiri berdiskusi dengan Si Ayah, sementara saya kembali mencoba melontarkan pertanyaan-pertanyaan ke Little A. Di ruang Kubisme ini, selain dipajang lukisan-lukisan Picasso yang terinspirasi oleh sahabatnya, Cezanne, juga dipajang instalasi dengan tema gitar, mandolin dan biola. Konsep Kubisme adalah mengambil bentuk geometri asal dari benda-benda, misalnya kotak dan lingkaran, kemudian menyusun kembali bentuk-bentuk tersebut seperti pecahan puzzle. Big A sangat tertarik dengan lukisan “Man with a Guitar” yang tampak seperti kolase. Saya sendiri tidak paham dengan lukisan itu 🙂 Little A, ketika mendapati instalasi gitar Picasso, berkata, “the guitar is broken. It can’t make music.” Mengomentari karya kubisme yang lain, Little A bilang, “It’s not a guitar, it’s an aeroplane.” Hmm, saking canggihnya kubisme Picasso, sampai gitar dikira pesawat :p
Semakin lama, Little A semakin menikmati pameran ini. Dia terutama senang dengan lukisan istri-istri Picasso: Portrait of Olga in an armchair (istri pertama), Portrait of Dora Maar (istri kedua) dan Jacqueline with Crossed Hands (istri ketiga). Tidak usah dibahas Picasso gonta-ganti istri, seniman ini :p Lukisan-lukisan ini mempunyai perpaduan warna yang menarik dan menggambarkan karakter model yang dilukis dengan khas. Portrait of Dora Maar adalah lukisan favorit saya di pameran ini, Picasso menggabungkan aspek kubisme, surrealisme dan warna yg ekspresif. Kalau Little A, sudah jelas membahas fesyen dan gaya, sesuai minatnya. Dia membandingkan gaun yang dipakai Olga yang ‘flowery’ dengan gaunnya sendiri yang ‘fruity’. Sementara ketika melihat Dora, Little A berteriak, “Look Mom, she has colorful hair and colorful nails too.”
Selain lukisan, ada beberapa karya patung surealis yang dipamerkan. Patung surrealis yang menggambarkan manusia dengan bentuk aneh-aneh ini sangat memesona. Little A sampai turun dari stroller dan lama memperhatikan patung-patung tersebut. Sudah pasti, diskusiku dengan Little A jadi tambah seru. “Look, Mom, this man doesn’t have ears.” Memang patung-patung manusia aneh ini ada yang tanpa telinga, ada yang berhidung raksasa dan ada yang matanya di samping kepala. Karya surealis ini adalah contoh bagus sebuah karya seni tidak harus ‘indah’ atau realis. Saya berharap, setelah melihat dan mengapresiasi bentuk-bentuk ‘tidak sempurna’ dari Picasso ini, anak-anak merasa ‘dibebaskan’ ketika berkreasi nanti. Nggak perlu selalu menggambar, melukis atau membuat patung dg ‘bentuk sempurna’ atau realis. Remember when we saw Picasso? Saya ingin The Precils nanti tidak takut untuk berkreasi meski hasilnya ‘jelek’ atau tidak realis. Tentu bukan itu ukuran bagus tidaknya sebuah karya seni.

Seperti yang dibilang Picasso: “When I was a child, I could draw like Raphael, but it took me a lifetime to learn to draw like a child.”

“Three Figures under a tree” Foto oleh Radityo Widiatmojo
“The Race” Foto oleh Radityo Widiatmojo
“Jacqueline with Crossed Hands” Foto oleh Radityo Widiatmojo

Ketika Little A mau jalan dengan Si Ayah, saya punya kesempatan menikmati karya-karya Picasso sendirian. Ada satu ruangan yang memajang karya-karyanya yang secara simbolis menentang perang. Saya miris melihat karya-karya ini, sejatinya tidak akan ada pihak yang menang dalam perang. Lukisan ‘Massacre in Korea’ membuat saya tertegun dan berharap kejadian itu tidak nyata.

Selesai menikmati karya-karya Picasso, kami digiring menuju kios yang menjual pernak-pernik Picasso. Untuk kenang-kenangan, kami membeli beberapa kartu pos yang harga satuannya $1,95. Sebenarnya saya ingin sekali membeli poster lukisan favorit saya, Portrait of Dora Maar, sayang sekali harganya $25, hiks.

Saya sangat puas mengunjungi pameran Picasso ini. Lebih senang lagi karena karya-karya Picasso termasuk yang bisa dinikmati oleh anak-anak. Sampai rumah, saya jadi tertarik mengetahui tentang karya-karya Picasso yang lain. Setelah saya google, ternyata banyak lukisan Picasso yang lebih bagus daripada yang saya lihat di pameran. Padahal kata panitia, pameran Picasso ini istimewa karena merupakan koleksi Picasso yang dia simpan sendiri dan tidak dijual kepada orang lain. Kata Si Ayah, itu sama saja dengan koleksi yang tidak laku. Whoa!
Jadi gimana nih, mungkin memang harus main ke Musee National Picasso Paris Perancis untuk melihat koleksi yang lain?
~ The Emak

Seafood Segar di Sydney Fish Market

Suasana piknik akhir pekan di luar Sydney Fish Market
Orang Aussie gemar sekali makan seafood. Tentu saja, tempat terbaik untuk mendapatkan makanan laut yang paling segar adalah Pasar Ikan.
Konon, Sydney Fish Market adalah pasar ikan terbesar kedua di dunia setelah Tsukiji, pasar ikan di Tokyo, Jepang. Saya sih kurang percaya :p Tapi mungkin karena tidak menjelajah seluruh pasar ikan ini ya, hanya bagian toko dan restorannya saja. Mungkin kalau ikut tur untuk melihat pelelangan ikan di pagi hari, baru akan tahu seberapa besar Sydney Fish Market ini.
Cara terbaik untuk menuju ke Pasar Ikan adalah naik trem atau light rail dari stasiun Central, Paddy’s Market atau Darling Harbour dan turun di halte Sydney Fish Market. Dari halte tinggal naik tangga menuju jalan raya dan menyeberang. Sudah dua kali ini saya memanfaatkan trem untuk ke Sydney Fish Market. Di hari Minggu, keluarga yang membawa anak-anak cukup membayar AU$2,50 per orang untuk naik kendaraan umum seharian, termasuk trem ini. Bagi pecinta seafood, mengunjungi Sydney Fish Market ini wajib dimasukkan dalam itinerary.
Begitu memasuki kawasan pasar, ada aroma khas ikan dan udara yang asin, namun tidak terlalu menyengat. Di depan pasar ada tempat parkir luas dan kafe-kafe yang menyediakan masakan laut (tentu saja!) di sekelilingnya. Pada akhir pekan, suasana di pasar ikan ini ramai sekali. Pasar ini tidak hanya melayani pembelian hewan laut dalam partai besar, namun juga melayani eceran dan bahkan dianggap sebagai sarana rekreasi oleh warga Sydney. Begitu masuk, toko-toko hewan laut segar berjajar rapi menjajakan tangkapan mereka hari ini. Harganya hanya sedikit lebih murah daripada toko ikan di supermarket, tapi kesegarannyalah yang menjadi nilai plus. Meski murah, saya tidak berbelanja ikan mentah di sini karena terus terang saja, nggak bisa dan nggak biasa memasak ikan-ikanan 🙂
Selain toko ikan segar, ada juga toko ikan yang menjadi satu dengan restoran. Pengunjung bisa duduk dan makan di meja-meja kecil ala warung yang ditaruh di depan toko. Kalau berkunjung ke sini di akhir pekan, siap-siap aja antri tempat duduk dan antri mendapatkan makanan. Saya kurang suka duduk berempetan di warung yang ada di dalam pasar ini karena rasanya sumpek dan tentu saja masih ada bau ikan segarnya. Herannya, tetap banyak tuh yang mau antri beli dan antri mendapatkan meja di sini. Mungkin seafood-nya memang enak dan murah ya.
Yang merasa sumpek di dalam pasar, bisa beli makanan di restoran dan mencari tempat terbuka di belakang. Di sini, menghadap ke Blackwattle Bay dengan latar belakang jembatan ANzac, ada tempat piknik dari rumput buatan dan ada bangku-bangku piknik di sepanjang dermaganya. Kalau datang pagi-pagi, kita bisa memilih duduk di bawah atau di bangku sambil menikmati makanan laut segar. Menjelang jam makan siang, tempat ini sudah penuh dengan para pecinta seafood. Makan seafood segar di tempat terbuka memang enak, tapi siap-siap saja diganggu oleh burung-burung bangau dan camar yang ikut mencari makan siang 🙂
ikan segar hasil tangkapan hari ini

Ketika mengunjungi pasar ikan ini kedua kalinya, kami datang terlalu siang dan sudah tidak mendapat tempat lagi, baik di luar maupun di dalam. Akhirnya kami memilih makan di Doyles, restoran paling keren (dan paling mahal) yang letaknya di pojokan pasar ikan ini. Tempatnya nyaman, tidak terlalu sumpek dan tidak bau, dan bisa duduk di luar kalau mau. Gapapa deh coba-coba yang mahalan sedikit, sekali ini aja 🙂 Doyles sudah menjadi restoran seafood legendaris di Sydney. Cabang utama restoran Doyles di di Watson Bay buka sejak tahun 1885 dan sudah melayani warga Sydney sampai lima generasi.
Menu andalan Doyles adalah Seafood Platter mereka yang harganya AU$ 105. Tentu saja pilihan ini tidak terjangkau di kantong kami, hiks. Isi dari Seafood Platter ini lengkap banget, segala macam makanan laut andalan mereka yang dimasak panas maupun dingin: Lobster Mornay, King Prawns, Crab, Oysters, Smoked Salmon, Calamari Rings, Prawn Cutlets, Fish & Chips. Kami cuma bisa mengucap ‘wow’ dan menelan ludah ketika pelayan membawakan sepiring besar seafood ini ke… meja sebelah kami :p Setelah menghitung-hitung uang di kantong, kami memesan dua macam menu: B.B.Q Seafood Plate (w Calamari, Prawns, Scallops, Fish & Chips) dan Western Australian Lobster Mornay & Chips. Total habis AU$ 47. Minumnya cukup air keran 🙂
The Precils makan dengan lahap, mungkin karena sejak tadi menahan lapar menunggu pesanan kami datang. Saya yang jarang makan di restoran tidak bisa membandingkan rasa seafood ala Aussie di Doyles ini dengan masakan dari restoran lain. Hanya saja saya membayangkan dengan harga segitu, berapa orang yang bisa saya traktir di warung Ikan Bakar Galunggung, langganan kami di Malang, Jawa Timur. Ikan bakar kecap dan sambal terasi dari Indonesia jauh lebih nikmat sebenarnya daripada masakan ini. Tapi sementara di Sydney, mari kita nikmati saja kesegaran ikan hasil tangkapan hari ini.

~ The Emak

Happy 80th Anniversary, Sydney Harbour Bridge!

Anak-anak mendapat balon gratis di perayaan ini
Masih segagah ketika diresmikan tahun 1932, Jembatan Sydney Harbour yang menjadi ikon kota Sydney ini berulang tahun yang ke-80. Warga Sydney yang tidak melewatkan kesempatan untuk berpesta, menggelar piknik di taman ‘bawah jembatan’ untuk merayakan ulang tahun The Coathanger ini.
Minggu pagi yang mendung dan gerimis sempat menyurutkan niat kami untuk ikut berpesta merayakan ulang tahun si jembatan bersama warga Sydney lainnya. Untungnya cuaca mulai membaik di siang hari, matahari pun mulai nampak menggeser awan-awan kelabu. Kami naik kereta dari suburb menuju stasiun Milson Point, stasiun di utara Sydney Harbour yang paling dekat dengan lokasi Bradfield Park, tempat acara ini berlangsung. Di hari Minggu, keluarga yang membawa anak-anak cukup membayar AU$ 2,50 per orang untuk naik semua jenis transportasi umum di Sydney, seharian penuh. Jadi rugi kalau nggak keluar rumah 🙂
Agak memalukan sebenarnya, kami yang sudah lima tahun tinggal di Sydney belum pernah secara sengaja main-main ke Bradfield Park. Biasanya mainnya di bagian selatan pelabuhan. Taman Bradfield ini cukup luas, asyik untuk menggelar tikar dan piknik bersama keluarga, atau sekedar duduk bengong menikmati pemandangan Sydney Harbour dan dua ikonnya: Bridge dan Opera House.
Model mengenakan baju vintage
Acara gratis yang digelar pemkot Sydney ini temanya Vintage atau segala sesuatu yang berbau kuno. Ada pameran mobil kuno dan bis zaman bahuela dari Sydney Bus Museum (ya, sampai ada museum-nya segala!), fashion show baju-baju vintage dan dansa-dansi dengan lagu-lagu nostalgia (nadanya persis dengan lagu-lagu zaman penjajahan Belanda dulu). Di acara ini disarankan membawa makanan untuk piknik, tapi ada juga beberapa stand makanan siap saji. Untuk anak-anak, ada permainan Jumping Castle, lukis wajah (face painting) dan balon berbagai bentuk. Semuanya gratis, tinggal antri dengan rapi. Untuk Emak nih, ada gratisan juga berupa kumpulan kartupos dengan gambar foto-foto kuno ketika jembatan ini dibangun. The Emak jelas nggak mau ketinggalan, langsung mengambil dua bungkus :p
Kami menghabiskan waktu dengan makan siang bekal dari rumah, ditemani angin kencang yang menerpa dari tepi pelabuhan. Mewah banget bisa makan siang dengan memandang Sydney Opera House dari kejauhan, meskipun duduknya beralas tikar, hehe. Kenyang makan, Little A pengen dilukis wajahnya. Kami ikut mengantri di tenda yang menawarkan face painting. Lumayan lama ngantrinya, tapi gakpapa karena tertib. Little A minta dilukis kupu-kupu pelangi di wajah, dan senyumnya terus mengembang setelah melihat lukisan cantik wajahnya dari cermin. Selanjutnya, The Precils dan teman-temannya melihat-lihat dan naik bis kuno. Ada tiga bis yang dipamerkan di sini, semuanya model bis tingkat, seperti double decker di London sana.
Saya selalu terkesan oleh keseriusan pemkot Sydney merawat apa yang mereka punyai: jembatan, mobil, bis, dll. Tidak hanya serius merawat, mereka (pemerintah dan warganya) bangga setengah mati dengan ikon dan properti yang dimiliki kotanya. Saking bangganya, selalu ada perayaan ulang tahun untuk Jembatan ini, paling tidak dalam lima tahunan. Saya jadi membandingkan perlakuan kita terhadap Jembatan hasil karya anak bangsa: Ampera dan Suramadu, misalnya. Adakah perayaan ulang tahun untuk ikon kota Surabaya dan Palembang ini? Apakah daerah sekitar jembatan dirawat sebagai ruang publik agar menjadi kebanggaan warga?

Bis tingkat kuno yg dipamerkan. Foto oleh Radityo Widiatmojo.
Mumpung sudah ada di sebelah Utara harbour, kami sekalian ingin berjalan kaki menyeberangi jembatan ini kembali ke Selatan. Ini juga satu hal (gratis) yang belum sempat kami lakukan dalam lima tahun tinggal di Sydney. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak mencoba sama sekali. Di sisi jembatan ini ada jalur khusus untuk pejalan kaki. Jalur pedestrian yang lumayan lebar ini, sekitar dua setengah meter nyaman dan aman digunakan, baik untuk dewasa atau anak-anak. Bahkan, stroller atau pram juga bisa digunakan di sini. Untuk memulai menyeberang dari utara ke selatan, kita perlu naik tangga dari dekat stasiun Milson Point. Ikuti petunjuk jalur Cahill Walk, nama trek menyeberang Sydney Harbour Bridge ini.

Ketika memulai naik ke badan jembatan, Little A masih sangat bersemangat dan belum ada tanda-tanda capek. Dia berlarian di jalur pejalan kaki dan menerobos orang-orang yang lewat. Sesekali kami menepi untuk melihat pemandangan dari atas. Jalur pejalan kaki ini aman, terpisah dari jalur mobil, kereta dan sepeda. Ada pagar besi setinggi dua meter di dua sisi demi keamanan, tapi ada celah di ketinggian mata kita (ehm, mata orang bule maksudnya) yang cukup lebar untuk menyorongkan lensa kamera ke luar, sehingga kita bisa memotret keindahan Sydney Harbour (berikut Opera House) dari atas. Di atas jembatan, kami berpapasan dengan beberapa orang yang jogging, lengkap dengan pakaian olahraga dan aksesoris iPod mereka. Banyak juga keluarga dengan anak-anak yang berjalan-jalan santai sambil sesekali berhenti untuk memotret. Belum sampai di tengah jembatan, Little A capek dan meminta duduk di stroller. Untung kami bawa stroller, kalau nggak, harus menggendong anak umur 3 tahun ini.
Bagi yang ingin melihat pemandangan harbour dari atas lagi, bisa mencoba Pylon Lookout di sisi selatan jembatan. Tiket masuknya AU$11 untuk dewasa dan AU$4 untuk anak-anak. Selain gardu pandang, ada juga museum mini dengan display sejarah dibangunnya jembatan ini. Bagi petualang sejati (dan berdompet tebal), sebaiknya mencoba Bridge Climbing, mendaki jembatan ini sampai benar-benar ada di atas. Perlu waktu sekitar tiga jam mulai dari persiapan, naik dan turun lagi. Jangan lupa, siapkan sekitar AU$200-an per orang. Big A ingin sekali mencoba mendaki jembatan ini, tapi saya selalu bilang, “Nabung dulu ya.” 🙂
Trek Cahill Walk ini berakhir di daerah The Rock, perkampungan pertama Sydney di sebelah selatan pelabuhan. Stopwatch Big A berhenti pada angka 30. Lumayan capek juga setengah jam berjalan kaki menyeberangi jembatan ini. Little A yang duduk manis di stroller-nya senyam-senyum melihat kami menghela napas.

Big A menyeberang jembatan ditemani iPod-nya
Pemandangan dari atas jembatan. Foto oleh Radityo Widiatmojo.

~ The Emak

Camping Ala Aussie

Tenda kami di Sydney Lakeside Holiday Park
Di Australia, camping tidak hanya dilakukan oleh Pramuka saja, tapi sudah menjadi gaya hidup keluarga. Berkemah menjadi pilihan hemat untuk mengisi akhir pekan dan liburan sekolah.
Kami pertama kali berkemah bersama delapan keluarga teman-teman ngaji The Precils. Waktu itu kami mencari-cari tempat berkemah di beberapa Taman Nasional di sekitar Sydney. Ternyata semua spot berkemah di bulan Januari sudah penuh. Kata resepsionis, kalau ingin berkemah di musim liburan sekolah (Desember-Januari) harus booking jauh-jauh hari. Akhirnya kami menemukan tempat berkemah di Holiday Park untuk awal bulan Februari, ketika liburan sekolah sudah berakhir. Kemah dua malam di akhir pekan ini cukup berkesan bagi The Precils dan kami, orang tuanya 🙂
Ada dua macam pilihan tempat berkemah di Australia: di Taman Nasional dan di Holiday Park. Untuk mendapatkan pengalaman kemah yang lebih otentik, bener-bener di tengah hutan, Taman Nasional adalah pilihan terbaik. Fasilitas camping di Taman Nasional beragam, dan biasanya lebih terbatas daripada di Holiday Park. Ada yang hanya menyediakan tempat berkemah, toilet, kamar mandi dan unit untuk barbekyu. Tapi ada juga yang fasilitasnya sudah cukup lengkap termasuk colokan listrik, kamar mandi dengan air panas dan fasilitas memasak. Tarif menginap per malam bervariasi, sekitar AU$ 7 untuk dewasa dan AU$ 5 untuk anak-anak. Untuk memesan tempat, biasanya harus menelpon langsung ke ranger/petugas taman nasional tersebut. Klik di sini untuk melihat daftar 220 bumi perkemahan di Taman Nasional NSW.

Matahari pagi di bumi perkemahan
Emak-Emak ngopi dan ngeteh. Anak-anak mana ya? 🙂
Bagi camper pemula, lebih mudah mencoba berkemah di Holiday Park atau kadang disebut juga Caravan Park/Tourist Park. Di Australia, ada ratusan Holiday Park yang tersebar di tiap daerah untuk traveler yang ingin berkemah atau bermalam di caravan. Holiday Park ini juga menyediakan kabin sederhana yang biasanya lebih murah tarifnya daripada motel atau hotel. Ketika road trip di pulau selatan New Zealand, kami dua kali menginap di kabin Holiday Park. Di Australia, cara paling mudah untuk mencari Holiday Park adalah dengan melihat website Big4 yang merupakan jaringan Holiday Park terbesar.
Fasilitas standar Holiday Park adalah kamar mandi, toilet, dapur, laundry, taman bermain dan tempat barbekyu untuk umum. Kadang ada juga Holiday Park ‘mewah’ yang ada kolam renangnya. Fasilitas umum ini digunakan bergantian untuk yang berkemah maupun yang membawa caravan atau yang menyewa kabin sederhana tanpa kamar mandi. Saya yang biasanya alergi sharing kamar mandi dan toilet, ketika camping tidak merasa keberatan lagi. Karena sudah bukan musim liburan, Holiday Park lumayan sepi, sehingga saya tidak harus antri kamar mandi. Semua fasilitas sangat bersih dan nyaman digunakan. Judulnya saja yang ‘camping‘, tapi kami tetap bisa mandi air panas dengan nyaman seperti di rumah :p Bahkan ada kamar mandi khusus dengan bath tub untuk anak-anak. Little A senang banget bisa mandi di sini.

kamar mandinya luas, bersih dan nyaman
Kami, delapan keluarga mendapatkan spot berkemah di Sydney Lakeside Holiday Park, di daerah Narrabeen, kira-kira satu jam bermobil dari tengah kota Sydney ke arah utara. Holiday Park ini kami pilih karena lokasinya yang dekat dengan danau dan pantai, sehingga The Precils nanti bisa main-main air. Ketika memesan tempat berkemah jauh-jauh hari, kami belum tahu ramalan cuaca untuk hari itu. Jadi pasrah dan berdoa saja semoga cuaca cerah dan tidak hujan. Ternyata Sang Pemilik Alam berkehendak lain, tepat di hari pertama kami berkemah, gerimis turun sepanjang hari. Mungkin ini untuk menguji keteguhan hati para Pramuka Siaga ini, hehe. The Precils dan teman-temannya tampak tetap semangat membantu kami mendirikan tenda di tengah gerimis. Kalau bukan demi precils-precils ini, mungkin kami ogah berkemah di tengah hujan 😀
Untungnya tenda kami lumayan kecil, cukup untuk 4 anggota keluarga kami yang berukuran mini juga. Tenda kami, Retreat 60 Tent, khusus kami beli online di Kathmandu, salah satu toko perlengkapan outdoor yang lumayan terkenal di Australia. Begitu paket tenda ini sampai di rumah, kami langsung mencoba mendirikannya di ruang tamu dan sempat dibuat bermalam beberapa hari oleh The Precils, sampai bosan. Alhasil, tenda berukuran 4,2 x 2,2 m ini tidak menyisakan ruang di lounge kami. Ada untungnya juga tenda ini pernah kami coba dirikan, jadi bisa pasang dengan cepat di tempat kemah.

Tenda kami termasuk mini dibandingkan dengan tenda teman-teman lain. Bahkan ada yang membawa 2 bedroom tent yang bisa muat untuk 6 orang. Kalau tenda serius begini, pasangnya juga lumayan lama. Peralatan camping yang dibawa teman-teman juga canggih-canggih semua, mulai dari sleeping bag (kantung tidur), sleeping mat, air bed (kasur angin), travel pillow, kursi lipat, lentera, meja lipat, esky, kompor portabel dan mesin barbekyu portabel. Memang di Australia, kemah sudah menjadi life-style (gaya hidup) sehingga peralatan berkemah dan segala aksesori-nya yang lucu-lucu gampang dibeli di toko-toko outdoor. Dua toko outdoor yang populer di Australia adalah Ray’s Outdoor dan Kathmandu. Kalau lihat katalog online mereka, rasanya saya juga ingin beli ini itu 🙂

Di Sydney Lakeside Holiday Park, tempat berkemah dijadikan satu dengan tempat parkir Caravan. Setiap keluarga mendapat jatah tempat yang lumayan luas, sekitar 6×8 meter untuk mendirikan tenda dan memarkir mobil di sebelah tenda. Tempat kemah ini berupa lapangan rumput dengan fasilitas kran air dan colokan listrik karena kami memilih Powered Site. Camping ala Aussie ini sama sekali nggak ada susahnya karena ketergantungan kami dengan gadget difasilitasi oleh adanya colokan listrik. Jadi judulnya saja yang ‘camping‘, urusan men-charge gadget tetep jalan terus 🙂

Gadget gak mau ketinggalan ikut camping :p
Setelah malam pertama diguyur hujan, kami bisa tersenyum menikmati cuaca cerah keesokan harinya. Ibu-ibu langsung mojok ngerumpi di bangku taman ditemani teh dan kopi panas. Bapak-bapak, sesuai hobinya, pergi memotret matahari terbit di pantai atau pergi memancing (yang sayangnya, belum ada hasil). Asyiknya berkemah dengan banyak keluarga seperti ini, anak-anak punya teman bermain sehingga Emak-Emak bisa sedikit santai tanpa direcoki The Precils yang sebentar-sebentar bilang ‘I’m bored‘. 
Mungkin ini bedanya camping ala keluarga Aussie beneran dan ala keluarga Indonesia yang ada di Aussie: kami kelebihan stok makanan! Keluarga Aussie biasanya jalan-jalannya hanya satu sampai tiga keluarga, jarang yang sampai delapan keluarga seperti kami 😀 Mereka pun biasanya bawaannya minimalis, daging atau seafood untuk barbekyu, roti, salad dan buah. Sementara kami, semua masakan dari rumah diangkut ke tempat camping: beras dan rice cooker, Indomie berbungkus-bungkus, sawi, salad, buah, sosis, telur, kornet, roti, sereal, susu, daging sapi dan domba untuk barbekyu, lauk pauk seperti rendang, kering tempe, ayam goreng, dan tentu saja tak ketinggalan sambal! Tapi itu juga enaknya jadi orang Indonesia: nikmat sekali tetap bisa makan kering tempe, rendang dan sambal ijo di negeri orang 🙂 Beruntung banget saya berkemah bareng Ibu-Ibu yang jago masak, bisa numpang makan lauk enak :p
Ketika matahari mulai naik, kami mengajak anak-anak jalan kaki ke pantai, dengan membawa body board mereka untuk bermain ombak. Kira-kira perlu sepuluh menit jalan kaki dari bumi perkemahan sampai di pantai North Narrabeen. Pantai ini panjang banget, mengingatkan saya pada garis pantai di Gold Coast. Bulir pasirnya besar dan keemasan, khas pantai-pantai di bagian utara Sydney. Anak-anak yang besar segera bermain ombak dengan body boar mereka, sementara Precils yang masih kecil seperti Little A cukup senang bermain pasir. Ternyata Little A takut mendengar suara ombak yang berdebur sehingga dia tidak mau mendekat ke air. Cukup lama kami main-main di pantai ini sampai anak-anak puas.

bermain ombak di pantai North Narrabeen
Sore hari, setelah anak-anak membersihkan diri dari pasir pantai, giliran kami yang beraksi menggelar barbekyu. Daging yang direndam bumbu sudah kami siapkan dari rumah, begitu juga dengan sosis yang siap dipanggang. Di Holiday Park ini ada mesin barbekyu untuk umum, tapi kami memilih menggunakan barbekyu portabel yang bisa ditaruh di atas meja piknik. Barbekyu portabel ini menggunakan bahan bakar gas. Sebenarnya lebih asyik barbekyu dengan bahan bakar arang (charcoal), tapi sayangnya di Holiday Park ini dilarang menggunakan api (open fire). Karena itu juga kami tidak membuat acara api unggun :p Barbekyu cukup sukses membuat kami semua kekenyangan dan tidur lebih nyenyak tanpa gangguan hujan seperti malam sebelumnya.
Alternatif Penginapan
Kenyamanan berkemah dengan fasilitas lengkap seperti ini membuat camping menjadi satu pilihan akomodasi yang hemat di Australia. Tarif berkemah lebih murah dibandingkan dengan menginap di kabin, motel apalagi hotel. Semalam, kami cukup membayar AU$ 40 untuk satu keluarga (2 dewasa dan 2 anak-anak). Untuk keluarga petualang, pilihan camping ini tentu cukup menarik, hanya bermodal tenda, bisa menghemat biaya akomodasi separuhnya atau bahkan sampai 80%. Saya jadi ingat, ketika menginap di Te Anau Holiday Park, kami bertemu keluarga Amerika dengan dua precils yang keliling New Zealand dengan berkemah.

Hanya saja, lokasi Holiday Park di Australia biasanya cukup jauh dari pusat kota. Di Sydney, ada dua Holiday Park dari Big4 yang letaknya kira-kira satu jam dari pusat kota, yaitu: Sydney Lakeside dan Sydney Gateway Holiday Park. Akomodasi jenis ini cocok untuk mereka yang melakukan road trip dan memiliki kendaraan sendiri, misalnya dari Gold Coast ke Sydney atau dari Melbourne ke Sydney. Tarif menginap di Holiday Park ini termasuk murah karena sudah termasuk tarif parkir mobil untuk 24 jam. Bandingkan dengan tarif tambahan yang dikenakan hotel-hotel di Sydney untuk parkir mobil semalaman, mahalnya minta ampun, bisa mencapai AU$ 40 semalam untuk mobilnya saja.

camper kids
Ternyata setelah mencoba kemah satu kali, kami ketagihan dan ingin mencoba lagi. Akhir Maret ini kami akan camping lagi di daerah Kiama. Ada yang mau ikut? 🙂

~ The Emak

Tips Berburu Oleh-Oleh di Paddy’s Market Sydney

Gedung Paddy’s Market di Haymarket. Foto oleh Radityo Widiatmojo.
Di Australia, kalau ada teman yang berangkat jalan-jalan, kami biasanya bilang, “Save journey and have a great holiday.” Sementara di Indonesia, kalimat yang biasa kita dengar adalah: “Jangan lupa oleh-oleh ya.” 😀
Tidak bisa dipungkiri, di Indonesia, budaya memberi oleh-oleh adalah urusan serius. Kalau pulang liburan dengan tangan kosong, bisa-bisa dianggap orang sombong, pelit, nggak sopan, nggak mensyukuri nikmat dll. Haha, kebablasan ya? Untungnya, di Sydney ada tempat belanja oleh-oleh yang cheap and cheerful, harganya gak bikin kantong bolong dan yang nerima juga senang dapat sesuatu dari Sydney, meskipun hampir pasti barang-barang ini buatan China :p
Pastikan berkunjung ke Paddy’s Market di Chinatown untuk berbelanja oleh-oleh khas Sydney untuk orang sekampung atau minimal untuk diri sendiri. Di Sydney, ada dua Paddy’s Market, satu di tengah kota (Chinatown) dan satu lagi di pinggiran (Flemington). Yang saya bahas di sini adalah yang di Chinatown karena lokasinya lebih terjangkau untuk turis yang jalan-jalan ke Sydney. 

Paddy’s Market adalah pasar tradisional yang letaknya di lantai dasar mal: Market City. Biar tidak bingung, saya perjelas: Paddy’s Market adalah nama pasarnya, Market City adalah nama bangunan tempat pasar ini berada (hanya di lantai bawah), Haymarket adalah nama suburb/distrik tempat bangunan ini berada, Chinatown adalah sebutan lain (nama populer) Haymarket karena memang di suburb ini banyak bermukim imigran dari China. Paddy’s Market atau biasa disingkat “Paddy’s” saja, letaknya sangat strategis, hanya 10 menit jalan kaki santai dari stasiun central atau 10 menit jalan kaki dari Darling Harbour. Bagi yang tinggalnya di daerah Haymarket, pasar ini cuma 5 menit jalan kaki. Yang tinggalnya di hotel di daerah kota, bisa naik kendaraan umum ke sini. Masing-masing bis kota gratis warna hijau (free shuttle bus), monorail dan lightrail (trem) punya halte yang berhenti di Paddy’s. Pastikan meminta sopir atau kondektur untuk diturunkan di Paddy’s.

Market City, Mal yang berada di atas Paddy’s buka tiap hari. Sementara Paddy’s Market buka mulai Rabu sampai Minggu, jam 9 pagi sampai 5 sore. Senin dan Selasa tutup, kecuali kalau ada libur nasional. Perhatikan jam buka ini agar tidak kecele. Di akhir pekan, biasanya pasar ini ramai sekali. Kalau ingin berbelanja pas pasar sepi, datanglah hari Rabu atau berbelanjalah pagi-pagi.

Meskipun judulnya pasar tradisional, Paddy’s cukup nyaman, bersih dan rapi. Jarak antar lapak cukup lebar sehingga enak untuk jalan dan melihat-lihat. Ada banyak tempat sampah di berbagai sudut dan ada toilet bersih yang nyaman digunakan. Pasar ini terbagi menjadi dua bagian: pasar basah tempat menjual sayur/buah dan lapak-lapak yang menjual suvenir, fesyen, aksesoris, mainan, snack dan benda apapun yang bisa kamu bayangkan 🙂 Kalau ingin sekalian belanja sayur dan buah segar, lebih baik belanja sore hari. Menjelang pasar tutup jam 5 sore, harga barang-barang segar ini diturunkan, banyak yang diobral satu dolaran.

Pintu masuk utama Paddy’s
Lapak souvenir langganan kami
Sebelum berbelanja, tolong terima kenyataan bahwa sebagian besar suvenir di Paddy’s ini buatan China 🙂 Kalau ingin suvenir made in Australia, berbelanjalah di The Rock Market, Paddington Market, QVB Shop atau Ken Done Store. Ada sih satu lapak yang menjual barang-barang kerajinan suku Aborijin, antara lain lukisan di kain, tas, kaos, topi dan aneka barang lainnya. Setiap barang di sini otentik, ada sertifikat dari seniman Aborijin-nya, dan mereka mendapat royalti untuk setiap karya yang dibeli. Saya pernah mengajak Ibu saya ke lapak yang menurut saya cukup bagus ini. Tapi akhirnya Ibu urung membeli karena barang-barangnya ‘cuma’ seperti batik di Indonesia 😀 Selera orang memang beda-beda 🙂

Ada dua macam lapak suvenir di Paddy’s: satu yang menjual kaos dan jaket dan satu jenis lagi yang menjual berbagai suvenir seperti gantungan kunci, tas, topi, dompet dll. Lapak-lapak ini banyak sekali jumlahnya dan rata-rata harganya sama. Saya punya dua lapak langganan: lapak suvenir milik sepasang Bapak Ibu China yang ramah banget dan lapak kaos milik Ibu China/Malaysia dengan pegawai yang bisa berbahasa Indonesia, yay! Bagaimana ceritanya dua lapak ini bisa menjadi langganan saya? Dua tahun pertama di Sydney, saya berpindah-pindah lapak kalau berbelanja di Paddy’s. Sering saya menemukan penjual yang judes, yang marah kalau ditawar atau ngomel-ngomel nggak jelas kalau kita urung membeli. Sebagian besar pemilik lapak adalah orang-orang China yang kadang tidak bisa berbahasa Inggris, sehingga komunikasi hanya terbatas pada barang ini harganya berapa, dengan menunjukkan jari-jari kita :p Sampai akhirnya saya menemukan Bapak Ibu penjaga lapak suvenir yang murah senyum ini, yang tetap tersenyum walau ditawar dan kadang memberi diskon kalau kita belanja banyak. Sementara lapak kaos dengan mbak penjaga berbahasa Indonesia ini, tentu menjadi favorit saya karena lebih mudah nawarnya, daripada harus bersilat lidah dalam bahasa Inggris atau bahasa isyarat 🙂
Harga barang-barang di Paddy’s rata-rata sama dan harganya pas. Kita masih bisa nawar sih, tapi rata-rata penjual hanya mau memberikan potongan lagi kalau kita belanja lumayan banyak. Biasanya barang-barang dijual bukan dengan harga satuan, tapi dengan paket. Jangan salah, kalau kita mendengar harga “3 for 5” artinya lima dolar dapat tiga, bukan tiga dolar dapat lima. Kadang orang Indonesia salah mengartikan ini karena lupa membalik arti kata dalam bahasa Inggris. Tas-tas kecil atau dompet pensil koala harganya 3 for $5. Topi dan tas belanja besar biasanya 4 for $10 (sepuluh dolar dapat empat). Gantungan kunci metal biasanya satu dolaran. Kaos oblong tanpa kerah rata-rata harganya 3 for $20 (dua puluh dolar dapat tiga). Ada juga gantungan kunci ‘spesial’ untuk ‘teman kita’ yang tiba-tiba sok dekat dan minta oleh-oleh: gantungan kunci koala seharga $2,5 yang isinya satu lusin. Beli 4 lusin seharga $10 sudah bisa untuk orang sekampung :p

Jangan lupa membawa catatan siapa saja yang akan dibelikan oleh-oleh. Gawat banget kalau sampai ada yang kelewatan. Catatan ini juga membantu kita untuk ‘fokus’ dan nggak melebar beli barang-barang lucu lainnya. Ibu, Budhe dan Tante saya yang sudah bawa catatan saja sampai tiga kali ke sini karena merasa ada saja yang kurang, apalagi yang nggak pakai catatan. Siapkan juga uang cash yang cukup untuk berbelanja di sini, hanya sedikit yang menerima pembayaran dengan debit (eftpos) atau kartu kredit. Biasanya diskon juga diberikan untuk yang membayar dengan uang cash. Kalau beli oleh-oleh untuk orang sekampung, kira-kira perlu $200-an. Tapi kalau hanya beli untuk diri sendiri atau keluarga kecil saja, $50 sudah cukup.

Lapak kaos langganan. Mbak yang sebelah kanan bisa bahasa Indonesia 🙂
Lapak mainan warna-warni dari kayu favorit The Precils.
Saya punya tips berbelanja untuk keluarga yang membawa precils. Terus terang saja, nggak ada anak kecil yang suka diajak berbelanja Emaknya yang lama milih-milih barang yang sama :p Coba bujuk mereka dengan membelikan satu mainan atau barang yang bisa mereka pilih sendiri. Di dekat lapak kaos langganan saya tadi ada lapak mainan dari kayu yang warna-warni. ‘Titipkan’ anak-anak (dan Bapaknya) di lapak ini sementara kita menawar kaos. Mbak penjaga mainan ini sangat ramah dan nggak jutek walaupun kita hanya lihat-lihat. Harga mainan ini juga ada yang murah, mulai $1.
Kalau nggak mempan dibujuk dengan dibelikan mainan, suruh si Bapak untuk membawa anak-anak menghirup udara segar dan melihat burung di pelataran Entertaintment Centre di seberang Paddy’s. Lapak suvenir langganan saya terletak di dekat pintu masuk Paddy’s yang dekat dengan stasiun monorail. Di seberangnya ada pelataran luas cukup untuk Si Kecil berlarian mengejar burung-burung. Peringatan: sebelahnya lagi ada Mc Donald :p
Yang hobi belanja, kegiatan berburu oleh-oleh ini tentu mengasyikkan dan menjadi ‘alasan mulia’ untuk shopping 🙂 Masalahnya, bagasi kita tentu terbatas. Kalau memang tujuan utama jalan-jalan untuk berbelanja, perlu memikirkan ruang kosong untuk tempat oleh-oleh ini. Jangan sampai asyiknya jalan-jalan dirusak dengan dilema minimnya jatah bagasi dan perasaan bersalah tidak memberi oleh-oleh.
Saya sendiri tidak pernah meminta oleh-oleh (atau bahasa halusnya nitip) dari teman yang pergi berlibur. Mereka udah direpotkan oleh packing, jangan terbebani dengan urusan oleh-oleh ini. Dan terakhir, siapa sih kita meminta oleh-oleh? Biasanya ‘oleh-oleh’ yang saya minta adalah cerita dan pengalaman mereka, siapa tahu nanti kami berkesempatan jalan-jalan ke sana juga dan membeli sendiri souvenir yang kita inginkan. 

Saya doakan orang-orang yang masih banci oleh-oleh diberi kesempatan untuk jalan-jalan sendiri sehingga bisa beli souvenir sendiri. Amini doa saya ya 🙂

~ The Emak

PS: Baca juga tip belanja barang-barang branded di sini.

Luna Park Favorit: Sydney atau Melbourne?

Scenic Railway: wahana paling populer di Luna Park Melbourne
Di Australia, ada dua taman ria bernama Luna Park: satu di Sydney dan satu lagi di Melbourne. Dua-duanya termasuk taman ria yang cukup tua. Luna Park Melbourne dibangun tahun 1912, sementara Luna Park Sydney tahun 1935. Yang khas dari taman ria ini adalah gerbangnya berupa wajah ondel-ondel raksasa. Menurut Big A, wajah ondel-ondel di Melbourne lebih seram daripada yang di Sydney. Itu sebabnya Little A agak takut ketika foto di depan gerbang.

Taman ria ini tidak besar, tidak seperti theme park di Gold Coast atau Dufan di Jakarta. Lebih mirip dengan pasar malam di Sekaten Jogja atau wahana di Batu Night Spectacular, Malang. Bedanya, Luna Park ini buka siang dan malam.

Tarif naik wahana atau tiket terusan di Luna Park ini cukup mahal, tapi untungnya kita bisa masuk gratis, jadi bisa lihat-lihat dulu dan menentukan wahana apa yang akan dicoba. Keuntungan lain, letak dua Luna Park ini lumayan strategis di tengah kota. Di Sydney, Luna Park ada di Milson Point, persis di bawah Sydney Harbour Bridge. Kalau kita jalan-jalan di sekeliling Opera House, Luna Park akan kelihatan dari seberang harbour. Gerbang ondel-ondel akan tampak lebih cantik di malam hari begitu lampu-lampu dinyalakan. Cara terbaik menuju Luna Park Sydney adalah dengan naik feri umum jurusan Inner Harbour (warna hijau kuning) dari dermaga Circular Quay dan turun di dermaga Milson Point. Luna Park Melbourne terletak di daerah St Kilda, dekat dengan pantai dan Botanic Garden. Dari kota, kita bisa naik tram nomor 16 atau nomor 96 yang menuju St Kilda dan berhenti di halte persis di depan taman ria.
Kami pernah mencoba dua-duanya. Big A lebih senang dengan Luna Park Sydney karena sistem tiketnya tidak membingungkan dan karena banyak wahana yang dia suka. Saya sendiri lebih suka dengan yang tarifnya lebih murah (sudah bisa ditebak :D) dan menggratiskan tiket untuk orang tua yang menemani anaknya naik, yaitu Luna Park Melbourne.

Luna Park Sydney
Luna Park Melbourne
Lokasi Luna Park Sydney sangat strategis di tepi Sydney Harbour. Saya berani taruhan, precil-precil pasti akan mengajak main ke sini begitu melihat bianglala warni-warni ketika naik feri menyeberangi inner harbour.
Di pelataran depan, kita akan disambut gerbang ondel-ondel raksasa yang untungnya tersenyum. Jangan takut, masuk ke Luna Park ini gratis. Baru bayar kalau ingin naik wahana atau mencoba salah satu permainan di sana. Luna Park Sydney mudah dinavigasi karena hanya punya satu strip jalan dengan pilihan wahana di kanan kiri. Sebelum membeli tiket, saya sarankan jalan-jalan dulu dan melihat-lihat wahana yang ada. Di tengah-tengah jalan juga ada cermin-cermin ajaib yang bisa membuat badan kita memanjang atau melebar. Awas, Emak-Emak jangan kelamaan di depan cermin yang bikin langsing 🙂 Little A senang sekali bercermin di sini. Dia juga senang melompat-lompat di pola yang dilukis di jalan.
Tiket di Luna Park Sydney dijual berdasarkan tinggi badan. Di depan loket, ada alat pengukur tinggi badan untuk menentukan jenis tiket yang bisa dibeli. Ketika kami berkunjung ke sini, Little A tingginya baru 83 cm, kurang 2 cm dari batas tiket Red Person. Alhasil, dia nggak boleh beli tiket sama sekali. Anak yang tingginya belum mencapai 85 cm hanya boleh naik 2 wahana, yaitu Carousel (komidi putar) dan Ferris Wheel (bianglala) dan harus ditemani oleh orang tuanya (yang wajib membeli tiket). Karena waktu itu bianglalanya sedang dalam perbaikan (sigh), Little A hanya bisa mencoba komidi putar saja, ditemani The Emak yang bersungut-sungut karena harga tiketnya mahal. Tiap wahana bayarnya AU$10.
Yang ingin naik macam-macam wahana, sebaiknya membeli tiket terusan. Berdasarkan tinggi badan, tiket terusan harganya sebagai berikut:
– Red 85-105cm AU$19,95
– Green 106-129cm AU$29,95
– Yellow 130 ke atas AU$39,95
Tiket terusan ini sudah termasuk tiket ke Coney Island, yang juga bisa dibeli terpisah sebesar AU$10. Lebih lengkap tentang tiket dan diskon di Luna Park, bisa dilihat di sini.
Wahana yang ada di Luna Park lumayan untuk menghibur anak-anak. Yang paling seram adalah Moon Ranger, seperti Kora-Kora. Big A tidak berani mencoba ini :p Tapi dia berani mencoba ‘Kursi Terbang’ yang cukup mengasyikkan. Kalau tidak sedang dalam perbaikan, wajib mencoba bianglala yang akan membawa kita melihat Sydney Harbour dari atas. Di Luna Park ini tidak ada roller coaster yang besar. Satu-satunya roller coaster yang ada adalah Wild Mouse, yang mengeluarkan suara berderak-derak ketika dinaiki. Ketika Big A dan Si Ayah naik ini, malah saya yang takut karena wahana ini sudah sangat tua, dibangun sejak tahun 1962. Untuk anak-anak kecil yang tingginya antara 85-105cm (red person) ada empat wahana khusus, termasuk bianglala mini.
Yang hanya punya AU$10 tapi ingin mencoba banyak permainan, sebaiknya membeli tiket Coney Island. Gedung besar yang terletak di tengah-tengah taman ria ini punya 7 permainan termasuk luncuran raksasa dan mirror maze. Pastikan memakai sepatu tertutup (bukan sandal atau sepatu sandal) kalau ingin masuk Coney Island.
Luna Park Sydney buka dari Jumat sampai Senin dan setiap hari di musim liburan sekolah. Cek di sini untuk mengintip jadwal buka mereka.

 


Luncuran raksasa di Coney Island

Berbeda dengan Luna Park Sydney, di Melbourne tiket masuk berdasarkan usia. Harga tiket satuan lebih murah daripada di Sydney dan orang tua yang hanya menemani anaknya naik wahana tidak perlu membeli tiket. Tiket satuan di Luna Park Melbourne sebagai berikut:
0-3 tahun: AU$4,50
4-12 tahun:AU$7,50
13+ tahun: AU$9,50
Luna Park Melbourne lebih murah untuk yang hanya naik satu atau dua wahana, karena tiket terusannya lebih mahal daripada di Sydney. Berikut adalah tiket terusan di Luna Park Melbourne, berdasarkan usia:
13+ tahun: AU$42,95
4-12 tahun: AU$32,95
0-3 tahun: AU$14,95
Lebih lengkap tentang tiket dan diskon, bisa dicek di sini.
Selain tiket, yang perlu diperhatikan oleh pengunjung adalah jam buka Luna Park Melbourne ini. Ketika pertama kali mengunjungi Melbourne, kami dibuat kecewa karena Luna Park tutup di hari kerja. Memang kalau bukan musim liburan sekolah dan hari besar, Luna Park Melbourne hanya buka dari Kamis sampai Minggu. Cek di sini untuk mengintip jam buka mereka.
Satu wahana yang wajib dicoba di Melbourne adalah Scenic Railway. Wahana ini seperti kereta yang membawa kita mengelilingi satu taman ria, dengan jalur yang meliuk-liuk seperti roller coaster, tapi tidak sampai jungkir balik. Karena populer, tentu saja antriannya paling panjang. Big A berani antri dan naik wahana ini sendiri. Di Melbourne, Little A mencoba tiga wahana: komidi putar, Arabian Merry (gajah terbang) dan Red Baron (pesawat terbang). Di komidi putar, Little A memilih kuda yang pelananya berwarna pink :p Begitu juga ketika memilih gajah dan pesawat terbang yang akan dia naiki, harus ada warna pink-nya. Di pesawat terbang kecil ini, Little A berani naik sendiri.
Setelah mencoba dua Luna Park, saya bertanya pada Big A, lebih suka taman ria yang mana. Big A menjawab mantap: Luna Park Sydney dan meminta kami kembali ke sana kalau Little A tingginya sudah lebih dari 85 cm 🙂
Big A naik Silly Serpent

 ~ The Emak

Mengunjungi Cadbury Chocolate Factory Tasmania

Harta karun, pengen dibawa pulang semua :p
Siapa yang tidak kenal dengan Cadbury? Sebut nama satu ini dan bayangan kita akan langsung melayang pada batangan coklat lezat yang meleleh di mulut. Atau secangkir coklat hangat di pagi yang gerimis. Uhm…
Kami beruntung bisa mengunjungi Pabrik Coklat Cadbury di Claremont, Tasmania, musim panas yang lalu. Pabrik Coklat ini merupakan salah satu atraksi wisata utama di Hobart, Tasmania. Di Visitor Centre Cadbury yang buka setiap Senin-Jumat ini kita bisa mendengarkan penjelasan sejarah Cadbury dan menonton film tentang bagaimana coklat dibuat. Setelah itu kita bisa mencicipi macam-macam produk coklat mentah di Discovery Station mereka, dilanjutkan berbelanja produk mereka dengan harga pabrik. Sayangnya, sejak pertengahan 2008, Cadbury menutup akses tur ke dalam pabrik karena alasan kesehatan dan keselamatan kerja, sehingga kita tidak bisa lagi melihat langsung proses pembuatan coklat.
Dari pusat kota Hobart, pabrik Cadbury di Claremont bisa dicapai 25 menit dengan mobil atau 55 menit dengan bis kota. Tiket bis di Hobart ini sangat murah, hanya $3 per orang untuk naik bis seharian. Yang tidak membawa mobil sendiri, tapi alergi naik bis kota, bisa ikut tur pesiar 30 menit menyusuri sungai Derwent menuju pabrik Cadbury. Tur pesiar ini tarifnya AU$ 74 per orang, termasuk tiket masuk Pabrik Cadbury dan snack (morning tea). Coba tanyakan pada The Emak, pilih mana antara ikut tur dengan kapal seharga AU$ 74 atau naik bis kota seharga AU$ 3? Jawabannya sudah jelas 🙂
Kami menunggu bis kota di depan kantor pos besar di pusat kota Hobart. Pagi itu gerimis dan kami ketinggalan bis kota yang menuju Claremont. Kami bertiga berteduh di halte sambil menunggu bis selanjutnya, no 39. Ketika bis datang, saya pastikan dulu ke sopir bahwa bis ini menuju pabrik coklat Cadbury. Bisa berabe kalau salah jurusan. Perjalanan menuju Claremont, di utara kota Hobart lumayan panjang, hampir satu jam. Big A terus-menerus bertanya, “Are we there yet?” Saya tidak menghitung berapa kali dia bertanya seperti itu, tapi kira-kira 1000 kali :p Kami melewati suburb-suburb di pinggiran Hobart dengan rumah-rumah mungil yang ditata rapi. Rata-rata rumah ini punya kebun cantik dengan bunga-bunga yang bermekaran di halaman depan mereka. Pemandangan yang lumayan mengusir kebosanan di dalam bis. Kami penumpang terkakhir yang turun di halte terakhir, tepat di depan pabrik coklat Cadbury.
Sesi tur untuk pengunjung ada setiap 30 menit dan kita tidak perlu booking terlebih dahulu. Begitu masuk ke visitor centre, saya membeli tiket tur, untuk dewasa $7,50 dan untuk anak-anak $4. Little A gratis. Tiket ini diganti dengan sebatang dairy milk chocolate dan empat coklat kemasan kecil. Kalau dihitung-hitung sih balik modal, apalagi Little A enggak bayar dan tetap dapat coklatnya. 
Kami masih punya waktu 15 menit sebelum tur dimulai. Sambil menunggu, kami melihat-lihat display di Visitor Centre. Yang pertama menarik perhatian Little A adalah peti harta karun yang berisi tumpukan coklat batangan Dairy Milk. Whoa, rasanya pengen bawa pulang semuanya. Di sebelahnya ada patung sapi yang tidak boleh dinaiki, mengingatkan kita kalau coklat Cadbury yang biasa kita makan ini ada campuran susu dari sapi. Selanjutnya ada display cetakan dan alat-alat pembuatan coklat kuno, sampel coklat bubuk, kemasan Cadbury zaman dulu, poster-poster dan media promosi lainnya. Ruangan ini juga menjadi satu dengan toko suvenir. Ada banyak barang lucu-lucu dengan tema coklat dan Cadbury. Saya seperti biasa cukup puas dengan membeli kartupos.

Big A di Cadbury Visitor Centre
Gratisan dari Cadbury. Nom nom!
Tepat pukul 11 siang, kami diajak masuk ke ruang presentasi yang berisi model mesin pembuat coklat dan juga cetakan coklat asli yang digunakan di pabrik. Meski bukan Willy Wonka yang menemani kami di sini, presentasi tentang sejarah coklat dan Cadbury cukup menarik. Peserta tur waktu itu adalah grup orang-orang tua, kemungkinan pensiunan orang-orang Aussie, dan kami bertiga. Sudah bisa dipastikan semuanya chocoholic. Selain menerangkan tentang coklat dengan bahasa Inggris yang cepat plus aksesn Aussie, petugas ini juga melontarkan guyonan khas Aussie yang untungnya saya paham, jadi bisa tertawa bersama mereka 😀
Cadbury berawal dari toko milik (coba tebak) John Cadbury yang dibuka tahun 1824 di Birmingham, Inggris. Pada awalnya toko ini menjual teh, kopi, mustard, esen coklat dan minuman coklat. Minuman coklat waktu itu hanya bisa dinikmati oleh kalangan elit di Birmingham. Popularitas coklat di toko Cadbury berkembang pesat, membuat John membuka pabrik coklat sendiri tahun 1831.
Pabrik Cadbury di Claremont, Tasmania adalah pabrik pertama yang dibuka di Australia tahun 1922. Lokasi ini dipilih karena dekat dengan sumber susu segar berkualitas dan kemudahan mendapatkan sumber listrik tenaga air. Satu hal yang menarik bagi saya, bahan utama coklat yang diproduksi di sini adalah coklat impor dari (ya, betul) Indonesia! Mereka membanggakan diri sebagai produsen coklat terbaik di dunia, bahkan lebih baik daripada pabrik asalnya di Inggris. Rahasia enaknya Cadbury Australia adalah coklat terbaik dari Indonesia, susu segar lokal dari Tasmania dan gula tebu dari Queensland. Coklat buatan Australia lebih enak daripada buatan Inggris karena Australia memakai gula tebu (sugarcane), sementara di Inggris dipakai pemanis dari bit. 
Begitu mendengar petugas menerangkan bahwa mereka mendapatkan bahan baku coklat dari Indonesia (dan sebagian dari Ghana dan Papua Nugini), Big A menoleh ke saya dengan bola mata membesar dan tersenyum. Perasaan saya campur aduk, bangga karena coklat dari Indonesia diakui sebagai bahan baku coklat terbaik, tapi agak sedih karena kita hanya ekspor bahan mentahnya saja. Pengolahan awal biji coklat sampai siap pakai menjadi cocoa mass ada di Singapura. Setelah diolah di pabrik Singapura, cocoa mass yang mengandung 53% cocoa dan cocoa butter itu dikirim ke Tasmania untuk diolah lebih lanjut.

Setelah presentasi, kami melihat film tentang sejarah Cadbury dan bagaimana coklat dibuat di dalam pabrik. Film ini sangat menarik bagi saya dan Big A. Saya melongo menyaksikan bagaimana enam silo raksasa di pabrik ini bekerja, dalam seharinya bisa menghasilkan 60 ton cocoa crumb. Silo bekerja seperti blender di dapur kita, mencampur bahan menjadi satu. Cocoa mass dari Singapura (dengan bahan baku coklat dari Indonesia), susu segar dari Tasmania dan gula tebu dari Queensland dicampur menjadi satu di dalam silo, kemudian dievaporasikan menghasilkan milk chocolate crumb, yang merupakan bahan dasar dari bermacam-macam coklat. Setelah menonton film, kami berkesempatan mencicipi produk coklat siap cetak ini, mulai dari dark chocolate, milk chocolate dan white chocolate.

Acara selanjutnya sudah ditunggu-tunggu oleh Big A, yaitu berbelanja di outlet mereka. Harga produk Cadbury di factory outlet ini kira-kira sama dengan coklat yg sedang SALE di supermarketm coklat blok Dairy Milk 200gr harganya $2.50. Kami membeli beberapa coklat untuk oleh-oleh teman. Meskipun semua produk di sini bisa didapat di supermarket, kesannya tetap lain kalau membeli langsung dari pabrik. Selesai berbelanja, kami menenteng dua tas ungu besar menuju halte bis. Sambil menunggu bis yang akan mengantar kami kembali ke Hobart, kami membunuh waktu dengan … makan coklat tentunya 🙂

Little A bergaya di depan pabrik coklat
Menunggu bis di depan halte Cadbury
~ The Emak

Ps: 
Baca juga catatan perjalanan Big A (dalam bahasa Inggris):

Pengalaman Terbang dengan Jetstar

Si Ayah di bandara Hobart, Tasmania
Di Australia, siapa yang nggak kenal Jetstar? Maskapai anak perusahaan Qantas ini menjadi pilihan utama orang-orang Aussie untuk penerbangan murah, baik domestik maupun internasional. Popularitas Jetstar di Australia seperti Air Asia untuk kawasan Asia.
Kami sendiri sudah beberapa kali naik Jetstar. Semua tiket Jetstar saya pesan langsung dari website mereka. Saya senang dengan website Jetstar yang gampang dipakai ini. Untuk memesan tiket tidak harus memasukkan detil macam-macam, cukup nama, tanggal lahir dan kontak email dan telpon. Dengan mudah, saya bisa membelikan tiket untuk keluarga saya, termasuk untuk Ayah, Ibu, Mertua dan Adik-adik saya di Indonesia. Jadi travel agen gratisan ceritanya 🙂 Pembayaran bisa menggunakan kartu kredit atau transfer bank (khusus bank Australia dan New Zealand).
Jetstar melayani rute domestik yang menghubungkan kota-kota di Australia dan penerbangan internasional di antaranya ke Indonesia, Singapura, Selandia Baru, Fiji, Jepang dan Hawai. Di Indonesia, Jetstar terbang dari Denpasar ke Perth, Darwin, Melbourne dan Sydney. Ada juga rute langsung dari Jakarta ke Perth.
Untuk rute domestik dengan Jetstar, kami pernah terbang dari Sydney ke Melbourne (Avalon) pp dan dari Sydney ke Hobart. Waktu itu (2010), tiket Sydney ke Melbourne ‘hanya’ AU$39 sekali jalan. Tiket Sydney – Hobart (2011) AU$ 69 sekali jalan. Saat ini, saya juga sudah membeli tiket untuk liburan bulan Juni 2012 nanti, Sydney – Darwin AU$ 119 sekali jalan.
Untuk rute internasional, kami pernah terbang dengan Jetstar dari Melbourne ke Queenstown, New Zealand (2011) dengan tiket seharga AU$ 99 per orang sekali jalan. Tahun 2009, saya membelikan tiket untuk Ayah Ibu Mertua yang terbang dari Denpasar ke Sydney via Darwin, US$ 199 per orang sekali jalan. Tiket ini lumayan murah, tapi kurang nyaman karena harus transit di Darwin jam 3 pagi (!). Saya tidak menyarankan rute Denpasar – Sydney via Darwin, kecuali untuk yang memang ingin jalan-jalan di Darwin. Rute langsung Denpasar – Sydney kadang-kadang ada yang murah kok. Tahun 2010, saya membelikan tiket penerbangan langsung Denpasar – Sydney untuk Ayah, Ibu dan Adik seharga US$ 199 per orang sekali jalan. Untuk pulang ke Indonesia Juni 2012 nanti, saya juga sudah membeli tiket Darwin – Denpasar seharga AU$ 99 per orang sekali jalan. Memang sengaja beli tiket dari Darwin karena kami memang pengen jalan-jalan ke Darwin dulu.
Semua harga yang saya sebutkan di atas adalah harga promosi, karena saya yang menganut paham ngiritisme ogah membeli tiket pesawat dengan harga standar. Kalau bukan tiket SALE, tarif Jetstar ini mendekati tarif Garuda. Jelas mending naik Garuda kalau harganya sama (bukannya nasionalis, tapi lidah ini telanjur fanatik dengan masakan Indonesia). Saya juga biasa beli tiket jauh-jauh hari. Perencanaan liburan biasanya sudah dimulai minimal 9 bulan sebelumnya. Tips untuk mendapatkan tiket murah dari Jetstar adalah berlangganan newsletter mereka. Masuklah ke website Jetstar dan daftarkan alamat email. Cara lain untuk mendapatkan tiket murah adalah mengintip website mereka setiap Jumat sore mulai pukul 4 AEST (12 WIB), ketika mereka menggelar Friday Frenzy SALE.
Seperti layaknya penerbangan murah lainnya, harga yang saya sebutkan di atas adalah harga dasar, belum termasuk bagasi, makan/minum, pesan tempat duduk dan fee kalau bayar pakai kartu kredit. Biaya tambahan kecil-kecil ini harus kita waspadai karena biasanya harga jadi membengkak. Jangan sampai harga total nanti sama dengan harga pesawat normal. Bagasi tambahan seberat 20 kg harganya sekitar AU$16 untuk domestik dan AU$18 untuk internasional. Kalau liburan, biasanya kami berempat hanya beli 2 bagasi tambahan. Itu saja barang bawaaan kami nggak sampai 40 kg. 
Memesan tempat duduk, baik biasa maupun tempat duduk khusus juga dikenakan biaya tambahan. Pesan tempat duduk ini tidak wajib karena toh semua pasti akan dapat tempat duduk. Tapi bagi saya, opsi ini wajib karena nggak lucu kalau nanti tempat duduk kami berpencar-pencar. Biaya pesan kursi reguler adalah $4 per orang. Kalau urutan kursinya 3-3, saya akan duduk bertiga dengan the precils, sementara Si Ayah duduk di belakang kami, di kursi dekat isle. Big A selalu memilih duduk dekat jendela, Little A di tengah, dan saya di dekat isle. Ada satu lagi biaya tambahan yang mungkin tidak terduga: fee untuk pembayaran dengan kartu kredit sebesar AU$ 7 per booking. Saya sebal sekali dengan biaya yang sebenarnya kecil ini. Dua tahun sebelumnya, Jetstar tidak membebani biaya tambahan untuk pembayaran dengan kartu kredit. Tapi sejak mereka meluncurkan kartu kredit khusus, biaya tambahan ini dikenakan, kecuali tentu saja yang membayar dengan kartu kredit khusus dari Jetstar. Untuk menghindari small fee ini saya membayar dengan transfer bank (gratis). Sayangnya, transfer bank hanya bisa dilakukan dari rekening bank di Australia dan New Zealand.
Cek In
Kalau ada satu hal yang tidak saya sukai dari Jetstar adalah urusan cek in di bandara Sydney. Sudah dua kali kami mengalami kejadian yang nggak mengenakkan. Karena membawa tas yang ditaruh di bagasi, kami harus antri cek in di konter. Kami datang pagi-pagi benar ke terminal domestik, tapi antrian sudah seperti ular naga panjangnya. Hanya ada beberapa konter yang buka melayani penumpang. Saya tidak suka dengan sistem antrian mereka yang hanya menyediakan satu jalur antrian panjang. Tidak ada jalur khusus untuk yang sudah cek in online dan mencetak boarding pass sendiri, seperti di Emirates atau Qantas. Jadi sebenarnya percuma juga cek in online kalau antriannya sama dengan yang belum cek in online. Kecuali bagi mereka yang tidak membawa tas untuk bagasi. Penumpang tipe ini bisa langsung melenggang bebas kalau sudah cek in online dan mencetak boarding pass sendiri. Di terminal bandara ada beberapa mesin self-service check in untuk mencetak boarding pass.
Ketika waktu boarding sudah dekat, Jetstar akan membuka konter khusus untuk melayani penumpang yang belum cek in di antrian normal. Pembukaan konter ini membuat huru-hara dan menyusahkan bagi mereka yang sudah terjebak di tengah antrian normal. Untuk keluar antrian harus menerobos orang-orang lain dan belum tentu bisa mendapat antrian yang lebih pendek di konter khusus. Lebih repot lagi kalau membawa dua precils 😐 Sistem antrian seperti ini kurang adil karena yang antri lebih dulu belum tentu dilayani terlebih dahulu. Mungkin lebih baik cek in mendekati waktu boarding agar langsung antri di konter khusus, tapi dengan resiko konter keburu tutup.
Untungnya cek in di bandara yang kecil tidak terlalu merepotkan. Kami pernah lancar jaya cek in di bandara kecil Avalon, satu jam bermobil dari Melbourne. Untuk penerbangan internasional ke New Zealand, cek in kami di bandara internasional Melbourne juga tidak perlu antri panjang. Ketika saya tanyakan pengalaman Adik dan Ibu Mertua saya yang cek in di Denpasar, mereka mengatakan pelayanan cek in Jetstar di sana baik-baik saja. Biasanya di Denpasar, kita bakalan cek in bareng bule-bule miskin (backpackers) yang membawa papan selancar 🙂

Mesin pencetak boarding pass
Little A antri cek in di bandara Sydney
Pengalaman Terbang
Menurut kami, naik Jetstar cukup nyaman. Di penerbangan domestik, urutan kursinya 3-3. Kursinya dari kulit, cukup nyaman dan cukup lebar. Jarak antara kursi dengan kursi di depannya juga lumayan lebar, cukuplah untuk orang Asia. Memang kalau bule atau yang badannya tinggi besar akan lumayan tersiksa duduk di kursi Jetstar ini, lututnya bisa beradu dengan kursi depannya. Kalau melihat bule-bule merana ini, saya begitu bersyukur dikarunia tubuh pendek 🙂 Yang serius ingin melihat ukuran kursi-kursi pesawat, sila cek website Seat Guru.
Little A yang sudah di atas dua tahun memperoleh kursi sendiri. Sayangnya di penerbangan murah seperti Jetstar ini, anak usia di atas dua tahun tetap harus bayar penuh seperti tarif dewasa, tidak ada diskon sama sekali. Potongan harga biasanya ada untuk penerbangan internasional. Ketika membeli tiket pesawat ke New Zealand, tarif untuk The Precils hanya separuhnya. Begitu juga ketika saya membeli tiket dari Darwin ke Denpasar anak-anak ‘hanya’ bayar AU$ 49, sementara dewasa AU$ 99. Ternyata setelah saya cek, diskonnya adalah potongan tarif pajak, sementara tarif aslinya sama dengan orang dewasa.
Biasanya kursi Little A saya ganjal dengan selimut fluffynya agar sedikit lebih tinggi dan lebih nyaman. Little A juga tidak rewel ketika dipakaikan sabuk pengaman. Begitu mengudara dan tanda sabuk pengaman boleh dilepas, biasanya Little A saya rebahkan di kepala saya agar bisa tidur dengan nyaman. Ketika lepas landas, saya pakaikan ear muff khusus untuk anak-anak (merk Peltor) untuk meredam suara bising. Ear muff ini tidak bisa meredakan sakit telinga akibat perbedaan tekanan, namun cukup membantu meredam suara bising. Dengan ear muff ini, Little A tetap bisa mendengar suara normal di sekelilingnya.

Karena ini penerbangan murah, makanan dan minuman di dalam pesawat harus kita usahakan sendiri. Kalau mau repot dan ngirit, kita boleh kok membawa makanan ke dalam pesawat. Waktu itu kami membawa muffin dan roti yang kami beli ketika menunggu di bandara. Sampai di atas pesawat, kami tinggal membeli jus seharga AU$ 3. Makanan dan minuman yang dijual Jetstar ini harganya normal, seperti layaknya harga makanan di darat, tentu dengan standar Australia. Ketika naik Jetstar dari Sydney ke Denpasar, adik saya, Dila membeli Pop Mie yang harganya Rp 50.000 😀 Pembelian makanan di pesawat ini bisa dibayar dengan uang cash atau kartu kredit, biasanya dengan mata uang menurut negara asal dan negara tujuan. Makanan yang dijual tidak banyak ragamnya dan tidak membuat saya berselera ketika membaca menunya: sandwich, spaghetti, mie instant dan kue-kue. Saya sih menyarankan untuk makan serius dulu sebelum naik Jetstar dan tidur manis saja selama di pesawat.

Pelayanan kru Jetstar standar dan profesional, sesuai fungsi mereka. Kalau dibandingkan dengan kru dari Asia, jelas kalah ramah. Seragam mereka juga nggak neko-neko dan make up mereka saya perhatikan tidak sampai setebal tembok cina 🙂

Pengalaman terbang internasional saya dengan Jetstar hanya short haul (3 jam) dari Melbourne ke New Zealand. Pesawat yang digunakan juga pesawat kecil seperti penerbangan domestik, dengan formasi kursi 3-3. Tidak ada yang istimewa dalam penerbangan ke New Zealand ini. Kami berempat tertidur di pesawat karena kecapekan dan baru bangun ketika akan mendarat. Kami bahkan tidak sempat membeli makan atau minum apapun di pesawat.
Untuk pengalaman terbang internasional yang lebih otentik, saya menanyakan ke Adik dan Ibu Mertua. Untuk penerbangan dari Denpasar ke Sydney mereka menggunakan pesawat besar dengan formasi kursi 3 – 4 – 3. Adik saya, Dila, suka dengan kursi Jetstar yang menurutnya lebih nyaman daripada kursi Air Asia. Sandaran kursi Jetstar, masih menurut Dila, bisa menahan tubuh kita ketika tidur dengan posisi miring. Kalau disuruh memilih dua penerbangan dengan harga yang sama, Dila lebih memilih naik Jetstar daripada Air Asia, dengan alasan kursinya lebih nyaman. Begitu juga Ibu jawaban Ibu Mertua ketika saya tanyakan hal yang sama, lebih memilih Jetstar daripada Air Asia dengan alasan lebih nyaman transit di Denpasar daripada di Kuala Lumpur.

Little A sudah siap dengan sabuk pengaman dan ear-muff
Big A menulis jurnal di kabin pesawat
Saya belum pernah naik Air Asia, jadi tidak bisa membandingkan keduanya. Tapi harus diakui, Jetstar sudah banyak membantu saya merencanakan liburan dengan biaya murah. Selamat berburu tiket pesawat 🙂

~ The Emak

Catatan: Terima kasih untuk adik saya Dila Maretihaq Sari dan Ibu saya Setia Rini yang sudah berbagi pengalamannya naik Jetstar dari Denpasar ke Sydney pp. 

Baca juga: Terbang Ke Singapura dengan Jetstar