The Great Great Ocean Road

Twelve Apostles

Sesuai namanya, Great Ocean Road ini memang grrrrreat! Bahasa alay-nya gr8 :p Dan cara terbaik untuk menikmatinya adalah dengan slow road trip.

Jalan sepanjang 243 kilometer ini dibangun pada tahun 1919 – 1932 oleh tentara Australia yang pulang perang dunia pertama. Rute B100 ini menyusuri pantai selatan negara bagian Victoria, dari kota Torquay sampai Warrnambool. Great Ocean Road ini alasan utama kami melakukan road trip dari Adelaide ke Melbourne. Biasanya orang-orang datang dari jalur sebaliknya: Melbourne ke Adelaide. Untuk turis yang waktunya mepet dan tidak sempat melakukan road trip, tetap bisa mengunjungi Twelve Apostles (atraksi utama di GOR ini) dengan ikut tur satu hari. Cek pilihan operator tur di website resmi pemerintah Victoria ini.

Saya tidak begitu suka ikut tur karena tidak bebas berhenti sesuka hati dan kurang nyaman kalau membawa anak-anak. Takut precils rewel dan ditimpuk orang satu bis, hehe. Dari Melbourne, 12 Apostles bisa dicapai dalam 3 jam perjalanan dengan mobil/bis. Trip satu hari biasanya berangkat dari Melbourne jam 7 pagi dan sampai kembali ke kota jam 9 malam. Atau ada juga trip yang berangkatnya lebih siang, tapi tempat perhentiannya lebih sedikit. Biasanya mereka berhenti sekitar 15 menit di tempat-tempat menarik dan sampai 45 menit khusus di Twelve Apostles. Rute perjalanannya pun tidak sampai ke Warrnambol, biasanya hanya sampai Port Campbell, beberapa menit setelah 12 Apostles (dari arah Melbourne). Harga tur ini tergantung operator dan fasilitas yang disediakan, antara $75 – $150 per orang. Sila baca blog Tesya dan blog Vicky yang pernah mengikuti tur satu hari Great Ocean Road dari Melbourne.

Kami memulai GRO ini dari Warrnambol, kota kecil yang cantik, dengan taman bermain yang bagus dan luas, dan pantai yang panjang dan indah. Pantai di Warrnambol ini juga terkenal sebagai tempat untuk melihat migrasi ikan paus. Keluarga yang ingin melakukan road trip 2-3 hari dari Melbourne, dan tidak melanjutkan ke Adelaide, saya menyarankan untuk menginap di sini.

Keluar dari Warrnambol, kami mulai benar-benar menyusuri pantai, tapi belum melihat lautnya karena terhalang semak-semak. Perhentian pertama kami adalah di Bay of Islands. Mulut saya langsung menganga lebar melihat pemandangan karang-karang yang terlepas dari induknya. Kata-kata tidak bisa melukiskan keindahan yang ada di depan mata saya *tsah* Laut di depan kami benar-benar liar, tidak heran kalau terjadi korosi dan memisahkan karang-karang kapur ini dari daratan. Angin bertiup kencang sampai membuat air laut tempias ke atas. Si Ayah buru-buru melindungi kameranya dari air asin. Little A cukup terkesan dengan pemandangan laut ini tapi Big A ogah-ogahan :p Melihat langit dengan awan hitam bergulung-gulung, kami hanya singgah sebentar di Bay of Islands ini dan segera melanjutkan perjalanan.

Banyak persinggahan yang bisa dinikmati sepanjang perjalanan GRO ini, tapi kami hanya bisa memilih yang ‘penting-penting’ saja. Tanda tempat yang menarik sangat jelas terlihat dari jalan, dengan fasilitas tempat parkir dan kadang toilet umum. Perhentian selanjutnya adalah London Bridge. Ini bukan tiruan jembatan di London sana ya. Tadinya karang ini bernama London Arch, bentuknya mirip jembatan dengan dua lengkungan (busur) di bawahnya. Pada tahun 1990 jembatan ini runtuh, dan dua orang turis yang sedang ada di ujung harus diselamatkan dengan helikopter. Setelah kejadian itu, formasi karang ini dijuluki London Bridge, seperti lagu anak-anak Inggris yang terkenal: London Bridge is falling down… falling down…

Setelah melewati London Bridge, kami mulai banyak melihat bis-bis pariwisata yang lalu lalang, yang membawa rombongan turis dalam tur sehari. Sebelum melanjutkan perjalanan ke twelve apostles, kami melipir sejenak ke kota kecil Port Campbell untuk makan siang. Kota ini adalah kota yang paling dekat dengan Twelves Apostles, hanya 15 menit bermobil. Tapi saya tidak merekomendasikan tempat ini untuk menginap karena tidak banyak yang bisa dilihat. Tadinya kami ingin makan di restoran, tapi tidak menemukan tempat makan yang cocok (dengan selera dan kantong kami). Lalu di pinggir jalan, mata saya menangkap papan tulis di trotoar yang bertuliskan: Indomie Goreng $7. Wah, seketika saya menelan air liur. Kepala saya segera memroses ‘kode’ yang diberikan warung tadi. Kami merapatkan campervan di tempat parkir di tepi dermaga dan mulai memasak Indomie Goreng yang selalu kami bawa untuk keadaan darurat 😀 Ah, nikmatnya makan Indomie goreng dan telur ceplok di depan teluk kecil, ditemani burung-burung camar yang mencuri-curi kesempatan…

London Bridge (is falling down)
Bis nya tenggelam di semak-semak :p

Dari awal perjalanan kami melewati rute B100, langit tidak menunjukkan tanda-tanda akan tersenyum. Awan-awan hitam terus-menerus menghantui perjalanan kami. Setelah makan siang istimewa di Port Campbell, kami melanjutkan perjalanan dan singgah di Loch Ard Gorge.

Gorge atau ngarai sempit ini dinamai sama dengan kapal yang kandas di sini pada tahun 1878. Kapal Loch Ard ini mengakhiri tiga bulan perjalanannya dari Inggris menuju Melbourne. Dari 54 penumpang hanya ada dua yang selamat: Tom (15 tahun) dan Eva (17 tahun), imigran dari Irlandia. Kita bisa turun ke pantai di gorge tempat Tom dan Eva bertemu. Sayangnya kami tidak sempat turun karena harus menuntaskan perjalanan sampai ke Twelve Apostles, sebelum hujan turun!

Loch Ard Gorge

Hanya sekitar sepuluh menit dari Loch Ard Gorge, kami sampai juga di destinasi jalan-jalan yang sudah saya kami idam-idamkan sejak lama. Tempat parkir untuk melihat formasi karang yang populer ini sangat luas. Kios informasinya pun sangat bagus, dilengkapi dengan cafe yang menjual kopi, camilan dan suvenir dan tentu dilengkapi toilet yang bersih dan nyaman. Dari jauh kami mendengar raungan helikopter yang melayang-layang di udara. Naik helikopter adalah salah satu cita-cita saya yang belum tercapai. Mahal banget Kak! Untuk terbang sekitar 15 menit, kita perlu merogoh kocek $145 per orang atau sekitar satu setengah juta rupiah. Masih tertarik? Boleh intip website operator helikopter di sini.

Untuk menikmati pemandangan Twelve Apostles, kita harus menyeberang melewati terowongan di dekat kios informasi. Begitu sampai di look out, mata saya menyaksikan pemandangan yang sudah biasa saya lihat di kartu pos dan brosur dan website, hanya saja kali ini benar-benar nyata, tiga dimensi. Formasi batu karang ini memang menakjubkan, dengan latar belakang tebing merah, pantai keemasan, laut biru dan alam sekitarnya yang terjaga. Kalau saja langit cerah, kami bisa menyaksikan sunset yang sangat menawan dari titik ini. Tapi karena awan mendung bergulung-gulung, foto-foto yang kami hasilkan pun tidak seindah warna aslinya. Saya sudah cukup bersyukur bisa menyaksikan pemandangan menakjubkan ini tanpa hujan. Kalau sampai hujan, duh, bisa hancur karir saya sebagai travel blogger, hehe.

Selain pemandangan alamnya yang memang mengagumkan, saya juga kagum pada kehebatan departemen pariwisata Victoria mempromosikan salah satu ikon Australia ini. Dulunya, formasi karang ini dinamai Sow and Piglets (Babi dan anak-anaknya). Tapi karena dirasa kurang menguntungkan untuk pariwisata, pada tahun 1922 mereka memberi nama baru: The Apostles. Akhirnya agar lebih komersil, formasi karang ini dinamai Twelve Apostles, seperti jumlah murid Yesus, meskipun karangnya sendiri hanya sembilan. Sekarang kita hanya bisa melihat tujuh karang karena satu karang runtuh pada tahun 2005 dan satu lagi runtuh tahun 2009. Yang belum sempat dan ingin menyaksikan keindahan alam ini, sebaiknya cepat-cepat datang sebelum karang-karang yang lain runtuh. Kecepatan erosi di laut ini sekitar 2cm per tahun. 

Saya sendiri masih bercita-cita untuk melakukan trekking Great Ocean Walk, agar bisa menyibak keindahan dari balik semak dan turun ke pantainya yang keemasan. Sementara ini, baru bisa bermimpi sambil mengintip website Great Ocean Walk.

Kios Informasi di Twelve Apostles
Twelve Apostles

Setelah puas menikmati keindahan twelve apostles, titik hujan mulai turun. Saya mengajak The Precils berlari menuju kios informasi, yang untungnya masih menyediakan kopi panas untuk menghangatkan suasana. Sore dan malam itu kami melanjutkan perjalanan menembus hutan Otway dalam hujan lebat. Saya sampai takut sekali melalui jalan berliku di hutan karena jarak pandang yang cuma beberapa meter. Sudah jam tujuh malam ketika kami sampai di Apollo Bay dan belum juga menemukan caravan park untuk parkir. Agak kapok sampai ke caravan park malam-malam, karena susah melihat rambu jalan bergambar caravan park berwarna biru. Akhirnya kami menemukan juga Pisces Caravan Park dan cek in di menit-menit terakhir sebelum resepsionis tutup.

Kakatua bebas beterbangan di pantai Lorne


Apollo Bay cukup cantik untuk dijadikan tempat menginap, asal cuaca cerah 🙂 Kami tidak begitu beruntung, dihantam badai sepanjang malam dan masih ada sisa gerimis esok harinya ketika kami cek out. Untungnya Tuhan berbaik hati menghadiahi kami langit yang cerah, sebentar saja ketika kami istirahat makan siang di Lorne.

Lorne adalah kota kecil tepi pantai yang sangat cantik, mengingatkan saya pada satu strip jalan di pinggir pantai Bondi. Di sini ada taman bermain yang sangat luas, dengan berbagai macam permainan menarik. The Precils betah sekali di sini. Saya juga lumayan betah meskipun harus memasak makan siang (biasa, Si Ayah tidak mau keluar uang untuk beli makan di warung) dari dalam campervan dan makan di mobil. Nggak masalah sih, karena pemandangan dari campervan yang kami parkir di tepi pantai ini sungguh menarik: burung kakatua yang kasmaran, burung-burung centil berwarna pink yang melompat-lompat lucu, dan orang-orang yang berjalan di atas air (stand up paddle surfing). Kalau sempat menjelajah GOR ini, saya akan memilih menginap di kota ini.

Jogging track di Torquay

Torquay adalah kota di ujung rute Great Ocean Road. Kami menginap semalam di sini sebelum esok harinya melanjutkan perjalanan ke Melbourne. Sepanjang perjalanan dari Lorne ke Torquay kami disuguhi pemandangan indah, setiap belokan memunculkan kejutannya sendiri. Rute ini memang dibangun di sepanjang pantai sehingga kita bisa melihat keindahan pantai, inlet, muara sungai sambil berkendara. Panjangnya road trip tidak terasa kalau kanan kiri ada yang sedap dipandang. Kata Si Ayah, “Aku rela sepuluh hari jadi sopir kalau pemandangannya seindah ini setiap hari.”

Kode untuk merencanakan road trip lagi? :p

 ~ The Emak

[Penginapan] Caravan Park Adelaide – Melbourne

Lake Albert Caravan Park

Tidak seperti biasanya, dalam road trip campervan kali ini, saya tidak ribet booking penginapan lebih dulu. Karena kami jalan-jalannya di low season, bukan musim liburan, kami bisa langsung menginap tanpa memesan terlebih dahulu di semua caravan park yang kami singgahi di jalan.

Dalam road trip Adelaide – Melbourne kali ini, kami menginap delapan malam di caravan park dan satu malam terakhir di hotel dekat bandara (Holiday Inn Melbourne Airport). Hanya hotel yang sudah kami pesan lebih dulu di websitenya. Sisanya, saya siapkan saja pilihan caravan park di kota-kota yang singgahi sepanjang perjalanan. Mencari caravan park ini bisa dengan bantuan google, atau mengunjungi tiga website grup caravan park di Australia: Big 4, Top Tourist Parks dan Discovery Holiday Parks, yang punya banyak caravan park, tersebar di seluruh penjuru Australia. Saya tidak fanatik dengan salah satu brand caravan park, yang penting lokasinya pas karena standard mereka sudah bagus.

Tiga malam pertama, kami menginap di tiga caravan park yang berbeda di Kangaroo Island. Malam-malam berikutnya, kami menyusuri garis pantai Australia Selatan dari Adelaide ke Melbourne.

Ketika menyusun itinerary perjalanan ini, saya tidak punya bayangan kota Meningie itu seperti apa. Saya belum pernah mendengar nama kota kecil ini, bahkan di buku panduan. Agak cemas juga menginap di tempat asing, tapi Meningie ini titik istirahat yang pas dari perjalanan hari keempat dari Cape Jervis melewati Victor Harbor dan Strathalbyn. Ternyata, menginap di Meningie ini melebihi harapan saya. Di sini kami menyaksikan sunset dan sunrise di tepi danau, dari belakang campervan kami. Siapa yang tidak bahagia, makan malam dan sarapan dengan pemandangan seperti ini, tapi cukup membayar 1/4 dari harga hotel biasa.

Hari sudah senja ketika kami sampai di Lake Albert Caravan Park. Si Ayah mengurus cek in di resepsionis, yang ternyata memakan waktu yang sangat lama. Resepsionisnya nenek-nenek yang ramah dan suka mengobrol. Jadi perlu waktu setengah jam untuk melayani dua orang yang cek in di depan antrean Si Ayah. Duh, si Nenek ini bikin gemes karena Si Ayah niatnya ingin memotret sunset yang sudah memerah di tepi danau, keburu sunset-nya hilang. Akhirnya kami berhasil cek in juga dengan tarif $48 (untuk berempat) di lokasi tepi danau (lake front). Danau Albert benar-benar hanya sepuluh langkah dari pintu campervan kami.

Saya suka tempat ini, bersih, rapi dan cantik. Ada dua tempat sampah untuk masing-masing site, satunya untuk sampah daur ulang. Hati saya jadi riang, sampai sempat memasak spaghetti jamur untuk the precils 🙂 Kami makan malam cepat-cepat di tepi danau sebelum nyamuk dan serangga malam datang, sambil memandang sunset yang akan terus kami kenang.

Di caravan park kami harus berbagi kamar mandi dan toilet dengan penghuni yang lain. Jangan khawatir, semua kamar mandi di sini, meskipun digunakan bersama, selalu dalam keadaan bersih. Tentu karena sesama pengguna menjaga kebersihan. Tidak seperti di rumah, saya selalu mandi pagi-pagi banget agar mendapatkan bilik kamar mandi yang masih belum dipakai, yang masih kering. Lazimnya di sini, setelah selesai mandi, kita diminta untuk mengepel lantai kamar mandi agar siap digunakan oleh yang lain. Tongkat pel disediakan di sudut. Mandinya memang hanya shower (pancuran), tapi nyaman banget karena pakai air panas. Cukup menyegarkan setelah semalaman meringkuk dalam kantung tidur.

Sunset dari belakang campervan kami
Matahari terbit

Kota kecil berikutnya yang kami singgahi adalah Robe. Di sini kami menginap di Robe Discovery Holiday Park, yang letaknya di pinggir pantai Long Beach. Tarif menginap semalam di powered site adalah $51, tapi kami mendapat diskon 10% karena menggunakan campervan Apollo, jadi tinggal membayar $45,90 untuk berempat. Kami sampai di Robe pada jam makan siang. Setelah jalan-jalan di kotanya yang kecil dan tidak menemukan restoran yang pas, kami memutuskan untuk barbekyu-an di caravan park. 

Biasanya di setiap caravan park ada fasilitas barbekyu, ada yang gratis (tinggal pencet tombol untuk menyalakan), ada juga yang harus bayar dengan koin (satu atau dua dolar). Bentuk mesin barbekyu ini biasanya kotak seperti tungku dari batu bata, atasnya ada wadah seperti baki alumunium. ‘Baki’ inilah tempat untuk memanggang, menjadi panas setelah kita memencet tombol di bawahnya.Tinggal letakkan bahan yang ingin kita panggang: potongan ayam, daging sapi, domba, kebab (sate), sayuran, dll. Kami biasanya menggunakan semprotan minyak zaitun agar hasil barbekyu lebih sedap (selain karena praktis). Karena digunakan bersama, kita harus membersihkan mesin ini setelah selesai memakai. Kadang kami menjumpai mesin barbekyu yang tidak bersih. Ini agak menjengkelkan, tapi bagaimana lagi, harus selalu dibersihkan sebelum dipakai. Bagi yang khawatir barbekyu ini digunakan untuk memanggang babi, setelah dibersihkan bisa melapisinya dengan aluminium foil. Tapi tentu saja rasanya tidak sesedap kalo dagingnya ada kontak langsung dengan ‘baki’ :p

Sorenya, setelah cuci-cuci baju di laundry koin, kami jalan-jalan di pantai yang jaraknya cuma tiga menit jalan kaki, tinggal menyeberang jalan. Pantai yang cantik ini sepi sekali, hanya ada satu-dua orang yang jogging melewati kami. Selebihnya ini menjadi pantai pribadi kami 🙂 Kami tidak tahu kalau sunset ini adalah sunset terakhir yang bisa kami nikmati dalam cuaca cerah. Karena malamnya, kami harus berusaha tidur dalam guncangan badai.

makan siang di Robe Discovery Park
Jalan menuju Long Beach

Dari Robe, kami menuju Port Fairy, perjalanan terpanjang dalam rute Adelaide-Melbourne kami. Sebenarnya, tadinya kami ingin menginap di Portland, kota sebelum Port Fairy. Tapi ternyata Portland kotanya nggak asyik, terlalu banyak truk bermuatan yang lalu-lalang di jalan. Akhirnya kami berkendara satu jam ekstra untuk mencapai Port Fairy, kota yang lebih kecil dan lebih tenang. 

Menginap semalam di Port Fairy Gardens Caravan Park dikenakan tarif $48,90 untuk berempat. Caravan park ini letaknya di pinggir sungai. Sore hari kami kurang bisa menikmati Port Fairy karena cuaca mendung dan akhirnya hujan. Agak sengsara juga kalau hari hujan ketika kami sudah cek in di caravan park. Yang bisa dilakukan adalah membaca buku, mendengarkan musik, main iPad, sambil ngemil dan membuat hot chocolate. Kami membuka meja yang ada di tengah campervan.

Kamar mandi umum sebenarnya tidak jauh dari campervan kami, tapi kalau hari hujan, dengan rerumputan yang becek, jarak 50 meter rasanya jauh sekali. Apalagi kalau sudah di depan pintu toilet dan lupa kode yang harus dipencet di tombol. Tambah sengsara!

Pagi harinya untuk mencerahkan suasana, saya memasak pancake. The precils senang punya sarapan spesial, pancake dengan olesan madu organik dari Kangaroo Island. Cuaca cerah sebentar ketika kami cek out dan jalan-jalan sebentar menjelajah Port Fairy. Hari ini bakal istimewa karena kami akan singgah di Twelve Apostles di Great Ocean Road, salah satu alasan kami melakukan perjalanan ini. Sambil terus berdoa supaya cuaca membaik.

Tetangga kami di Port Fairy
Danau di sebelah Caravan Park

Siang harinya, kami cukup diberi cuaca setengah cerah sepanjang perjalanan di Great Ocean Road. Awan menggulung, matahari mengintip sedikit, tapi tidak hujan. Tadinya kami ingin bermalam di Port Campbell, lima belas menit sebelum Twelve Apostles dari arah barat, tapi kotanya tidak terlalu menarik dan tidak banyak yang bisa dilihat. Akhirnya setelah makan siang di tepi dermaga di Port Campbell, dan singgah sejenak di 12 Apostles, kami menembus hutan dan sampai di Apollo Bay jam tujuh malam. Cuaca sangat buruk ketika kami menembus hutan, dan dalam kota yang gelap, kami agak kesusahan mencari tanda caravan park. Begitu menemukan Pisces Holiday Park dan berhasil cek in, saya luar biasa lega.

Tarif semalam di caravan park yang masuk grup Big 4 ini adalah $49. Kami memilih parkir di lantai cor, bukan rerumputan agar tidak kena becek. Sayangnya tempat ini jauh dari toilet. Saya cuma bisa memandang iri pada tetangga yang parkir di sebelah kami, campervan Maui yang dilengkapi dengan toilet. Toilet di sini pun cukup ‘seram’ karena menempati bangunan lama yang cukup luas. Ketika saya masuk kamar mandi, hanya ada saya seorang diri, tapi pihak caravan park menyalakan radio lokal yang menyiarkan salam-salam dan lagu-lagu ‘daerah’. Maksudnya mungkin agar tidak merasa kesepian di dalam toilet, tapi saya malah sedikit ketakutan dan bahkan tidak berani melihat diri saya di kaca besar ketika cuci tangan di wastafel.

Sebenarnya lokasi Pisces Holiday Park ini bagus, di tepi pantai Apollo Bay, hanya tinggal menyeberang jalan. Tapi karena cuaca tidak mendukung, kami kurang bisa menjelajah kota tempat kami singgah ini. Perjalanan kami lanjutkan menuju Torquay, kota terakhir sebelum kami sampai Melbourne. Dalam perjalanan, kami singgah untuk makan siang di kota kecil yang cantik, Lorne.

‘dementor’ di atas Pisces Caravan Park

Torquay mendapat julukan Surf Capital of Australia dan juga tempat lahir brand terkenal Billabong. Setelah mendapatkan peta lokal di kios informasi, kami memilih menginap di Torquay Caravan Park yang terletak di pinggir pantai Torquay Surf Beach, tapi tidak jauh dari kota. Caravan park satu ini sangat luas, tapi tampaknya sedang dalam perbaikan. Beberapa blok ditutup, membuat kami berputar-putar mencari lokasi, meskipun sudah berbekal peta dari resepsionis. Banyak kabin-kabin tua yang dibangun dari caravan yang sudah tidak layak jalan. Beberapa blok di pojok terlihat tidak terawat. Mungkin karena itu tarif menginap di sini terhitung murah, hanya $31 per malam untuk sekeluarga.

Ketika sampai di lokasi kami yang pertama, ternyata toilet di dekat kami tidak berfungsi. Akhirnya kami mencari lokasi lain dengan toilet yang tidak rusak, dan parkir persis di seberangnya. Lumayan, kalau mau mandi tinggal melompat dari campervan.

Lucunya, mandi dengan air panas di sini dibatasi hanya 4 menit. Sebelum mandi, kita harus menekan tombol (di luar bilik) untuk menyalakan air panas. Setelah empat menit, air panas akan berhenti mengalir dan tinggal air dingin saja. Trik nya tentu saja dengan mempersiapkan segala sesuatu sebelum memencet tombol. Saya yang kalau mandi cukup lama (apalagi dengan air panas) agak repot dengan aturan ini. Empat menit di bawah pancuran rasanya sebentar banget. Tapi tantangn ini bisa saya selesaikan dengan baik. Saya sudah bersih dari sabun ketika air dingin mulai mengalir :p

Tantangan berikutnya adalah cek out sebelum jam 10 pagi. Kami diberi kode untuk membuka boom gate di gerbang depan. Lewat dari jam 10 pagi, kode ini sudah tidak berlaku lagi dan kami tidak bisa keluar. Untungnya The Precils bisa diajak kompromi. Kami bahu membahu membereskan campervan dan berhasil melewati boom gate tepat dua menit sebelum jam sepuluh!

Torquay Caravan Park

Parkir dekat toilet 🙂

Kami keluar dari kota Torquay, mengucapkan selamat tinggal pada Great Ocean Road dan membayangkan tidur nyaman di kasur empuk di Holiday Inn Melbourne Airport.

~ The Emak

Road Trip Adelaide – Melbourne

Pemandangan spektakuler di tengah jalan menuju Meningie di Australia Selatan

Seribu lima ratus kilometer, sepuluh hari, dua negara bagian, dua pulau, dua belas kota, dua dewasa plus dua precils, satu campervan!

Road trip kali, dari Adelaide ke Melbourne lebih panjang dan lama daripada beberapa road trip sebelumnya. Perjalanan ini sekaligus untuk mengucapkan selamat tinggal (semoga hanya sementara) pada Australia, yang sudah menjadi tuan rumah yang baik selama kami tinggal 5,5 tahun di sini.

Road trip kami mulai di Adelaide, ibukota negara bagian Australia Selatan. Sebelum melanjutkan menyusuri pantai selatan mainland Australia, kami sempatkan tiga hari menjelajah Kangaroo Island, di sebelah barat daya Adelaide. Pengalaman fantastis kami di Kangaroo Island sudah saya ceritakan di tulisan ini. Baru di hari keempat, kami kembali menyeberang ke mainland dan menyusuri kota-kota kecil di sepanjang garis pantai selatan Australia, melewati Great Ocean Road, dan berakhir di Melbourne. Total perjalanan kami sekitar 1500 km dan ditempuh dalam 10 hari dengan campervan.

Keunggulan jalan-jalan dengan road trip, kita tidak hanya disuguhi ‘tujuan wisata’ atau obyek wisata-nya saja, tapi bisa menikmati kejutan-kejutan di tengah perjalanan. Berdasar pengalaman kami, pemandangan atau fakta yang menakjubkan lebih sering kami temui di jalan atau di kota kecil yang belum pernah kami dengar namanya 🙂

Rute Road Trip Adelaide – Melbourne

Hari 1 
(A) Adelaide – (B) Cape Jervis: 107 km, 2 jam
(B) Cape Jervis – Penneshaw: menyeberang dengan feri, 45 menit

Hari 2
Penneshaw – Seal Bay – Vivonne Bay – Western KI

Hari 3  
Western KI – Parndana – Kingscote

Hari 4
Kingscote – Penneshaw – Cape Jervis
(B) Cape Jervis – (C) Victor Harbor: 60 km, 50 menit
(C) Victor Harbor – (D) Meningie: 141 km, 2 jam 15 menit

Setelah tiga malam menginap di pulau, kami menumpang feri Sea Link dari Kangaroo Island kembali ke mainland Australia. Pukul 11.15 kami sudah mendarat di Cape Jervis lagi. Si Ayah masih harus mengeluarkan campervan dari perut feri, sementara kami menunggu di pinggir jalan. Campervan keluar berbarengan dengan truk-truk besar berisi sapi-sapi. Aroma tahi sapi yang ‘sedap’ menebar ke mana-mana. Bahkan ada beberapa yang menempel di campervan kami. Yuck! Kenang-kenangan dari Kangaroo Island ini terpaksa kami bawa sampai hari berikutnya ketika ada kesempatan ‘cuci mobil sendiri’ di pom bensin.

Tujuan kami selanjutnya adalah Victor Harbor, sebuah kota kecil nan cantik, yang bisa ditempuh kurang dari sejam dari Cape Jervis. Di sini kami membeli makan siang di toko Original Fish & Chips untuk dimakan di tepi pantai. Fish & Chips di sini konon terbaik (nomor dua) di South Australia 🙂 Memang enak sih, sampai-sampai burung-burung camar di pinggir pantai berebut ingin makan. Cuaca hari itu sangat berangin dan lumayan dingin. Fish & chips panas cukup menghangatkan perut kami.

Ada satu atraksi wisata yang terkenal di Victor Harbor ini: trem yang ditarik dengan kuda. Trem ini melintasi trek jembatan kayu sepanjang 600 m dari mainland menuju Granite Island. Atraksi ini buka setiap hari mulai pukul 10.30 pagi sampai jam 3.30 sore. Tiket pp untuk dewasa $8, anak-anak $6 dan keluarga $22. Sayangnya kami tidak sempat naik karena tidak cukup waktu, harus segera melanjutkan perjalanan agar tidak kesorean sampai di Meningie, tempat kami menginap.

Setelah numpang pipis di toilet umum yang bersih dan nyaman, saya menuju kios informasi, untuk mengambil peta dan menanyakan tentang feri yang harus kami naiki untuk menuju Meningie. Saya benar-benar penasaran dengan feri sungai ini. Ketika saya buka Google Maps, ada sungai kecil yang harus dilewati, dari Victor Harbor menuju Meningie. Tapi tidak ada keterangan tentang jadwal, cara bayar, dan lain-lain. Petugas informasi meyakinkan saya bahwa feri itu ada sepanjang hari, gratis dan bisa dinaiki oleh campervan kami.

Ternyata memang benar, setelah belanja di Woolworths dan numpang pipis di kota kecil Strathalbyn, kami sampai di mulut Murray River. Di sana feri, yang ternyata hanya seperti jembatan penyeberangan yang berjalan, sudah bersiap. Kami tinggal melanjutkan menyetir sampai campervan naik ke feri tersebut. Satu kali penyeberangan hanya cukup untuk tiga mobil. Petugas pun menyeberangkan kami, selamat sampai ke seberang. Kalau di Indonesia, mungkin mirip dengan perahu tambang (tambangan) yang juga digunakan untuk menyeberangi sungai, tapi hanya cukup untuk orang dan sepeda motor.

Saya lega sekali setelah berhasil menyeberang Murray river, dan mengucap terima kasih kepada petugas operator feri. Setelah itu, dari Wellington East menuju Meningie, kami disuguhi pemandangan dahsyat sepanjang perjalanan. Di sebelah kanan kami ada sinar matahari yang menembus awan yang bergulung-gulung. Si Ayah sudah gatal ingin berhenti dan memotret, sebelum cahaya itu tenggelam di balik awan. Tapi Big A tidak mau kami berhenti karena takut kemalaman di perjalanan. Akhirnya setelah melewatkan banyak momen indah untuk difoto, Si Ayah menepikan campervan sebentar di tepi perairan. Saya menenangkan the precils dengan berbagi lolly 🙂 

Sore yang indah ini ditutup dengan cantik, menikmati senja yang memesona di tepi Lake Albert, Meningie, tempat campervan kami diparkir.

Trem yang ditarik kuda
Melintasi jembatan
Feri penyeberangan

senja di Meningie


Hari 5
(D) Meningie  – (E) Robe: 188km, 2 jam

Kami belum pernah mendengar tentang kota kecil ini sebelumnya, dan tidak ada di brosur wisata, tapi Meningie meninggalkan kesan yang indah bagi kami. Senja yang cantik dan pagi yang anggun di Lake Albert, yang bisa kami nikmati bahkan dari dalam campervan.

Dari Meningie, kami melanjutkan perjalanan ke Robe, melalui Coorong dan Kingston. Di google maps, saya melihat jalan sepanjang wilayah coorong ini ada di tepi laut. Saya sudah membayangkan bakal menyaksikan pemandangan yang indah. Tapi ternyata lautnya tidak kelihatan karena terhalang oleh bukit-bukit. Sebenarnya kalau mau menjelajah, di sini ada Coorong National Park, yang bisa dicapai dengan melipir dari jalan utama. Pantai-pantai cantik di Coorong paling bagus dinikmati dengan perahu.

Kota Kingston di sebelah utara Robe, terkenal dengan patung lobster raksasa nya. Ada hal unik (dan menggelikan sebenarnya) di Australia, untuk menampilkan hasil panen atau kekhasan daerahnya, mereka membangun patung besar, yang dikenal sebagai Australia’s Big Things. Kami baru melihat tiga: Big Merino di Goulburn (jalan menuju Canberra), Big Prawn di Ballina (dekat Byron Bay), dan Big Oyster di Taree. Saya sama sekali tidak ingat tentang Big Lobster di Kingston sampai kami melewatinya. Little A ingin kembali ke sana untuk melihat, tapi sayang kami harus tetap melanjutkan perjalanan. 

Di pinggiran Kingston, kami membeli bensin dan sempat membersihkan kaca mobil dari tahi sapi yang menempel. Di Australia, bensin harus kita isikan sendiri, baru membayar jumlahnya di kios sebelah. Di pom bensin biasanya ada fasilitas isi air radiator, bersih-bersih kaca, dan tambah angin ban, semua harus kita lakukan sendiri.

Kami sampai di Robe siang hari, saat makan siang. Setelah mampir sebentar di kios informasi, yang jadi satu dengan perpus kota, kami jalan-jalan mengelilingi kota kecil ini. Kotanya benar-benar kecil, hanya ada dermaga kecil, taman bermain pinggir pantai, gereja tua, bekas penjara lama dan tugu obelisk. Tidak menemukan tempat yang asyik untuk makan siang, kami akhirnya memilih barbekyuan di caravan park.

Barbekyu kami cukup sukses, meskipun nasinya tidak begitu sempurna karena dimasak tanpa rice cooker. Lokasi caravan park kali ini cukup strategis, hanya tiga menit jalan kaki menuju pantai Long Beach. Ketika kami main ke pantai ini, suasananya sepi sekali, hanya ada dua orang yang melintas jogging. Setelah itu, pantai yang membentang panjang dan berpasir putih ini milik kami pribadi. Saya membawa dua kursi lipat agar bisa duduk-duduk, minum, makan camilan sambil menikmati matahari terbenam. Si Ayah sibuk memotret, sementara Little A berjoged dan berlarian gak karuan, seolah pantai ini tidak ada ujungnya. Satu momen yang manis, sebelum akhirnya badai datang, mengguncang campervan kami malam-malam.

Untungnya kami sempat keluar makan malam sebelum badai datang. Malam hari, kota Robe tampak lebih sepi lagi. Cuma ada beberapa restoran yang buka. Pilihan kami adalah fish & chips (lagi). Saya senang mencoba fish & chips di setiap kota yang kami datangi, ingin tahu apa kekhasan masing-masing daerah. Fish & Chips kali ini dilengkapi oleh salad yang tidak biasa, dengan potongan bit (umbi berwarna merah) dan nanas. Juga ditambah dengan salad makaroni. Hanya ada kami yang membeli fish & chips malam itu. Setelah kami selesai makan di emperan, warung itu tutup 🙂

Malamnya, badai mengguncang campervan kami, seperti kena gempa kecil. Saya sampai memaksa Si Ayah untuk mengubah arah parkir kami menjadi malang melintang, agar sejajar dengan arah angin. Lumayan, campervan-nya jadi semakin sedikit bergoyang.

Robe Obelisk
Senja di ‘pantai pribadi’
Badai di Robe

Hari 6
(E) Robe – (F) Mount Gambier: 131 km, 1 jam 30 menit
(F) Mount Gambier – (G) Portland  116 km, 1 jam 30 menit
(G) Portland – (H) Port Fairy: 72,3 km, 1 jam

Rupanya, senja di pantai Long Beach, Robe adalah senja terakhir dalam cuaca kalem. Hari-hari berikutnya, kami dihantam badai yang ketika kami baca di berita, merupakan badai besar di kawasan pantai-pantai Australia Selatan.

Pagi-pagi kami sudah cek out dari Robe dan bergegas menuju Mount Gambier, melewati kota kecil Millicent. Kami berencana mencari sarapan di kota ini, sekaligus berbelanja bahan-bahan segar. Ternyata restoran masih banyak yang tutup. Akhirnya kami makan di Subway ditemani gerimis yang terlihat di jendela. Di IGA Millicent, supermarket semacam Alfamart/Indomaret, kami menemukan nasi instant, yang memasaknya tinggal di-microwave saja. Ah, rasanya senang ketemu nasi beneran 😀

Kami melanjutkan perjalanan meskipun cuaca tidak bersahabat. Mendung menampilkan pemandangan dramatis: kebun anggur yang tinggal pokoknya, kebun Canola yang selesai dipanen, kuda-kuda yang diberi selimut dan hutan cemara yang panjangnya berkilometer-kilometer. Cocok banget dengan lagu naik gunung, kiriii kanan, kulihat saja, banyak pohon cemaraaaa aaa… Saya penasaran sekali, industri apa yang membutuhkan pohon cemara sebanyak ini? Sampai akhirnya ada truk besar yang melintas dengan tulisan Kimberley Clark. Ah, sepertinya saya kenal betul merk ini, berhubungan dengan kami sehari-hari, tapi apa ya? Misteri ini terpecahkan ketika kami berhenti sejenak di pom bensin dekat perbatasan South Australia dan Victoria. Saya masuk ke toilet perempuan dan menemukan tulisan Kimberley Clark di wadah tisu. Pantas saja saya merasa kenal betul dengan merk ini. Kimberley Clark adalah produsen tisu Kleenex, pembalut wanita Kotex, dan popok Huggies. Jadi orang-orang di Australia ini (dan juga kita konsumen produk Kimberley Clark) turut serta membabat hutan cemara setiap kali memakai tisu 🙂

Mount Gambier yang masih termasuk negara bagian South Australia adalah kota industri, yang menghubungkan SA dengan dermaga Portland di Victoria. Di kota ini, banyak sekali truk-truk bermuatan yang berseliweran di jalan raya. Tapi jangan bandingkan dengan truk-truk yang ada di Indonesia ya. Yang di sini minimal rodanya 12, masih sanggup berlari kencang bahkan di jalan menanjak. Di Australia, perputaran produknya cukup efisien antar negara bagian. Ada satu danau cantik di kota ini, dikenal dengan nama Blue Lake. Kami sempat mampir ke sini, tapi hanya memandang sekilas, karena cuaca sangat dingin dan gerimis tetap turun. Tadinya, ketika merancang itinerary, saya hampir saja ingin menginap di sini, untungnya saya batalkan, karena kurang nyaman menginap di kota industri.

Kota selanjutnya adalah Portland. Kami sudah meninggalkan South Australia dan masuk ke negara bagian Victoria. Saya menanti-nanti melintasi perbatasan ini, berharap ada tugu selamat datang yang megah yang bisa saya foto. Tapi ternyata tidak ada, hanya ada papan petunjuk kecil, bahwa ini sudah masuk wilayah Victoria. Australia kalah sama Indonesia untuk urusan tugu selamat datang 🙂

Portland tidak begitu menarik bagi kami, isinya truk-truk besar dari dan ke pelabuhan. Saya dan Si Ayah juga ilfil mau menginap di caravan park sekitar sini. Akhirnya kami setuju untuk menginap di Port Fairy, satu jam dari sini, setelah istirahat dan makan siang di… Mc Donald.

Setidaknya kami bisa pakai free wifi. Cukup nyaman beristirahat di sini, dan Little A pun senang dapat balon, kurang apa lagi? Saya sebenarnya kasihan lihat Si Ayah yang harus menyetir banyak hari ini, merupakan rute terpanjang selama kami ber-campervan. Untung lah kami sampai di Port Fairy dengan selamat meski cuaca belum juga berubah. Kami tidur ditemani gerimis di caravan park. Rasanya malas sekali kalau harus pergi ke toilet menembus hujan.

Pohon fotogenik
Pembangkit listrik tenaga angin
Blue Lake, Mount Gambier


Hari 7
(H) Port Fairy – (I) Warrnambol: 28,6 km, 30 menit
(I) Warrnambol – (J) Port Campbell: 64,8km, 1 jam
(J) Port Campbell – (K) Apollo Bay: 96,1km, 1 jam 30 menit

Paginya, untuk mencerahkan suasana, saya memasak pancake. Pancake dengan olesan madu organik dari Kangaroo Island ini cukup membuat gembira the precils (dan ortunya). Di Port Fairy kami sempat mampir ke waterfront-nya, yang berupa karang-karang dengan ombak yang sangat ganas. Tampak beberapa warga senior yang bersepeda menyusuri jalur tepi laut.

Kota perhentian kami selanjutnya adalah Warrnambol, yang cukup asyik sebenarnya untuk dijadikan tempat menginap. Banyak garis pantai dengan pasir putih yang dijadikan tempat untuk melihat ikan paus. Banyak taman bermain lokal yang bagus dan luas. Tempat ini cocok dijadikan alternatif tempat menginap kalau mau road trip melintasi Great Ocean Road.

Great Ocean Road adalah jalur jalan di tepi pantai sepanjang 243 km, dari kota Warrnambol di sebelah barat sampai kota Torquay di sebelah timur. Di sepanjang jalur ini, banyak sekali tempat-tempat menarik yang bisa dikunjungi, antara lain yang paling terkenal adalah Twelve Apostles, formasi karang di tepi pantai, yang sebenarnya tidak berjumlah 12.

Road Trip melewati Great Ocean Road saya ceritakan di tulisan ini.

Mendung yang bikin deg-deg-an

Hari 8
(K) Apollo Bay – (L) Lorne 44,7km, 45 menit
(L) Lorne – (M) Torquay 46,9km, 46 menit

Hari 9
(M) Torquay – (N) Melbourne: 93,7km, 1 jam 20 menit
(N) Melbourne – (O) Melbourne Airport: 23,7 km, 25 menit

Hari 10
Melbourne Airport (O) – INDONESIA

Lorne
Pelangi

 ~ The Emak

[Penginapan] Caravan Park di Kangaroo Island

KI Shores Caravan & Camping

Jalan-jalan dengan caravan, campervan atau camping sudah menjadi gaya hidup di Australia, bukan sesuatu yang aneh atau mewah. Gaya liburan seperti ini didukung fasilitas caravan park yang mudah ditemui di setiap daerah di negara ini.

Caravan Park, atau yang sering disebut Holiday Park dan Tourist Park adalah akomodasi untuk ‘memarkir’ caravan/campervan atau mendirikan tenda. Fasilitas standar yang ada adalah colokan listrik (power), kran air bersih, kamar mandi dan toilet umum, laundry, dapur umum serta tempat barbekyu. Caravan park yang lebih ‘mewah’ dilengkapi taman bermain atau bahkan kolam renang. Mereka biasanya juga punya kabin atau unit kamar sederhana, yang fasilitasnya mirip dengan motel. 

Ada tiga grup besar yang menjadi operator caravan park di Australia: Big 4, Top Tourist Parks dan Discovery Holiday Parks. Mereka punya park yang tersebar di seluruh Australia, biasanya di pinggir pantai, tepi danau/sungai atau dekat dengan tempat wisata. Holiday Park ini jarang sekali yang lokasinya di tengah kota besar. Kalau ingin dapat diskon, daftar aja jadi member di grup mereka, bisa secara online kok. Atau biasanya kalau kita menyewa campervan, akan otomatis mendapat diskon di beberapa caravan park yang bekerja sama.

Kami pertama kali mencicipi Holiday Park ketika menginap di Te Anau, New Zealand. Waktu itu kami memesan kabin dengan kamar mandi dalam, belum berani naik campervan, berkemah atau bahkan sekedar sharing kamar mandi 🙂 Saya ingat, tidak bisa menyembunyikan kekagetan ketika berkenalan dengan keluarga dari Amerika Serikat yang membawa dua anaknya yang masih balita, keliling Selandia Baru dengan… berkemah! Gile bener, pikir saya. Tapi setelah merasakan sendiri asyiknya berkemah di Holiday Park, suatu saat kami pun ingin berkeliling New Zealand dengan hanya mendirikan tenda 🙂 Saran saya untuk yang ingin jalan-jalan dengan campervan tapi belum berani, coba dulu menyewa kabin di salah satu holiday park. Coba semua fasilitas yang ada. Kalau merasa nyaman, baru lain kali datang lagi dengan membawa campervan.

Selama tiga hari berkeliling Kangaroo Island, kami menginap di tiga caravan park yang berbeda, sesuai dengan itinerary. Yang pertama adalah Kangaroo Island Shores Caravan & Camping di Penneshaw, dekat dengan dermaga penyeberangan. Kami sampai di Caravan Park ini pukul 7 malam, hari sudah gelap dan resepsionis sudah tutup. Ketika Si Ayah menelpon, penjaga caravan park bilang agar kami memilih tempat sendiri dan bisa membayar sewanya besok. Kami pun memarkir campervan di antara kantor resepsionis dan kamar mandi, tentu setelah mengecek bahwa colokan listrik-nya benar-benar berfungsi. Colokan ini berguna untuk men-charge power di campervan yang digunakan untuk menyalakan lampu, memompa air di bak cuci piring, menyalakan kulkas dan microwave. Khusus microwave, hanya bisa digunakan ketika power disambungkan ke colokan listrik, jadi alat masak yang satu ini tidak bisa digunakan ketika kami dalam perjalanan. Colokan listrik juga penting banget untuk men-charge gadget-gadget kami (sudah jelas!).

Pagi harinya, baru kami bisa menyaksikan keindahan tempat ini, dengan bunga-bunga liar di sekeliling campervan, dan pemandangan laut yang bisa disaksikan dari tempat kami parkir. Kami cepat-cepat beberes, bongkar pasang setting campervan. Di hari-hari pertama, kami perlu waktu lama untuk bongkar pasang campervan ini. Tapi lama-lama, kami bisa melakukannya dengan mata tertutup 😀 

Sekitar jam 11 siang, kami baru siap melanjutkan perjalanan. Saya yang bertugas membayar, celingak-celinguk mencari resepsionis yang baru saja saya lihat tadi pagi. Ternyata orang itu sudah pergi membawa serta mobilnya. Saya baca pengumuman di depan pintu kantor: kalau tidak ada orang, uang pembayaran bisa diselipkan di lubang pintu. Heh, serius? Saya mencari-cari lubang untuk menyelipkan uang, tapi tidak ketemu. Saya berlari ke depan untuk mencari kotak pos, siapa tahu bisa dititipkan di sana, ternyata juga tidak ada. Agak frustasi, saya menuliskan nama dan kontak kami, tanggal cek in dan cek out di kertas. Lalu saya sertakan uang sesuai tarif yang ada di website mereka, $27 per malam, plus $10 untuk tambahan dua anak. Setelah menggumamkan doa kecil, gulungan kertas berisi uang tersebut saya lemparkan di celah antara pintu kasa dan pintu kayu. Bismillah, yang penting sudah bayar, nggak ngemplang!

Little A menyiram bunga dengan… wajan :p
Bunga hasil panenan Little A. Berguna utk hiasa ‘meja makan’.

Saya geli sendiri kalau ingat cara pembayaran yang ajaib tadi. Tapi ternyata malah ada caravan park yang sama sekali tidak ada penjaganya, bahkan tidak ada kantor resepsionisnya. Dalam perjalanan kami mencari pantai perawan Vivonne Bay, kami ‘menemukan’ caravan park jenis ini. Di sana hanya ada papan pengumuman yang menjelaskan cara pendaftaran dan tarifnya. Di dekatnya ada Pay Station, kotak untuk memasukkan uang pembayaran kita. Tarif bermalam di caravan park ini $25 untuk tempat dengan power (listrik) dan $15 tanpa power, berlaku untuk dua orang. Tambahan orang membayar $5 per malam. Fasilitas di caravan park dan camping ground ini cukup mantap. Selain kamar mandi dan toilet umum, juga ada tempat barbekyu dan taman bermain. Bonusnya, pantai Vivonne yang cantik bisa dicapai dengan 5 menit berjalan kaki, dan ada koala, penghuni tetap yang ‘menjaga’ kita di pepohonan.

Tadinya saya kepikiran untuk menginap di sini. Tapi takut kalau malam terlalu sepi dan esok harinya kami harus road trip dengan jalur yang lebih panjang lagi. Akhirnya kami memilih melanjutkan perjalanan ke barat dan menginap di Western KI Caravan Park & Wildlife Reserve.

Lokasi caravan park yang satu ini rimbun banget. Beberapa kilometer sebelum mencapai tempat ini, di kanan kiri jalan ada kanguru-kanguru liar, membuat Si Ayah harus menyetir dengan sangat hati-hati agar tidak menabrak. Tarif menginap semalam di sini untuk tempat dengan colokan listrik $28 untuk berdua. Orang ketiga bayar $8 dan anak di bawah 5 tahun $4. Jadi total $40. Lebih mahal dari caravan park sebelumnya, mungkin karena ada yang jaga 24 jam 🙂 Fasilitas di sini standar, yang istimewa adalah penghuni asli-nya. Kami dikunjungi oleh dua kanguru ketika sedang makan malam, dibangunkan oleh suara berisik kalkun di pagi hari dan diganggu bebek-bebek liar ketika sarapan. Yah, namanya tidur di alam terbuka 🙂 

Tapi jangan salah, kamar mandi di setiap caravan park dilengkapi shower air hangat. Jadi di musim dingin pun, kita tetap bisa mandi nyaman dengan air hangat, semudah menyalakan kran.

Nggak ada yang jaga. Perhatikan tanda caravan warna biru 🙂
Toilet yg bersih dan nyaman.

Caravan Park yang terakhir kami singgahi adalah Kingscote Tourist Park & Family Units. Caravan park ini dekat sekali dengan Nepean Bay, tempat Si Ayah menyaksikan sunrise yang paling indah seumur hidupnya. Tempat ini dikelola oleh pasangan pensiunan yang bercita-cita tinggal di paradise. Ternyata, kata mereka, tinggal di tempat seindah ini pun banyak tantangannya. Antara lain mahalnya transportasi ke mainland (ingat cerita saya tentang tiket feri Sea Link?) dan biaya listrik yang tinggi. Saya jadi ingat cerita pemilik Parndana Wildlife tentang listrik yang harus ‘diimpor’ dari mainland melalui kabel bawah laut. Tapi sayangnya, listrik ini hanya bisa dialirkan searah. Jadi kalau ada kelebihan listrik, mereka tidak bisa mengembalikan ke mainland. Akhirnya mereka menanggung biaya yang lebih dari yang seharusnya.

Di Kingscote ini kami membayar $29 untuk power site, ditambah $16 untuk ekstra dua anak. Total $45 per malam. Di Pulau Kanguru ini, hanya di Kingscote, ibukotanya kami bisa menikmati layanan internet. Wifi yang tidak begitu lancar tarifnya $5 untuk 2 jam. Tapi lumayan lah untuk update-update status dan mengintip email 🙂 Sore hari, saya menemani Little A berenang-renang dengan pelican di Nepean Bay. Nggak papa berbasah-basah sekalian karena memang ini jadwal kami mencuci baju. Setiap kali traveling, kami biasanya hanya membawa baju untuk tiga hari dan mencuci baju di perjalanan. Di campervan ini ada mesin cuci menggunakan koin 3x $1 untuk sekali cuci. Mesin pengering juga dioperasikan dengan koin 3x $1. Jadi nggak perlu repot-repot jemur baju, cucian langsung kering dan bisa dipakai lagi.

Western KI yang rimbun
Hot chocolate, beef pie and… iPad. Afternoon tea at Western KI.
The Precils makan sendiri ya, biar Emaknya nggak repot :p At Kingscote Tourist Park.

Saya memimpikan ada camping ground dengan fasilitas seperti ini di Indonesia (dengan toilet dan kamar mandi yang bersih, laundry, tempat barbekyu dan taman bermain), supaya kami bisa melanjutkan petualangan kami di tanah air. Atau sudah ada? Beritahu The Emak ya…

~ The Emak

Ultimate Experience at Kangaroo Island

Pagi yang menakjubkan di Napean Bay, Kangaroo Island
Kangaroo Island, pulau di barat daya Adelaide ini dijuluki a zoo without wall-kebun binatang tanpa pagar. Di pulau ini, bukan kami yang harus ‘mengunjungi’ hewan-hewan khas Australia, tapi mereka yang ‘menyapa’ dan menghampiri kami.

Kami menyeberang ke Kangaroo Island (KI) dari dermaga Cape Jervis, sekitar dua jam dari Adelaide ke arah selatan. Hanya ada satu layanan feri di sini, dioperasikan oleh Sea Link. Tarif feri yang tidak disubsidi oleh pemerintah memang memberatkan. Bahkan penduduk lokal juga mengeluhkan tarif feri yang mahal ini. Tiket pulang pergi untuk kami berempat (2 dewasa 2 anak) plus satu campervan harganya AUD 424. Semahal tiket pesawat ke luar kota! Tapi gakpapa lah kalau dianggap membeli pengalaman sekali seumur hidup.

Tadinya kami ragu-ragu memasukkan Kangaroo Island ke dalam itinerary. Salah satu alasannya karena mahalnya tiket feri tadi. Alasan lain karena ketatnya jadwal kami. Kalau cuma bisa road trip seminggu, hanya cukup untuk jalan dari Adelaide ke Melbourne, tanpa mampir ke pulau. Tapi setelah Si Ayah konfirmasi bisa jalan 10 hari, kami menyisipkan 3 hari khusus di Kangaroo Island. Kata Si Ayah, mending menghabiskan waktu dan menginap di pulau daripada cuma di kota (Adelaide).

Kami sampai di Cape Jervis menjelang senja, mengejar feri jam 6 sore. Di tepi dermaga, terpampang aturan barang-barang yang tidak boleh dibawa masuk ke pulau ini: lebah, madu, kentang, serigala, kelinci dan tanaman tertentu. Peraturan ini tentunya untuk melindungi keanekaragaman hayati di Pulau Kanguru. Tapi, siapa juga ya yang mau membawa serigala? ^_^

Setelah feri datang, saya dan the precils bisa masuk kapal terlebih dahulu. Sementara Si Ayah harus memasukkan sendiri campervan ke dalam feri. Perlu waktu 45 menit untuk menyeberang dari Cape Jervis ke Penneshaw, dermaga di Kangaroo Island. Untungnya laut lumayan tenang, tidak begitu bergejolak. Pihak Sea Link akan membatalkan penyeberangan kalau kondisi laut terlalu berbahaya. Jadi, meskipun sudah booking online, lebih baik menanyakan kepastian berangkat beberapa jam sebelumnya via telpon. Di dalam feri, tidak susah mencari tempat duduk, cukup nyaman plus ada cafe yang menjual kopi, coklat panas dan camilan. Kami tertawa-tawa mengenang perjalanan terakhir kami naik feri dari Tasmania yang sangat tidak sukses: pusing dan mabuk.

Feri Sea Link menurunkan mobil-mobil
Senja di Cape Jervis
Ngopi di dalam feri
Sunrise di Penneshaw

Kami menginap semalam di KI Shores Penneshaw, caravan park terdekat dari dermaga. Sudah malam ketika kami sampai di sana, resepsionis sudah tutup. Kata resepsionis via telpon, kami boleh pilih-pilih tempat sesuka kami, bayarnya besok ketika cek out. Tarif parkir dengan power (listrik) cukup murah, $27 semalam. Kami boleh menggunakan fasilitas yang ada: toilet, kamar mandi, dan air kran untuk mengisi tangki air di campervan.

Malam pertama di campervan berhasil kami lalui dengan selamat :p Pada awalnya kami gedubragan ketika mengubah setting campervan dari tempat duduk menjadi tempat tidur. Hari sudah gelap, koper-koper kami yang banyak membuat ruang di dalam campervan tambah sempit. Akhirnya saya ‘membuang’ barang bawaan itu keluar dan cuma ditutupi sarung bali (tambah satu lagi kegunaan sarung bali selain alas piknik dan sprei darurat). Susah sekali mencari barang-barang yang kami perlukan, saking paniknya saya jadi lupa barang yang satu ini saya taruh di mana. Begitulah, kekacauan di malam pertama yang patut dikenang 😀

Si Ayah adalah morning person, jadi pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan berburu keindahan sunrise di dekat dermaga. Pulangnya dia membawa oleh-oleh foto-foto ciamik yang tidak masuk akal bagi saya (karena tidak pernah bisa saya lihat dengan mata kepala sendiri :p). Kami sarapan kopi (susu untuk precils) dan roti yang kami beli di Adelaide hari sebelumnya. Setelah itu kami beres-beres, mengisi tangki air dan mengubah setting campervan kembali menjadi tempat duduk. Little A bahkan sempat menyiram bunga-bunga di sekitar caravan park ini 🙂 Baru setelah jam 11 siang kami bisa melanjutkan perjalanan menuju Seal Bay.

Board Walk di Seal Bay
Sea lion yang leyeh-leyeh kekenyangan di pantai

Jalan utama di Kangaroo Island cukup bagus, beraspal mulus. Pulau ini terbentang sepanjang 155 km dari ujung ke ujung. Buku panduan KI yang sangat bagus, lengkap dengan peta yang detil, bisa diunduh di wesbite resmi ini. Meski sudah punya soft file-nya saya masih mengambil buku panduan ini di dermaga Cape Jervis, agar tidak setiap kali menyalakan gadget. Saran tempat-tempat menarik untuk dikunjungi juga saya dapatkan dari buku ini. Tapi saya tidak membuat itinerary ketat, cukup pilih satu atau dua tempat tempat yang wajib mampir, sisanya kalau sempat dan kalau yang lain setuju.

Seal Bay termasuk di daftar yang wajib dikunjungi. Di pantai ini terdapat koloni sea lion terbesar ketiga di Australia, dengan populasi mencapai 1000 ekor. Jenis sea lion yang kami jumpai di sini berbeda dengan sea lion yang kami lihat di Milford Sound, New Zealand. Singa laut Australia warna kulitnya tidak segelap singa laut Selandia Baru, dan tubuhnya relatif lebih besar. Mungkin ada yang masih bingung bedanya anjing laut dan singa laut? Sila baca di blog ini.

Di Seal Bay, kita bisa memilih untuk jalan-jalan sendiri di boardwalk atau ikut guided tour turun ke pantai. Untuk satu keluarga (2 dewasa 2 anak), biaya boardwalk tour $40, sedangkan ditambah guided tour menjadi $80. Kami memilih guided tour sekalian agar lebih dekat dengan singa-singa laut itu. Sebelum tour dimulai pukul 1 siang, kami punya kesempatan untuk jalan-jalan sendiri di boardwalk yang tersedia. Dari sini kami bisa melihat pemandangan seal bay dengan jelas dan mengamati dari jauh tingkah polah singa laut yang kebanyakan leyeh-leyeh di pasir pantai. Waktu itu kami sempat kaget mendengar suara nyaring singa laut yang bersahut-sahutan. Ternyata memang begitu cara mereka berkomunikasi satu sama lain.

Kami ditemani ranger turun ke pantai. Ternyata kami tidak boleh terlalu dekat dengan hewan ini, karena mereka termasuk binatang buas (!). Jarak minimal yang aman adalah 10 meter. Sementara ranger bercerita tentang Australian Sea lion ini, saya harus jagain Little A karena kadang dia punya ketertarikan sendiri, tidak selalu bisa konsentrasi ke tour guide (ya iya lah). Kami dipandu bersama dengan beberapa orang lainnya, sehingga saya harus memastikan Little A tidak ketinggalan dari rombongan. Ternyata di koloni sea lion, yang harus mencari makan adalah yang betina. Mereka akan pergi selama tiga hari untuk mencari makan di laut lepas, dan baru pulang setelahnya untuk memberi makan pada anak-anaknya. Setelah itu mereka bisa leyeh-leyeh sepuasnya, bermandi matahari di pasir pantai. Kami sempat melihat ‘atraksi’ beberapa singa laut yang pulang dari mencari makan di lautan. Mereka menaiki ombak, meluncur dengan indah dan mendarat di pantai. Lalu mereka berteriak-teriak memanggil keluarganya sambil berjalan lenggak-lenggok menyusuri pantai. Aksi mereka di habitat asalnya ini jauh lebih seru daripada menonton di sirkus atau kebun binatang 🙂

The Emak di Vivonne Bay
Burung-burung camar di Vivonne Bay


Resident Koala at Vivonne Bay Tourist Park
Kanguru di West KI Caravan Park

Puas di Seal Bay, kami melanjutkan perjalanan ke Vivonne Bay, yang menurut orang lokal merupakan pantai tercakep di Australia 🙂 Masa sih? Saya ingin membuktikan. Sayangnya jalan menuju Vivonne Bay tidak begitu mulus. Dari jalan utama yang beraspal, kami harus berbelok ke kiri melewati jalanan tanah. Campervan kami langsung berontak dan mengeluarkan bunyi-bunyian gemerincing dari laci-laci dapur :p Duh, Si Ayah jadi sewot dan menyetir dengan super pelan dan hati-hati. Kami hampir sampai di ujung pantai, ketika jalanan menukik turun dan naik lagi dengan tajam. Wah, kayaknya tidak cocok untuk dilalui campervan. Saya tidak tahu apakah kondisi jalan memang seperti ini atau kebetulan jalan sedang dalam perbaikan. Akhirnya kami mundur teratur dan berbalik menuju Vivonne Bay Tourist Park yang tidak jauh dari situ. Tourist park ini tidak dijaga. Yang ingin bermalam di sini bisa daftar sendiri dan memasukkan biaya sesuai tarif di kotak. Maklum, penduduk sini jujur semua :p Di sini kami cuma numpang makan siang, dari perbekalan yang ada.

Ketika kami sedang asyik-asyiknya nyemil stroberi, ada dua perempuan paruh baya yang menghampiri,. “Do you speak English?” tanyanya. “Yes, we do,” jawab Si Ayah kalem. Ternyata mereka ingin memamerkan seekor koala yang asyik nangkring di pohon. Mereka berdua semangat banget menunjukkan koala itu ke Little A. “This is our personal pet,” kata salah satu perempuan itu, yang ternyata memang tinggal di Vivonne Bay. Dia punya cottage yang menghadap laut. Kami melanjutkan ngemil stroberi di bawah pandangan mata si koala.  

Setelah kenyang, kami punya energi lagi untuk turun ke pantai. Ternyata dari tourist park ini kami bisa menyusuri Harriet River yang bermuara di Vivonne Bay. Pantai ini sepi sekali, hanya ada kami dan mas-mas India yang main kayak. Saya berteriak-teriak, melompat-lompat, berjoged dan balapan lari dengan Little A. Puas, hehe. Kami tidak sampai masuk ke air karena pasti dingin sekali di awal musim semi.

Tadinya kami sempat kepikiran untuk bermalam di Vivonne Bay Tourist Park ini  karena tarifnya lumayan murah. Tapi kok serem juga ya kalau malam. Akhirnya kami putuskan menginap di KI West Caravan park. Kami masih harus berjalan ke barat sekitar 35 km lagi, melalui jalan utama. Dalam perjalanan itu saya bertanya-tanya kok belum melihat satu pun kanguru hidup di sini. Padahal harusnya Pulau Kanguru banyak kanguru-nya kan? Yang kami lihat malah beberapa kanguru di tepi jalan, yang mati tergencet mobil. Kejadian kanguru tertabrak mobil ini sering sekali terjadi, di berbagai belahan Australia. Mungkin mereka tidak bisa beradaptasi dalam habitat baru yang dilewati kendaraan bermotor. Saya mengurungkan niat mengutuk jalan tanah yang membuat campervan kami terguncang-guncang. Kalau semua jalan dilapis aspal, dan semua mobil melaju kencang, pasti bakal lebih banyak lagi kanguru yang mati.

Pertanyaan saya terjawab dengan sendirinya, lima kilometer sebelum caravan park yang kami tuju, banyak sekali kanguru yang berkeliaran di tepi-tepi jalan. Ada yang sedang bercanda dengan teman-temannya, melompat-lompat atau yang cuma leyeh-leyeh sambil menatap heran ke campervan kami. Si Ayah harus mengemudikan kendaraan dengan pelan-pelan sekali agar tidak menabrak mereka yang tentu tidak memberi tanda kalau ingin menyeberang. Daerah ini disebut Hanson Bay Sanctuary, di ujungnya ada penginapan yang mewah banget: Southern Ocean Lodge. Untuk menginap di sini kita perlu merogoh kocek sebesar AUD 1200 per orang per malam. Wah, kalau The Emak nunggu ada yang mengundang gratis aja :p Saya sebenarnya penasaran dengan Hanson Bay Sanctuary ini, tapi hari sudah sore dan Si Ayah tidak ingin kami kemalaman lagi cek in di caravan park. Ya udah saya menurut sambil memikirkan cara bertemu langsung dengan kanguru-kanguru liar itu.

Tarif menginap semalam di KI West Caravan park ini $40. Lebih mahal memang, karena ada resepsionis yang jaga 24 jam. Kami yang belum terlalu lapar hanya makan malam dengan segelas coklat panas ditemani pie daging dan keju. Sambil makan, Little A dan Si Ayah bermain dengan iPad. Tiba-tiba, ada tamu tak diundang yang menghampiri campervan kami, dengan melompat! Betul, ada dua ekor kanguru yang menyapa kami. Yang satu kecil, tapi masih lebih tinggi daripada Little A, satunya lagi cukup besar, hampir setinggi saya. Duh, kami langsung menyelamatkan makanan dan masuk ke dalam campervan. Saya takut kena tinju kanguru ini. Mereka kabarnya memang jago bertinju, orang dewasa bisa pingsan kalau kena tinju kanguru. Kami deg-degan tapi excited dengan tamu-tamu ini. Ternyata mereka cuma mau mengunyah bunga-bunga dari pohon di dekat campervan kami. Si Ayah akhirnya bisa mengabadikan kanguru ini, meski tidak begitu fokus karena hari sudah beranjak gelap. Saya melihat mata Little A berkilat-kilat dengan keingintahuan sekaligus rasa cemas, mengamati kanguru yang mampir untuk menikmati makan malamnya. Ah, mungkin bukan mereka yang menjadi tamu kami. Keluarga kami lah yang berkunjung ke habitat mereka 🙂

Pagi hari kami dibangunkan suara kalkun yang berkokok dengan berisik. Kami bangun dengan lebih segar, karena sudah semakin ahli dan semakin cepat membongkar pasang campervan. Setelah mandi shower dengan air hangat di kamar mandi umum, saya menyiapkan sarapan istimewa: nasi sosis dengan lalap! The Precils makan dengan lahap, meski beberapa kali harus menghalau bebek-bebek liar yang menghampiri dan minta jatah makan 😀

Setelah cek out, kami berkendara ke arah utara melalui jalan utama. Sebenarnya masih ada beberapa tempat menarik yang bisa dikunjungi di bagian barat pulau ini, di antaranya Remarkable Rocks dan Admirals Arch yang menjadi ikon Kangaroo Island. Sayangnya kami tidak punya banyak waktu. Lagipula, the precils pasti tidak begitu suka diajak melihat batu-batuan :p Sebagai gantinya, kami menuju Parndana Wildlife Park, kebun binatang yang ada di tengah-tengah pulau.

Konsep kebun binatang ini mirip dengan yang pernah kami singgahi di Sydney: Featherdale Wildlife Park. Pengunjung bisa berinteraksi langsung dengan hewan-hewan yang ada. Saya dan Little A mencoba memberi makan kanguru, tapi kami memilih yang paling kecil dan jinak 🙂 Lalu kami berkeliling melihat-lihat hewan yang lain. Saya tidak begitu suka dengan kebun binatang ini karena toh kami sudah melihat dan malah didatangi oleh hewan-hewan khas Australia di habitat asalnya. Tapi sepertinya Si Ayah menikmati koleksi burung-burung langka di sini. Dan memang koleksi burungnya bagus-bagus. Yang paling lumayan adalah aviary-nya. Kita bisa berinteraksi langsung di ruangan besar berisi burung-burung berbulu indah yang berkicau. 

burung biru yang kesepian
Si Ayah berpose di depan hamparan bunga canola
lebah-lebah di sarangnya
Big A nyobain semua rasa madu organik 🙂

Setelah mampir sejenak di kota (sangat) kecil Parndana untuk membeli camilan, kami langsung berkendara ke ujung timur lagi. Kingscote, tujuan kami, adalah ibukota dari Kangaroo Island. Sampai di sini, saya ingin makan siang yang pantas istimewa, sekali-kali ke restoran lah :p Sebenarnya saya ingin makan fish & chips yang katanya terenak di pulau ini, tapi sayangnya tidak menemukan restorannya. Atau mungkin saya yang salah sangka, mengira fish & chips itu warung di pinggir jalan, tapi ternyata yang ada adalah restoran yang tampaknya mewah. Duh, sebelum banyak dolar melayang, kami melipir ke kafe yang menyajikan makanan Mexico, yang review-nya lumayan bagus di Trip Advisor: Yellow Ash & Chilli. Di kafe yang interiornya warna-warni ini kami memesan Nachos dan Quesadilla (isi mushroom untuk The Emak dan isi keju untuk precils). Makanannya enak, pelayanan bagus, meskipun agak lama, dan tempatnya menyenangkan. Mereka memberi Little A kertas dan crayon untuk corat-coret sementara menunggu. Mereka juga punya toilet yang bersih banget.

Akhirnya cita-cita The Emak makan siang mewah (untuk ukuran Si Ayah) kesampaian juga 😀 Saya ingat ketika memarkir campervan di depan resto ini, ada penduduk lokal yang menyapa, menanyakan kami dari mana. Setelah tahu kami dari Indonesia, dia bilang, “Ah, I remember when your tall ship, de-wa ru-tji (?) visited this island in 1970. I got the autographs from all of the crews, and keep them until now.” Wow, saya jadi mencari-cari berita tentang pelayaran kapal Dewaruci, dan memang pada tahun 1970, mereka berlayar dari Surabaya – Fremantle – Melbourne – Sydney – Brisbane – Townsville – Ambon – Jakarta – Surabaya. Mestinya memang mampir di Kangaroo Island ketika berlayar dari Fremantle (Perth) ke Melbourne. Kami tidak sempat ngobrol lebih lanjut, dan akhirnya dia bilang, “Enjoy Kangaroo Island.”

Perhentian selanjutnya adalah Island Beehive, produsen madu organik di Kangaroo Island. Di sini kita bisa mencicipi segala jenis madu organik yang mereka produksi, melihat lebah-lebah di sarangnya dan tentu saja berbelanja. Madu di Australia sangat terjamin kualitasnya, tidak ada yang dicampur-campur dengan bahan lain. Dari semua madu yang pernah saya cicipi, madu organik asli Kangaroo Island ini yang paling enak.Little A paling suka madu dari bunga sugar gum yang memang paling manis. Kami membeli beberapa botol kecil untuk oleh-oleh dan nantinya berguna juga sebagai olesan pancake dalam road trip ini.

Sunrise di Nepean Bay
Pantai pribadi – Nepean Bay

Pertigaan nan sepi di Kangaroo Island


Malam ketiga atau terakhir di Kangaroo Island ini, kami menginap di Bronlow Tourist Park dengan tarif $45 per malam. Dari seluruh pulau, hanya Kingscote yang memiliki layanan internet. Kami pun membeli voucher $5 untuk 2 jam internet, tapi koneksinya tidak begitu bagus. Cukupan lah untuk melihat-lihat email dan memberi kabar ke keluarga lewat Facebook 🙂

Tourist park yang satu ini dekat sekali dengan pantai yang ombaknya kalem, atau bisa dibilang tidak ada ombaknya: Nepean Bay. Tinggal berjalan kaki 50 meter. Kami rencananya ingin melihat Pelican Feeding di Kingscote jetty, tapi akhirnya membatalkan rencana itu dan sebagai gantinya main-main air di Nepean Bay. Kalau sudah sampai di caravan park, rasanya memang malas keluar lagi, karena harus membawa serta ‘rumah’ kami. Little A senang sekali main-main air di pantai yang sepi banget ini, meskipun airnya dingin. Hanya ada dua orang yang jogging melintasi pantai. Tadinya saya agak menyesal batal melihat atraksi memberi makan Pelican, hewan khas di Kingscote. Tapi begitu saya selesai memikirkan penyesalan saya itu, seekor pelican meluncur dengan anggun di atas air, mendekati Little A yang semakin lama semakin ke tengah. Terbukti sekali lagi kalau di pulau ini, hewan-hewan yang menghampiri kita 🙂

Pagi harinya, Si Ayah menggoyang-goyangkan tubuh saya yang masih meringkuk di kantong tidur.”Mau ikut nggak? Aku mau motret sunrise di pantai.” Tumben Si Ayah ngajak-ngajak, biasanya dia langsung pergi karena saya susah sekali bangun pagi. Saya sudah mau pergi, tapi begitu kulit saya menyentuh udara pagi hari yang menggigit tulang, langsung saya meringkuk di kantung tidur lagi. Saya tidak sadar kalau pagi itu saya melewatkan sunrise paling menakjubkan yang pernah dilihat Si Ayah, si pemburu sunrise-sunrise cantik. Ketika kami ngopi, dia bercerita magical sunrise moment-nya. Langit memerah, dan hanya ada dia di sana, ditemani beberapa ekor pelican dan burung-burung camar. Saya cuma bisa melongo melihat foto-foto ajaibnya.

Pagi itu kami harus kembali ke mainland Australia, menumpang feri pukul 10.30 pagi. Belum puas rasanya jalan-jalan di pulau ini. Tapi setidaknya kami membawa pulang beberapa kenangan, dan terutama kisah menarik untuk diceritakan.

~ The Emak

Delapan Jam Di Adelaide

Kios bunga di Central Market Adelaide

Cuma punya jatah delapan jam di Adelaide membuat kami berpikir ekstra keras memilih tempat-tempat menarik yang akan kami kunjungi.

Adelaide menjadi ibukota terakhir di negara bagian Australia yang pernah kami singgahi. Sebelumnya kami sudah pernah mengunjungi SEMUA ibukota negara-negara bagian di Australia: Sydney (NSW), Melbourne (VIC), Brisbane (QLD), Canberra (ACT), Hobart (TAS), Darwin (NT), Perth (WA). Akhirnya kesampaian juga menjejakkan kaki di Adelaide, ibukota South Australia. Ralat, resminya hanya kami bertiga, The Emak dan dua precils yang menjejakkan kaki di semua negara bagian karena Si Ayah tidak ikut ke Perth waktu itu. Mumpung punya visa Australia, saya kami ingin mengunjungi setiap negara bagian, meski cuma sebentar.

Kami berangkat dari Sydney menuju Adelaide dengan pesawat (lagi-lagi) Jetstar karena memang waktu itu tarifnya paling murah. Tiket per orang AUD 125, termasuk bagasi masing-masing 20kg. Total kami berempat AUD 500. Kami berangkat pagi-pagi benar, boarding pukul 6.15 pagi, membawa semua koper yang akan kami bawa pulang ke Indonesia. Sebenarnya ini agak ribet karena kami bawa 3 koper besar, 1 car seat, dan masih ditambah 3 ransel. Pulkam ceritanya 🙂 Perjalanan dari Sydney ke Adelaide memakan waktu 2 jam 10 menit. Kami mendarat di Adelaide pukul 7.55 pagi. Waktu di Adelaide setengah jam lebih lambat daripada Sydney, yang berarti 3,5 jam lebih cepat dari WIB.

Kalau ingin terbang langsung menuju Adelaide dari Indonesia, kita bisa naik Virgin Australia. Maskapai ini satu-satunya yang melayani penerbangan langsung dari Denpasar ke Adelaide. Maskapai lain seperti Garuda Indonesia atau Qantas memerlukan transit melalui Perth, Sydney atau Melbourne. Pilihan lainnya adalah transit satu kali di Singapore (SIA) atau KL (MAS).

Kami naik taksi dari bandara menuju kantor Apollo untuk mengambil campervan sewaan kami. Setelah membayar administrasi dan dijelaskan tentang cara kerja campervan, kami cabut mencari sarapan. Si Ayah rupanya tidak mengalami kesulitan nyetir campervan barunya. Yah, seperti nyetir mobil van biasa, hanya saja harus waspada dengan suara gedombrangan kalau ada laci yang belum dikunci atau barang yang belum dimasukkan ke laci ‘dapur’.

Little A ngeyel pengen beli fish & chips di IKEA, bangunan besar yang dia lihat begitu keluar dari bandara. Duh, agak repot juga kalau mesti mampir IKEA, bisa-bisa nggak jadi berkenalan dengan Adelaide. Akhirnya Little A bisa gembira lagi setelah disogok hash brown oleh si Ronald. Hash brown Mc D emang juara :p

Adelaide Uni
Ekskul Dayung di sungai Torrens

Dengan berbekal peta dari Apollo, kami menyusuri jalan-jalan Adelaide menuju pusat kota. Mendung masih menggantung di langit, suasana jadi sedikit sendu. Atmosfer kota ini tenang dan kalem, mengingatkan saya pada kota kecil Kiama (dua jam dari sebelah selatan Sydney). Beda dari atmosfer Sydney yang serba  tergesa dan Melbourne yang hiruk pikuk. 

Mungkin itu sebabnya kota ini sering jadi pilihan tempat kuliah bagi pelajar dari Indonesia. Selain kotanya yang lebih tenang, biaya hidup, terutama sewa apartemen/rumah tidak semahal kota lain di Aussie. Ada beberapa universitas yang cukup terkenal dan bergengsi di Adelaide, di antaranya University of Adelaide dan Flinders University.

Kami memarkir Campervan di tepi sungai Torrens, di dekat University of Adelaide. Maksudnya mau numpang pipis di Uni 🙂 Tarif parkir di tepi jalan sekitar $3 per jam tergantung lokasi dan hari. Jangan cari-cari tukang parkir di sini ya? Karena adanya mesin parkir. Kita tinggal memasukkan koin atau bayar dengan kartu kredit sesuai ‘lama parkir’ yang kita kehendaki. Mesin akan mengeluarkan tiket yang menampilkan jatah parkir kita sampai jam berapa. Tiket parkir ini harus diletakkan di atas dasbor dan bisa dilihat dari luar, kalau nggak mau ditilang. Jangan sekali-sekali nggak bayar parkir sesuai aturan di Australia, kecuali kalau mau menyumbang pemda setempat sekitar $100 🙂

Waktu yang sangat terbatas hanya cukup untuk mengunjungi dua tempat saja di Adelaide. Setelah baca-baca info, saya putuskan untuk mengunjungi Art Gallery of South Australia dan Central Market. Yang terakhir sekalian belanja bahan mentah untuk dibawa road trip.

Galeri Seni negara bagian Australia Selatan ini terletak di North Terrace, satu kompleks dengan museum dan perpustakaan. Campervan tetap kami parkir di dekat Uni dan kami berjalan kaki lewat jalan tembus universitas, sekitar 15 menit. Gedung galeri seni South Australia ini sangat khas, mirip dengan yang di New South Wales. Petugas di resepsionis sangat ramah, memberi kami brosur dan panduan apa-apa saja yang bisa dilihat di galeri seni ini. Nggak ada tiket masuk kok, gratis dan terbuka untuk umum. Kami melihat-lihat koleksi permanen yang menampilkan lukisan dan benda-benda seni bersejarah yang ditemukan di Australia Selatan. Terus terang koleksi galeri seni ini kurang sangar dibandingkan koleksi Art Gallery of NSW yang punya lukisan-lukisan dari abad pertengahan Eropa. The Precils hanya terkesan dengan lukisan Sydney Harbour yang baru saja kami tinggalkan 🙂

Kemudian kami lanjut ke galeri temporer. Di Michael Abbott gallery ditampilkan karya seniman dari China dan Indonesia. Tidak seperti Si Ayah, saya selalu merasa getaran aneh tiap kali melihat karya anak bangsa dihargai di luar negeri (mungkin kebanggaan pada tanah air?). Karya-karya di pameran ini mengekspresikan aspirasi dan ketakutan masyarakat ketika terjadi perubahan politik di Indonesia dan China.

Sayangnya saya tidak bisa puas menikmati karya-karya seniman dari Taring Padi ini karena Little A begitu takut dengan instalasi patung manusia berbalut bunga dan memegang pistol. Namun ada satu yang menarik perhatian saya, karya Eko Nugroho yang berjudul: Rintihan Agar-Agar. Sayangnya saya tidak bisa menjelaskan mengapa 🙂

Selain karya seni politik, ada juga pameran karya seni Islam di Galeri 19. Salah satu yang ditampilkan adalah kain lawas untuk ikat kepala dari Palembang, Sumatera Selatan. Kain yang ditenun dengan benang emas dan diwarnai dengan pewarna natural ini berasal dari abad ke-19. Di sini ditampilkan juga kain batik panjang, dengan motif kaligrafi Arab dan pola bunga yang yang terinspirasi oleh taman raja-raja di Jawa.

Karya Eko Nugroho, seniman Taring Padi
Koleksi kain lawas dari Palembang

Biasanya The Precils tertarik mengamati art di galeri atau minimal gembira melihat-lihat garang lucu-lucu yang dijual di Gallery Shop. Tapi entah mengapa kali ini mereka tidak begitu berminat. Dengan tampang bosan, Big A memaksa kami melanjutkan perjalanan. Mungkin dia khawatir campervan kami kena tilang ranger kalau tiket parkirnya sudah habis masa berlakunya :p
Kalau ingin jalan-jalan ke pusat kota sebenarnya hanya satu blok dari galeri seni ini. Di Rundle Mal, kita bisa jalan-jalan di trotoar yang lebar tanpa takut tersenggol kendaraan bermotor. Atau bisa juga duduk-duduk dan melihat orang-orang lewat. Sayangnya kami tidak punya banyak waktu. Kami juga tidak sempat ke pantai-pantai di Adelaide yang terkenal dengan sunset-nya yang cantik. Pantai di daerah Glenelg bisa dicapai dengan naik trem, sekitar setengah jam dari pusat kota.

Kami memilih kembali ke tempat parkir Campervan dan segera menuju Central Market yang terletak di Gouger St. Pasar ini buka mulai Selasa sampai Sabtu, dengan jam buka yang berbeda-beda, cek jadwalnya di sini. Minggu dan Senin pasar tutup. 

Tempat parkir pasar ada di bawah tanah, tapi sebelum kami telanjur masuk, saya ingat bahwa campervan ini terlalu tinggi dan pasti akan menabrak tiang penghalang. Akhirnya kami parkir di pinggir jalan, 200 meter dari lokasi pasar. Dibanding dengan pasar serupa di Sydney: Paddy’s Market, Central Market ini relatif lebih bersih. Display bahan makanan segarnya enak dipandang dan tentunya menggiurkan. Yang dijual di pasar ini adalah bahan makanan segar seperti sayur dan buah, berbagai macam keju, macam-macam roti, produk daging (beberapa di antaranya berlabel halal) dan hewan laut. Ada juga toko buku, kios bunga, kafe dan resto kecil di sekelilingnya. 

Kami gerak cepat membeli sayur (lalapan) dan buah untuk road trip nanti. Kami juga membeli bahan-bahan mentah lain seperti susu, telur, minyak dan beras di supermarket Coles yang letaknya di sebelah pasar ini. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami sempatkan makan di restoran Malaysia di dalam pasar ini, sambil memandang bunga-bunga segar di kios sebelah 🙂

Buah-buah segar di pasar
Chinatown
Old building :p

Kami belum sempat menjelajah Central Market lebih lanjut dan sama sekali lupa membeli sesuatu dari Adelaide ketika jatah parkir kami habis. Dengan mengucap selamat tinggal pada kota yang hanya kami lewati ini, campervan kembali melaju ke arah selatan.

Tujuan kami adalah Cape Jervis, dermaga untuk menyeberang ke Kangaroo Island dengan feri. Kami rencananya mengejar feri pukul 6 sore. Jarak dari pusat kota Adelaide ke Cape Jervis sekitar 107 km, perlu waktu satu setengah jam dengan mobil. Kami berangkat dari kota sekitar jam 3 sore, jadi masih aman dan ada waktu cadangan kalau ada apa-apa, dan kalau tersesat…

Petunjuk jalan di Adelaide cukup jelas, kami tinggal mengikuti gambar feri untuk menuju Cape Jervis. Tapi ternyata ada satu ruas jalan raya yang ditutup karena perbaikan. Ini membuat kami bingung dan kalang kabut. GPS menyarankan kami mengambil jalan lain yang akhirnya malah membuat kami tersesat dan berputar-putar. Ketika berusaha mencari jalan kembali, kami melihat jalan yang tadinya ditutup sudah dibuka kembali. Ealah, memang sedang diuji kesabarannya.

Setelah kembali ke jalan yang benar (literally), kami kembali diuji oleh peraturan konyol di kota ini. Kecepatan maksimal yang diperbolehkan di jalan tol Adelaide hanya 60km/jam. Duh! Ini jalan bebas hambatan lho. Satu-satunya hambatan ya peraturan konyol itu tadi. Dengan bersungut-sungut Si Ayah tetap menyetir dengan kecepatan maksimal (60km/jam) dan banyak mobil mendahului kami (lha!). Saya jadi teringat cerita teman, dengan batas kecepatan berkendara maksimal seperti ini, kota Adelaide cocoknya untuk pensiunan dan warga senior. Ditambah lagi, masih kata teman saya, cemetery alias kuburan bisa ditemukan setiap 100m 🙂 Gara-gara teman yang satu ini, saya jadi memperhatikan setiap kali melewati cemetery. Memang lumayan banyak sih :p

Lepas dari tol dalam kota, pemandangan berganti dengan kebun-kebun anggur yang tinggal pokoknya saja. Meskipun tanpa daun, pemandangan pohon-pohon anggur yang berjajar rapi ini cukup indah. Daerah Australia Selatan memang terkenal sebagai penghasil anggur terbaik di Australia. Mereka dengan bangga menyebut dirinya sebagai ibukota wine di Australia. Pusat kebun-kebun anggur ini ada di Barossa Valley, sekitar 56 km di sebelah utara kota.

Setelah dua jam perjalanan, dihiasi dengan rintik-rintik hujan yang sesekali turun, kami akhirnya melihat lautan. Cape Jervis sudah di depan mata. Masih ada sekitar 45 menit sebelum feri membuang sauh. Kami berempat sudah tidak sabar untuk menyeberang!

To Kangaroo Island we go!

~ The Emak

Keliling Australia Dengan Campervan

Campervan kami melintas di jalan menuju Meningie, Australia Selatan

Akhirnya cita-cita saya kami keliling Australia dengan campervan tercapai juga. Sepuluh hari terakhir sebelum meninggalkan negara ini, kami mengepak semua barang-barang (dan anak-anak) dan menyusuri seribu lima ratus kilometer dari Adelaide ke Melbourne.

Road trip dengan campervan sudah menjadi cita-cita saya kami sejak kami ingin menjelajah Pulau Selatan New Zealand. Sayangnya waktu itu kami belum siap untuk ber-campervan ria, masih unyu dan belum punya cukup jam terbang menyusuri jalan-jalan di Oz dan NZ. Rasa takut dan ragu mengalahkan kami sampai akhirnya gagal menyewa campervan. Nah, sebelum pulang kampung balik ke Indonesia karena masa studi Si Ayah berakhir, kami punya waktu sepuluh hari untuk jalan-jalan. Saya langsung usul untuk mencoba road trip dengan campervan. Kapan lagi, iya kan? 

Jalan-jalan dengan menyewa campervan sudah menjadi gaya hidup tersendiri di Australia dan New Zealand. Kami berani melakukan ini juga karena fasilitas pendukung di kedua negara ini lengkap: jalan antar kota mulus, petunjuk jalan jelas, caravan park (tempat parkir caravan sekaligus tempat camping) ada hampir di setiap kota. Pokoknya bakalan aman dan nyaman 🙂 Kami memilih rute ber-campervan mulai dari Adelaide sampai ke Melbourne. Alasannya sederhana saja, dari delapan negara bagian di Australia, tinggal South Australia ini yang belum kami kunjungi. Ditambah lagi, kami ingin mampir ke Twelve Apostles di Great Ocean Road, salah satu tempat wisata yang wajib dikunjungi di Australia. Begitulah cara kami say goodbye ke Australia: menyusuri garis pantai dari Adelaide ke Melbourne melalui The Great Ocean Road.

Campervan, atau versi yang lebih besarnya disebut motorhome adalah mobil yang sudah dimodifikasi interiornya, dilengkapi dengan tempat tidur, dapur dan kadang kamar mandi. Dengan campervan, kita seperti membawa serta rumah kita (kayak keong :p) dalam perjalanan. Kita tidak perlu menyewa penginapan sepanjang perjalanan karena bisa tidur di mobil. Lalu apa bedanya dengan caravan? Kalau yang satu ini seperti ‘rumah’ yang harus ditarik/ditowing dengan mobil (biasa). Caravan tidak punya mesin sendiri, tapi punya roda. Keuntungan menggunakan caravan, kita bisa melepaskan gandengan dan meninggalkan ‘rumah’ ini di Caravan Park, sehingga bisa pergi jalan-jalan di kota atau tempat wisata dengan mobil biasa. Caravan digemari oleh para pensiunan dan warga senior. Penduduk Aussie yang suka berpetualang biasanya mempunyai caravan sendiri yang disimpan di backyard.

Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan jalan-jalan dengan campervan. Jangan sampai menyewa campervan hanya karena ikut-ikutan atau gaya-gayaan saja. Minimal kita sudah punya bayangan bakal seperti apa perjalanan dengan campervan ini, jangan sampai menyesal di tengah jalan, karena harga sewa kendaraan ini juga tidak murah. Tipe keluarga yang ingin selalu tidur nyaman di kasur hotel empuk dengan pengatur suhu udara, sebaiknya jangan menyewa campervan. Traveling jenis ini cocoknya untuk keluarga ‘gembel’ kayak kami yang tidak keberatan tidur di kasur lipat, memasak makanan sendiri, serta berbagi kamar mandi dan toilet dengan traveler lain.

Meskipun tempat tidur tidak senyaman seperti di hotel, traveling dengan campervan punya beberapa keunggulan. Yang pertama tentu saja kita tidak perlu repot-repot menyewa hotel, cek in dan cek out. Tidak perlu bongkar-bongkar koper dari mobil ke hotel, ke mobil lagi. Dengan campervan, kita bisa tidur lebih dekat dengan alam, karena campervan bisa diparkir di tepi danau, sungai, bahkan pantai. Pagi-pagi begitu buka jendela, langsung disuguhi pemandangan alam yang mengagumkan. Kalau menginap di hotel, biasanya perlu merogoh kocek lebih dalam untuk mendapat kamar dengan pemandangan terbaik. Satu lagi kelebihan campervan: outdoor dining. Selama perjalanan ini, kami selalu sarapan, makan siang dan makan malam dengan pemandangan berbeda-beda, di bawah atap langit. Dengan catatan nggak hujan ya :p

Mahal nggak sih menyewa campervan? Saya pernah menghitung-hitung, budget jalan-jalan dengan campervan hampir sama dengan budget menyewa mobil biasa dan menginap di motel. Anggaran campervaning tentu lebih hemat kalau dibandingkan road trip dengan menginap di hotel atau apartemen. Tapi masih lebih mahal sedikit dibandingkan road trip dengan camping alias mendirikan tenda sendiri.

Selain menyiapkan anggaran untuk menyewa campervan itu sendiri, kita harus menyiapkan anggaran untuk biaya parkir campervan (bermalam) di caravan park. Saya pernah baca di New Zealand, banyak tempat yang boleh digunakan untuk parkir dan bermalam gratis. Sedangkan di Australia, tempat-tempat parkir campervan yang dikelola pemerintah setempat biasanya tetap memungut biaya, meskipun kecil. Kadang tempat ini tidak ditunggu, pemilik campervan tinggal mendaftar sendiri dan memasukkan uang di kotak yang disediakan. Yak, semacam kantin kejujuran gitu deh 🙂 Biaya parkir semalam ini bervariasi, tergantung fasilitas dan lokasi caravan park-nya, berkisar antara A$15 – A$50, separuh dari sewa motel. 

Parkir di Warnambool
Makan siang di Robe, SA. Caravan park-nya sepi.

Memilih Campervan Yang Tepat
Sudah yakin mau mencoba road trip dengan campervan? Kalau serius mau coba, langsung pilih saja jenis campervan atau motorhome yang sesuai. Yang pertama, menentukan berapa orang yang bakal diangkut di campervan. Dalam kasus kami dua dewasa dan dua anak-anak. Ada campervan yang hanya muat 2 orang, ada yang sampai muat 6 orang. Setelah itu, tentukan gaya perjalanan dan budget kita: hemat banget, menengah atau mewah. Ada pilihan campervan hemat banget, biasanya untuk kalangan backpacker. Campervan ini biasanya sangat sederhana, hanya mobil van biasa yang kursinya dijadikan kasur dan belakangnya dijadikan semacam dapur darurat. Biasanya kompor dan bak cuci piringnya tidak built in. Campervan dengan fasilitas lengkap, tapi usianya lumayan tua juga masuk kelas hemat. Sementara campervan atau motorhome kelas mewah/luxury biasanya dipilih oleh para pensiunan (warga senior) di sini yang memang kelebihan uang dan waktu 🙂 Interior motorhome mewah ini udah mirip hotel bintang lima, dilengkapi TV dan DVD player segala. Kami sendiri memilih campervan kelas menengah, cukup nyaman, tapi tidak terlalu mahal.

Ada dua grup besar penyedia layanan sewa campervan di Australia dan New Zealand: Britz dan Apollo. Dua grup yang bersaing ketat ini punya brand campervan dari tiap-tiap kelas. Dari grup Britz ada Mighty Campers untuk budget campervan, Britz untuk kelas menengah dan Maui untuk kelas atas. Dari grup Apollo ada Cheapa Campa untuk kelas hemat, Apollo untuk kelas menengah dan StarRV untuk kelas mewah. Sila cek masing-masing website untuk membandingkan harga dan spek-nya, Kakak :))

Sejak beberapa bulan sebelum berangkat, saya bolak-balik membandingkan campervan yang saya incar di website Britz dan Apollo. Kriteria yang saya inginkan adalah: mobil otomatis, bisa untuk dua dewasa dan dua anak, bisa dipasangi satu car seat (wajib untuk anak di bawah 7 tahun), tidak perlu kamar mandi, bisa diambil di Adelaide dan dikembalikan di Melbourne (sesuai itinerary), kendaraan terbaru dan harganya MURAH! Yang sesuai dengan kriteria ini adalah Voyager dari Britz dan Endeavour dari Apollo. Harga sewanya mirip banget, bisa dicek langsung di website mereka dengan memasukkan tanggal yang diinginkan. Akhirnya saya pilih Apollo karena lay out tempat duduk mereka lebih cocok, kursi anak-anak ada di tengah, di depan dapur. Sementara lay out Britz, kursi anak-anak jauh di belakang, dapurnya yang di tengah.

Oh, ya, tentang pilihan kamar mandi dan toilet, saya tidak ingin menyewa campervan dengan toilet karena wajib membuang ‘kotoran’ kita sendiri dari penampungan ke dump waste. Si Ayah, apalagi saya males, hehe. Mending kami selalu sewa caravan park yang punya fasilitas kamar mandi dan toilet. Lagipula, di setiap tempat wisata di Australia pasti ada toilet umum yang bersih dan gratis.

Kami menyewa Endeavour selama 10 hari dengan harga sewa $93 per hari. Waktu itu sedang ada diskon 10%, lumayan. Harga sewa ini masih ditambah ‘value pack’ seharga $65 per hari. Value pack ini isinya segala peralatan yang bakal kita butuhkan di perjalanan: isi tabung gas untuk kompor, meja lipat, kursi lipat, selimut atau sleeping bag, car seat jika dibutuhkan, biaya one way (kalau diambil dan dikembalikan ke tempat berbeda) dan liabilitas atau semacam asuransi. Yang terakhir ini yang penting. Sebenarnya value pack tidak wajib dan bisa disewa secara eceran. Tapi tanpa tambahan asuransi, kita diwajibkan memberikan deposit (bisa dari kartu kredit) sebesar $5000. Duh, limit kartu aja gak sampai segitu! Atau, bisa juga membeli tambahan sedikit asuransi agar deposit dikurangi menjadi ‘hanya’ $2500. Deposit atau biaya liabilitas ini nantinya untuk mengganti kerusakan pada campervan kalau terjadi apa-apa di jalan (amit-amit jabang bayi). Saya benar-benar menyarankan untuk mengambil value pack ini, sehingga kita tinggal bayar deposit $250. Kalau ada apa-apa di jalan, harga segitu saja yang harus dibayar. Lebih baik beli asuransi maksimal untuk jaga-jaga, apalagi ini bukan negara punya nenek moyang kita 🙂 Total yang harus saya Si Ayah bayar untuk menyewa campervan selama sepuluh hari, termasuk asuransi adalah A$ 1.487. Oh, ya, biasanya ada batas minimal sewa campervan ini, tergantung perusahaannya, ada yang minimal 7 hari sampai yang minimal 10 hari.

belum dipakai, masih rapi 🙂
denah campervan Endeavour
dari www.apollocamper.com
tempat duduk precils di tengah

Endeavour ini dimodifikasi dari mobil Toyota HiAce. Atapnya diberi tambahan untuk tempat tidur anak-anak dan supaya kita bisa berdiri tanpa membungkuk ketika bekerja di dapur. Sistem transmisinya otomatis, seperti kebanyakan mobil di Australia dan New Zealand. Jadi kita tidak usah repot-repot pindah kopling. Ketika memesan campervan via online, di salah satu kolom, kita akan ditanya punya SIM dari negara mana. Tentu sebutkan Indonesia 🙂 Untuk bisa menyewa dan menyetir mobil di Australia dan New Zealand, kita perlu menerjemahkan SIM A kita ke bahasa Inggris di penerjemah tersumpah. Atau, kalau mau repot dikit, sila membuat SIM Internasional di kepolisian. Tentang SIM pernah saya bahas di sini.

Siang hari ketika kami dalam perjalanan, konfigurasi tempat duduk seperti layaknya mobil biasa. Saya dan Si Ayah duduk di depan, sementara The Precils duduk di tengah. Di sini, sabuk pengaman wajib dipasang untuk semua penumpang, baik yang di depan maupun yang di belakang. Anak umur di bawah 7 tahun harus menggunakan car seat atau booster, yang juga disediakan oleh Apollo kalau kita pesan lebih dahulu. Ketika mobil berjalan, pastikan seluruh laci tertutup, kompor dan aliran gas dimatikan serta tidak ada barang-barang yang masih ada di bak cuci piring. Jangan sampai nyesel kalau ada barang yang jatuh dan pecah.

Begitu sampai caravan park, kami mulai mengubah setting. Tempat duduk di tengah dijadikan kasur alias menjadi kamar utama. Kamar tidur anak-anak dipasang di atas. Kegiatan bongkar pasang ini sebenarnya mudah, tapi kami butuh upaya ekstra karena barang bawaan kami banyak sekali (maklum, pulang kampung). Lain kali, kami tidak akan membawa barang sebanyak ini kalau mau jalan-jalan dengan campervan.

Teorinya, Little A dan Big A tidur di atas, sementara Si Ayah dan The Emak tidur di bawah. Tapi pada prakteknya, Little A selalu mendusel ke tempat tidur kami. Nggak papa juga sih. Lagipula, suhu ketika kami melakukan perjalanan ini sangat dingin, masih sekitar 15 derajat meskipun sudah mulai memasuki musim semi di bulan September. Di campervan yang tanpa mesin penghangat ini, kami harus meringkuk di balik kantung tidur masing-masing.

‘Kamar’ utama
‘Kamar’ The Precils di atas

Agar perjalanan mulus tanpa ada yang uring-uringan, kami bagi-bagi tugas untuk mengurus rumah keong kami selama 10 hari ini. Si Ayah sudah jelas menyetir, memotret, cek in dan cek out di caravan park dan mencuci piring. Big A tugasnya bertanggung jawab urusan listrik (charger, microwave, lampu), membantu saya menyiapkan makanan, dan membantu mencuci baju di laundry. Little A tugasnya menghibur kami (of course!), makan sendiri dan membantu memeriksa persediaan air. Sementara saya tugasnya memandu jalan supaya tidak tersesat dan memastikan mereka tidak kelaparan. Artinya dapur harus selalu ngebul.

Ini yang asyik, dan merupakan tantangan tersendiri. Bagaimana menyiapkan makanan untuk sekeluarga tiap hari dari dapur nan mungil dan waktu yang terbatas ini? Ternyata nggak susah kok, asal anggota keluarga lain nggak rewel dan mau membantu. Yang pasti dapur mungil di campervan ini dilengkapi kulkas, microwave dan kompor gas dua tungku. Alat-alat masak seperti panji, wajan, sotil sudah ada. Alat makan seperti piring, gelas, sendok garpu juga disediakan. Kami tinggal berbelanja bahan mentah di supermarket dan simpan di kulkas.

Tipikal pagi hari kami dimulai dengan saya membuat kopi dan anak-anak minum susu. Kadang anak-anak sarapan sereal, minum Up and Go atau minta dibuatkan pancake. Standar makanan siang dan malam kami ada nasi/roti/pasta, lauk dan salad (lalapan). Lauknya yang bervariasi: telur, nugget, daging barbekyu, daging cincang untuk pasta atau sosis. Kadang kita makan darurat hanya dengan menghangatkan pie di microwave. Dan sekali-sekali tentu makan mie instan, hehe.

Yang agak repot, kami tidak membawa serta rice cooker kecil kesayangan kami. Rencananya saya akan membeli rice cooker ini di salah satu supermarket di Adelaide, kira-kira harganya $20. Tapi sayangnya barang yang kami inginkan tidak ada. Terpaksa kami menanak nasi ala berkemah, hanya dengan panci. Hasilnya tidak begitu bagus, tapi tetap saja kami makan karena kelaparan 😀 Di tengah perjalanan, kami membeli nasi instan (jasmine rice) di supermarket, yang cukup dihangatkan di microwave. Ini cukup menyelamatkan hidup kami.
 
Well, menu makan kami memang sederhana. Tapi yang penting, kami makan dengan pemandangan yang luar biasa 🙂

Dapur mungil. Utk masak… ehm… mie instan :p
Menyiapkan makan malam di West KI Caravan Park
Makan malam di Kangaroo Island

Setiap malam kami menginap di dalam campervan di caravan park yang berbeda. Karena bukan musim liburan, kami tidak perlu memesan tempat dulu di caravan park ini. Tinggal cek in di resepsionisnya. Daftar campervan park bisa di cek di buku panduan wisata pemerintah setempat atau bisa dicek online di booking site seperti Big 4. Ketika kami memasuki suatu kota, sekecil apapun, biasanya langsung ada petunjuk arah bergambar caravan. Tinggal ikuti petunjuk itu untuk sampai di caravan park terdekat.

Biaya rata-rata kami menginap adalah $40 per malam untuk site dengan power (listrik). Kami bebas menggunakan fasilitas yang ada di sini: kamar mandi, dapur, tempat barbekyu, dll. Setiap parkir di caravan park, kami harus men-charge campervan ini. Listrik ini yang nanti digunakan untuk lampu dan pompa air di bak cuci piring. Adanya colokan ini juga kesempatan bagi kami untuk men-charge gadget, dan menggunakan microwave. Karena perlu power yang besar, microwave hanya bisa dijalankan ketika mobil disambungkan dengan listrik. Jadi microwave tidak bisa kami gunakan ketika campervan sedang di jalan.

Salah satu ‘musuh’ campervanning adalah cuaca buruk. Kalau hari hujan, apalagi ditambah badai, kami langsung mati gaya. Apalagi kalau toilet lumayan jauh dari tempat kami parkir. Rasanya mending menahan pipis daripada menembus badai yang dingin. Kami mulai kena badai ketika perjalanan baru separuh. Di kota kecil Robe, angin bertiup sangat kencang sampai campervan kami bergoyang-goyang. Si Ayah saya bujuk untuk memarkir mobil ini miring sesuai arah angin. Cuaca mendung juga membuat hati galau hasil foto Si Ayah jadi sendu. Tapi kadang malah ada hasil foto dramatis dari mendung yang bergulung-gulung atau dari matahari yang tadinya pelit bersinar akhirnya menampakkan cahayanya sedikit.

Meskipun banyak keribetan berpetualang dengan campervan, perjalanan ini sangat mengesankan. The Precils senang dan excited untuk membantu kami bongkar pasang rumah mobil. Tapi terutama, mereka tidak sabar untuk segera sampai di Melbourne dan terbang ke Indonesia.

Kisah kami berkelana di masing-masing tempat akan saya tulis di postingan selanjutnya, mulai dari Adelaide, Kangaroo Island sampai ke Melbourne. 

Ada yang punya niatan segila kami untuk mengajak anak-anak ber-campervan?

Rute perjalanan kami dengan Campervan, dari Adelaide ke Melbourne
Parkir di Lorne, dijagain burung Kakatua

~ The Emak

36 Jam Di Perth

Pemandangan kota Perth dilihat dari Kings Park

Perth, ibukota Western Australia ini dijuluki sebagai kota yang paling terisolasi di dunia. Soalnya ya memang jauh dari mana-mana sih 🙂 Coba lihat saja di peta benua Australia. Perth nyempil di pojok kiri bawah. Untuk mencapai ibukota negara bagian terdekat, Adelaide diperlukan waktu terbang tiga jam. Sementara dari Perth ke Sydney perlu waktu empat jam penerbangan.

Saya bercita-cita mengunjungi semua negara bagian Australia. Jadi ketika ada kesempatan kembali ke Sydney untuk menjemput Si Ayah yang selesai studi, kami sempatkan singgah dulu di Perth. Saya dan dua precils berangkat dari Surabaya ke Perth via Denpasar dengan maskapai kesayangan kami, Garuda Indonesia. Salah satu alasan saya memilih Garuda adalah bagasi kami bisa langsung diangkut dari Surabaya sampai Perth, meskipun kami harus pindah pesawat di Denpasar. Hal ini tidak bisa dilakukan kalau kami terbang dengan maskapai yang berbeda.

Berapa sih tiket Denpasar – Perth? Yang pasti lebih murah daripada tiket Denpasar – Sydney 🙂 Sayangnya waktu itu kami perginya menjelang lebaran dan beli tiketnya mepet, jadi lumayan mahal. Apalagi kami belinya tiket round trip tapi pulangnya dari kota yang berbeda. Satu tiket dewasa dan dua tiket anak-anak dari Surabaya – Perth dan Melbourne – Denpasar sebesar $2500-an. Pasalnya harga tiket domestik-nya sendiri, dari Surabaya ke Denpasar sudah mencapai Rp 1,5 juta sekali jalan per orang, tiga kali lipat dari harga normal. Duh!

Sebenarnya harga normal tiket Garuda Jakarta – Perth pp atau Denpasar – Perth pp tidak terlalu mahal, sekitar $650 termasuk pajak. Tergantung tanggalnya dan kapan beli tiketnya. Untuk tarif early bird Garuda, bisa DPS -PER pp bisa cuma $400-an. Maskapai lain yang melayani Denpasar – Perth adalah Virgin Australia (sekitar $500 pp), Qantas (sekitar $700 pp) dan Jetstar. Untuk Jetstar ini kalau beruntung bisa mendapat tiket SALE seharga $300 pp atau bahkan $200 pp. Air Asia juga melayani penerbangan DPS – PER ini dengan tarif terjangkau kalau lagi SALE, sekitar $300 – $400 pp. Nggak heran kalau orang Perth lebih sering berlibur ke Bali daripada ke Sydney 🙂

Kami lepas landas dari Denpasar jam 20.45 WITA. Zona waktu Perth dan Denpasar sama. Setelah menempuh penerbangan selama 3 jam 45 menit, kami tiba di bandara Perth pukul setengah satu dini hari. Penerbangan lumayan mengguncang. Untungnya the precils tidur. Saya sendiri sampai muntah saat ada turbulence di atas Samudra Hindia. 

Kedatangan kami tengah malam diperparah oleh antrian menuju pemeriksaan Custom yang mengular panjang sekali. Saya gendong Little A dengan kain, sambil mendorong troli berisi dua koper. Paling parah ketika ada rombongan pramugari Cathay Pacific yang menyerobot antrian dengan menyapa akrab seorang pilot di depan kami, seolah-olah kami ini nggak ada. Saya sudah kehilangan suara dan tidak berdaya untuk protes. Cuma mengingat dalam hati tidak akan naik Cathay Pacific gara-gara kelakuan pramugarinya yang tidak sopan ini. Tuhan Maha Adil, koper-koper kami boleh lewat begitu saja, tidak diperiksa sama sekali oleh petugas custom. Mereka hanya mengecek formulir kedatangan kami dan menanyakan apa yang perlu di-declare. Baca di sini untuk daftar barang-barang yang tidak boleh dibawa ke Australia.

Pagi dini hari, kami naik taksi menuju rumah teman yang bersedia menampung kami di Perth. Taksi di Australia  pasti pakai argo dan antrinya juga jelas. Makanya saya nggak takut sama sekali naik taksi pagi-pagi hanya dengan dua precils. Nggak sampai setengah jam kami sampai di rumah keluarga Habibi di daerah Inglewood. Kangen-kangenan sebentar, kami langsung beristirahat lagi agar besok bisa jalan-jalan dengan tenaga yang lebih fresh.

The Precils with The Habibis at their famous couch
Bis umum di Perth

Kami cuma punya 36 jam di Perth, jadi itinerary-nya ketat banget. Saya sudah pesan ke Hayu, nyonya rumah, untuk menemani kami ke tempat-tempat yang penting saja. Enaknya punya guide, saya nggak perlu pusing bikin itinerary, tinggal ngikut aja 🙂 Paginya kami diajak jalan-jalan ke kota, dengan naik bis umum. Kami membeli tiket satu kali jalan, untuk dewasa $2,70 dan untuk anak-anak $1,10, sementara Little A gratis. Lebih lengkap tentang sistem tiket transportasi umum di Perth bisa dilihat di sini.

Di kota, kami jalan-jalan di Murray St Mal. Bagi yang belum tahu, Mal di Aussie adalah istilah untuk jalan khusus pejalan kaki, tertutup bagi kendaraan bermotor. Seperti Car Free Day kalau di Indonesia, cuma yang ini 24 jam 🙂 Di sana bisa ambil peta gratis atau tanya-tanya tentang Perth di Information Booth. Di sini sih tidak perlu khawatir tersesat karena petunjuk jalan jelas dan ada di mana-mana.

Setelah sempat belanja buku di Dymocks dan beli sesuatu di The Body Shop, kami lanjut membeli takeaway sushi untuk makan siang di Taka’s Kitchen, restoran Jepang bersertifikat halal. Dari sana kami kembali jalan kaki menuju London Court, semacam ruko yang dibangun dengan gaya arsitektur Tudor, untuk obat kangen imigran dari Inggris 🙂 Di ruko ini ada kios-kios lucu yang menjual pernak-pernik ala Inggris. Saya tertarik sama toko permen dan kafe kecil yang ada di sebelahnya, tapi tidak sempat mampir. Kata Zaki, guide kami, foto di London Court ini bisa untuk pamer kalau kita sudah pernah mampir ke Inggris, hehe.

Dari London Court hanya beberapa blok menuju Swan Bells, tugu kebanggaan warga Perth. Kalau Inggris punya Big Ben, Perth punya Big Bells 🙂 Kami cuma lihat-lihat dari luar doang dan foto-foto di depannya karena masuk harus bayar. Tiket untuk dewasa $14, anak-anak $9, keluarga $30 dan di bawah lima tahun gratis. Kalau punya uang lebih, coba aja masuk. Kabarnya di dalam kita bisa mendengarkan lagu Indonesia Raya dimainkan.

Information Booth di Murray St Mal
Petunjuk jalan di Murray St Mal
Toko permen di London Court
LittleA dan The Emak di depan Bell Tower

Tujuan selanjutnya wajib dikunjungi kalau kita ke Perth: Kings Park. Dari Swan Bells kami naik Cat Bus (gratis) ke Kings Park. Taman seluas 400 hektar (gile kan besarnya?) ini bisa dibilang jiwa kota Perth. Dari atas taman, kita bisa melihat pemandangan bangunan pencakar langit di Perth berdampingan dengan indahnya Swan River yang berwarna biru. Menurutku, sungai Swan lebih indah daripada sungai Yarra di Melbourne atau sungai Brisbane yang airnya coklat. Bisa ngapain aja di Kings Park? Terserah kita sih. Little A yang gemar lari-lari langsung mengajak teman barunya, Hayya, untuk balapan lari. Sementara Big A tetap asyik dengan bacaannya. The Emak leyeh-leyeh santai sambil nyemil sushi. Setelah jalan-jalan dan memotret pemandangan kota, kami menggelar piknik di dekat War Memorial alias tugu pahlawan.

Sayangnya kami tidak bisa berlama-lama menjelajah Kings Park yang kabarnya punya pohon unik Baobab. Cuma seuil aja dari 400 hektar yang kami cicipi. Perjalanan kami lanjutkan ke Freemantle dengan naik bis kota, dilanjutkan dengan kereta.

Little A dan Hayya lomba lari di Kings Park
Big A asyik baca di War Memorial, Kings Park
View dari Kings Park
Piknik di Kings Park. Ortunya pose, anaknya cuek :p

Fremantle tuh kota tua yang bisa dicapai sekitar 20 menit dengan kereta dari pusat kota Perth. Tapi hari itu kami kurang beruntung. Stasiun Central sedang diperbaiki, sehingga untuk naik kereta ke Freemantle tetap harus naik bis dulu ke stasiun terdekat setelah Central. Gampang kok caranya, tinggal cari kereta jurusan Freemantle (Freemantle Line). Nanti turunnya di stasiun terakhir. Jadwal kereta bisa dilihat di sini.
 
Dari stasiun kereta, kami berjalan menuju dermaga melalui Market St dan South Terrace yang dijuluki sebagai Cappuccino Strip, saking banyaknya kedai kopi di jalan ini. Di sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan bangunan-bangunan kuno yang ciamik, favorit saya. Sayangnya saya tidak bisa menikmati atau memotret dengan serius karena kami harus bergegas sebelum matahari benar-benar terbenam dan menghilang. Di pojok Market St, kami sempatkan mampir ke kedai coklat San Churro untuk membeli churros, camilan favoritku. Churros ini semacam donat Spanyol berbentuk batangan yang dicelupkan saus coklat. Yum!

Ketika sampai di pantai kecil di tepi dermaga, langit sudah berwarna jingga. Kami menikmati suasana senja ini bersama beberapa orang lain, yang juga sibuk foto-foto 🙂 Ketika matahari menghilang di balik cakrawala dan langit berganti memancarkan warna pink, kami melipir ke Cicerello’s untuk makan malam.

Di Cicerello’s, restoran makanan laut tepi dermaga ini, kami memesan seafood tray, yang isinya
fish & chips, 2 udang, 5 calamari, crab stick, dan irisan nanas! Ah, akhirnya ketemu lagi dengan fish and chips dengan saus tartar. Ikannya enak dan segar, hasil tangkapan hari ini. Kopi flat white yang saya pesan pun sangat enak, menuntaskan dahaga saya yang kangen minum kopi enak dengan susu sungguhan 🙂 Kalau sempat ke Freemantle, mampirlah ke Cicerello’s yang di website-nya mengaku kedai makanan laut No.1 di Western Australia 🙂

Kereta umum di Perth
pintu keluar stasiun Freemantle
Big A di depan stasiun Freemantle

Setelah kenyang, kami menjajal naik bianglala besar di taman dekat dermaga. Dari atas Sky View, kami bisa melihat pemandangan kota Freemantle yang berhiaskan lampu. Lumayan lah keliling beberapa putaran diiringi lagu-lagu nostalgia Emaknya. Kalau Si Ayah biasanya nggak mau naik bianglala seperti ini. Alasannya tiketnya kemahalan. Tapi saya rasa Si Ayah cuma takut ketinggian, tapi nggak mau mengakui :p

Turun dari bianglala, kami benar-benar capek. Susah banget menyeret Little A untuk berjalan kembali ke stasiun. Terpaksa The Emak yang perkasa ini harus menggendong. Di stasiun, kami ketinggalan kereta, jadi harus menunggu kereta berikutnya. Untungnya kereta sudah ada dan cukup lowong, jadi anak-anak bisa main-main sepuasnya di dalam gerbong, menunggu berangkat. Kami pulang dengan jalur yang sama dengan waktu berangkat: kereta, bis pengganti sampai stasiun central, kemudian jalan kaki sampai halte bis untuk ganti bis menuju Inglewood. Satu hari yang melelahkan tapi kami cukup puas dan gembira.

Sebenarnya kalau punya banyak waktu, ada dua tempat lagi yang wajib dikunjungi di Freemantle: E Shed Market (semacam Paddys Market di Sydney) untuk membeli suvenir murah dan Fremantle Market yang cuma buka Jumat-Minggu. Nggak papa deh belum sempat ke sana. Malah ada alasan untuk balik lagi mengunjungi Perth 🙂

Sunset di Freemantle
dermaga Freemantle
Fish n chips di Cicerello’s
Yummy Churros dengan saus coklat putih dan coklat :p

Hari berikutnya, kami cuma punya setengah hari di Perth. Kali ini kami mau mengunjungi Art Gallery of Western Australia yang gedungnya terletak di Perth Cultural Centre, satu kompleks dengan museum, perpustakaan, amphiteatre, central square, gedung teater dan wetland. Yang fakir wifi dan pecinta gratisan sila datang ke sini, ada wifi gratis di seluruh penjuru kompleks. You are welcome 🙂

Kami ke galeri seni untuk mengunjungi pameran Picasso to Warhol yang diangkut dari MoMA New York. Little A dan Big A terpikat dengan karya Picasso ketika mengunjungi pameran di Galeri Seni NSW. Karena itu penasaran juga dengan pameran ini. Kalau saya sendiri tertarik dengan karya seni Pop Art si Warhol. Kami beruntung ditemani oleh Zaki yang mengerti seni dan juga pelukis amatir 🙂 Jadi kan bisa nanya-nanya tentang karya yang dipamerkan, tidak sekedar bengong atau pura-pura ngerti di depan lukisan :p

Karya Picasso yang dipamerkan tidak sebanyak dan semenarik ketika ada pameran di Sydney, jadi the precils cepat bosan. Sebelum sampai ke Warhol, saya terpesona oleh lukisan Pollock: There Were Seven in Eight. Lukisan sebesar 1×2 meter berisi benang kusut ini menggambarkan keruwetan dan kegelisahan pelukisnya 😉

Saya buru-buru berfoto dengan Campbell Soup sebelum Little A meloloskan diri karena tertarik dengan pop art Marilyn Monroe. Setelah Little A puas, kami window shopping di art gallery shop. Saya dan The Precils selalu tertarik dengan pernak-pernik di setiap galeri seni yang kami kunjungi, karena memang lucu-lucu. Tapi jelas mahal banget! Ibaratnya pernak-pernik di toko galeri seni ini ready-to-wear art, seni yang bisa dipakai. Saya agak kecewa tidak bisa membeli repro poster Warhol yang harganya $25, duh! Akhirnya kami cuma beli kids pack berisi tas, balon, pensil dan lembar aktivitas, dan magnet kulkas pop art. Lumayan lah, kulkas saya di rumah jadi sedikit nyeni dan nge-warhol sekarang 😀

Apa sih yang disukai anak-anak dari galeri seni? Jawabnya adalah kedai es krim di depannya 😀 Kami leyeh-leyeh sejenak menikmati gelato di depan galeri sebelum mengejar pesawat ke Sydney.
 
Tiga puluh enam jam jelas kurang untuk menjelajah Perth. Kami bahkan belum ke pantai-pantai di Perth yang konon punya sunset yang cantik banget. Salah satu pantai yang disarankan oleh host kami adalah pantai Cottesloe, cakep banget katanya.

Yah, gimana dong. Menjelang siang kami sudah harus naik taksi menuju bandara, mengucapkan selamat tinggal pada Perth, dan pada host kami yang baik hati: Keluarga Habibi. Sampai beberapa hari kemudian Little A terus-menerus menanyakan teman barunya yang dia anggap sebagai my new cousin. Semoga bisa ketemu di lain waktu ya, Nak.

Kami terbang dari Perth pukul 2.30 sore, dan sampai di Sydney pukul 8.40 malam. Penerbangan dari Perth ke Sydney ditempuh dalam 4 jam 5 menit. Kali ini kami naik Qantas dengan tiket promo seharga $199 per orang. Bener kan, kalau dari Perth, tiket ke Sydney lebih mahal daripada tiket ke Bali. Penerbangan berlangsung mulus, dengan pemandangan senja yang bagus dari pantai selatan Australia, sebelum akhirnya pesawat menembus malam.

Sebentar lagi The Precil akan bertemu dengan Si Ayah, setelah 70 hari berpisah.

The Emak dan Little A di depan Art Gallery of WA
Campbell Soup si Warhol
Gelato di depan art gallery

 ~ The Emak

[Penginapan] Holiday Inn The Esplanade Darwin

Pose standar The Precils kalau ketemu Nickelodeon :p

Terus terang tarif hotel di Darwin pada bulan Juni (termasuk high season karena musim kemarau) membuat saya pusing. Harga hotel jauh lebih mahal daripada di Sydney. Bolak-balik saya cek website wotif, booking, dan booking engine lainnya, berharap tarif hotel turun (atau ada yang khilaf pasang harga murah :p) Sampai akhirnya saya ‘menemukan’ Holiday Inn The Esplanade dan langsung jatuh cinta pada brand ini.

Ketika saya memesan hotel ini, rencana kami adalah pergi bersama Ibu Mertua, jadi harus pesan hotel untuk 3 dewasa dan 2 anak-anak. Di situlah rumitnya, karena terpaksa kami harus pesan 2 kamar. Kalau cuma berempat: dua dewasa dan dua anak, satu kamar dengan dua double bed biasanya sudah cukup. Tarif kamar ketika saya booking di bulan Maret 2012 adalah AUD 189 per kamar per malam, termasuk sarapan. Ini tarif yang non-refundable, artinya pesanan tidak bisa dibatalkan atau diubah tanggalnya, dan harus dibayar di muka. Waktu itu saya memesan melalui website resmi mereka dan membayar dengan kartu kredit. Sebelumnya, saya sempatkan bergabung dengan Priority Club Rewards mereka agar dapat poin selama kami menginap 2 malam di 2 kamar.

Nggak disangka, Ibu batal pergi dengan kami, padahal kamar kami tidak bisa dibatalkan. Ya sudah, saya pikir asyik juga punya dua kamar. Ntar anak-anak bisa tidur sendiri sementara The Emak dan Si Ayah … :p Di formulir pesanan saya sudah mencantumkan secara khusus meminta connecting rooms. Ternyata ketika kami datang, resepsionis memberi kami adjacent rooms, cuma dua kamar yang berdekatan aja, tapi tidak ada pintu hubungnya. Si Ayah yang kecapekan menyetir dari Kakadu National Park langsung tertidur begitu menyentuh bantal. Sementara saya beberes dan menaruh barang-barang the precils di kamar mereka. Ternyata repot banget pakai dua kamar yang tidak nyambung. Little A berkali-kali pengen ke kamar kami, dan harus keluar masuk pintu dengan membawa kunci hotel. Kami bertekad akan komplain masalah ini ke manager setelah menikmati sunset di Mindil Beach.

Sepulang dari pantai, Si Ayah yang bahasa Inggrisnya lancar banget langsung menghadap manager, perempuan bernama Kate. Dia secara tegas meminta kami dipindahkan ke connecting room karena repot bolak-balik buka tutup pintu. Dan anak-anak juga tidak nyaman di kamar sendiri. Ternyata pada hari itu semua connecting rooms terpakai, dan baru tersedia satu keesokan harinya. Kate menawarkan memindahkan kami ke kamar suite dengan dua extra bed. Saya langsung mengiyakan daripada ribet. Dan kapan lagi mencoba kamar suite? Hehehe…

Kate manager satu ini langsung gerak cepat, turun tangan sendiri memindahkan barang-barang kami dari kamar dengan troli dan mengantar kami ke kamar suite. Dalam sekejap, masalah kami terselesaikan. Pelayanan seperti ini yang membuat saya langsung jatuh cinta pada brand Holiday Inn 🙂 *yes, I am that cheap* Sungguh perasaan yang menyenangkan merasa dihargai dan dibantu dengan cepat sampai masalah selesai. Tarif kamar kami tidak bisa diubah, dan kami pasrah saja 2 kamar biasa kami diganti satu kamar suite dengan dua ekstra bed. Saya nggak mau repot ngecek tarif aslinya, untung apa rugi 🙂

Kamar suite jelas lebih lega. Ada ruang duduk dengan sofa, televisi dan toilet dan satu kamar dengan king bed yang dipisahkan oleh rolling door kayu. Kamarnya dilengkapi ensuite kamar mandi dengan shower, bathtub dan toilet. Dua extra bed diletakkan di ruang duduk. Karena ada dua televisi, The Precils bisa menonton Nickelodeon sementara The Emak bisa tenang menonton Grand Slam Roland Garros. 

Satu kelemahan hotel ini adalah tidak ada sinyal di dalam kamar sama sekali. Ketika kami tanyakan pada Kate, ternyata karena di depan hotel ini dipasang kerangka anti angin topan yang membuat sinyal juga tidak bisa masuk. Darwin pernah dilanda angin topan Tracy pada tahun 1974 yang meluluhlantakkan kota. Jadi kalau ingin menelpon, mengirim sms atau menggunakan internet, kami harus turun ke lobi. 

Sarapan pagi di hotel cukup enak dan bervariasi. Yang paling juara adalah hash brown-nya, semacam kentang goreng tapi bentuknya seperti perkedel, biasa sebagai menu sarapan di Aussie. Saya mencoba menu vegetariannya: jamur dan tomat panggang yang segar dan yummy. Menu telur juga bermacam-macam, bisa dipesan langsung ke chef-nya. Yang nggak ada adalah nasi! Hehehe, ini yang membuat Si Ayah ngotot makan di kafe Indonesia siang harinya. Kalau nggak ketemu nasi nggak kenyang 🙂

Kami juga sempat mencoba kolam renangnya. Lumayan mengasyikkan meskipun airnya dingin. Yang saya suka lagi dari hotel ini adalah ada mesin laundry koin. Jarang-jarang ada mesin laundry di dalam hotel, karena mereka juga jualan servis laundry yang mahalnya minta ampun itu. Dengan laundry koin, cukup memasukkan 3x koin $1 untuk mencuci dan $3 berikutnya untuk mengeringkan. Hemat dan bersahabat, yay!

Lokasi hotel ini, di The Esplanade No.116 cukup strategis, berada tepat di depan taman pinggir laut yang bisa untuk jalan-jalan di pagi dan sore hari. Di ujung esplanade, ada Aquascene, tempat untuk memberi makan ikan-ikan laut. Kami tinggal jalan kaki sekitar sepuluh menit dari hotel ke Aquascene. Menuju ke pusat kota juga lumayan dekat, sekitar lima belas menit sudah sampai ke pertokoan, kafe, restoran dan supermarket. Parkir di hotel ini gratis untuk tamu hotel. Kita tinggal minta token (koin khusus) untuk dimasukkan ke gerbang parkir agar palang pintu otomatis membuka.

Jangan salah, di jalan The Esplanade ada DUA hotel Holiday Inn, satunya di nomor 116 (tempat kami menginap) dan satu lagi di nomor 122. Hotel kami lebih khas tampak depannya karena ada bangunan penangkal angin topan. Kenapa kami memilih menginap di hotel No.116 ini? Jelas karena pada waktu itu tarifnya lebih murah daripada hotel satunya 🙂

Secara umum kami cukup terkesan dengan pengalaman tinggal di (suite) hotel ini. Apalagi setelah seminggu kemudian ketika mengecek akun Priority Club, saya diberi poin dobel dari hotel ini, mungkin sebagai tanda permintaan maaf. Lumayan, poin bisa dikumpulkan untuk menginap di Holiday Inn berikutnya 😉

Jalan-jalan di The Esplanade di depan hotel, sekalian menuju Aquascene

~ The Emak

[Penginapan] Kakadu Lodge & Caravan Park

Malam Bertabur Bintang di Kakadu Lodge

Di Australia, kita bisa main-main ke banyak Taman Nasional karena tempatnya terawat, ada jalan yang mulus, dan selalu ada pilihan akomodasi, mulai dari area camping sampai hotel mewah.

Tidak banyak pilihan akomodasi di Kakadu National Park yang letaknya di antar berantah ini. Hanya ada satu kota kecil Jabiru yang menjadi pendukung logistik penginapan yang ada di sini. Nggak heran kalau tarif menginap di sini lebih mahal daripada di kota.

Di kota Jabiru ada tiga pilihan penginapan: Wildman Wilderness Lodge, Kakadu Lodge & Caravan Park dan Gagudju Crocodile Holiday Inn. Sementara di Cooinda, tempat kami menunggu untuk ikut tur Yellow Water Cruise, ada Gagudju Lodge Cooinda. Dua penginapan yang terakhir ini bisa dipesan melalui website Gagudju-Dreaming, yang merupakan operator tur Yellow Water Cruise dan paket tur lainnya. Tadinya saya ingin menginap semalam di Holiday Inn yang bentuk hotelnya kalau dilihat dari atas seperti buaya dan semalam lagi di Gagudju Lodge Cooinda supaya itinerary cocok dengan tempat menginap, ketika selesai Yellow Water Cruise bisa langsung istirahat di Cooinda. Gagudju Lodge Cooinda ini juga cocok untuk yang ingin ikut Sunrise Yellow Water Cruise, karena tur dimulai tepat di depan lodge, tinggal menunggu jemputan. 

Sayangnya Holiday Inn dan Gagudju Lodge Cooinda kapasitasnya maksimal empat orang per kamar. Sementara kami rencananya pergi berlima. Saya sudah menghubungi Holiday Inn dan Cooinda Lodge, tapi mereka tidak bisa membantu soal kapasitas kamar, jadi harus memesan dua kamar. Akhirnya saya putuskan untuk memesan penginapan di Kakadu Lodge dan Caravan Park. Cabin di sini bisa muat untuk lima orang: ada ranjang utama untuk dua orang, ranjang susun untuk dua orang dan satu lagi ranjang sorong untuk satu orang. Harga per malam untuk lima orang tidak murah. Saya memesan melalui website check-in sebesar AUD 240 per malam. Mahal ya? Begitulah, kombinasi antara peak season (musim kemarau dan musim liburan Juni-Juli) dan akomodasi yang jauh dari mana-mana membuat harga relatif mahal. Harga di atas belum termasuk sarapan pagi, duh. Saya pesan di website Check In karena tergoda oleh cash-back mereka yang diberikan langsung ketika memesan. Lumayan bisa menghemat $13, hehe. Saran saya, jangan terlalu fanatik dengan satu booking engine. Bandingkan harga/tarif penginapan di minimal tiga booking engine, termasuk website mereka sendiri, baru pilih yang termurah. Kalau malas browsing, bisa klik Hotels Combined yang sudah ‘pintar’ membandingkan langsung beberapa booking engine, kita tinggal pilih.

Sebenarnya ada yang lebih murah daripada penginapan yang saya sebutkan di atas, yaitu mendirikan tenda di tempat camping yang disediakan oleh pengurus national park. Daftar tempat camping bisa dilihat di buku panduan Kakadu NP atau website. Tapi namanya di alam liar beneran, tempat-tempat ini tidak steril dari hewan buas. Ketika saya kembali ke Darwin, saya membaca di salah satu koran lokal bahwa ada tenda traveler yang diserang oleh Dingo (anjing liar khas Aussie). Duh, kalau saya hanya berani pasang tenda di tengah-tengah peradaban 🙂

Kasur The Emak dan Si Ayah
Kasur The Precils

Saya tidak menyesali pilihan menginap di Lodge ini. Tempatnya bagus, sekitarnya rimbun dan bersih. Kabin kami tidak besar, tapi cukup luas untuk berlima, dilengkapi dapur mungil dan kamar mandi di dalam. Fasilitas dapur cukup lengkap untuk menyiapkan makan sendiri: kulkas besar, ketel air listrik, pemanggang roti dan hotplate (wajan listrik). Tentu kami membawa rice cooker kecil sendiri untuk menanak nasi :p Karena Kakadu lumayan jauh dari peradaban, kami membawa bahan makanan dari Darwin. Ketika memasak sendiri ketika traveling, saya nggak mau ribet. Biasanya kami akan membeli satu daging (ayam atau sapi) yang sudah dibumbui di supermarket (ada juga dalam bentuk sate/kebab), dan membeli bahan-bahan salad: selada, tomat dan timun. Nanti dagingnya tinggal di-grill atau dibarbekyu. Tambahkan nasi hangat, sudah jadi menu sehat dan mengenyangkan. Yum!

Menginap di Lodge memang menguntungkan karena kita bisa memasak sendiri makanan kita. Kalau tinggal di hotel, tidak ada dapur atau tempat memasak sendiri, jadi harus keluar uang untuk membeli makan di restoran, yang tentunya lebih mahal dan bisa jadi berbeda dari selera kita (dan belum tentu ada nasi untuk Si Ayah :p).

Dapur mungil
The Precils having a good time at swimming pool

Selain dapur, fasilitas lodge lain yang kami gunakan adalah mesin cuci dan kolam renang. Pagi hari sebelum berangkat ke Cooinda, kami sempat berenang di kolam renang ‘pribadi’ karena tidak ada penghuni lain yang senekat kami, berenang di air yang dingin. Meskipun saat itu suhu udara panas, namun suhu air sangat dingin, apalagi di pagi hari. Setelah anak-anak selesai berenang, kami bisa langsung mencuci baju di mesin laundry yang dioperasikan dengan koin. Malamnya ketika kami kembali, baju-baju sudah kering dan wangi 🙂 

Satu hal yang istimewa ketika menginap di Taman Nasional Kakadu, kami disuguhi hiasan langit yang spektakuler. Karena minimnya cahaya buatan manusia (hampir tidak ada pemukiman penduduk), bintang-bintang di langit kelihatan sangat jelas. Maklum orang kota, saya terkagum-kagum menikmati pemandangan langit nan indah yang berhasil diabadikan Si Ayah ini.

 ~ The Emak