[Penginapan] Hotel Parkview St Kilda, Melbourne

Pemandangan dari jendela kamar hotel
Hotel di daerah St Kilda ini cukup nyaman untuk melepas penat setelah semalaman tergoncang ombak di kapal dan seharian menerobos macetnya Melbourne.
Setelah menyeberang dari Tasmania, kami punya waktu 24 jam di Melbourne sebelum melanjutkan perjalanan liburan musim panas ke Queenstown, Selandia Baru. Untuk penginapan kali ini saya sengaja memilih hotel yang resepsionisnya buka 24 jam karena kami harus cek out pagi-pagi mengejar pesawat ke New Zealand. Saya memilih menginap di daerah St Kilda karena ingin membawa The Precils mengunjungi Luna Park. Lagipula, kami sudah pernah menginap di apartemen tengah kota dan jalan-jalan di pusat kota Melbourne. Daerah St Kilda ini bisa menjadi alternatif menginap untuk yang ingin lebih dekat dengan kawasan pantai di Melbourne.
Pilihan jatuh pada Parkview Hotel di St Kilda Rd. Tarif per malamnya AU$ 179 untuk 2 dewasa dan 2 anak-anak, tidak termasuk makan pagi. Untuk parkir mobil seharian, kami dikenakan tambahan AU$ 10. Saya memesan hotel ini dari website Quickbeds yang tidak mengenakan biaya booking seperti di Wotif 🙂 Kami mendapat kamar dengan 2 double bed, dengan pemandangan lapangan kriket. Desain hotel yang baru saja direnovasi ini cukup elegan. Di dalam kamar ada TV layar datar yang menempel di dinding dan meja serbaguna yang nyaman untuk menulis maupun untuk makan. Di belakang partisi ada kulkas mini, lemari baju, kaca rias dan tempat untuk membuat teh dan kopi, lengkap dengan ketel listriknya. Yang saya nggak suka, kulkas mininya dikunci oleh pihak hotel. Kalau kita ingin memakai mini bar tersebut, harus lapor dan minta kunci ke resepsionis. Hal ini tidak kami lakukan karena sudah telanjur capek begitu sampai di hotel.
Kami cek in sore hari, setelah main-main ke rumah teman lama di daerah Brunswick. Ternyata, menyetir mobil di Melbourne, sama nggak enaknya dengan di Sydney, ada beberapa titik macet yang membuat perjalanan terhambat. Mungkin karena ini akhir pekan. Lebih nggak enaknya menyetir di Melbourne, di luar batas kota, kami harus berbagi jalur dengan trem. Rasanya kok serem berada di belakang trem dua muka. Kalau trem berhenti untuk menurunkan penumpang, mobil juga harus berhenti karena tidak ada jalur untuk mendahului. Jadi harus cukup sabar kalau mengendarai mobil sendiri di Melbourne. Kalau cuma jalan-jalan di pusat kota, mungkin lebih enak naik trem (terutama yang gratis), seperti yang kami lakukan saat liburan ke Melbourne tahun lalu.
Begitu cek in, Si Ayah yang capek menyetir (dan kemungkinan masih kesal dengan pengalaman naik feri), langsung tertidur di ranjang hotel yang empuk. The Precils, seperti biasa, langsung mencoba-coba chanel TV (maklum, di rumah kami tidak ada TV). Kami keluar menjelang maghrib untuk jalan-jalan di pantai Brighton, sekitar 20 menit berkendara dari hotel, kalau tidak nyasar :p Di pantai Brighton, saya ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri bathing box warna-warni yang fotonya biasa saya lihat di kartu pos. Setelah bertanya ke orang di pinggir jalan karena kami nyasar, akhirnya sampai juga di pantai yang menjadi favorit orang lokal ini. Angin bertiup cukup kencang ketika kami datang, sehingga kami hanya sebentar main-main di sana. Yang penting Si Ayah sudah memotret dan bisa dipamerkan kalau pernah melihat salah satu bangunan ikon Australia ini.
Kami bisa tidur nyenyak di hotel ini, jauh lebih nyaman daripada tidur di kabin kapal :p Esoknya kami harus cek out pagi-pagi dan bergegas menuju Bandara Internasional Melbourne untuk mengejar pesawat ke Selandia Baru.

Little A penasaran dengan Bible 🙂
Bathing Boxes warna-warni di pantai Brighton

~ The Emak

Menyeberangi Selat Bass dengan Spirit of Tasmania

Feri Spirit of Tasmania berlabuh di dermaga Melbourne
Mungkin karena nenek moyang kami bukan orang pelaut, pengalaman naik feri dari Tasmania ke Melbourne ini tidak seindah yang saya bayangkan.
Kisah ini berawal dari ide The Emak yang selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Korbannya tentu saja The Precils, dan terutama Si Ayah. Kali ini The Emak ingin mencoba naik kapal yang kalau dilihat dari luar mirip kapal pesiar itu.
Ketika merencanakan perjalanan ke Tasmania, kami belum tahu mau naik apa untuk sampai ke Melbourne. Waktu itu kami sudah membeli tiket (murah) dari Melbourne ke Queenstown, Selandia Baru. Ada dua pilihan moda transport dari Tasmania ke Melbourne: naik pesawat dari bandara Launceston atau naik feri dari pelabuhan Devonport. Ketika menghitung biaya yang harus kami keluarkan, kira-kira sama antara membeli 4 tiket pesawat plus hotel semalam dengan tarif 4 penumpang feri plus 1 mobil. Saya sih lebih senang mencoba hal yang baru, kapan lagi bisa merasakan naik Spirit of Tasmania? Si Ayah yang ragu-ragu pun akhirnya setuju dengan ide bermalam di tengah selat Bass.
Kami memesan satu kabin dengan empat berth (ranjang susun), dengan jendela (porthole) untuk mengintip pemandangan di luar. Total biaya untuk dua dewasa, 2 anak-anak plus satu mobil adalah AU$ 679. Tarif ini berubah tergantung high season/low season. Pemesanan tiket bisa langsung melalui website Spirit of Tasmania.
Melihat foto-foto kapal ini di websitenya, The Precils, terutama Big A sangat excited untuk segera mencoba berlayar. Saya juga membayangkan perjalanan ini seperti naik kapal pesiar 🙂 Ketika melihat-lihat review tentang Spirit of Tasmania di Trip Advisor, hati saya sedikit menciut karena ada yang bilang perjalanan ini hanya seperti naik feri yang besar, sama sekali bukan seperti berpesiar dengan kapal mewah. Tambahan lagi, selat Bass yang menghubungkan Tasmania dengan mainland Australia terkenal sebagai perairan yang cukup ganas. Uh-oh…
Setelah makan siang di Cradle Mountain, kami menuju pelabuhan Devonport yang terletak di bagian utara Tasmania. Feri akan berangkat pukul 7.30 malam, sehingga kami masih punya banyak waktu untuk mencapai pelabuhan. Cradle Mountain – Devonport bisa ditempuh dalam satu setengah jam, dengan rute yang mudah dinavigasi. Begitu memasuki kota Devonport, kami banyak menemukan rambu petunjuk jalan bergambar Spirit of Tasmania. Dengan mudah, kami bisa menemukan jalan masuk menuju kapal.
Waktu baru menunjukkan pukul tiga sore ketika mobil kami sampai di titik antrian kendaraan yang mau masuk ke feri. Masih ada empat setengah jam lagi sebelum kapal berangkat, tapi antrian kendaraan menuju kapal sudah mengular. Dan masalah berawal dari sini.
Kami yang belum pernah punya pengalaman naik feri ini mengikuti saja antrian mobil di depan kami. Pelan-pelan, mobil masuk melewati loket untuk mendapatkan tiket dan kunci kabin. Big A sangat bersemangat menerima kartu plastik sebagai pintu kabin, dan mulai mengamat-amati peta kapal yang diberikan bersama kunci. Dari loket, kami mengikuti antrian mobil menuju pemeriksaan keamanan, sebelum bisa masuk ke kapal.
Pemeriksaan keamanan dilakukan di pelataran parkir pelabuhan. Antriannya lumayan panjang karena petugas harus memeriksa dengan detil barang bawaan di mobil penumpang. Mobil di depan kami membawa beberapa jerigen minyak, sehingga harus ‘dititipkan’ ke bagasi kapal. Oleh petugas, mobil kami diperiksa bagasi dan mesinnya. Penumpang tidak perlu turun saat pemeriksaan. Selesai pemeriksaan, kami yang mengira bisa langsung masuk kapal, harus gigit jari karena ternyata masih harus menunggu di pelataran parkir yang panas ini sampai berjam-jam kemudian.
Menunggu, adalah pekerjaan yang membosankan. Tapi menunggu di lapangan parkir yang panas membara tanpa kepastian kapan bisa keluar dari tempat tersebut adalah siksaan tanpa ampun. The Precils mulai gelisah dan wajah masam Si Ayah tidak bisa disembunyikan lagi. Ternyata gerbang baru dibuka setengah jam sebelum jadwal keberangkatan kapal. Kalau tahu akan seperti ini, tentu kami tidak perlu repot-repot antri dari awal. 
Little A asyik main iPod, Big A lihat pemandangan, Si Ayah menonton film dengan muka masam :p
Little A senang main di bunk bed
Beres memarkir mobil di garasi kapal yang sempit, kami menuju kabin. The Precils kembali gembira mendapati dua set bunk bed di kabin kecil kami. Ada dua tangga yang bisa dipindah-pindah untuk naik ke bed yang atas. Little A berkali-kali naik turun tangga ini. Kabin yang kami tempati memang kecil, terdiri dari 4 single bed, satu meja mini dan kaca yang menempel di dinding, kamar mandi dengan pancuran dan toilet. Seperti di hotel, handuk dan sabun mandi disediakan untuk tiap penumpang. Dari jendela kabin yang tidak bisa dibuka, kami bisa mengintip kesibukan pelabuhan Devonport sebelum kapal berangkat.
Muka masam Si Ayah tidak berubah sepanjang perjalanan. Dia yang telanjur marah dan capek karena menunggu berjam-jam di pelataran parkir yang panas, menyibukkan dan menghibur dirinya dengan menonton film di laptop. Si Ayah bahkan tidak berminat sama sekali memotret suasana pelabuhan Devonport ketika feri ini mengangkat sauh.
Big A yang tetap semangat, mengajak saya melihat-lihat kapal. Kami berkeliling melihat restoran, toko suvenir, tempat bermain anak-anak dan juga ruangan game dengan koin. Big A kecewa karena sebenarnya ingin main game koin ini tapi larang karena terlalu mahal. Di sebelah ruang game di lantai paling atas ada ruang makan yang dipenuhi keluarga yang menikmati bekal mereka. Kami yang tidak mempersiapkan bekal makan, terpaksa membeli di restoran prasmanan. Untuk sekeluarga, saya hanya membeli satu piring kecil seharga AU$16,50 dan satu piring untuk anak-anak seharga AU$10. Kita boleh mengisi sendiri piring-piring ini dengan makanan sampai penuh. Kami cuma makan fish&chips, pasta vegetarian dan sayur kukus. Si Ayah yang masih belum bisa tersenyum berkata bahwa ini makanan paling tidak enak yang pernah dia rasakan.
Selesai makan, Little A masih ingin main-main di tempat bermain, tapi saya sudah merasa pusing dan ingin istirahat. Rasanya kapal bergoyang-goyang dihantam ombak besar. Untungnya kami tetap bisa tidur nyenyak di kabin dan lulus dari ujian semalam di tengah lautan.
Saya bangun pukul lima pagi, dan melihat tanda-tanda kapal akan segera berlabuh. Saya menyempatkan mandi dengan air hangat di pancuran. Lumayan juga, rasanya segar setelah mandi. Si Ayah juga mandi untuk melarutkan kekesalan kemarin :p Setengah jam sebelum berlabuh, pengumuman dari kapten kapal bergema di dalam kabin. Penumpang dipersilahkan cek out dengan memberikan kunci kabin ke resepsionis, dan menuju mobil masing-masing sesuai dengan panggilan.
Sambil menunggu giliran kami, Si Ayah dan Big A memotret suasana kapal dan pelabuhan Melbourne dari dalam kapal. Rasanya senang sekali melihat daratan dan keluar dari kapal ini. Sekitar jam enam pagi, kami sudah berada kembali di daratan Australia, dan siap-siap untuk menjelajah Melbourne dalam 24 jam ke depan.

Melbourne pagi hari, difoto dari dalam kapal
Antri keluar dari kapal
Alhamdulillah sampai daratan lagi 😀
Dari pengalaman kami, harus saya akui kalau Si Ayah benar: tarif naik feri Spirit of Tasmania ini terlalu mahal untuk pengalaman yang kami dapatkan. Dalam situasi yang sama, kalau disuruh memilih, kami akan naik pesawat saja dan menghabiskan semalam lagi di kamar hotel yang nyaman di Cradle Mountain 🙂
Berikut adalah tips yang bisa saya berikan untuk perjalanan dengan Spirit of Tasmania:
1. Hanya naik Spirit of Tasmania kalau nenek moyang kamu memang pelaut :p
2. Hanya naik Spirit of Tasmania kalau kamu membawa barang-barang yang tidak mungkin cukup atau tidak diperbolehkan di bagasi pesawat.
3. Kalau tetap nekat mau naik Spirit of Tasmania, jangan datang terlalu awal, pastikan ke pelabuhan satu jam saja sebelum berangkat. 
~ The Emak

Baca juga catatan perjalanan Big A (dalam bahasa Inggris):

Berpetualang di Cradle Mountain Tasmania

Seekor Kanguru melintas di gerbang Taman Nasional Cradle Mountain
Taman Nasional merupakan salah satu tujuan wisata yang populer di Australia. Salah satu taman nasional terbaik mereka adalah Cradle Mountain – Lake St Clair yang terletak di Tasmania. Di Taman Nasional, selain menikmati keindahan alamnya yang masih perawan, kita juga bisa bermain-main dengan margasatwa khas Australia, langsung di habitat aslinya.
Saya dibuat kagum oleh Dinas Pariwisata dan Konservasi Australia yang pandai merawat dan mempromosikan Taman Nasional mereka. Sebelum ke Tasmania, saya sempat was-was membayangkan akan berpetualang ke Taman Nasional, apalagi membawa dua precils. Jangan-jangan nanti jalan menuju ke sana tidak bagus dan sulit dijangkau. Jangan-jangan nanti fasilitas di sana, terutama toilet, minim. Namun kekhawatiran itu langsung lenyap begitu memasuki kawasan Cradle Mountain. Jalan aspal untuk dua jalur terbentang mulus sampai di gerbang Taman Nasional. Rambu lalu lintas yang jelas dijamin tidak membuat orang tersesat. Pilihan penginapan dari yang mahal, sedang sampai yang hemat ada semua. Di dekat gerbang masuk juga ada satu kompleks bangunan yang terdiri dari Visitor Centre, kafe, toilet umum, pom bensin dan tempat parkir bis wisata atau  kendaraan pengunjung. Tempat parkir helikopter juga tidak jauh dari kompleks ini 🙂
Kami menginap semalam di Cradle Mountain Chateau, hotel yang fasilitasnya lumayan bagus dengan harga yang terjangkau di kantong kami. Tiba di sana sekitar jam 6 sore, kami masih punya kesempatan untuk menempuh satu trek. Memang atraksi utama di Cradle Mountain ini adalah trekking atau di Australia populer disebut bushwalking. Ada banyak jalur trekking yang bisa dicoba. Kami mendapatkan peta dari hotel yang mendaftar semua trek yang tersedia, berikut nama jalur, tingkat kesulitan dan perkiraan waktu tempuh. Daftar ini juga bisa diperoleh online di website Taman Nasional Tasmania di sini. Resepsionis hotel menyarankan kami mencoba Enchanted Walk, trek sepanjang 1 km yang juga bisa ditempuh oleh Little A. Mereka juga membekali kami dengan dua lampu senter besar sebagai penerang ketika hari sudah gelap.
Trek Enchanted Walk dimulai di depan Cradle Mountain Lodge, salah satu akomodasi mewah di sini. Karena trek ini belum masuk ke wilayah Taman Nasional, kami belum membutuhkan karcis masuk (pass). Papan-papan kayu digunakan sebagai trek. Belum sampai sepuluh langkah, kami dikejutkan oleh seekor wallaby yang duduk manis di tengah jalan. Big A tampak terkejut, sementara Little A (yang lebih pemberani) cuek saja. Si wallaby melihat kami dengan tampang heran, kemudian pergi dengan lompatannya yang khas. Kami melanjutkan berjalan sambil mengamati vegetasi yang ada di sekitar. Little A lebih sabar dan tertarik untuk melihat bunga dan tanaman yang tumbuh, juga serangga-serangga kecil yang muncul. Sementara Big A cemas, takut keburu gelap sebelum kami menyelesaikan trek ini.
Setelah lima belas menit di padang terbuka yang dihiasi semak-semak khas, kami mulai memasuki hutan dengan pohon-pohon tinggi dan rapat. Kami juga menyeberangi sungai melewati jembatan kayu. Maghrib datang ketika kami menyeberangi jembatan. Karena sudah gelap, agak sulit juga menikmati suasana sekitar. Big A tambah takut dan kami memutuskan mempercepat langkah. Saya menggendong Ayesha sambil melangkah cepat menyusuri papan-papan kayu. Ketika ada suara gemerisik di samping kami, Si Ayah menyorotkan lampu senternya ke sumber suara. Kejutan! Ternyata ada wombat, marsupial khas Australia yang mengikuti langkah kami. Kami mempercepat langkah, setengah berlari. Saya lega ketika menemukan ujung trek Enchanted Walk ini, kembali ke lokasi Cradle Mountain Lodge. Ada beberapa orang yang baru saja memulai trekking mereka dan tersenyum pada kami. Mungkin mereka malah sengaja mulai malam hari untuk berburu hewan-hewan nocturnal yang baru muncul di malam hari, seperti Wombat atau Possum.Setelah berhenti dan mengatur napas, saya tak sengaja menyorotkan lampu senter ke sebelah kiri kaki saya. Dan… ternyata si Wombat masih berdiri manis di situ, mengikuti langkah saya selama ini. Gila, pengalaman dikejar Wombat ini benar-benar tak bisa kami lupakan.

Kami memerlukan waktu 1 jam untuk menyelesaikan trekking Enchanted Walk ini. Padahal di brosur dan peta ditulis 20 menit saja 😀 Maklumlah, jalannya bareng The Precils. Dalam perjalanan pulang kembali ke hotel, kami menjumpai bis turis yang berjalan pelan-pelan sambil menyorot semak-semak di sekitarnya dengan lampu senter besar. Mungkin ini safari malam untuk melihat hewan-hewan nocturnal. Dari cahaya senter, tampak beberapa wombat, possum dan hewan lain berlari menyelamatkan diri.

Big A dan Little A berpose sebelum memulai Enchanted Walk
Senja di Enchanted Walk
Pencil Pine River
Pagi harinya, setelah beres-beres dan cek out dari hotel, kami langsung menuju Visitor Centre untuk membeli tiket masuk Taman Nasional. Tarif hariannya adalah AU$ 16,50 untuk dewasa dan AU$ 8,25 untuk anak-anak. Tiket ini sudah termasuk tiket shuttle bus yang bisa mengantar kita dari Visitor Centre ke tempat parkir di tepi Dove Lake. Petugas menyarankan kami naik bis ini karena jalan di Taman Nasional menuju Dove Lake sangat sempit dan berkelok-kelok. Jalan hanya cukup untuk satu kendaraan, sehingga ada yang perlu berhenti kalau dua kendaraan berpapasan. Tadinya kami akan naik bis yang berangkat setiap 20 menit ini. Tapi ternyata ada rombongan turis dari Jepang dalam jumlah banyak yang memenuhi bis. Sehingga kami harus menunggu bis selanjutnya. Si Ayah yang tidak sabar akhirnya memutuskan kami naik mobil saja. 

Jalan menuju Dove Lake masih aman dilalui mobil pribadi asal hati-hati. Beberapa kali kami berhenti dan menepi untuk memberi jalan kendaraan lain yang lewat. Kendaraan yang boleh masuk ke Taman Nasional ini dibatasi tiap harinya. Di gerbang, ada boom-gate yang otomatis menghitung jumlah kendaraan yang masuk, begitu kuota terpenuhi, boom-gate tidak bisa membuka lagi. Dalam perjalanan, kami disuguhi pemandangan indah di kanan-kiri. Ada juga beberapa perhentian yang disarankan, lengkap dengan pilihan trek yang menawan, seperti di Ronny Creek atau Waldheim. Kami lurus saja menuju Dove Lake yang memakan waktu sekitar setengah jam dari visitor centre.

Begitu sampai di tempat parkir, kami langsung disambut pemandangan spektakuler: danau Dove yang jernih dengan latar belakang puncak gunung Cradle. Bentuk Cradle Mountain ini, seperti namanya, tampak seperti ayunan. Di puncaknya, masih terlihat sisa-sisa salju. Dari cerita salah satu fotografer yang sempat ngobrol dengan Si Ayah, sempat ada hujan salju sehari sebelumnya. Dia beruntung sekali bisa mendapatkan shot yang bagus. Ketika kami ke sana, cuaca sangat cerah, langit biru jernih dan matahari bersinar hangat.

Kami main-main cukup lama di mulut danau, sambil mengamati turis-turis Jepang yang lalu lalang dengan suara berisik :p Big A mencari-cari bebatuan kecil yang pipih untuk dia lemparkan ke danau dan menghitung berapa pantulan yang bisa ia lakukan. Little A juga sibuk mencari-cari kerikil yang warnanya pink, untuk dia koleksi 😀 Saya menjaga The Precils sementara Si Ayah sibuk memotret dan mencuri ilmu dari fotografer beneran yang sudah ada di sana sebelum kami datang.

Puas bermain, kami melanjutkan perjalanan menuju Boat Shed, garasi perahu yang fotonya muncul di kartupos, artikel dan brosur tentang Tasmania. Ketika melihat foto boat shed ini pertama kali, saya penasaran ingin melihat langsung. Sebenarnya banyak sekali pilihan jalur trekking yang bisa dilakukan dari sini. Semua jalur trekking, berikut jarak, waktu tempuh dan tingkat kesulitan dipasang di papan di tepi danau. Kita tinggal memilih berdasarkan tingkat kemampuan fisik dan waktu yang kita punya. Turis biasanya akan memilih menyusuri danau melalui Dove Lake Circuit Track, yang bisa ditempuh dalam waktu 2 jam. Kalau berjalan dengan The Precils, waktu tempuh harus dikalikan dua 🙂

Ada satu trek yang sangat terkenal di kalangan bushwalkers di sini, yaitu The Overland Track. Ibaratnya, trek sepanjang 65 km dan bisa ditempuh dalam 6 hari ini adalah perjalanan suci mereka, Seseorang belum pantas dinobatkan sebagai petualang sejati kalau belum pernah mencoba trek yang dimulai di Dove Lake ini dan berakhir di Lake St Clair. Untuk menempuh trek ini, kita harus mendaftar ke Parks & Wildlife Service dan membayar biaya sebesar AU$ 180 untuk dewasa dan AU$144 untuk anak usia di bawah 17 tahun. Info lengkap mengenai The Overland Track bisa dibaca di sini.

Yang ingin melihat pemandangan Cradle Mountain dari atas, bisa menempuh trek menuju Marions Lookout sepanjang 2km, dengan waktu tempuh satu sampai satu setengah jam. Kami sendiri tentu memilih trek yang paling mudah dan paling pendek. Selain karena tidak punya waktu banyak, juga karena ada The Precils yang tidak mungkin jalan terlalu jauh, apalagi kalau jalurnya menanjak. Trek menuju Boat Shed hanya sekitar 600 m, dengan waktu tempuh 10 menit. Dengan The Precils, kami bisa mencapainya dalam 20 menit, hurray :p

Kami duduk-duduk dan main air di dekat Boat Shed, sambil menonton turis-turis Jepang menyantap bekal makan siang mereka. Ketika turis-turis sudah pergi, danau ini menjadi milik kami berempat. Suasana di sana sungguh damai dan tenang. Saya pun berhasil mewujudkan cita-cita saya berfoto dengan latar belakang boat shed seperti di postcard 🙂
Mengabadikan keindahan Dove Lake

Big A menyusuri trek menuju Boat Shed

Keluarga The Precils di depan Boat Shed yang terkenal itu 🙂

~ The Emak

Baca juga catatan perjalanan Big A (dalam bahasa Inggris):

[Penginapan] Cradle Mountain Chateau, Tasmania

Ingin menyatu dengan alam tapi tidak ingin repot mendirikan tenda? Cobalah menginap di salah satu akomodasi di Taman Nasional Cradle Mountain.
Saya ingat suatu malam ketika memesan akomodasi ini via Wotif. Waktu itu kami belum memutuskan mau jalan-jalan ke mana aja di Tasmania. Yang pasti, setelah tiga malam di Hobart, kami punya waktu semalam di tempat lain di Tasmania. Pilihan pertama adalah Launceston, kota terbesar kedua di Tasmania, yang juga terkenal dengan keindahan Cataract Gorge Reserve-nya. Tapi Si Ayah, yang biasanya nggak punya ide apa-apa untuk liburan, kali ini pengen mencoba sesuatu yang berbeda. Menurutnya, lebih mending menjelajah Taman Nasional daripada jalan-jalan ke kota lagi. Saya langsung menyarankan Cradle Mountain, salah satu tujuan utama petualang di Tasmania. Cepat-cepat saya buka wotif untuk mencari akomodasi di Cradle Mountain, sebelum Si Ayah berubah pikiran :p 
Ada beberapa pilihan akomodasi di Cradle Mountain, dari vila mewah sampai akomodasi untuk backpacker di Discovery Holiday Park. Yang paling terkenal dan letaknya paling strategis adalah Cradle Mountain Lodge, tepat di depan Visitor Centre dan dekat dengan gerbang Taman Nasional. Lodge ini juga merupakan tempat mulai trek Enchanted Walk. Sayangnya waktu itu lodge sudah penuh. Untung masih ada pilihan akomodasi lain yang lebih murah, yaitu Cradle Mountain Chateau. Dengan tarif AU$ 163 per malam, kami mendapat kamar Deluxe Spa Room, dengan dua double bed untuk 2 dewasa dan 2 anak-anak. Kami langsung memesan kamar ini tanpa berpikir panjang lagi. Ini salah satu pembelian impulsif yang tidak kami sesali 🙂
Jalan menuju penginapan ini cukup mulus dengan navigasi yang mudah. Banyak rambu-rambu penunjuk arah di jalan. Dibanding penginapan lainnya, Chateau kami letaknya paling luar atau paling jauh dari gerbang Taman Nasional, sekitar lima menit naik mobil atau 20 menit jalan kaki. Setelah melalui perjalanan berkelok menaiki pegunungan dari Launceston ke Cradle Mountain, kami bersyukur melihat gerbang Chateau ini. Pertama kali yang saya lakukan setelah cek in adalah mencari laundry koin untuk mencuci baju dan car seat Little A yang terkena muntahan di jalan. Saya belum pernah sesenang ini ketika menemukan Laundry umum (murah) yang bisa langsung kami pakai. Begitu cucian beres, baru saya bisa menikmati suasana di sekitar Chateau.

Pose standar The Precils begitu melihat TV :p
Pemandangan dari dalam kamar
Trek Rainforest di belakang hotel kami
Begitu membuka jendela, yang terlihat adalah semak belukar dan pohon-pohon khas hutan di Australia. “Ini benar-benar di tengah hutan,” pikir saya. Asyiknya menginap di Cradle Mountain Chateau ini, kita bisa menikmati pemandangan alam liar dan kicauan burung dari kursi empuk di ruangan hangat. Suhu di luar memang cukup dingin, sekitar 16 derajat celcius.
Kami memesan makan malam dari room service. Memangnya mau makan di mana lagi di tengah hutan seperti ini? Pilihannya adalah membawa makanan sendiri, makan di restoran hotel atau memesan dari room sevice dan menikmatinya di dalam kamar. Seperti hotel pada umumnya, kamar kami tidak menyediakan fasilitas memasak, hanya ada kulkas mini, ketel listrik beserta teh,kopi dan coklat. Untungnya harga makanan di hotel ini cukup wajar, AU$ 8-12 satu porsi. Hanya saja ada tambahan AU$ 6 setiap kali pesan.
Ketika menunggu makan malam diantar, kami kedatangan tamu istimewa. Ada satu wallaby yang lompat-lompat dan akhirnya nongkrong manis di depan balkon kamar. Little A (dan saya) langsung heboh dan keluar untuk menyapa si wallaby imut, nggak peduli udara dingin yang langsung menusuk. Selanjutnya ada dua wallaby lagi yang ikut mampir dan bermain-main di depan kamar kami. Cukup lama kawanan wallaby singgah dan diajak ngobrol sama Little A. Pengalaman seru banget bisa melihat binatang khas Australia ini di habitat aslinya, bukan di kebun binatang kota 🙂
Setelah menyelesaikan makan malam, kami masih punya waktu sebelum maghrib untuk main-main di luar, menjajal trek yang banyak tersedia di Cradle Mountain. The Precils yang biasa menjadi anak pantai, kali ini mencoba berpetualang di hutan dan gunung. Di belakang hotel kami ada Rainforest Track, jalan setapak dari kayu yang mengitari hutan dan bisa diselesaikan dalam 20 menit. Si Ayah mencoba trek ini untuk memotret suasana sekitar hotel, The Precils tidak ada yang mau ikut :p Resepsionis hotel ini menyarankan kami mencoba Enchanted Walk, trek sepanjang satu kilometer yang bisa diselesaikan dalam 20 menit (atau satu jam kalau bersama Precils). Berbekal dua lampu senter besar yang dipinjam dari resepsionis, kami memulai petualangan menyusuri Enchanted Walk dari tempat parkir Cradle Mountain Lodge. Pulang dengan kaki lelah karena sempat lari dikejar wombat, kami mandi berendam di bak mandi besar yang juga bisa untuk spa. Sayangnya suara spa-nya berisik sekali ketika kami nyalakan, sehingga kami memilih berendam di air hangat biasa dengan tenang. Malamnya kami tidur nyenyak di ranjang empuk. Pagi berikutnya dengan berat hati kami cek out dan melanjutkan perjalanan.

Rasanya satu malam terlalu singkat untuk berpetualang di Cradle Mountain. Mungkin nanti setelah The Precils beranjak remaja, kami bisa kembali lagi ke sini dan mencoba trek-trek lain yang lebih menantang.

Wallaby, tamu istimewa yang mampir ke penginapan kami
Little A ngajak ngobrol, Si Ayah asyik motret
~ The Emak

Baca juga catatan perjalanan Big A (dalam bahasa Inggris):

[Road Trip] Menjelajah Tasmania

Bekal untuk road trip: peta dan kopi 🙂 Foto oleh Anindito Aditomo
Banyak yang bilang, Tasmania adalah tujuan wisata terbaik di Australia untuk road trip. Pulau kompak di sebelah selatan mainland Australia ini mudah dijelajahi dengan mobil sewaan atau caravan. Dari ujung ke ujung kira-kira hanya perlu waktu tiga jam bermobil.
Kami berlibur ke Tasmania musim panas yang lalu. Tadinya, Si Ayah mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Hobart. Setelah kami pikir-pikir, mengapa tidak sekalian saja menjelajah wilayah Tasmania yang lain? Akhirnya setelah Si Ayah selesai mengikuti konferensi di Hobart, kami menyewa mobil dan memulai petualangan di pulau yang indah ini. Sayangnya, kami hanya punya waktu dua hari, yang kami habiskan dengan mengunjungi Cradle Mountain, dengan singgah sebentar di Launceston. Hari berikutnya dari Cradle Mountain kami menuju pelabuhan Devonport untuk naik feri Spirit of Tasmania menyeberangi Selat Bass menuju Melbourne. Total perjalanan kami sekitar 450 km.
Hobart – Launceston – Cradle Mountain – Devonport. Screenshot dari http://maps.google.com.au/
Setelah tiga hari jalan-jalan di Hobart, kami siap untuk menjelajah bagian Tasmania lainnya. Hari keempat, kami cek out dari Hotel Grand Chancellor pagi-pagi. Saya tidak ingin ‘terlambat’ sampai di Cradle Mountain karena itu wilayah hutan dan kami juga tidak tahu jalan. Lagipula, begitu senja tiba ada banyak binatang-binatang kecil yang terbang dan sering menabrak kaca mobil. Semakin seram saja dengarnya.
Sementara saya beres-beres, Si Ayah mengambil mobil sewaan dari kantor Avis. Kami memilih sewa mobil di Avis karena hanya perusahaan ini yang mau menyewakan mobil dari Hobart dan boleh dikembalikan di Melbourne. Drama pagi hari dimulai ketika saya dapat kabar dari Si Ayah bahwa mobil sewaan belum siap. Si Ayah harus menunggu mobilnya diangkut dari kantor di bandara Hobart ke kantor yang di kota. Karena kesalahan mereka ini, kami mendapat upgrade mobil. Tadinya kami pesan mobil kompak Hyundai Getz, oleh Avis kami diberi Mitsubishi Lancer warna silver yang lebih besar dan nyaman. Harga sewa mobil ini untuk tiga hari adalah AU$ 182,39, termasuk sewa baby car seat untuk Little A, tapi belum termasuk asuransi tambahan (excess reduction). Jadi kami jalan hanya dengan asuransi standar saja, dengan berharap moga-moga tidak terjadi apa-apa di jalan.

Drama kedua, ketika mobil sudah siap, Little A menolak untuk masuk. Alasan Little A adalah: 1) I don’t like the color 2) I just want to walk. Kami nggak tahu apa alasan Little A sebenarnya. Tapi sepertinya dia terlalu senang tinggal di hotel dan tidak mau pulang 🙂 Selain itu, dia tidak mau naik mobil yang bukan miliknya, yang berwarna biru. Agak lama membujuk Little A supaya mau masuk ke mobil. Saya sudah deg-deg-an karena jadwal akan molor. Si Ayah berusaha menjelaskan rencana perjalanan kami dengan peta yang diberikan Avis. Little A tetap ngeyel mau pulang ke Sydney dengan berjalan kaki, duh! Akhirnya setelah dibujuk dan setengah dipaksa, kami berhasil berangkat dari Hobart jam 11. Perjalanan menuju Launceston memakan waktu 2,5 jam melalui Midland Highway.

Si Ayah menjelaskan rencana perjalanan ke Little A yang ngambek
Perjalanan dari Hobart menuju Launceston sangat lancar. Jarak dari Hobart ke Launceston sekitar 200 km. Di sepanjang perjalanan kami melihat beberapa peternakan dengan ratusan biri-biri yang sedang asyik menikmati rumput hijau. Di antara Hobart dan Launceston sebenarnya ada desa bersejarah, Ross, yang layak untuk dikunjungi kalau kita punya waktu luang. Desa Ross ini mempunyai bangunan-bangunan kuno peninggalan masa kolonial, salah satunya yang terkenal adalah jembatan tua yang dibangun tahun 1836. Jembatan Ross yang fotonya banyak muncul di buku atau website tentang Tasmania ini tertua nomor tiga di Australia. Kami melewati saja desa Ross ini karena mengejar waktu dan mumpung Little A masih terlelap di mobil.
Launceston adalah kota terbesar kedua di Tasmania setelah Hobart. Kota ini terkenal sebagai daerah penghasil wine. Penyuka wine tentu tidak akan melewatkan Launceston yang juga mempunyai akses penerbangan langsung dari kota-kota lain di mainland Australia. Selain mencicipi wine di Tamar Valley, atraksi utama di Launceston adalah mengunjungi Cataract Gorge Reserve. Di Cataract Gorge ini kita bisa berjalan-jalan menyusuri lembah sungai yang indah, atau bisa naik chair lift menyeberangi sungai.

Kami sendiri tidak sempat jalan-jalan di Launceston karena keterbatasan waktu. Kami hanya singgah sebentar untuk makan siang. Restoran yang kami pilih adalah Fish & Chips di tepi sungai Tamar. Kami menghabiskan waktu cukup lama di restoran ini, selain untuk makan, minum kopi (atau makan es krim untuk The Precils), kami juga numpang istirahat dan melepas penat. Suasana di restoran ini cukup nyaman. Waktu kami ke sana, tidak banyak pengunjung lain, mungkin karena sudah lewat jam makan siang. Selain tempat duduk di dalam, ada juga meja-meja yang ditata di luar agar pengunjung bisa makan sambil menikmati pemandangan sungai Tamar.
Kami memesan fish&chips (tentu saja) dan salt&pepper squid. Makanan dengan porsi melimpah datang dalam gulungan kertas yang dibentuk seperti corong. Little A makan dengan lahap, dan setelah kenyang tidak ngambek lagi :p Restoran ini juga menyediakan papan tulis dan kapur warna-warni yang bebas digunakan anak-anak yang mungkin bosan menunggu orang tuanya ngopi. Ide bagus, kan? Little A tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan menggambar beberapa balon kesukaannya.

Setelah kenyang dengan masakan laut dan mood The Precils sudah membaik, kami melanjutkan perjalanan. Kunci suksesnya road trip memang perut kenyang dan hati yang gembira 😀 Kali ini kami menempuh 155 km dari Launceston menuju penginapan kami di Cradle Mountain Chateau. Keluar dari Launceston, kami menyusuri Highway no. 1 melewati kota Westbury. Setelah sampai di Elizabeth Town, mobil melipir melalui jalan yang lebih kecil menuju Sheffield. Jalan yang kami lalui lumayan sempit seperti jalan pedesaan, meskipun semuanya sudah beraspal. Beberapa kali kami melihat halte bis di tepi jalan tapi tidak pernah bertemu dengan bis nya. Belakangan kami tahu bahwa bis-bis ini mengangkut anak sekolah yang tinggal di daerah terpencil. Mereka membutuhkan waktu sekitar 2-3 jam untuk berangkat sekolah. 
Di sekitar Sheffield ini pemandangan di jalan yang kami lalui sungguh indah. Di hadapan kami berdiri tegak Mt Roland seperti tembok yang kokoh. Si Ayah sudah gatal ingin turun dari mobil dan mengambil foto. Sayangnya kami tidak bisa berlama-lama di jalan, takut kesorean sampai di hotel. Saya yang beberapa kali melihat rambu bergambar kamera, tetap saja kurang sigap untuk menjepretkan kamera dari dalam mobil yang melaju.
Dari Sheffield ke Moina, jalan mulai menanjak dan berkelok. Si Ayah mulai memperlambat kecepatan menyetir dan lebih hati-hati ketika melalui tikungan. Kanan-kiri kami adalah jurang. Di jalanan ini beberapa kali kami melihat air terjun yang muncul begitu saja dari balik semak-semak. Meski tidak ngebut, jalanan berkelok membuat Little A muntah di dalam mobil. Saya yang kurang antisipasi hanya pasrah mengganti baju Little A dan memberinya minyak telon. Si Ayah ikut membantu membersihkan muntahan yang mengotori kursi dan car seat. Berhenti sejenak untuk mereguk udara segar cukup membantu kami untuk rileks. Perjalanan selanjutnya, dari Moina sampai ke Cradle Mountain  berlangsung lancar. Hanya saja Big A tak henti-hentinya bertanya, “Are we there yet?
Begitu melihat tanda C132, nama ruas jalan yang menuju Cradle Mountain, kami merasa senang sudah berada di jalan yang benar. Beberapa saat kemudian ada tanda bahwa kami memasuki kawasan liar. Penginapan kami terletak paling luar dari kawasan Taman Nasional. Kami lega bisa cek in di hotel sebelum maghrib tiba. Perjalanan yang sebenarnya ‘cuma’ 155 km ini kami tempuh dalam waktu tiga jam.
Pemandangan Mt Roland di daerah Sheffield
Memasuki kawasan satwa liar Cradle Mountain
Malam hari dan esok harinya kami habiskan untuk menjelajah Cradle Mountain. Siang harinya, setelah makan siang di kafe di Visitor Centre, kami melanjutkan perjalanan menuju Devonport. Jarak dari Cradle Mountain ke Devonport sekitar 88 km dan bisa ditempuh dalam waktu satu setengah jam dengan mobil. Perjalanan menuju pelabuhan Devonport cukup menyenangkan dengan pemandangan desa-desa kecil di Tasmania. Kami melewati desa Wilmot yang pusat desanya cuma terdiri dari satu gereja dan satu toko yang merangkap menjadi kantor pos 🙂 Setelah Wilmot, kami banyak melihat kotak pos yang bentuknya lucu-lucu yang ditaruh di tepi jalan. Beberapa kotak pos biasanya dijadikan satu di mulut gang menuju rumah dan peternakan mereka yang kemungkinan masih beberapa kilometer jauhnya. Kreativitas warga desa untuk menghias kotak pos ini tentunya cukup untuk menghibur Pak Pos yang sedang bertugas. 
Tidak sulit menemukan pelabuhan Devonport untuk naik ke Spirit of Tasmania yang akan membawa kami menuju Melbourne. Di sepanjang jalan, banyak rambu jalan bergambar kapal feri tersebut.

Saya cukup senang bisa menjelajah Tasmania meskipun waktunya sempit. Kalau bisa, kami ingin memperpanjang kunjungan ke Tasmania ini, terutama ke daerah Cradle Mountain yang tidak akan habis dijelajahi dalam waktu 3 hari. Kalau ada waktu lebih, coba lakukan itinerary road trip seperti yang disarankan website resmi pariwisata Tasmania

Dalam seminggu, kita bisa menginap semalam di Hobart, dua malam di Strahan, dua malam di Cradle Mountain dan dua malam di Launceston. Kalau ada waktu 10 hari, kita bisa mengelilingi Tasmania, dari Hobart dan balik lagi ke Hobart. Dengan itinerary 10 hari kita bisa menginap semalam di Hobart, dua malam di Strahan, dua malam di Cradle Mountain, dua malam di Launceston dan dua malam di Freycinet dan akhirnya menginap semalam lagi di Hobart. 

Strahan adalah kota cantik di tepi teluk, yang merupakan pintu masuk untuk menikmati keindahan alam liar di bagian barat Tasmania. Di Strahan kita bisa berpesiar di sungai Gordon, naik kereta tua menjelajah hutan, dan mengunjungi penguin di pulau Bonnet. Freycinet, kota di sebelah timur Tasmania terkenal dengan keindahan pantai pasir putihnya. Di kota yang terletak di semenanjung ini kita bisa bermain di pantai, atau mendayung kayak atau hiking untuk menikmati keindahan Wineglass Bay dari gardu pandang.

Selain itu, di semua tempat yang disebutkan di sini, kita bisa berinteraksi langsung dengan satwa liar khas Australia di habitat aslinya, mulai dari kanguru, wallaby, platypus, berbagai macam burung dan juga binatang malam seperti wombat dan possum. Tasmania yang merupakan pulau yang terpisah dari daratan Australia memiliki keindahan alam yang lebih murni karena campur tangan manusia juga lebih sedikit. Kalau ingin benar-benar bermain dengan alam asli Australia, Tasmania lah tempatnya.

Road Trip 7 hari. Foto: www.puretasmania.com.au
Road Trip 10 Hari. Foto: www.puretasmania.com.au

~ The Emak

Baca juga catatan perjalanan Big A (dalam bahasa Inggris):

[Penginapan] Hotel Grand Chancellor Hobart

Hotel Grand Chancellor Hobart. Foto oleh Anindito Aditomo.
Selama tiga hari jalan-jalan di Hobart, kami menginap di Hotel Grand Chancellor yang letaknya sangat strategis di tepi pelabuhan. Ini adalah penginapan favorit Little A dalam rangkaian Summer Adventure kami.
Saya memilih menginap di hotel ini karena Si Ayah mengikuti konferensi di sini. Jadi Si Ayah tidak repot bolak-balik ke tempat konferensi dan masih bisa bertemu kami ketika rehat makan siang. Tarif hotel ini AU$ 195 per malam untuk kamar dengan dua double bed dengan pemandangan kota atau gunung. Kalau ingin pemandangan pelabuhan dari dalam kamar, bisa upgrade dengan menambah AU$ 10 per malam. Tarif segitu hanya untuk akomodasi saja, tidak termasuk makan pagi. Tidak seperti di Indonesia, harga standar penginapan di Australia belum termasuk sarapan. Kalau ingin mencari sarapan yang lebih murah daripada harga sarapan prasmanan di hotel, cari saja kafe terdekat. Kopi dan toast harganya di bawah AU$ 10. Tapi maaf, tidak ada yang sedia sarapan bubur ayam di sini :p
Kalau boleh memilih, biasanya saya menghindari menginap di hotel-hotel besar seperti ini. Saya lebih suka menginap di motel atau apartemen yang tarifnya lebih murah dan mempunyai fasilitas untuk memasak. Di hotel mewah, biasanya hanya ada fasilitas membuat teh atau kopi dengan ketel listrik dan kulkas mini untuk menyimpan makanan. Untuk bisa menghemat, terpaksa saya harus kreatif. Dalam perjalanan liburan musim panas ke Tasmania dan New Zealand ini, saya membawa rice cooker kecil. Jangan tertawa dulu, peralatan yang satu ini sangat berguna untuk survival perjalanan dua minggu dengan dua precils 😀 Kalau sudah punya nasi, kita tinggal membeli lauk dan lalapan saja. Jatuhnya lebih murah daripada harus selalu membeli makan di luar. Harga satu porsi makanan di Australia kira-kira Rp 150.000, itu hanya untuk makanan di food court atau di warung pinggir jalan lho, belum di restoran. Nah, sekarang boleh ikuti tips saya membawa rice cooker 😉

Untuk menyiapkan sarapan The Precils, saya mengalihfungsikan setrika yang disediakan hotel menjadi toaster. Dari rumah, saya sudah mempersenjatai diri dengan aluminium foil. Untuk membuat roti setrika, oles dua potong roti tawar dengan selai kacang atau olesan kesayangan si kecil lainnya, tangkupkan dan bungkus rapi dengan aluminium foil. Setelah itu, setrika tiap sisi sampai roti hangat dan ada crust-nya. Hmm… yummy!

The Precils langsung terpaku menonton TV :p
Little A sarapan dengan roti setrika dan segelas susu, sambil lihat-lihat pemandangan kota Hobart.
Satu-satunya kekurangan hotel ini hanya ketiadaan fasilitas memasaknya. Selain itu, kami sangat menyukai fasilitas dan pelayanan di hotel ini. Kami sampai di hotel ini dengan mengendarai shuttle bus dari bandara Hobart, sekitar pukul 10.30 pagi. Waktu itu Little A tertidur karena capek dari penerbangan Sydney – Hobart, sehingga saya gendong sampai lobi. Si Ayah yang harus segera mengikuti konferensi meninggalkan kami di lobi, menunggu kamar disiapkan. Sebenarnya, aturan cek in baru bisa paling awal jam 2 siang. Tapi petugas yang mungkin kasihan melihat saya membawa dua precils, memprioritaskan cek in kami. Sambil menunggu, Little A tidur di sofa di lobi. Banyak tamu hotel yang senyum-senyum melihat Little A yang pulas. Nggak tahu, senyum karena lucu atau kasihan 🙂 Dalam setengah jam, kamar kami sudah siap dan tas bawaan kami juga sudah diantar ke kamar.

Begitu sampai di kamar, Big A berteriak kegirangan. Dia memang pecinta hotel, seperti Emaknya 🙂 Kamar kami bersih, cukup luas dengan ranjang empuk dan pemandangan kota dengan latar belakang Mt Wellington. Yang paling spektakuler adalah kamar mandinya: wastafel yang besar dengan meja marmer, bak mandi yang baru dan pancuran dengan curahan air seperti air terjun. The Precils jadi senang mandi di sini. Selain itu, ada fasilitas kolam renang tertutup yang sempat dicoba The Precils sekali.

Meskipun hotel ini ada restorannya, kami tidak pernah membeli makanan dari sana. Kami memilih membeli makanan dari luar. Tepat di depan hotel ini, di tepi dermaga ada beberapa warung apung yang menyediakan makanan laut. Di hari pertama kami membeli sekeranjang fish&chips di Flippers dan membeli sepaket lagi untuk makan malam. Selain warung apung, di dekatnya juga ada restoran seafood yang lumayan terkenal di Hobart: Mures. Sayang sekali harganya tidak mure :)) Malam terakhir, kami makan malam di restoran India: Saffron, yang juga ada di seberang hotel kami. Masakan India di resto ini rasanya lumayan dan mereka juga menyediakan menu halal.

Yang paling berkesan bagi Little A tentang hotel ini adalah pintu putarnya. Setiap keluar dan masuk hotel ini, Little A selalu memilih lewat pintu berputar, meskipun ada pilihan pintu lain yang bisa membuka secara otomatis. Pada awalnya, Little A takut-takut dan minta gendong. Tapi lama-lama dia malah ingin melewati pintu ini sendiri dengan mendorong daun pintunya yang lumayan berat. Saking cintanya dengan pintu putar ini, setiap kali dia melihat ada pintu putar di hotel atau perkantoran di Sydney, Little A bertanya, “Is this Hobart?

Pemandangan pelabuhan Hobart dilihat dari depan lift hotel
Keluarga The Precils di depan hotel, siap melanjutkan perjalanan ke Cradle Mountain

Baca juga catatan perjalanan Big A (dalam bahasa Inggris):
 
~ The Emak

Tiga Hari Menyapa Hobart

Suasana dermaga Hobart malam hari. Foto oleh Anindito Aditomo
Ketika menerima berita Si Ayah akan konferensi di Hobart, saya ikut bersorak gembira. Artinya kami bisa ikut jalan-jalan ke ibukota Tasmania ini. Si Ayah yang nggak bisa jauh dari The Precils ini pasti minta ditemani :p
Tasmania adalah pulau yang terpisah dari daratan (mainland) Australia. Hobart, ibukota Tasmania terletak di ujung selatan pulau ini. Tasmania bisa dicapai dengan pesawat dari kota-kota di Australia melalui bandara di Hobart atau Launceston, atau dicapai dengan menggunakan ferry Spirit of Tasmania yang menghubungan pelabuhan Devonport dan Melbourne. Sayang sekali tidak ada penerbangan langsung dari Tasmania ke Indonesia, jadi kalau mau mengunjungi Tasmania harus transit dulu di kota-kota di mainland Australia. Kami terbang dari Sydney menuju Hobart menggunakan pesawat domestik Jetstar dan pulangnya mencoba naik kapal Spirit of Tasmania.

The Precils sangat menikmati suasana liburan pendek kami di Hobart. Menurut Big A, Hobart lebih sepi daripada Sydney dan cuaca di sana lebih dingin. Little A juga senang jalan-jalan di Hobart karena tinggal di hotel yang bagus :p Berulang kali dia bilang ingin pergi lagi ke hotel di Hobart. Menurut saya, anak-anak ini senang di Hobart karena kami benar-benar bisa santai di sini, kecuali Si Ayah tentunya yang ke sini untuk kerja 🙂 Kami menginap di hotel di depan pelabuhan persis, dan kemana-mana tinggal jalan kaki. Saya tidak membuat itinerary yang padat sehingga The Precils bebas bermain-main. Hari pertama kami jalan-jalan di sekitar hotel, singgah di visitor centre dan menuju pusat kota (Mal). Hari kedua kami habiskan untuk mengunjungi pabrik coklat Cadbury, sekitar 1 jam dari kota dengan bis. Hari ketiga kami kembali jalan-jalan menyusuri pelabuhan, melewati Salamanca dan menemukan taman bermain yang asyik dan membuat The Precils betah.

Kantor Pos Besar di Hobart. Depannya adalah depot bis. Foto oleh Anindito Aditomo.
Mal Hobart di Elizabeth St. Foto oleh Anindito Aditomo.
Kota Hobart lebih kecil daripada ibukota negara bagian lainnya di Australia. Karena itu Hobart juga lebih gampang dijelajahi. Pusat kota atau Mal-nya ada di Elizabeth St. Seperti yang sudah sering saya ceritakan, Mal di sini adalah pedestrian, jalan khusus untuk pejalan kaki, yang di kanan kirinya ada toko-toko kecil dan kafe. Mal ini benar-benar nyaman untuk jalan-jalan, dalam arti sebenarnya. Dari hotel kami yang berada di dekat pelabuhan, kira-kira lima belas menit jalan kaki ke Mal ini. Sebelumnya, kami singgah dulu di visitor centre untuk bertanya rute menuju Pabrik Coklat Cadbury yang akan kami kunjungi besoknya. Mengunjungi pabrik coklat ini satu-satunya acara yang saya agendakan. Acara lainnya bebas, mengikuti kaki kami mengajak kemana 🙂

Visitor Centre Hobart terletak di Davey St, jalan yang sama dengan hotel kami, sekitar 5 menit jalan kaki. Pelayanan di Visitor Centre cukup bagus. Di sini kita juga bisa booking penginapan (kalau belum punya) dan tur. Tempat kecil ini menyediakan brosur dan peta gratis, dan menjual kartu pos dengan harga murah, mulai 50 sen. Oleh petugas, saya diberi tahu jalur bis umum yang menuju pabrik coklat Cadbury. Sebenarnya ada tur khusus ke pabrik coklat ini, tapi tentu saja saya memilih yang lebih murah. Depot atau terminal bis di tengah kota Hobart terletak di depan kantor pos besar. Gedung kuno nan megah yang dijadikan kantor pos ini mudah sekali ditemukan, hanya satu blok di seberang Visitor Centre dan satu blok sebelum mal Elizabeth St.

Selama tiga hari di Hobart, kami tidak menyewa mobil karena rencananya memang hanya akan jalan-jalan di dalam kota. Lagipula sopir yang biasa menyetir mobil (Si Ayah!) sedang sibuk konferensi 😀 Dari bandara Hobart, kami menuju hotel menggunakan shuttle bus yang tarifnya ‘hanya’ $10 untuk dewasa dan $5 untuk anak-anak. Jarak dari bandara Hobart menuju pusat kota sekitar 18 menit dan bisa dicapai kurang lebih 20 menit dengan taxi lewat jalan tol. Kalau mengendarai shuttle bus (seperti layanan ‘travel’ di Indonesia), waktu tempuh bisa dua kali lipatnya karena harus mengantar penumpang lain dulu.

 
Atraksi utama Hobart adalah dermaga tempat berlabuh kapal-kapal pengangkut ikan. Kita bisa berjalan menyusuri pelabuhan ini sampai Salamanca. Setiap Sabtu, ada pasar dadakan di Salamanca yang menjual barang-barang kerajinan dan makanan segar. Sayangnya kami tidak mengunjungi Hobart di akhir pekan sehingga tidak punya kesempatan main di Salamanca Market ini. Namun, tanpa ada pasar pun, Salamanca tetap menarik untuk dikunjungi. Daerah ini berisi bangunan-bangunan kuno dari sandstone yang dulunya merupakan gudang pelabuhan. Gudang-gudang tua ini disulap menjadi kafe, toko dan galeri cantik, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi Hobart. Di tengah kawasan ini ada Salamanca Square yang di tengahnya terdapat taman dengan air mancur, papan catur raksasa, bangku-bangku tempat duduk dan toko-toko atau kafe. Sebenarnya mirip dengan kompleks ruko di Indonesia namun ditata dengan cantik dan lapang sehingga anak-anak punya ruang bermain. 
Saya singgah di Salamanca Square ini dengan tujuan utama mencuci baju! Ya, daripada buang-buang uang dengan mencuci baju di hotel, lebih baik mencari laundry koin yang murah. Dari saran di Lonely Planet, saya berhasil menemukan Machine Laundry Cafe, yang merupakan kafe dengan laundry di sebelahnya. Pukul 10 pagi, tempat ini sudah ramai dengan orang-orang yang sarapan sambil mencuci baju. Saya yang gagap karena belum pernah mencuci baju di laundry umum, merasa terbantu oleh pegawai kafe ini yang gantengnya mirip Jake Gyllenhaal 😉 Tentu saya tidak terbantu dengan kegantengannya, tapi dengan pelayanan dan keramahannya. Untuk sekali mencuci baju diperlukan 5 koin $1 dan untuk mengeringkan baju diperlukan koin $1 per 7 menit. Kafe ini bersedia menukar koin dan juga menjual deterjen sachet seharga 50 sen. Sembari menunggu baju dicuci, saya dan The Precils nongkrong di kafe dan memesan makanan dan minuman.

Kelar mencuci baju kotor yang menumpuk tiga hari selama kami di Hobart, saya membawa anak-anak ke toko buku, Hobart Book Shop yang ada di Salamanca Square ini. Toko buku mungil ini nyaman dan tidak terlalu ramai. Big A membeli buku The Mysterious Benedict Society, serial detektif kesayangannya. Tidak sabar menunggu sampai di hotel, Big A membaca buku ini sepanjang jalan. Setelah menuruti keinginan Big A, giliran Little A yang perlu disenang-senangkan. Kami mengunjungi Faerie Shop yang isinya segala sesuatu tentang Fairy (peri), masih di kawasan Salamanca. Toko mungil berwarna pink yang desainnya unik ini merebut hati Little A. Setelah lama memilih dan melihat-lihat ini itu, akhirnya dia membeli notes berbentuk tas kecil, yang tentu saja bergambar peri, lengkap dengan glitter-nya 🙂

Toko buah segar di Salamanca. Foto oleh Anindya Amarakamini.
Pertokoan di Salamanca.
Di atas Salamanca, ada daerah perkampungan lain yang menarik dikunjungi, yaitu Battery Point. Di kawasan ini ada rumah-rumah kuno yang kecil dan cantik, khas rumah-rumah tepi pelabuhan. Untuk mencapai Battery Point, kita bisa naik tangga curam di Kelly Steps di Salamanca. The Precils terengah-engah sampai di atas dan sebel sama Emaknya yang sebenarnya tidak tahu jalan harus lewat mana :p Untungnya saya mengambil jalan yang benar yang ujungnya adalah taman bermain kecil bernama Arthur Circus. Di taman kecil ini hanya ada satu set ayunan, namun cukup membuat The Precils tersenyum kembali. Dari peta yang kami ambil di Visitor Centre, saya melihat ada taman bermain yang lebih besar bernama Princess Park, yang tidak jauh dari Arthur Circus. The Precils gembira dan menurut ketika saya ajak menuju Princess Park dan menghabiskan dua jam main di sana. Saya cukup leyeh-leyeh dan menikmati pemandangan pelabuhan dari taman yang ada di atas bukit ini.
Untuk melihat pemandangan kota Hobart yang lebih spektakuler, cobalah dari gardu pandang di Mt Wellington. Look out di Mt Wellington ini bisa dicapai dengan bermobil, sekitar 20 menit dari pusat kota. Sayang sekali kami tidak sempat naik ke Mt Wellington ini karena begitu kami menyewa mobil di hari keempat, harus segera melanjutkan perjalanan agar tidak kemalaman di jalan.

Selama tiga hari jalan-jalan menjelajah Hobart, Si Ayah tidak ikut kami. Baru sore atau malam hari setelah konferensi usai, Si Ayah bisa bergabung. Malam pertama, kami mengajak Si Ayah mencicipi seafood di depan warung terapung. Pilihan kami adalah Flippers, yang bentuk warungnya lucu seperti ikan 🙂 Sebenarnya, siang harinya kami sudah jajan di warung yang harga makanannya cukup murah ini. Di tepi dermaga ada warung-warung apung yang menjual makanan laut dengan menu yang sama. Saya pilih Flippers karena warung ini paling ramai dikunjungi orang. Kami memesan Fisherman Basket Deluxe yang berisi macam-macam makanan laut. Hmm… rasanya enak banget dan fresh. Ini fish&chips terenak yang pernah saya coba. Saya suka banget dengan rasa gurih ikan Trevalla-nya. Mungkin karena ikannya segar hasil tangkapan pagi ini.

Kenyang, kami menemani Si Ayah yang sedang belajar memotret suasana malam, dengan berjalan-jalan keliling dermaga. Hasil belajar Si Ayah bisa dilihat dari foto utama artikel ini 🙂 Bagaimana, udah secantik gambar di kartu pos kan? *memuji suami sendiri* 

Meskipun kami ke sana di musim panas, angin malam di tepi dermaga cukup kencang dan dingin, harus dilawan dengan mengenakan jaket. Malam kedua kami tidak keluar malam karena The Precils sudah capek usai berenang dengan Si Ayah di kolam renang hotel. Malam ketiga kami keluar lagi untuk makan malam di restoran India, The Saffron yang letaknya hanya selemparan batu dari hotel kami. Malam itu, angin yang bertiup lebih dingin lagi daripada malam yang pertama. Kami cepat-cepat menuntaskan makan malam, istirahat di hotel karena besoknya kami akan menempuh perjalanan panjang menuju tujuan kami selanjutnya: Cradle Mountain.

Emak dan The Precils nongkrong di warung fish & chips apung. Foto oleh Anindito Aditomo.
Baca juga catatan perjalanan Big A (dalam bahasa Inggris):

~ The Emak

Pengalaman The Precils Naik Emirates

Foto dari http://www.emirates247.com
Hari terakhir kami di Christchurch, New Zealand, Big A sudah tidak sabar ingin segera pulang ke Sydney. Dia penasaran banget ingin mencoba fasilitas ICE (information, communication, entertaintment) Emirates yang tersedia di setiap tempat duduk termasuk di kelas ekonomi.
Ketika merencakan liburan ke Selandia Baru, saya membeli tiket terpisah pergi dan pulangnya. Kami berangkat dari Melbourne ke Queenstown dengan Jetstar yang waktu itu promosi murah banget, hanya A$ 99 per orang sekali jalan dan separuhnya untuk anak-anak. Untuk pulangnya, saya menunggu ada tiket murah dari Queenstown ke Sydney, tapi tidak beruntung. Akhirnya kami putuskan pulang dari Christchurch. Keputusan yang tepat karena asyiknya menjelajah New Zealand adalah dengan road trip. Ada beberapa perusahaan penerbangan yang melayani rute Christchurch – Sydney, yang tarifnya rata-rata lebih murah daripada Queenstown – Sydney. Suatu hari, saya kaget (dan senang) menemukan tarif promosi Emirates di websitenya.
Harga tiket Christchurch – Sydney ini totalnya NZ$629,96 atau rata-rata NZ$157,49 per orang sekali jalan. Saya pikir, kapan lagi bisa naik Emirates dengan harga terjangkau? Lagipula harga segitu lebih murah daripada Jetstar, Virgin, Qantas atau Air New Zealand. Karena ini maskapai reguler, tiket sudah termasuk bagasi (30 kg!), pilih kursi, makan dan hiburan. Saya memesan tiket langsung dari website Emirates yang mudah digunakan ini. Untuk memesan, tidak perlu ribet memasukkan nomor paspor atau keterangan lain karena profil bisa diperbarui kemudian hari. Ketika akan terbang, kami melakukan cek-in online dengan mencetak sendiri boarding pass. Waktu itu, saya minta tolong resepsionis motel kami di Christchurch untuk mencetaknya. Ketika antri untuk cek in di bandara internasional Christchurch, kami mendapat antrian khusus yang jauh lebih pendek karena sudah cek-in online. Pesawat kami ini melayani rute Christchurch – Sydney – Bangkok – Dubai. Mungkin harganya bisa murah karena ada kursi-kursi kosong di leg Christchurch – Sydney ini. Selain dari Christchurch, Emirates juga terbang dari Auckland dengan rute Auckland – Melbourne/Sydney/Brisbane kemudian Dubai. Sayangnya Emirates tidak punya penerbangan langsung dari Indonesia ke Australia atau New Zealand. Yang ingin mencoba Emirates dari Indonesia, bisa transit dulu di Singapore/KL. Ada rute Singapore – Brisbane atau KL/Singapore – Melbourne.

Cek in kami sudah beres dua jam sebelum pesawat boarding. Big A sudah tidak sabar naik pesawat ini dan ribut karena menunggu terlalu lama di bandara. Kami sempatkan menunggu dengan ngopi di kafe, makan buah dan donat, dan akhirnya main-main di ruang tunggu setelah melewati pemeriksaan keamanan. Bandara Christchurch ini cukup nyaman, dengan beberapa pilihan tempat makan, toko-toko suvenir dan toilet yang super bersih. Ada juga fasilitas wifi gratis selama 30 menit. Sebenarnya saya ingin membeli baju-baju dari wool New Zealand yang terkenal, namun apa daya harganya mencekik leher :p Harus cukup puas dengan suvenir kartu pos, magnet dan gantungan kunci.

Di ruang tunggu, Little A tidak serewel kakaknya karena bisa bermain-main dengan koper Trunki-nya. Yang saya senangi dari bandara di New Zealand, kami dipersilahkan boarding lebih awal karena membawa anak-anak kecil. Begitu juga orang hamil atau orang yang sudah tua. Big A yang paling semangat memasuki lorong menuju pesawat yang dihiasi dengan gambar alam New Zealand disertai suara cericit burung bersahutan. Sampai ketemu lagi, New Zealand 🙂
Formasi tempat duduk di Emirates kelas ekonomi adalah 3 – 4 – 3. Lorong di tengah lumayan sempit untuk jalan, sampai harus miring ketika berpapasan. Ketika pramugari mendorong troli makanan, praktis tidak ada sisa tempat lagi untuk jalan. Tapi toh kami tidak banyak menggunakan lorong itu. Kami memesan tempat duduk di tengah agar bisa duduk berempat, The Precils di tengah. Ruang untuk kaki lumayan lebar daripada Jetstar, atau mungkin karena kami pendek? 😀 Big A yang sudah menanti-nanti untuk main game dan menonton film sejak browsing tentang Emirates, segera mencoba fasilitas ICE yang ada di depannya. Fasilitas hiburan di Emirates ini memang cukup canggih. Dengan layar touch screen atau remote pribadi, kami bisa memilih untuk menonton film (banyak sekali pilihan, termasuk film baru), mendengarkan musik, membaca berita, berbelanja di toko Emirates, atau mengintip bagaimana pesawat ini lepas landas. Ada dua kamera yang bisa kita akses, kamera di bawah dan di depan pesawat. Seperti biasa, Big A yang lebih tahu cara mengoperasikan ICE ini daripada kami. Beberapa kali dia mengajari Si Ayah yang kesulitan memilih film 🙂


Sebelum lepas landas, anak-anak diberi mainan berupa boneka tangan berbentuk burung nuri dan macan. Little A mendapat mainan ekstra berupa majalah untuk mewarnai berikut pensil warnanya.
Pesawat berhasil lepas landas dengan mulus, tidak begitu terasa karena ini pesawat besar, Boeing 777. Little A yang kecapekan langsung tidur nyenyak di pesawat, dengan bantal yang disediakan Emirates dan selimut pink kesayangannya. Sepanjang penerbangan, Little A tidur, sehingga dia melewatkan makanan khusus untuk anak-anak yang tampak lebih ‘yummy’ daripada makanan dewasa 🙂 Saya yang terbiasa naik pesawat budget, sudah lupa rasanya naik pesawat dari maskapai reguler. Jadi saya norak bahagia ketika menerima senampan makanan dengan menu lengkap: kue, camilan, salad, nasi kari dan air putih. Semua makanan di Emirates ini halal, jadi tidak perlu memesan makanan halal secara khusus. Kari ayamnya tidak begitu istimewa, tapi cukup untuk membuat perut kenyang dan melawan pusing akibat perubahan tekanan dan turbulence. Selesai makan, kami masih disuguhi minuman teh atau kopi.
Ketika kami memasuki pesawat, ada satu pramugari Emirates yang menyapa kami, “From Indonesia?” Mungkin tampang kami Indonesia banget ya, hehe. Ternyata dia orang Indonesia juga, tapi sudah lama tinggal di luar negeri. Dia sudah agak lupa bahasa Indonesia dan bertanya pada kami, apa bahasa Indonesianya “chicken” dan “beef” 🙂 Saya senang melihat seragam pramugari Emirates yang khas banget dengan topi mereka yang dihiasi scarf. Pakaian mereka pun sopan, dengan celana panjang atau rok di bawah lutut, sehingga tidak mengganggu pemandangan 🙂

Secara umum, pengalaman naik Emirates ini menyenangkan. Big A sempat nonton film Smurf, sementara Si Ayah asyik menonton Transformer. Saya sendiri cukup mendengarkan musik dan memakan semua yang dihidangkan di depan saya :p Ketika akan mendarat, saya dan Big A nonton bareng aksi pesawat dari kamera di bawah dan depan pesawat. Dari jauh, kami bisa melihat daratan Sydney yang mulai nampak, sampai akhirnya pesawat mendarat di landasan dan parkir manis di tempatnya. Sydney, we’re home!



~ The Emak 
Catatan: 
Kurs dolar bulan Desember 2011
NZD 1 = AUD 0.76
NZD 1 = IDR 7200
AUD 1 = NZD 1.30
AUD 1 = IDR 9150

[Penginapan] Tudor Court Motel Christchurch

Tudor Court motel di kota Christchurch adalah penginapan terakhir selama road trip kami menjelajah Pulau Selatan Selandia Baru. Kalau di Wanaka dan Lake Tekapo saya bingung mencari penginapan karena tidak banyak pilihan, di Christchurch ini saya bingung karena terlalu banyak pilihan :p Maklum, Christchurch memang kota terbesar di Pulau Selatan New Zealand, yang menjadi gateway jalan-jalan di negara Kiwi ini.
Dua kali gempa besar yang melanda Christchurch, September 2010 dan Februari 2011 mengakibatkan kerusakan pada bangunan-bangunan hotel. Beberapa hotel besar, terutama di tengah kota hancur. Sementara hotel-hotel yang lain belum layak huni karena bangunannya miring. Penginapan yang bisa survive di tengah gempa adalah motel-motel kecil (berlantai satu atau dua) yang ada di pinggiran kota.
Seperti biasa, saya mencari-cari penginapan di website Wotif. Ada beberapa motel bagus menurut review Trip Advisor, yang letaknya paling dekat dengan pusat kota, tapi harganya di atas NZ$ 200, di luar jangkauan kocek saya 🙂 Akhirnya saya menemukan motel Tudor Court ini, yang bangunannya tampak menarik, dengan harga NZ$ 165 per malam, untuk 2 dewasa dan 2 anak-anak. Saya pesan dari Wotif yang tarifnya sedikit lebih murah daripada tarif di website resminya.

Motel ini hanya punya 1 kamar tidur berisi dua single bed untuk the precils. Ranjang utama ada di ruang serbaguna yang menjadi satu dengan sofa, meja makan dan dapur kecil. Kami mendapatkan kamar di pojok, tanpa pemandangan ke luar. Dari jendela yang bisa dibuka, tampak pepohonan dari motel sebelah. Nggak jauh beda dengan pemandangan dari apartemen kami di Sydney :)) Bangunan di motel ini tampak kuno, terlihat dari sofa, pemanas, dapur dan kamar mandinya. Mengingatkan saya pada motel tempat kami menginap di Snowy Mountain. Dapur kecilnya juga hanya ada kulkas kecil, microwave dan bak cuci piring, tanpa kompor. Fasilitas laundry umum ada di luar kamar, menggunakan koin. Saya tidak menggunakan laundry karena sudah puas cuci-cuci baju di Lake Tekapo Holiday Park. Nilai plus dari motel ini: kasurnya nyaman, dengan linen dan sprei berkualitas dari Sheridan. Kami bisa tidur nyenyak, dihangatkan oleh selimut listrik.

Lokasi motel Tudor Court ini di Bealey Avenue, utara pusat kota. Di sepanjang Bealey Avenue banyak terdapat motel. Lokasi tidak terlalu masalah kalau kita membawa mobil, hanya sekitar 5 menit ke pusat kota, Botanic Garden atau Museum. Sore hari setelah mengunjungi museum, Big A minta dibelikan buku karena buku yang saya belikan di Hobart sudah tamat ia baca. Big A akan bilang I am bored setiap menit kalau tidak punya bacaan. Dari penjaga museum kami diberi tahu kalau ada beberapa toko buku di Riccarton Mall. Daerah Riccarton ini terletak di sebelah barat Museum/Botanic Garden. Di kanan kiri jalan Riccarton berderet-deret toko, kafe, motel dan satu mal besar. Saya pikir, enak juga kalau motel kami ada di jalan Riccarton ini, tinggal menyeberang jalan kalau mau belanja ke Mal. Kalau kami punya kesempatan mengunjungi Christchurch lagi, pilihan pertama saya adalah Motel Kauri yang persis di seberang pusat perbelanjaan. Saya ingat kehabisan kamar di motel ini ketika memesan lewat Wotif dulu. Buku yang Big A cari tidak ada di Mal Riccarton. Capek keliling Mal mencari toko buku, kami makan di food court-nya, di bawah pengawasan tukang bersih-bersih karena sebentar lagi Mal tutup (jam 6 sore waktu setempat).

Minggu, 11 Desember 2011, saya dibangunkan oleh The Precils dan Si Ayah. Perasaan saya waktu itu: bahagia yang sederhana. Ini adalah negara ketiga tempat saya merayakan ulang tahun, setelah Indonesia dan Australia. The Precils memberi saya kartu ulang tahun yang diam-diam mereka beli di supermarket di Wanaka. Saya terharu dengan perhatian mereka, tapi juga tertawa melihat gambar Barbie di kartu ultah saya, dengan latar belakang warna pink yang gemerlap. Ini pasti pilihan Little A 😀 Jam 10.30 kami cek out dari motel, kembali jalan-jalan ke museum dan Botanic Garden, kemudian merayakan ulang tahun saya dengan makan siang di restoran Malaysia di Papanui Road. Sorenya, kami harus mengejar pesawat Emirates yang akan membawa kami kembali ke Sydney.

~ The Emak

Mengunjungi Christchurch Pasca Gempa

Punting di sungai Avon, Christchurch
Christchurch, yang dijuluki ‘kota paling Inggris’, adalah kota terbesar di Pulau Selatan Selandia Baru. Pada bulan Februari 2011, Christchurch diguncang gempa dahsyat berkekuatan 6,3 skala Richter, yang meluluhlantakkan bangunan di pusat kota, termasuk gereja katedral. Christchurch adalah kota terakhir yang kami kunjungi dalam rangkaian Road Trip berkeliling South Island New Zealand, Desember tahun lalu (2011).
Perjalanan dari Lake Tekapo menuju Christchurch dapat ditempuh dalam waktu 3 jam mengendarai mobil. Jalan yang dilalui cukup mulus melewati Highway No.1. Tidak banyak pemandangan indah yang bisa kami lihat dalam road trip kali ini, kecuali beberapa peternakan dan farm stay di antara Burkes Pass dan Fairlie. Setelah perjalanan melalui Highway, pemandangan berganti menjadi lahan pertanian dan rumah-rumah penduduk. Kami yang sudah seminggu ini melalui jalan-jalan sepi di Pulau Selatan, lumayan takjub melihat mobil yang berlalu lalang cukup banyak, rasanya seperti kembali ke peradaban 🙂 
The Precils tidak terlalu rewel dalam perjalanan ini. Little A tertidur di mobil sehingga kami tidak perlu sebentar-sebentar berhenti. Kami hanya berhenti sekali di kota kecil Tinwald di tengah-tengah perjalanan Lake Tekapo – Christchurch. Di sini kami singgah di minimarket untuk membeli buah dan sayur, sekaligus membeli camilan makan siang. Yang menarik, minimarket di Tinwald ini menyediakan troli kecil khusus untuk anak-anak. Little A bukan main senangnya, dengan sukarela membantu membawa belanjaan kami di troli kecilnya.
Little A dengan troli mini di supermarket Tinwald
Kalau Little A senang, maka perjalanan selanjutnya akan berjalan mulus. Mendekati kota Christchurch yang lumayan ramai, saya sempat was-was salah jalan karena kami tidak menggunakan GPS. Hanya berbekal peta yang saya ambil dari Wanaka, saya mencoba mencari jalan menuju motel Tudor Court tempat kami menginap. Untungnya kami tidak nyasar dan selamat sampai di motel.
Kami sampai di Christchurch sekitar jam 3 sore. Setelah beristirahat sejenak di motel Tudor Court, kami segera memulai jalan-jalan di Christchurch. Tak lupa saya mengambil peta kota ini di resepsionis untuk bekal berputar-putar. Dengan semangat, kami langsung menuju pusat kota. Ternyata banyak sekali road block atau jalan yang ditutup, terutama di tengah kota. Si Ayah mencoba melipir ke jalan-jalan yang dipasangi pagar pembatas tersebut, berputar beberapa kali karena banyak jalan yang satu arah. Kami melewati bangunan gereja katedral yang hancur akibat gempa, dan juga bangunan-bangunan lain yang tinggal puing-puing. Saya tidak menduga akibat gempa Christchurch masih separah ini, mengingat gempa besarnya sudah terjadi 10 bulan yang lalu. Mungkin gempa-gempa susulannya yang membuat pembersihan atau rehabilitasi tertunda. 
Kabar baiknya, masih ada tempat wisata yang layak dikunjungi di Christchurch: Museum dan Botanical Garden (Kebun Raya). Takut museum keburu tutup, kami segera mencari tempat parkir (gratis) di pinggir jalan dan bergegas menuju gedung dengan arsitektur khas ini.
Canterbury Museum
Museum Canterbury terletak di samping Botanical Garden, di sebelah barat pusat kota. Pasca gempa, museum ini mulai buka lagi September 2011. Jam buka dari 9 pagi sampai jam 5 sore. Biaya masuk gratis, tapi mereka juga menerima donasi. Kami sampai di museum ini setengah jam sebelum tutup dan disambut dengan ramah oleh petugas. “Masih banyak yang bisa dilihat dalam setengah jam. Ayo, tidak perlu membuka peta, temukan saja kejutan di sana,” kata petugas yang tetap bersemangat menjelang tutup.
Koleksi museum Canterbury ini cukup menarik, mulai dari diorama penduduk asli New Zealand, bangsa Maori, sejarah pendudukan orang Eropa, ekspedisi Antartika dan juga replika pusat kota Christchurch di abad ke-19, lengkap dengan toko-toko kuno dan suara-suara keramaian. Ketika kami ke sana, sedang ada pameran World of Wearable Art, gaun-gaun dari bahan yang unik. Kami mengira Little A yang hobi memerhatikan fesyen akan senang dengan pameran ini, tapi dia malah takut karena suasana di museum ini hanya remang-remang, tanpa penerangan yang cukup.
Dalam waktu setengah jam kami hanya bisa melihat-lihat tampilan di museum dengan cepat. Kami sempat singgah di lantai dua yang berisi pameran “Hearts for Christchurch”. Di dalam ruangan ini dipamerkan karya sulaman berwarna-warni sebagai rasa simpati mereka terhadap gempa Christchurch. Little A senang berada di antara pernak-pernik penuh warna ini. Dari jendela di lantai dua ini kami juga bisa melihat tanaman di Botanical Garden.

Canterbury Museum
Fosil kaki elang raksasa yang sudah punah
Diorama kehidupan penduduk Maori

Esok harinya, setelah cek out dari motel Tudor Court, kami kembali mengunjungi Museum ini. Kali ini Big A ingin kembali melihat-lihat koleksi Wearable Art, dan saya juga ingin membeli beberapa kenang-kenangan berupa gantungan kunci, magnet kulkas dan kartu pos di toko museum. Sebenarnya saya ingin membeli barang-barang khas dari wool New Zealand, tapi ampun mahal sekali harganya :p
Christchurch Botanic Gardens
Kebun Raya yang menjadi paru-paru kota ini wajib dikunjungi pejalan yang singgah di Christchurch. Luas total kebun raya ini 21 hektar, tidak cukup waktu sehari untuk berjalan-jalan dan mengamati semua koleksi tanamannya. Kami mengunjungi kebun raya ini dua kali: sore hari setelah museum tutup dan keesokan harinya setelah kami cek out dari motel.
Yang pertama dicari oleh The Precils di Botanical Gardens adalah taman bermainnya. Dasar anak-anak ya, dari semua tempat-tempat indah yang mereka kunjungi, tetap playground yang menjadi pilihan nomor satu. Kami memarkir mobil kami di Armagh St Parking Area, tempat parkir gratis yang buka sampai jam 11 malam. Tempat parkir ini yang paling dekat dengan area playground. Dari tempat parkir, kami menyeberang jembatan kecil melintasi sungai avon.
The Precils cukup gembira bermain di playground, meskipun fasilitasnya sudah cukup tua dan minta diganti. Little A berpura-pura menjadi princess dan merayakan wedding di castle, karena melihat ada bangunan gerbang seperti pintu sebuah puri. Saya menemukan lubang kelinci (rabbit hole) di antara semak-semak dan mengajak Little A untuk keluar masuk dari situ. Dan begitu menemukan panggung dari sisa akar pohon yang ditebang, Little A segera berdansa dan meminta kami untuk bertepuk tangan 😀 Sementara itu, Big A tidak kalah senang bermain gelantungan di taman. Dua jam cukup membuat The Precils gembira dan Si Ayah juga lumayan puas bisa memotret sesuka hati.

Piknik di tepi sungai Avon

Keesokan harinya, setelah berbelanja oleh-oleh di toko di dalam museum Canterbury, kami menjelajah Kebun Raya dari sudut yang lain. Di samping Museum ini juga ada kios informasi yang dulunya ada di dekat Gereja Katedral. Kami berjalan-jalan melewati air mancur dan mengamati bunga-bunga yang ditanam dengan formasi tertentu. Saya tidak punya pengetahuan cukup tentang jenis-jenis bunga dan pohon, jadi hanya sekadar menikmati indahnya suasana di sini dan membaca papan informasi yang tersedia. Di Kebun Raya ini banyak terdapat pohon-pohon tua yang rindang, membuat suasana nyaman dan sejuk.
Sambil berjalan-jalan, Little A sibuk memotret dengan kamera saku. Big A yang lama-lama bosan berjalan-jalan di antara pohon-pohon, menantang saya untuk lomba lari. Kalau saja dia tidak curang, saya pemenangnya 🙂 Sebenarnya masih banyak yang bisa dilihat di Botanic Gardens ini, antara lain koleksi bunga mawar, koleksi taman New Zealand, koleksi tanaman dari Australia dan juga taman air. Namun karena waktu terbatas, kami tidak bisa melihat semuanya.

Di depan Kebun Raya Christchurch
Little A memotret Si Ayah yang memotretnya :p
Big A menantang The Emak adu lari
Pamer gantungan kunci yang dibeli di Museum
Punting di Sungai Avon

Punting di sungai Avon merupakan salah satu atraksi di Christchurch yang tetap bisa dilakukan pasca gempa. Punting menyusuri sungai ini kurang lebih sama dengan naik gondola di Venice. Stasiun utama punting terletak di Old Boat Shed, bangunan khas berwarna hijau di seberang Botanic Gardens. Di sana kita akan menjumpai perahu-perahu kecil yang ditambatkan oleh mas-mas berseragam khas dengan rompi dan topi bulat. Tiket untuk punting setengah jam di sungai Avon adalah NZ$25 untuk dewasa, NZ$12 untuk anak-anak dan gratis untuk balita. Sayangnya kami tidak sempat mencoba punting ini. Selain uang kami sudah menipis, kami juga harus mengejar pesawat di Christchurch International Airport untuk kembali ke Sydney.

~ The Emak