7 Tip Mengumpulkan Receh Untuk Resolusi Piknik

7 Tip Mengumpulkan Receh Untuk Resolusi Piknik

Hello 2017…
Apa resolusi piknik kamu tahun ini? Kalau The Emak sih nggak muluk-muluk karena resolusi tahun lalu banyak gagalnya, hiks. Tapi ketolong sama pengalaman traveling di akhir tahun yang tak disangka-sangka: cruising! Tahun ini keluarga precils insyaallah akan ke KL dan Malaka (dapat tiket 0 rupiah AA dari tahun lalu) dan LOB Komodo (amin YRA). Udah itu doang? Enggak sih, nanti ditambah staycation sana-sini dan weekend mini trip entah nyangkut di mana, hahaha. Trus The Emak juga punya keinginan terpendam untuk #ngopibarengnicsap2017 karena kan destinasi nggak melulu tempat, bisa juga orang.

Nah, yang lebih penting dari sekadar resolusi piknik adalah bagaimana cara untuk mewujudkannya.Traveling pasti perlu modal dong. Kabar baiknya, nggak semua biaya traveling harus dibayar dengan uang. Bisa juga dibayar pakai miles untuk tiket pesawat, pakai kredit poin untuk penginapan, dan pakai doa kalau pengen menang kuis 😉 Emak yang baik hati dan tidak sombong ini akan berbagi tips untuk ngumpulin duit dan poin receh agar resolusi piknik kamu kesampaian.

Untuk bisa mengumpulkan miles/mileage (poin penerbangan), kita harus jadi anggota frequent flyer dari suatu maskapai. Nama program tiap perusahaan penerbangan bisa beda-beda. Untuk orang Indonesia, saya sarankan minimal ikut tiga keanggotaan frequent flyer ini: Garuda Indonesia, Air Asia, dan Singapore Air. 

“Duh, saya kan jarang terbang?” Tenang, untuk ikut keanggotaan ini nggak perlu harus sering terbang kok. Bahkan sebaiknya mendaftar jadi anggota sebelum terbang dan sebaiknya sebelum beli tiket agar nomor frequent flyer bisa dicantumkan ketika membeli tiket. 

Cara mendaftar gampang kok, seperti ketika kita membuat akun email. Klik masing-masing website-nya ya, trus cari tombol Daftar/Join/Register.
Garuda Miles: https://garudamiles.com    
Air Asia Big Loyalty Programme: http://www.airasiabig.com/id/id/
Kris Flyer SIA: http://www.singaporeair.com/KrisFlyer

Nah, kalau keanggotaan frequent flyer udah beres, mari kita cari tahu cara memperoleh poinnya. Nggak melulu dari terbang lho. The Emak punya 7 tips untuk ngumpulin remah-remah biaya untuk traveling.

1. Mengumpulkan receh (literally)
Ini serius. Saya selalu meminta uang kembalian kalau belanja di minimarket atau supermarket. Dan saya pasti mengecek struk belanja sebelum keluar dari toko. Untuk toko besar biasanya sih saya pakai kartu debit atau kredit, tapi untuk toko kecil saya pakai uang kas. Lebih sering saya yang memberi kasir uang kembalian karena saya selalu bawa recehan di dompet untuk belanja.

Bukannya saya pelit untuk donasi ya, tapi untuk zakat, uang qurban dan sumbangan sosial memang sudah saya program, bukan dari uang receh. Donasi pun akan sampai ke penerima yang kita pilih sendiri.

Latihan minta uang kembalian ini membuat kita menghargai uang kecil, karena uang besar berasal dari uang kecil. Dalam bahasa Ibuk saya yang pedagang, kita harus “setiti”. Apa ya bahasa Indonesianya yang pas? Karena benar-benar uang receh, tentu hasilnya setahun enggak banyak, tapi tetap saja ada harganya. Misal sehari kita bisa mengumpulkan 1000 rupiah saja, setahun kita bisa dapat 365 ribu. Cukup untuk bayar pajak bandara, karena meski kita bisa membeli tiket pesawat dengan miles, pajak bandara tetap harus dibayar pakai uang, nggak bisa pakai daun 🙂

2. Mengumpulkan cashback dari Shopback 
Hayo siapa yang hobi online shopping? *ikut ngacung. Sejak kenal Shopback, saya selalu belanja melalui website/apps ini karena setiap belanjaan kita bakalan dapat uang kembalian antara 2% sampai 15%. Belanjaan saya juga kebutuhan sehari-hari sih seperti beli pulsa, bayar PDAM, bayar BPJS di tokopedia; beli tiket nonton di BookMyShow; beli tiket pesawat di PegiPegi, Tiket, atau Nusatrip tergantung mana yang lebih murah; booking hotel di Booking dot com atau Agoda.

Keuntungan jadi anggota Shopback ini, uang kembalian kita terkumpul di suatu tempat dan bisa ditarik jadi tunai (transfer ke rekening bank kita) kapan pun kita mau. Lumayan kan kalau dalam setahun bisa dapat 3-4 juta? Tinggal bilang ke pasangan kita, “Sayang, liburan yuk aku yang traktir.” :p
 
Daftar Shopback pakai referral saya untuk mendapatkan bonus Rp 45.000: https://www.shopback.co.id/?raf=YppJr2

https://www.shopback.co.id/?raf=YppJr2
Toko favorit ada di sini semua
Cashback saya 🙂 Lumayan yah.

3. Mengisi Survey YouGov untuk Poin Airasia Big
Ini tadi yang saya bilang nggak harus sering terbang untuk mencari poin frequent flyer. Kita bisa mendapatkan poin Air Asia Big hanya dengan mengisi survey. Setiap survey bisa dapat poin mulai dari 25 poin sampai 150 poin. Nanti kalau sudah terkumpul 5000 poin, bisa ditukar menjadi 2500 poin AirAsia Big. Kalau sedang promo, banyak rute Air Asia yang bisa ditukar hanya dengan 500 poin saja, misalnya Jakarta – KL, Jakarta – Penang, Jakarta – Bali, Surabaya – Johor Bahru, dll.

Surveynya gampang kok, tentang kehidupan kita sehari-hari. Misalnya tentang pemakaian internet di rumah, merk sabun yang sering dipakai, pendapat tentang service provider, dll. Setelah mendaftar, nanti akan dikirimi email kalau ada survey yang cocok dengan profil kita. Surveynya bisa dikerjakan di komputer atau smartphone, dan biasanya nggak sampai 10 menit.

Daftar survey YouGov di sini:
https://id.yougov.com/en-id/refer/TQ3vAFZlkjhYLB6Bv-KGvw/



4. Menulis Review di Tripadvisor untuk Miles Garuda
Selain survey, kita juga bisa menambah miles dengan cara menulis review di Tripadvisor Indonesia. Sebenarnya kita bisa memilih, poinnya mau ditukar jadi Garuda Miles atau Air Asia Big, tapi saya lebih memilih ditukar Garuda Miles. Setiap reviewer hanya boleh memilih salah satu.

Yang harus dilakukan adalah mendaftar jadi anggota Garuda Miles dulu agar mendapatkan nomor anggota. Setelah itu, daftar menjadi anggota Tripadvisor Indonesia (bisa dengan akun facebook biar nggak ribet). Baru kemudian menyambungkan program mileage dari review Tripadvisor di sini: https://www.tripadvisor.co.id/GarudaMiles

Yang bisa diulas di Tripadvisor tidak cuma hotel atau penginapan, tapi juga restoran atau tempat wisata. Jadi tanpa pergi jauh pun kita bisa menulis tentang warung langganan di kota kita sendiri. Setiap tempat yang kita review punya nilai mileage sendiri, mulai dari 5 poin sampai 200 poin. Ulasan harus otentik ya, artinya kita memang pernah punya pengalaman di tempat yang kita review. Ulasan palsu akan membuat kita di-blacklist oleh Tripadvisor. 

Miles yang dibutuhkan untuk terbang dengan Garuda dari Surabaya ke Bali adalah 4000. Kalau tiap review rata-rata dapat 50 miles, kita tinggal menulis 80 kali 🙂 Atau redeem miles Garudanya pas diskon 50%, jadi untuk SUB – DPS atau Jakarta – Belitong tinggal perlu 2000 poin (40-an review) saja. Baca pengalaman saya menukar Garuda miles untuk terbang ke Bali sekeluarga di sini.

 

Poin dari review langsung masuk miles Garuda



5. Join Afiliasi Airbnb
Airbnb adalah apps dan website favorit saya untuk mencari vila atau apartemen ketika harga hotel terlalu mahal. Saya pernah memakai airbnb untuk memesan penginapan di Paris, Ubud, Taipei, dan baru-baru saja Jogja.

Airbnb juga termasuk yang murah hati memberikan credit point untuk para affiliate-nya. Kalau saya memberikan referral pada seseorang untuk bergabung dengan airbnb, orang tersebut akan mendapat Rp 295.000 (besaran kupon ini bisa berubah sesuai program mereka) dan saya akan mendapat jumlah yang sama kalau orang tersebut memesan penginapan. Karena rajin memberikan referral, selama ini saya bisa memesan penginapan di airbnb dengan diskon besar atau bahkan gratis 🙂

Daftar airbnb pakai tautan ini ya: https://www.airbnb.com/c/akumalasari

 

6. Join Afiliasi Hotel Quickly
Hotel Quickly adalah apps favorit saya untuk memesan hotel yang diperlukan secara mendadak. Apps ini paling pas untuk staycation. Saya pernah pakai untuk memesan beberapa hotel di Surabaya.

Untuk bisa menjadi affiliate, kalian harus mendaftar di apps Hotel Quickly dulu, cari apps nya di Google Play atau App Store. Setelah itu masukkan kode AKUMA72 untuk mendapatkan diskon tambahan 15% untuk pemesanan pertama. Nanti di apps, kalian bakalan punya banyak pilihan untuk memberikan referral ke teman-teman dan akan mendapat Rp 10.000 setiap kali teman menggunakan kode kalian, plus 10% dari pemesanan ketika teman kalian booking hotel. Lumayan, kreditnya bisa buat staycation leha-leha. Kalau udah punya kredit mending cepat dipakai sebelum expire 🙂
 

tampilan apps HQ

7. Menukar Poin Kartu Kredit
Tip terakhir untuk membiayai liburan adalah dengan menukar poin kartu kredit. Tentu saja syaratnya kalian punya kartu kredit, hehehe. Eh kalau nggak punya kartu kredit, ada kok kartu debit yang poinnya bisa ditukar miles Garuda, contohya Fiestapoin Bank Mandiri.

Bagi keluarga saya, kartu kredit adalah alat bayar yang praktis, terutama ketika bertransaksi online atau transaksi di luar negeri. Kami tidak pernah ngutang dan pasti membayar tagihan tepat waktu, jadi tidak pernah membayar bunga. Karena memang hanya sebagai alat bayar, kami masing-masing hanya punya satu kartu kredit.

Kalau kalian ingin mengumpulkan miles melalui poin kartu kredit, sebaiknya memang memilih kartu kredit yang bekerja sama dengan maskapai tertentu, agar milesnya cepat bertambah. Untuk miles Air Asia pilih CIMB Niaga, Singapore Air pilih BCA, sementara Garuda bekerja sama dengan BNI dan Citibank.

Tapi kartu kredit lain pun tetap bisa ditukar dengan miles. Bahkan keuntungan punya kartu kredit biasa, poinnya juga bisa ditukar dengan poin dari hotel, misalnya poin IHG (Holiday Inn) atau Hilton Honor. Kami pernah menginap gratis di Holiday Inn Penang dengan menukar poin IHG plus tambahan dari poin kartu kredit. Saya juga pernah merasakan terbang dengan kelas bisnis Singapore Air dengan menukarkan miles Krisflyer plus tambahan poin dari kartu kredit suami, hihihi. Padahal, saya belum pernah membeli tiket SQ dengan duit saya sendiri. Miles yang saya tukarkan berasal dari tiket hadiah ketika saya memenangkan kuis New Zealand Tourism. Moral of the story: selalu daftar keanggotaan frequent flyer sebelum kamu beli tiket pesawat atau sebelum kamu menang kuis 🙂


Itu semua tip-tip yang bisa kita semua lakukan sebagai rakyat jelata biasa. Tentu masih ada cara lain, misalnya endorse instagram kalau kamu arteeees. Atau bisa pasang iklan di blog kalau view blog kamu ratusan ribu sebulan, hehe. Tapi nggak papa, tetap optimis ya untuk #resolusipiknik2017 kamu. Jangan sampai kita rakyat biasa kena derita #kurangpiknik. Gimana, ada yang mau bareng kami ke Labuhan Bajo?


~ The Emak

Naik Bus dari Sydney ke Canberra

Naik Bus dari Sydney ke Canberra

Bulan Juni Si Ayah menghadiri konferensi di Canberra. Tentu Si Emak saleha yang mengurusi semuanya, termasuk cari tiket pesawat (pakai Air Asia dari DPS – SYD, 5 jutaan), pesan penginapan (dapatnya paling murah di ANU University House) dan mencarikan transportasi dari Sydney ke Canberra. Tidak ada penerbangan langsung dari kota di Indonesia ke Canberra, jadi memang harus transit. Kota terdekat dengan Canberra adalah Sydney (3 jam berkendara). 

Pilihan transportasi dari Sydney ke Canberra bisa dengan kereta api, pesawat, sewa mobil atau dengan bus (coach). Kereta api kurang saya rekomendasikan karena waktu tempuhnya yang lebih lama daripada bus (4 jam 20 menit) dan harganya sedikit lebih mahal daripada tiket bis (AUD 39,54). Jangan kaget ya kalau kereta api di Australia jalannya lambaaaaat, hahaha. Kereta api ini cocok untuk orang yang selo, karena jadwalnya pun kurang fleksibel, hanya ada tiga jadwal kereta dari Sydney ke Canberra: jam 7, 12 dan 18. Untuk lebih lengkapnya cek http://www.nswtrainlink.info.

Pesawat adalah pilihan transportasi dengan waktu tercepat. Tapi tentu saja harganya lebih mahal. Tiket termurah sekitar $145 untuk 1 jam penerbangan (cek website webjet.com.au). Kalau dihitung dengan waktu untuk sampai ke bandara dan untuk cek in, tentu waktu perjalanan tidak beda jauh dengan naik bus yang hanya perlu 3,5 jam.

Dulu ketika kami tinggal di Sydney, kami menggunakan mobil pribadi atau menyewa mobil ketika ke Canberra. Perjalanan ke Canberra melewati jalan tol yang mulus banget, jarak sekitar 300 km bisa ditempuh dalam 3 jam saja. Tapi perjalanan dengan menyetir sendiri ini sungguh membosankan karena pemandangannya itu-itu saja, dan juga rawan ngantuk karena jalanan terlalu sepi dan terlalu mulus :p

Karena itu, untuk kali ini, naik bus adalah pilihan terbaik untuk si Ayah. Saya segera mengecek website Murrays, perusahaan bus terkemuka di Sydney. Di website-nya, kita bisa langsung memesan tiket sesuai jadwal yang tersedia setiap jam. Bayarnya pakai kartu kredit. Waktu saya pesankan, ada tiket diskon seharga $30 untuk jadwal di pagi hari. Tentu saya nggak mau kehabisan!

Sebenarnya ada pilihan lain selain bus Murrays, yaitu bus Greyhound yang cukup terpercaya juga. Tapi jadwal bus Greyhound ke Canberra tidak sesering bus Murrays. Jadwal dan harga tiket bisa dicek langsung di website Greyhound Australia

Terminal bus Sydney ada di sebelah stasiun Central. Datanglah sesuai jadwal keberangkatan karena bus pasti tepat waktu. Kalau sudah memesan, cukup antre dengan tertib untuk naik ke dalam bus karena sopir sudah punya daftar nama penumpang. Nggak perlu terburu-buru atau nyela antrean ya, semua pasti kebagian tempat duduk. Kata Si Ayah, interior bus-nya cukup mewah dan nyaman. Setiap penumpang harus memakai seat belt. Iya, aturan Australia memang gitu :p Setiap tempat duduk ada colokan listriknya untuk nge-charge (yay, ini penting!) dan tersedia juga toilet (yang nggak bau) di bagian belakang. Di dalam bus boleh minum atau makan, asal bukan minuman atau makanan panas.

Perjalanan sekitar 3,5 jam dan berlangsung mulus-mulus saja, bisa disambi bekerja atau… tidur!

Di Canberra, terminalnya ada di Jolimont, sebelah hotel Novotel. Kami pernah menginap di Novotel Canberra ini, review-nya bisa dibaca di sini. Dari terminal tinggal jalan sekitar dua puluh menit ke ANU University House. Atau kalau kalian pengen menginap di hostel, ada Canberra City YHA, 15 menit jalan kaki dari terminal bus ini.

Selain ke Canberra, Murrays juga melayani jalur bus dari Sydney ke Snowy Mountain dengan tarif $120 pp. Cukup mahal sih, dibandingkan dengan tur sehari yang tarifnya mulai $99 saja, contohnya di http://www.apsetours.com.

Menurut saya, Canberra ini kotanya ngebosenin, hehe. Kalau memang penasaran mau ke sini, pas kan waktunya ketika ada Floriade atau Festival bunga di musim semi, sekitar bulan September-Oktober. Atau bisa juga mampir ke Canberra ketika mau lihat salju di Snow Mountain (3 jam berkendara dari Canberra).

~ The Emak

Pengalaman Memakai Grab Car di Bali

Disclaimer:
Cerita ini berdasarkan pengalaman kami ke Bali tanggal 5-6 Maret 2016. Kebijakan operasional Grab atau tarif mungkin berbeda di lain waktu. Cerita ini tidak disponsori oleh Grab, kami membayar sendiri semua pengeluaran kami 🙂

Ketika keluarga saya dan keluarga adik saya, @diladol, akhirnya memutuskan ke Bali bareng, kami mulai kasak-kusuk mengusahakan transportasi selama kami di sana. Enaknya gimana? Sewa mobil, sewa motor, naik taksi, pakai Uber, atau pakai Grab? Tadinya adik saya sekeluarga (anaknya baru satu, ponakan saya K yang keren, umur 2 tahun) mau sewa motor saja. Sementara dari bandara ke hotel mau numpang saya naik Uber, karena kabarnya Grab Car dilarang beroperasi di bandara Ngurah Rai.


Saya tadinya mau menyewa mobil. Browsing di internet dan nanya teman, sewa mobil selama 12 jam termasuk sopir dan bensin Rp 500 ribu. Tapi setelah saya pikir-pikir, rencana kami kan nggak mau keliling ke mana-mana, cuma mau ngendon di hotel aja, jadinya sewa mobil bakalan mubazir. Sayang uangnya. Fyi, meski liburan bareng, saya dan adik saya menginap di tempat berbeda. Adik saya di hotel bintang 3 di Kuta, sementara saya dan precils di hotel bintang 5 di Canggu. Yah, sesuai tingkat kesejahteraan lah, hahaha. Menjelang hari H, ponakan K malah sakit flu, jadinya mereka memutuskan nggak jadi sewa sepeda motor. Kami putuskan mau coba pakai Uber dan Grab Car aja, sambil lihat nanti di lapangan kayak apa.

Keluarga kami mendarat di Ngurah Rai airport lebih dulu dari keluarga Dila. Ya kan Surabaya lebih dekat dari Jogja :p Sembari menunggu Dila cs, saya iseng bertanya tarif transfer dari bandara di gerai Golden Bird yang ada di area kedatangan domestik. Tarif Golden Bird ke Kuta 200 ribu, dengan mobil Avanza, jadi muat untuk kami bertujuh. Oke deh, saya cek toko sebelah dulu ya, hehe.

Setelah kami semua ngumpul, saya sudah siap-siap pakai Uber, tapi saya ragu karena di apps saya tidak bisa memilih jenis mobil. Nanti kalau dapatnya mobil kecil bagaimana? Nggak muat untuk 4 dewasa dan 3 anak. Lalu Si Ayah mencoba pesan taksi bandara di booth resmi, dekat pintu keluar. Katanya tarif dari airport ke Hotel Gemini Star di Kuta 110 ribu. Glek! Itu pun untuk mobil sedan biasa yang cuma muat berempat. Walah, mihil bingits. Mana bapaknya yang jaga galak banget. Ini gimana mau laku ya taksinya? Ketika kami masih berunding, dia teriak-teriak, “JADI PESEN APA NGGAK? KALIAN MENGHALANGI ANTREAN!” Padahal nggak ada orang di belakang rombongan kami. Good bye lah, belum juga naik taksi udah dimarah-marahi.

Akhirnya adik saya yang pintar, cekatan dan tidak sombong mencoba membuka app Grab. Aplikasi ini sama dengan app Grab Taxi di kota lain, bisa diunduh di iOS atau android. Begitu dibuka, app ini langsung tahu posisi kita. Bagian pick-up langsung terisi Ngurah Rai Airport (DPS). Tinggal memasukkan drop-off, ke mana kita ingin diantar. Adik saya memasukkan Hotel Gemini Star dan memang langsung bener lokasinya di daerah Gg Poppies II Kuta sana. Begitu lengkap pick-up dan drop-off nya, langsung kelihatan kisaran tarifnya berapa. Di app muncul Rp 25K, dari airport ke Kuta. Setelah klik “Book GrabCar” si app ini akan tuing-tuing mencarikan driver untuk kita. Gak sampai semenit langsung dapat. Begitu dapat, Dila bersorak dan langsung menelepon Pak Driver. Ternyata mobil Pak Sopir ini sudah ada di bandara, dia memberi tahu agar kami menuju ke bagian keberangkatan domestik. Mobilnya APV warna putih, nomor polisinya sudah kelihatan di app. Rombongan kami bergegas berjalan ke departure. Begitu melihat mobil APV Pak-nya, kami melambai dan mobil menepi di tempat drop off keberangkatan. Pak-nya menyapa dengan ramah. Alhamdulillah kami bertujuh muat di mobil APV yang lapang dan bersih ini. To Kuta we go!


“Untung aku tadi nyoba Grab ya,” kata Dila dengan bangga. Ternyata Grab Car tetap bisa dipesan dari bandara, padahal dari berita dan blog yang saya baca, Grab dilarang beroperasi di bandara. Tapi pantas saja kalau taksi bandara merasa terancam dengan keberadaan Grab, mereka tidak bisa seenaknya sendiri melipatgandakan tarif. Saya selalu merasa dirampok dengan layanan taksi bandara. Selain kenaikan harganya sangat tidak wajar, pelayanannya pun buruk. Meski sudah membeli kupon di gerai resmi, sampai tempat tujuan masih dipalak oleh sopir. Ini terjadi tidak hanya di bandara Bali. Pinter banget ya cara Angkasa Pura menyambut turis? 😐

Sementara dengan Grab Car, tarif dihitung per-kilometer, tidak terpengaruh dengan macetnya jalan. Sebelum naik, kita diberi kisaran tarif. Setelah sampai di tujuan pun, tarif tidak banyak berubah, dan driver tidak meminta uang lebih.

Dari bandara ke Kuta, kami bertujuh hanya diminta membayar 27 ribu. Murah banget kan hitungannya? Tentu kami memberi tip ke driver yang menyelamatkan kami dari taksi bandara yang overprice dan pelayanannya kasar.

Selanjutnya, saya memakai jasa Grab Car terus selama di Bali. Dari hotel Gemini Star di Kuta menuju Hotel Tugu di Canggu, saya cukup membayar 66 ribu, dengan lama perjalanan satu jam. Tentu saya memberi tip ke driver. Di rute ini, mobil yang kami naiki Avanza, masih cukup baru, bersih dan wangi. Driver ramah dan tidak banyak bicara, namun cukup pandai melewati jalan-jalan sempit di Bali, bahkan melewati jalan tembus berupa pematang sawah berkonblok menuju Canggu.

Dari Hotel Tugu sampai ke Potato Head di Seminyak, kami diantar mobil hotel. Sementara dari Seminyak ke bandara, kami kembali memakai Grab Car. Biayanya hanya 56 ribu. Kalau dihitung-hitung, total pengeluaran kami untuk Grab Car jelas lebih murah daripada kalau sewa mobil harian.

 

Di banyak tempat, saya melihat spanduk-spanduk yang menolak Grab Car dan Uber. Ada beberapa tempat yang melarang Grab dan Uber mengambil penumpang, meski mereka boleh menurunkan penumpang yang naik dari lokasi lain. Ketika saya memesan Grab di Potato Head, drivernya meminta agar tidak menyebutkan kalau dijemput Grab. Ya tinggal bilang aja dijemput driver sih, emang bener kan? Tapi nggak ada yang nanya juga 😀 Lagipula Grab Car nggak bisa dideteksi karena memang memakai mobil biasa.

Saya sendiri sebagai konsumen, sangat puas dan terbantu dengan adanya Grab Car. Tarifnya lebih murah dan pasti, bisa muat untuk keluarga atau rombongan, dan pelayanannya cukup bagus. Sekarang konsumen memang semakin punya pilihan, sudah waktunya perusahaan yang mengutamakan layanan ke penumpang yang menang.

Kalau kalian gimana, pakai transportasi apa selama di Bali? Ada yang punya pengalaman naik Grab Car atau Uber di Bali? Tulis di komentar ya ^_^

~ The Emak
Follow @travelingprecil

Pengalaman Naik China Airlines Rute Surabaya – Singapura

Menu sarapan China Airlines rute Surabaya-Singapura

Sekarang ini, pilihan maskapai yang melayani rute Surabaya – Singapura semakin banyak. Untuk penerbangan budget ada Tiger Air dan Jetstar (Air Asia masih dihentikan), sementara untuk penerbangan reguler ada Garuda Indonesia, Silk Air, Singapore Airlines dan China Airlines. Maskapai yang terakhir ini punya jadwal berangkat paling pagi dari Surabaya, jam 06.05 dan pulang paling akhir dari Singapura, jam 21.45. Jadi kalau ingin menghemat penginapan ketika jalan-jalan di Singapura, bisa memilih China Airlines.

Kami pertama kali naik China Airlines ketika pulang dari jalan-jalan ke Eropa. Waktu itu kami naik Emirates via Singapura. Tiket dari Singapura ke Surabaya saya beli sendiri, dan jadwal yang nyambung adalah China Airlines. Harga tiket one way waktu itu (Juli 2014) sebesar SGD 128 atau Rp 1.251.700 per orang. Saya membeli tiket langsung dari website China Airlines menggunakan kartu kredit keluaran bank di Indonesia. Jangan lupa untuk membawa kartu kredit yang digunakan untuk membeli karena akan diverifikasi ketika cek in di bandara Changi.

Ketika diundang oleh Singapore Tourism Board minggu lalu untuk merayakan HUT Emas atau Golden Jubilee, saya dibelikan tiket China Airlines karena jadwalnya sesuai. Dengan maskapai ini, saya mendarat di Changi jam 9.25 pagi dan bisa langsung jalan-jalan bekerja. Tiket pp untuk China Airlines sekarang ini sekitar Rp 3 jutaan, sudah termasuk pajak bandara, makan dan bagasi 20 kg. Harga tiket penerbangan full service ini masih lebih murah daripada Garuda Indonesia atau Singapore Airlines.

Pesawat untuk rute ini menggunakan Airbus 330-300. Di kelas ekonomi, penataan kursinya 2-4-2. Kursinya sendiri cukup nyaman, dengan sandaran kepala yang bisa diatur. Mirip-mirip lah dengan kursi Garuda. Penumpang juga diberi bantal dan selimut. Sistem entertaintment mereka standar saja, masih kalah dengan Garuda. Headset sudah disediakan. Saya sempat mencoba mendengarkan lagu-lagu grammys. Pengen nyoba nonton film, eh kok menunya balik terus ke bahasa Mandarin :)) Jadinya pasrah aja mendengarkan mas Sam Smith nyanyi.

Pramugari yang melayani penumpang maskapai ini cukup cekatan, meski bahasa Inggris mereka tidak fasih (dari pengalaman saya berinteraksi dengan beberapa pramugari). Semua berwajah oriental dan cantik-cantik (ya iyalah, kan perempuan).

Makanan yang disuguhkan di penerbangan dari Surabaya cukup enak. Mungkin karena kateringnya Indonesia ya, jadi cocok sama lidah saya. Menu sarapannya opor ayam dengan ketupat dan sedikit buncis dan jagung sayur. Masih ditambah buah potong dan muffin pisang. Untuk minuman panas tersedia teh atau kopi. Tehnya tawar dan encer tanpa gula, bukan nasgitel 🙂

Sebenarnya rute pesawat ini adalah Surabaya – Singapura – Taipei. Ketika cek in, saya bareng dengan mbak-mbak TKI yang akan ke Taipei. Mereka masih muda-muda, bisa antre boarding dengan tertib dan tidak berisik. Berbeda banget dengan pengalaman saya dan keluarga pulang dari Singapura menuju Surabaya. Waktu itu, kami sudah capek dari penerbangan dari Paris, sementara China Airlines tidak bisa menerima cek in awal. Konter baru buka 3 jam sebelum penerbangan. Setelah cek in, kami langsung ke ruang tunggu boarding. Di situ kami dikejutkan oleh dengungan mbak-mbak TKI yang mau pulang mudik dari Taipei. Mereka ngobrol nonstop penuh sukacita dengan bahasa daerah masing-masing. Tidak hanya ketika menunggu boarding, ketika di dalam pesawat pun dengungan mbak-mbak ini tidak reda. Saya yang sudah terlalu capek hanya sanggup memejamkan mata, tapi telinga tetap berdenging. Sajian makan malam yang diberikan pramugari tidak saya sentuh (menunya ayam juga) saking capeknya. Menu makan untuk anak-anak kelihatan lebih enak, karena ada camilan, cokelat dan susu. Tapi sayang, Little A juga sudah ketiduran. Jam 11 malam, kami tiba kembali di Surabaya, menyaksikan pelukan kangen antara mbak-mbak penyumbang devisa dengan keluarga yang menjemputnya.

China Airlines bisa jadi maskapai pilihan untuk ke Singapura untuk yang mencari penerbangan full service tapi harganya tidak terlalu mahal. Apalagi dengan jadwal pergi pagi pulang malam, kita bisa menghemat penginapan di Singapura. Oh, ya, karena maskapai ini termasuk anggota Skyteam, kita bisa mendapatkan miles dari keanggotaan Garuda Miles. Cukup tunjukkan kartu atau sebut nomor Garuda Miles kita saat cek in. Lumayan, nanti poinnya bisa buat terbang lagi 🙂


 
Disclaimer:
My China Airlines ticket from Surabaya to Singapore was paid by Singapore Tourism Board. But all opinions expressed by me are 100% authentic and written in my own words.

Tiket Jetstar Gratis Dari Poin Emirates

Dulu ketika kami masih tinggal di Sydney, Jetstar adalah maskapai murah andalan kami untuk keliling domestik Australia dan juga ke New Zealand. Setelah pulkam ke Indonesia, kami sudah jarang naik Jetstar. Tapi ternyata kami berjodoh kembali ketika saya cari-cari tiket murah dari Surabaya ke Singapura untuk mengambil hadiah voucher seribu dolar dari Changi Airport.

Alhamdulillah, #CeritaChangi saya menang lomba dengan hadiah voucher SGD 1000. Tapi syaratnya, hadiah harus diambil sendiri di bandara Changi. Waduh, saya berarti harus cari tiket murah dan pergi sendirian kalau nggak ingin besar pasak daripada tiang. Karena inginnya berangkat di akhir pekan, biar anak-anak bisa dititip ke Si Ayah, saya kesulitan mendapat tiket murah. Setelah mentok berburu diskon tiket pesawat, barulah saya ingat punya poin Frequent Flyer Emirates dari penerbangan ke Eropa Juli tahun lalu. Bisa dipakai nggak ya?

Ketika mendaftar sebagai anggota Skywards di website Emirates, saya ingat kalau poin mereka bisa ditukar dengan beberapa tiket dari partner airlines, jadi nggak harus ditukar dengan tiket Emirates sendiri. Kadang maskapai partner ini lebih murah tarifnya karena termasuk penerbangan budget. Salah satu partner Emirates adalah Jetstar, yang punya rute Surabaya – Singapura (pp). Eureka!


Berapa sih poin Skywards yang saya punya? Dari tiket SIN-Paris yang saya beli seharga 10 jutaan, saya mendapat 10.500 poin, termasuk bonus 2000 poin untuk anggota baru. Cukup nggak poinnya? Ketika saya intip tarif penukaran tiket Jetstar, rute Surabaya – Singapura harganya 10.250 poin. Hahaha, masih sisa dikit. Rute-rute lain seperti Jakarta – Singapura malah cuma 7.000 poin. Tapi untuk tiket ini kita tetap masih bayar pajak sendiri ya. Untuk tiket saya ini pajaknya USD 26.

Cara menukar poin Skywards menjadi tiket Jetstar:
1. Log in ke akun Skywards
2. Klik menu Emirates Skywards –> Spending Miles
3. Klik Partner Rewards –> Airlines
4. Klik Redeem Miles –> isi formulir berdasar penerbangan yang diinginkan 
5. Klik Submit request

Sebelum mengisi tabel dan mengirim request, kita sudah harus tahu nomor dan jadwal penerbangan yang kita inginkan. Saya cek ini di website Jetstar. Tadinya saya was-was, apakah request ini benar-benar ditanggapi. Juga khawatir tiket pada tanggal tersebut tidak tersedia karena akhir pekan. Eh ternyata hari berikutnya langsung ada jawaban email dari Emirates bahwa tiket saya sudah confirmed, berikut booking number-nya. Saya tinggal membayar pajak, bisa di kantor Emirates di Jakarta (duh!) atau bayar via telepon dengan kartu kredit. Tentu saya pilih yang kedua. Layanan call centre Emirates yang di Jakarta ini bagus. Berbekal nomor booking, saya berhasil membayar pajak via kartu kredit. Beberapa jam kemudian mereka menerbitkan e-ticket yang langsung masuk ke inbox email saya. Gampang banget, semua beres tanpa meninggalkan tempat duduk.



Urusan dengan Emirates beres. Sehari sebelum berangkat, saya mencoba cek in online di website Jetstar. Saya coba dengan dua booking code yang diberikan Emirates. Kok nggak bisa dua-duanya. Saya mulai was-was. Duh, bener nggak nih tiketnya. Akhirnya saya telepon call centre Jetstar di Jakarta. Alhamdulillah tiket saya sudah ada di sistem, besok tinggal cek in di konter Jetstar di bandara Juanda T2.

Cek in kali ini sangat mulus. Dalam tiga menit, saya sudah mengantongi boarding pass, tidak ditulis tangan seperti pengalaman kami naik Jetstar ke Singapura sebelumnya. Mungkin karena penerbangan Jetstar sekarang ini sudah dioperasikan oleh mereka sendiri (Jetstar Asia), bukan oleh Value Air yang pelayanannya jelek. Saya tidak kesal meski penerbangan saya kali ini ditunda satu jam. Mereka sudah memberi tahu sebelumnya ketika saya cek in. Delay karena pesawatnya memang belum sampai dari Singapura.

Saya mendapat kursi di barisan depan, nomor 2. Pramugari dan pramugara menyapa dengan ramah ketika penumpang masuk ke pesawat. Saya dengan pedenya menyapa dalam bahasa Indonesia. Raymond, salah satu pramugara hanya senyam-senyum. Saya baru ingat kalau mereka orang Singapura, hehe. Lha wajahnya kayak arek Suroboyo je.

Raymond ini pula yang melayani saya, memberi snack dan comfort pack. Ternyata di boarding pass saya ada kode tertentu bahwa saya punya voucher untuk ditukar makanan sebesar $10 dan voucher untuk comfort pack senilai $17. Sebenarnya saya juga punya jatah bagasi 20kg, yang tidak saya pakai. Lha wong saya bawanya cuma koper kosong 😀 Kalau dihitung-hitung, pajak yang saya bayar sebesar USD 26 sudah impas dengan fasilitas ini.

Jetstar tidak menyediakan makanan hangat kalau tidak ada pemesanan. Voucher $10 saya tukarkan dengan camilan kacang campur, pringles kecil dan
teh hangat dengan susu. Lumayan lah sebagai pengganjal perut. Comfort set $17 isinya macam-macam. Saya diberi selimut hitam dan satu pak tas berisi bantal leher, sleeping mask, kaos kaki, bolpen, lip balm, hand balm, ear plug dan tisu. Ternyata tas ini bisa dipanjangkan jadi tablet case. Bantal lehernya saya pakai, tapi tidak begitu bagus. Anginnya bocor keluar terus karena klepnya kurang menutup sempurna. Bantalnya kempes melulu. Akhirnya saya menyerah dan tidur tanpa bantal-bantalan.

Alhamdulillah selamat sampai Changi.

Moral of the story: daftarlah jadi anggota frequent flyer SEBELUM membeli tiket mahal, misalnya ke Eropa, Australia/NZ atau Amerika. Poin yang didapat bisa ditukar tiket dengan rute yang dekat-dekat oleh partner airline mereka masing-masing. Mendaftar frequent flyer ini bisa secara online di website masing-masing maskapai. Yang penting kita mendapat nomor keanggotaan yang bisa dicantumkan ketika membeli tiket rute yang jauh-jauh tadi. Poin ini biasanya expire setelah tiga tahun, masih banyak waktu untuk menukarkan tiket yang kita perlukan. Kalau toh hangus juga nggak rugi apa-apa karena daftar FF biasanya gratis. Sampai saat ini saya malah belum mendapat kartu fisik Skywards, padahal poinnya sudah hampir habis 😀

Selamat mengumpulkan poin 🙂

~ The Emak
Follow @travelingprecil

Baca juga:
Belanja Habis-Habisan di Bandara Changi
Tempat Nongkrong Paling Asyik di Bandara Changi
Terbang ke Singapura dengan Jetstar
Pengalaman Naik Jetstar Keliling Australia dan New Zealand
Terbang ke Eropa dengan Emirates

Terbang Ke Eropa Dengan Emirates

Kabin Emirates dan pramugari berseragam khas

Ketika mencari-cari tiket murah ke Eropa, saya tidak secara khusus memilih Emirates. Maskapai apa saja yang pelayanannya bagus, tapi tiketnya terjangkau. Untuk tanggal yang kami pilih di bulan Juli, memang Emirates-lah yang harganya paling murah waktu itu. Jodoh, akhirnya saya booking Emirates Singapura – Paris via Dubai pp seharga USD 875 per orang di website resminya.

Ini bukan pertama kalinya kami naik Emirates. Kami pernah terbang dengan Emirates dari Christchurch New Zealand ke Sydney, selama tiga setengah jam. Waktu itu anak-anak senang naik Emirates, terutama karena diberi mainan dan karena sistem hiburannya (ICE) yang keren. Ketika saya beritahu bahwa kami akan naik Emirates lagi ke Paris, Little A dan Big A serempak bilang, “Yay!”

Saya beli tiket ke Eropa dari Singapore karena tidak ada tiket yang langsung dari Surabaya. Dari Surabaya, saya membeli tiket terpisah (Air Asia dan China Airlines). Sebenarnya Emirates juga terbang dari Jakarta ke kota-kota di Eropa via Dubai. Tapi harganya lebih mahal (daripada yang berangkat dari SIN) dan pesawatnya bukan Airbus A380. Baru kemudian saya tahu bahwa tidak ada bedanya naik Airbus A380 (pesawat double decker) kalau kita duduknya di kelas ekonomi, hahaha.

Alasan lain, tentu saja karena kami lebih senang transit di Singapura daripada di Jakarta (maaf ya). Di bandara Changi, kami bisa early cek in, sekitar jam 3 sore kurang, padahal pesawat baru berangkat jam 9.25 pm. Sebelumnya, di website Emirates saya sudah memilih nomor tempat duduk agar kami berempat bisa duduk bersama. Saya juga sudah memesankan Kids Meal untuk Little A. Sayang banget Big A sudah tidak berhak pesan Kids Meal karena umurnya sudah 12 tahun. Makanan untuk dewasa tidak perlu pesan khusus karena semuanya halal. 

Cek in mulus, jatah bagasi kami yang 120 kg (glek!) cuma terpakai sekitar 30 kg karena kami memang pinter packing light. Perlu dicatat, kalau kita memesan tiket dengan kartu kredit secara online, mereka akan meminta kita memperlihatkan kartu kredit yang sama yang digunakan untuk memesan. Hal ini sudah diperingatkan sebelumnya ketika kita memesan di website. Sepertinya memang ada peraturan ini untuk kartu kredit dari negara-negera tertentu, termasuk Indonesia (sigh).

cek in di Changi airport

Setelah menunggu lama di Changi (kami tidak keberatan sih :p), akhirnya kami boarding juga. Interiornya masih sama dengan kabin Emirates yang kami tumpangi 3 tahun yang lalu. Seragam pramugarinya yang khas pun masih sama. Penataan kursinya 3-4-3, kami berempat duduk di tengah. 

Dibandingkan dengan kursi ekonomi Singapore Airlines, kursi Emirates kurang nyaman. Saya yang berukuran mini ini kakinya menggantung, dan tidak ada pijakan kaki. Akhirnya saya gunakan ransel Big A sebagai pijakan. Kursi baru terasa pas setelah di-recline. Sisi plusnya, ada bantalan kepala yang bisa diatur tinggi rendahnya, dan bisa ditekuk untuk menyangga kepala agar tidak ‘jatuh’ saat tertidur. Dengan begitu, kita tidak perlu repot-repot membawa bantal leher. 

Anak-anak sih nggak ada masalah dengan kursi. Little A perlu diganjel dengan beberapa bantal agar dia bisa melihat layar dengan jelas. Ketika tidur, kami harus menempatkan sabuk pengaman di luar selimut agar tidak ‘dicurigai’ pramugari ketika ada turbulence dan harus memakai sabuk. Karena ini pesawat besar, ketika lepas landas dan mendarat, tidak terasa sama sekali, mulus-mulus saja. Kami bisa melihat proses take off dan landing ini dari tiga kamera yang dipasang di pesawat dan ditayangkan di layar pribadi kita.

Seperti yang pernah saya ceritakan di sini, sistem hiburan Emirates paling baik di kelasnya. Mereka menamainya ICE (information, communication dan entertainment). Banyak sekali film-film baru yang bisa ditonton, serial tv dari berbagai penjuru dunia dan ratusan film dokumenter. Ada ratusan chanel radio, podcast, games, dan album musik terbaru. Big A paling mahir di antara kami, mengoperasikan ICE ini. Tapi memang ICE di Emirates lebih mudah dioperasikan daripada di Singapore Airlines, karena ada layar sentuhnya. The Precils sempat menonton film Rio 2, Lego Movie dan Tinkerbell. Saya sendiri sempat menonton The Book Thief, tapi lebih sering berbaring saja sambil mendengarkan Coldplay.

Toilet di Emirates desainnya cukup mewah. Ruangannya juga lebih luas (menurut saya). Mau tahu nggak apa bedanya naik pesawat double decker A380 dengan pesawat biasa? Sebenarnya tidak ada bedanya kalau kita duduk di kelas ekonomi. Tapi ketika saya berjalan ke toilet yang ada di ujung kabin, saya melihat ada tangga ke atas menuju kelas bisnis. Jalan masuknya ditutup. Saya mau fotoin tapi kok malu. Yo wes, yang penting pernah lihat pesawat ‘tingkat’. Kapan-kapan aja deh nyobain kelas bisnis atau first class sekalian :p

touch touch touch

Transit di Dubai
Untuk penerbangan dengan Emirates ke Eropa, kami perlu transit di Dubai. Lama terbang dari Singapura ke Dubai sekitar tujuh setengah jam. Setelah transit selama tiga jam dan lima belas menit, kami melanjutkan perjalanan dari Dubai ke Paris selama tujuh jam dan dua puluh menit. Transit dalam penerbangan pulangnya lebih lama lagi, kami harus menunggu di Dubai sampai tujuh jam.

Dalam transit pertama, kami tiba di bandara Dubai jam 1 dini hari waktu setempat. Duh, rasanya masih ngantuk-ngantuknya. Begitu mendarat, kami langsung mencari stroller yang memang disediakan Emirates untuk dipakai gratis di airport. Lalu kami menyegarkan diri di toilet, sebelum akhirnya antre pemeriksaan keamanan. Mungkin waktu itu sedang jam sibuk (dini hari!), kami antre cukup lama sebelum akhirnya diperiksa melewati pintu detektor logam. Lolos dari security check, kami sempatkan istirahat sambil berusaha tidur di bangku. Ruang tunggu bandara Dubai saat itu cukup penuh. Saya juga tidak begitu terkesan dengan bandara ini, meskipun toko duty free-nya dibilang paling besar sedunia. Lha buat apa? Kami nggak suka dan butuh belanja soalnya. Kami tidak mengeluarkan uang di bandara ini. Untungnya air minum dari kran gratis 🙂 

Kondisi transit ketika pulang dari Paris ke Singapura jauh lebih baik. Mungkin karena jamnya bukan jam tidur (tengah malam). Kami tiba di Dubai jam 8 malam. Belajar dari pengalaman sebelumnya, agar tidak lama antre pemeriksaan keamanan, kami santai saja melipir ke toilet dulu, dan jalan pelan-pelan. Tak lupa kami meminta voucher makan gratis, yang diberikan Emirates untuk yang transitnya lebih dari 4 jam. Untuk mendapatkan voucher makan ini kita harus minta di meja informasi/resepsionis Emirates, tidak ada pengumuman apa-apa dari pihak mereka. Saya sendiri mengetahui hal ini dari blog orang.

Alhamdulillah pemeriksaan keamanan lancar, dibantu petugas yang rupanya cewek-cewek Filipina, yang langsung ngefans sama Little A. Voucher makan kami tukarkan di Mezzanine, buffet di lantai atas dekat gate A2. Ada beberapa pilihan makan sebenarnya, termasuk Starbuck dan Mc Donald, tapi pilihan terbaik sepertinya memang Mezzanine yang pilihan makanannya banyak dan tempatnya cukup luas dan nyaman untuk keluarga. Saya merasa sedikit pusing ketika kami istirahat di sini. Setelah makan sedikit nasi biryani, saya berbaring di sofa besar di pojok. Precils dan Ayahnya bisa tetap duduk dan makan dengan nyaman di sofa yang sama. Baru setelah kami cukup kenyang dan cukup istirahat, kami pindah mencari kursi-kursi panjang yang bisa untuk tidur. Sayangnya area ini ramai sekali oleh orang-orang. Meskipun fungsi utamanya sebenarnya untuk istirahat dan tidur, banyak yang berisik bicara keras-keras. Lampunya pun terang benderang. Saya berusaha tidur dengan meminjam sleeping mask Little A, tapi hanya berhasil tidur-tidur ayam karena ‘tetangga’ yang berisik banget. Dalam hal ini, bandara Changi jauh lebih pintar, mereka punya area khusus bagi yang ingin tidur. Suasananya dibuat senyaman mungkin, dengan lampu temaram dan tempatnya terpencil. Dubai harus belajar dari Changi soal ini.

Enakkah makanan yang dihidangkan Emirates? Menurut saya sih cukup enak, meski tidak seenak masakan Singapore Airlines. Di mana-mana, makanan untuk anak-anak lebih enak daripada pilihan makanan untuk dewasa, masih ditambah camilan seperti Kit Kat, Mars, permen dan Milo! Di kotak camilan Little A juga ada hadiah slap band piala dunia dan sikat gigi unyu beserta pasta mungil.

Saya senang makan di pesawat karena hidangannya lengkap, termasuk makanan pembuka, roti, makanan utama dan pencuci mulut. Oh, butter! Dear, cream cheese! Kegiatan mengunyah, makan di pesawat juga bisa untuk mengurangi sakit kepala akibat perbedaan tekanan udara. Sayangnya, menurut saya, pramugari Emirates ini kurang cekatan dalam menyiapkan makan. Sering saya sudah lapar tapi makanan belum datang. Padahal kami duduknya di bagian depan. Sering saya lihat mbak-mbak pramugari ini tergopoh-gopoh memberikan jatah makanan yang kurang untuk teman yang bertugas di bagian lain. Entahlah bagaimana mereka memenej pembagian makanan ini. Saya juga harus menunggu terlalu lama sampai minuman panas (teh atau kopi) dihidangkan setelah makan. Ini biasanya saya sudah keburu ngantuk. Bahkan ada bagian penerbangan yang minuman panasnya tidak datang sama sekali.

Kids meal
Kids meal
Normal meal
Sarapan normal

Little A senang sekali naik Emirates kemarin karena dia banyak mendapat goodies, hadiah dan mainan dari Emirates. Karena empat kali terbang, Little A mendapat empat goodies, isinya banyak banget. Ketika berangkat dia mendapat tas tempat makan siang, isinya ada buku Dr Seuss, dompet, dan kartu dari QuikSilver. Pulangnya Little A mendapat tas sekolah berisi agenda QuikSilver dan sleeping mask. Di penerbangan terakhir dia mendapat selimut dan boneka. Semua ditambah dengan buku mewarnai dan pensi warna. Biasanya ada pramugari membawa tas besar berisi mainan. Kita harus waspada karena dia mungkin tidak melihat ada anak kecil yang bersembunyi di kursi tengah. Saya dan Si Ayah bergantian mencegat mbak-mbak ini dan meminta goody. Lumayan lah untuk oleh-oleh, plus bisa dikasih ke tetangga sebelah setelah pulang (ngirit, hehe).

Overall, kami cukup senang naik Emirates. Kalau ada harga yang pantas, kami akan memilih naik maskapai ini lagi. Ke Istanbul mungkin? Atau sekalian ke Amerika Latin? 😉

Emirates A380 di bandara CDG Paris

~ The Emak

Baca juga: 
Pengalaman Naik Emirates dari Christchurch ke Sydney

serta tulisan lain tentang Eropa:
VISA
Mengurus Visa Schengen Untuk Keluarga 
Membeli Asuransi Perjalanan Untuk Visa Schengen


TRANSPORTASI

Terbang Ke New Zealand Dengan Singapore Airlines

Pesawat SQ di bandara Christchurch
Disclaimer:
This trip is paid by Tourism New Zealand. 
But all opinions expressed by me are 100% authentic and written in my own words.

Sudah lama saya pengin naik Singapore Airlines alias SQ, tapi ya tidak pernah kesampaian wong duitnya hanya cukup untuk budget airline saja. Ketika Si Ayah dibayari naik SQ ke Washington DC awal tahun ini, saya iri banget. Tapi alhamdulillah, rezeki nggak kemana. Keinginan saya mencoba SQ akhirnya kesampaian juga, gratis pula.

Mungkin ada yang belum tahu, saya memenangkan lomba #NZFoto yang diadakan oleh @JPlusSunday dari Jakarta Post, disponsori oleh Tourism New Zealand (TNZ). Hadiahnya  jalan-jalan gratis ke New Zealand, terbang dengan Singapore Airlines. Wuih, rasanya seperti mimpi, bahkan sampai itinerary SQ mampir ke inbox email saya.

Itinerary SQ

Tiket gratisnya memang hanya dari Jakarta. Dari Surabaya ke Jakarta harus saya usahakan sendiri. Saya berangkat bersama seorang jurnalis Jakarta Post. Untuk ke Christchurch, kota di Pulau Selatan New Zealand, kami transit dulu di Changi. Ketika mendapat itinerary ini, saya sempat deg-deg-an, memang bisa tuh waktu transit hanya 55 menit? Padahal ini kan penerbangan internasional, beda terminal lagi. Tapi percaya deh, SQ sudah mengatur semuanya. Transit di Changi mulus-mulus saja tanpa kendala apa-apa. Nanti akan saya tulis tersendiri.

Saya tidak tahu berapa harga tiket gratisan saya ini. Tapi iseng-iseng saya cek di website SQ, harga tiket pesawat dari Jakarta ke Christchurch mulai dari USD 1.400-an. Begitu juga tiket dari Surabaya ke Christchurch via Singapura, harga kurang lebih sama. SQ juga melayani penerbangan ke Auckland (kota di Pulau Utara Selandia Baru) dengan tarif yang mirip. Enaknya naik SQ, dari Singapura bisa langsung terbang ke Christchurch (CHC) atau Auckland (AKL), tidak perlu transit dulu di Australia. Cara lain untuk menghindari transit di Australia adalah naik Malaysia Airlines yang punya penerbangan langsung dari Kuala Lumpur ke Auckland (mulai USD 1000).

Agar transfernya mulus di terminal yang sama, saya naik Garuda dari Surabaya, mendarat di Terminal 2 bandara Soekarno Hatta. Pelayanan cek in oke, bisa tiga jam sebelum keberangkatan. Bagasi saya langsung dikirim ke Christchurch nantinya. Nomor Krisflyer saya bisa langsung dicantumkan untuk mendapatkan poin, meski saya belum punya kartunya dan hanya mendaftar online. Pelayanan imigrasi juga lumayan bagus, banyak petugas sehingga antrenya tidak lama banget. Ada juga auto-gate untuk pemegang e-paspor. 

Terminal 2 memang lebih bagus daripada terminal 1 dan 3, meski tetap ada kekurangan sana-sini. Waktu itu gate saya diganti, tidak sesuai dengan yang tertulis di boarding pass. Pengumumannya hanya dengan secarik kertas yang sobek-sobek di depan lorong menuju gate. Tapi ruang tunggu boarding-nya cukup bagus kok. Kursi dan sofanya nyaman dan cukup untuk semua orang. Toiletnya bersih banget. Ada pojok baca dengan buku dan majalah yang disponsori oleh perusahaan asuransi. Tapi yang paling mengesankan bagi saya adalah sistem boarding menggunakan kartu warna-warni. Ketika memasuki ruang tunggu, kita dicek tiketnya, lalu diberi kartu boarding dengan warna tertentu, sesuai prioritas: merah, kuning, biru dan hijau. Ketika siap boarding, penumpang dipanggil sesuai warna kartunya, dan wajib menyerahkan kartu tersebut ke petugas. Dengan begini, orang nggak rebutan untuk masuk ke pesawat, karena warna lebih mudah diingat daripada nomor tempat duduk. Saya heran, mengapa sistem seperti ini tidak diberlakukan untuk penerbangan lain? Atau jangan-jangan, sistem antre dengan kartu berwarna ini hanya bisa diterapkan untuk orang-orang yang mampu bayar tiket SQ saja? :p

Boarding pass di T2 bandara Soekarno-Hatta
Boarding room di Changi Airport

Pesawat yang saya naiki adalah Boeing 777-200 dan 777-300 dengan urutan kursi ekonomi 3-3-3. Kursi ekonomi SQ ini cukup lebar dan yang ternyaman yang pernah saya coba, lebih nyaman dari Garuda atau Emirates. Posisi awal kursi sudah ter-recline sedikit, disainnya pas untuk postur tubuh orang Asia. Ditambah lagi di depan kursi ada pijakan kaki, sangat membantu untuk yang bertubuh mini seperti saya, agar kaki tidak menggantung 😀

Sayangnya bagasi kabin di atas tempat duduk tidak bersahabat dengan tinggi tubuh saya. Jangankan meletakkan sendiri tas saya di atas, lha wong membukanya saja saya nggak bisa. Ora nyandak. Untung ada mbak-mbak pramugari aka Singapore Girls yang siap membantu. Ya memang ada gunanya syarat tinggi minimal untuk jadi pramugari. 

Saya rasa pramugari SQ ini paling cekatan dibanding pramugrari maskapai lain. Layanan sebelum take off, pemberian handuk hangat, pemberian snack, makanan dan minuman cukup efektif dan efisien. Makanan cepat datang ketika saya mulai lapar. Minum hangat teh atau kopi juga tidak perlu menunggu lama. Begitu juga ketika mengambil kembali nampan makanan, tidak grusah-grusuh dan membuat sampah berhamburan. Sip lah pokoknya. Tambahan lagi, menurut saya, mbak-mbak ini cantik-cantik banget je. Kecantikan paras Asia, gitu. Tentu saja sangat subyektif karena saya juga cewek Asia, menilai kecantikan berdasar ras sendiri 🙂

Dalam penerbangan dari Singapura ke Christchurch, ada series of unfortunate events, yang belakangan menjadi fortunate events alias berkah terselubung buat saya. Rekan seperjalanan saya mengalami kecelakaan di tol Jakarta. Alhamdulillah tidak parah, tapi membuatnya ketinggalan pesawat dari Jakarta ke Singapura. Di ruang tunggu di Changi, saya cemas, berharap dia bisa menyusul ke Singapura entah bagaimana caranya. Tapi sampai pesawat mau lepas landas, dia belum tampak. Alhasil, saya terbang solo sampai New Zealand. Penerbangan malam itu tidak terlalu ramai, dan saya seperti mendapat durian runtuh mendapatkan tiga kursi di barisan saya kosong semua. Dengan ukuran tubuh mini begini, saya bisa tidur nyaman seperti di flat bed. Duh, kelas ekonomi berasa first class 😀

Suasana kabin dan Singapore Girl yang cekatan

My economy seat

Dari Singapore, saya harus terbang hampir 10 jam nonstop sampai ke Selandia Baru, melewati (kembali) Surabaya dan Australia. Enaknya penerbangan dengan full airline, bukan low-cost carrier, di pesawat ada hiburannya. Sistem hiburan di Singapore Airlines ini cukup bagus, tapi masih di bawah entertainment system di Emirates. Pilihan film-nya ada yang baru-baru, tapi masih kalah banyak dengan pilihan di Emirates. Setiap penumpang ekonomi mendapatkan layar pribadi di depan tempat duduknya, tapi sayang belum sistem touch screen. Kadang saya kesulitan memakai remote, untuk bolak-balik pilih program. Akhirnya setelah kenyang makan, saya cuma khusuk mendengarkan lagu saja, sampai terlelap. Dalam perjalanan pulang, saya sempat nonton satu film Korea yang cukup menghibur atas rekomendasi teman seperjalanan saya (yang alhamdulillah tidak ketinggalan pesawat lagi).

Oh, ya, ada amenities yang dibagikan ke penumpang untuk penerbangan SIN-CHC dan sebaliknya. Setiap penumpang mendapat kaos kaki, sikat gigi dan pasta gigi yang dikemas dalam kantung cantik. Lumayan lah 🙂

Goody bag berisi kaos kaki, sikat dan pasta gigi

Yang paling membuat saya semangat naik maskapai ini terus terang adalah makanannya. Kata Si Ayah, makanan di SQ biasa aja. Padahal menurut saya, makanannya enak, apalagi disajikan lengkap dari makanan pembuka sampai pencuci mulut. Plus ada roti dan butter! Oh, mentega, sudah lama saya tidak makan mentega dengan baik dan benar.

Untuk penerbangan jarak pendek seperti dari Jakarta ke Singapura yang cuma 1,5 jam saja, SQ tetap menyediakan makanan berat. Menu yang saya dapat adalah nasi ikan dengan sayuran, dilengkapi jus jeruk dan pencuci mulut. Hidangan ketika pulang juga hampir sama, hanya pencuci mulutnya saja yang berbeda. Oh, banana bread!

Dari Singapura ke Christchurch masuk ke penerbangan long haul dan melewati dua jam makan, sehingga saya mendapat makan malam dan sarapan. Makan malamnya kembali nasi dengan ikan (nggak masalah, enak kok), disajikan lengkap dengan ubarampenya. Saya sangat menikmati makan di pesawat yang minim turbulence dan tanpa gangguan dari Precils atau Si Ayah. Sangat khusyuk ibadah makan saya dimulai dari makan hidangan pembuka (salad yang segar-segar kecut), menyobek roti dan mengisinya dengan mentega dari New Zealand, lalu pelan-pelan menaburkan lada hitam di atas nasi. Hidangan utama saya kunyah pelan-pelan dengan sendok stainless (bukan sendok plastik!), sambil sesekali menyesap air mineral. Selesai makan, saya minta teh dengan susu untuk pengantar tidur. Cracker dan keju saya simpan untuk keadaan darurat tengah malam, haha. Sayangnya saya tidak bisa menikmati pencuci mulut es krim karena semua rasanya cokelat dan saya alergi cokelat, hiks. Tapi semua yang masuk perut tadi membuat saya tidur nyenyak sampai fajar menyingsing.

Waktunya sarapan! Ritual yang sama saya lakukan untuk menu sarapan kali ini: roti dengan mentega dulu, baru omelet dan hash brown (bukan perkedel ya), dan lanjut dengan irisan buah segar dan yoghurt. Muffin saya camil-camil setelah nampan dibereskan, sambil menikmati kopi pagi dengan susu, siap mendarat dengan perut kenyang dan wajah siaga di bandara Christchurch, hahaha.

Menu makan pulangnya tak kalah istimewa. Bagi yang belum pernah merasakan mentega, susu, keju dan daging domba New Zealand mungkin akan mengatakan saya melebih-lebihkan. Tapi itu lah yang saya rasakan. Semua jenis makanan produksi New Zealand jauh lebih enak daripada punya Australia (sorry!). Mungkin karena alamnya yang lebih murni ya?

Saya jadi membayangkan, kalau makanan di kelas ekonomi seenak ini, apa jadinya di kelas bisnis ya? Atau first class? Hohoho, saya catat dulu di Dream Book, semoga impian saya terkabul suatu saat nanti.

Sementara itu, monggo sila dicicipi, foto-fotonya 🙂

Camilan yang bisa dipesan setiap saat
Makan siang di penerbangan Jakarta – Singapura
Makan malam di penerbangan Singapura – Christchurch
Sarapan di penerbangan Singapura – Christchurch
Makan siang di penerbangan Christchurch – Singapura
Makan sore di penerbangan Christchurch – Singapura
Makan malam di penerbangan Singapura – Jakarta

~ The Emak

Baca juga:

Tip Membeli Tiket Kereta Keliling Eropa

Tiket kereta ICE, dicetak di rumah

Saya dan Si Ayah tidak suka naik pesawat, ribet cek in, pemeriksaan sekuriti dan menunggu boarding. Ribetnya dikalikan dua kalau traveling dengan anak-anak. Karena itu, kami memilih moda transportasi kereta api untuk keliling Eropa. Harganya tidak selalu lebih murah, tapi lebih nyaman dan sama cepat dengan pesawat untuk jarak dekat.

Informasi tentang perkeretaapian di Eropa, bahkan di seluruh dunia tersedia lengkap di website Seat 61. Website yang dibuat oleh Mark Smith, pecinta kereta api ini, sangat mudah digunakan. Dari ini kita tahu kereta apa saja yang melayani rute yang akan kita perlukan nanti.  

Saya mulai browsing tiket kereta api setelah mendapatkan tiket pesawat ke Eropa. Rute, jadwal dan harga tiket kereta api penting untuk membuat itinerary. Sebenarnya, tiket kereta api bisa dibeli online sejak 3 bulan sebelum jadwal keberangkatan, sama seperti di Indonesia. Lebih awal membeli, harga lebih murah. Semakin mendekati tanggal keberangkatan, harga semakin mahal. Beli langsung (go show) di stasiun kereta akan mendapatkan harga termahal, sampai tiga kali lipat harga tiga bulan sebelumnya.

Saya sempat galau, haruskah membeli tiket kereta sebagai syarat pengajuan visa Schengen? Dari beberapa pengalaman travel blogger lain, ada yang bilang wajib melampirkan tiket pesawat/kereta antar negara Schengen yang akan dikunjungi. Namun ada juga yang tidak melampirkan tiket kereta api, dan tetap sukses mendapatkan visa. Dalam lembar itinerary yang kami lampirkan untuk visa, kami tulis dalam keterangan bahwa tiket kereta antar negara akan kami beli setelah mendapatkan visa. Begitu juga ketika diwawancara, dijawab seperti itu. Alhamdulillah, visa tetap lolos.

Tiket kereta saya beli setelah aplikasi visa diterima, sekitar satu bulan sebelum tanggal keberangkatan. Semua bisa dibeli online dengan kartu kredit, melalui website berikut:

1. SNCF untuk kereta dari dan ke Perancis
2. Thalys untuk kereta tujuan Paris, Brussels, Cologne, Amsterdam
3. Bahn untuk kereta dari dan ke Jerman
4. Capitaine Train untuk semua rute kereta di Eropa

Tiket kereta api di Eropa, berdasarkan fleksibilitasnya ada 3 macam. Tiket promo yang paling murah (no-flex) biasanya tidak bisa dikembalikan (non refundable) atau diubah jadwalnya. Tiket semi-flex bisa diubah jadwalnya atau dikembalikan dengan biaya tertentu. Tiket yang paling mahal sangat fleksibel, bisa diubah jadwalnya dan diuangkan kembali tanpa biaya apapun. Semua tiket yang saya beli termasuk yang harganya paling murah, non-flexible.

Berdasarkan kelasnya, kereta api di Eropa ada 2 macam: kelas 1 (comfort 1, alias eksekutif) dan kelas 2 (comfort 2, alias ekonomi). Tidak perlu ditanya lagi, semua tiket kami kelas 2, karena tempat duduk dan kenyamanan gerbong kelas 2 ini sudah setara kelas eksekutif kereta api Indonesia 🙂

Ada diskon khusus untuk anak-anak, remaja, pensiunan dan yang mempunyai railpass. Kami tidak memakai railpass karena keliling Eropanya hanya ke negara-negara dekat saja. Saya belum menghitung sih, bisa seberapa hematnya. Anak-anak di bawah 4 tahun bisa gratis naik kereta. Anak-anak antara 4-11 tahun memakai tarif anak, sementara remaja usia 12-25 juga mendapatkan diskon untuk remaja. Ada juga penawaran diskon untuk grup. Untungnya, kita tidak perlu repot-repot menghitung diskon ini, karena akan dilakukan otomatis ketika kita memasukkan usia penumpang di website pemesanan tiket. Kalau pergi dengan keluarga, mintalah tempat duduk ‘family seating‘, nanti akan diberikan tempat duduk berdekatan. Kita bisa melihat tempat duduk kita di denah, tapi tidak bisa menggantinya.

Sebelum membeli tiket, saya mendaftar dulu kebutuhan kami. Hari pertama di Eropa, kami akan bermalam di rumah saudara di kota Lens, Perancis utara, kira-kira satu jam dari kota Lille. Saya mengecek rute kereta di website SNCF, ternyata kami perlu naik dua kereta, TGV dari airport CDG ke Lille, kemudian dilanjutkan dengan kereta regional TER dari Lille ke Lens. Untuk kereta regional seperti TER, tidak perlu membeli tiket terlebih dahulu karena harganya tetap dan tidak ada nomor tempat duduk. Karena itu kami hanya membeli tiket TGV.

Setelah semalam di Lens, kami akan langsung ke Brussels. Dari Lille ke Brussels, kami kembali naik TGV, hanya perlu 36 menit untuk melintasi batas negara Perancis menuju Brussels. Setelah semalam di Brussels, kami melanjutkan perjalanan ke Cologne, Jerman dengan kereta Thalys (1 jam 47 menit). Di Cologne, kami tidak menginap, hanya transit saja sekitar 3 jam untuk melihat-lihat Katedral Cologne yang terkenal itu. Rencananya, koper-koper akan kami titipkan di stasiun. Pada hari yang sama, kami akan melanjutkan perjalanan ke Amsterdam. Kali ini kami naik kereta ICE (2 jam 41 menit) yang bisa dipesan via website BAHN. Hanya menginap dua malam di Amsterdam, kami kembali ke Paris dengan kereta Thalys (3 jam 17 menit), yang tiketnya saya pesan di website resminya.

Cara memesan kereta di masing-masing website sangat mudah, mirip dengan memesan tiket kereta api di Indonesia. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain:

1. Pilih layanan berbahasa Inggris, biasanya dengan mengklik gambar bendera di pojok kanan atas. Saya sendiri juga pusing kalau harus baca bahasa selain Inggris 🙂
2. Pilih negara asal: Indonesia atau kalau tidak ada pilihan, pilih “other countries”
3. Pastikan kita tahu nama stasiun asal dan stasiun tujuan (buka google map). Di beberapa negara, satu kota mempunyai dua nama dalam bahasa yang berbeda. Misal, Brussels juga dikenal sebagai Bruxelles. Cologne biasa disebut Köln. Stasiun Brussels untuk kereta dari wilayah Perancis adalah Brussels Midi, sementara stasiun Köln di dekat katedral adalah Köln Hbf. Untuk Amsterdam, kami turun di stasiun Amsterdam Centraal, dan di Paris, kami turun di stasiun Gare du Nord.
4. Cek harga tiket di beberapa website. Saya menemukan tiket kereta ICE lebih murah di website Bahn. Sementara harga tiket Thalys sama saja, di website resminya atau di SNCF.
5. Kadang website tertentu tidak bisa memroses booking dengan kartu kredit dari Indonesia. Coba booking di hari lain atau ganti booking di website lain. Saya berhasil memesan tiket TGV di website SNCF dari CDG ke Lille. Tapi begitu saya coba beli lagi dari Lille ke Brussels, website-nya tidak mau terima. Akhirnya saya booking via Capitaine Train.
6. Pilih ‘cetak tiket di rumah’. Tiket yang dicetak sendiri ini tidak perlu ditukarkan dengan tiket asli. Nantinya cukup ditunjukkan ke petugas, disertai identitas.
7. Bila pilihan ‘cetak tiket sendiri’ tidak ada, pilih ‘ambil tiket di mesin tiket/stasiun’. Kita akan mendapatkan nomor referensi yang bisa digunakan untuk mengambil tiket melalui mesin tiket di stasiun. Pembayaran dengan kartu kredit tetap dilakukan di website pemesanan.

Berikut adalah tiket yang saya booking online, dengan harga untuk berempat (2 dewasa, 1 remaja dan 1 anak) dan website pemesanannya. Semua dibayar dengan kartu kredit dari Indonesia.

# CDG Airport – Lille Europe, kereta TGV, €49.50, dipesan via web SNCF
# Lille Europe – Brussels Midi, kereta TGV, €72, dipesan via web Capitaine Train
# Brussels Midi – Köln Hbf, kereta Thalys, €69,50, dipesan via web Thalys
# Köln Hbf – Amsterdam Centraal, kereta ICE €77, dipesan via web Bahn
# Amsterdam Centraal – Paris Gare du Nord, kereta Thalys, €167,50, dipesan via web Thalys

Saya tidak membandingkan harga tiket kereta ini dengan tiket pesawat. Coba cek sendiri di website Skyscanner.
Ada yang pernah membeli tiket kereta keliling Eropa juga? Via website apa?

~ The Emak 

 

Baca juga:
#EUROTRIP
VISA
Mengurus Visa Schengen Untuk Keluarga 
Membeli Asuransi Perjalanan Untuk Visa Schengen


TRANSPORTASI

Pertama Kali ke Eropa? Ini Itinerarynya!

 

 

Skrinsyut website www.rome2rio.com

Bagi saya, merencanakan perjalanan adalah kesenangan tersendiri. Travel planning is half the fun. Apalagi ketika menyusun itinerary untuk perjalanan yang sudah saya impikan sejak dulu. Ke Eropa cuy!

Karena akan pergi sekeluarga, saya harus mengakomodasi keinginan masing-masing orang, yang tentu saja berbeda-beda. Yang jelas, kami akan ada di Paris minimal 4 hari, karena Si Ayah ada tugas presentasi paper, membawa nama Indonesia. Selanjutnya ke mana? Bisa saja sih kami hanya keliling-keliling seputar Paris dan di satu negara Perancis saja. Perancis yang besar itu tidak akan habis dijelajahi dalam waktu dua minggu. Tapi mosok sudah sampai ke Eropa cuma ngendon di satu negara? Rugi banget, apalagi sudah repot urus visa Schengen yang bisa dipakai di 26 negara. Tambahan lagi, Big A sudah pengin banget menambah koleksi negaranya.

Saya survey ke anggota keluarga. Si Ayah bilang ingin ke Swiss. Meskipun Si Ayah suka dengan wisata kota atau sejarah, dia lebih senang kalau bisa memotret pemandangan (landscape photography). Big A pengen ke Jerman, karena tugas akhirnya di kelas 6 tentang negara tersebut, jadi dia ingin sekali mampir ke sana untuk membuktikan apa yang sudah dia pelajari. Little A keinginannya sederhana: ingin ke Disneyland. Saya sendiri ingin ke Amsterdam, melihat-lihat kanal dan mencari jejak Hindia Belanda di sana.

Kalau jalan-jalannya ikut grup tur tentunya tidak perlu repot-repot mengurus itinerary, tinggal ikut saja apa jadwal yang ditawarkan mereka. Biasanya mereka menawarkan 12 hari keliling Eropa, mengunjungi 4-5 negara dengan bis wisata. Saya mengintip itinerary dua agen perjalanan untuk inspirasi. Itinerary Golden Rama 12 hari: Jakarta – Frankfurt (transit) – Roma – Pisa – Prato – Venice – Zurich – Mt Titlis – Lucerne – Paris – Brussels – Amsterdam – Frankfurt (transit) – Jakarta. Harga USD 2.428. Itinerary Dwi Daya 12 hari: Jakarta – Amsterdam – Paris – Dijon – Lucerne/Zurich – Mt Titlis – Lucerne/Zurich – Venice – Pisa – Rome – Jakarta. Harga USD 2.570. Harga keduanya belum termasuk visa. Duh, baca itinerarynya saja saya capek. Saudara kami pernah ikut tur semacam itu, memang bisa melihat dan mampir ke ikon-ikon penting di Eropa, tapi ya cuma sebentar-sebentar saja dan tidak puas. Saya juga membayangkan anak-anak tidak akan kuat dengan jadwal sepadat itu. Jalan-jalan dengan tur grup memang bukan gaya kami yang lebih suka slow traveling dengan menjelajah sendiri satu kota selama mungkin. Kekurangan tidak ikut tur, kemungkinan waktunya tidak efektif karena kalau mau molor-molor terserah kita, selain itu kemungkinan tersesat juga besar. Tapi itu lah asyiknya 😀

Itinerary tak bisa dilepaskan dari biaya atau budget yang kita sediakan. Transportasi antar negara di Eropa dan transportasi lokal yang akan kita pakai sangat memengaruhi anggaran. Oh, iya, dari awal kami sudah tentukan Euro Trip kali ini hanya mengunjungi negara-negara dalam wilayah Schengen saja, tidak sampai mengunjungi London (Inggris) karena untuk ke sana memerlukan visa yang berbeda.

Setelah tahu kota mana saja yang akan kita kunjungi, langkah pertama yang saya lakukan adalah membuka Google Map. Really, google map is your best friend. And slow internet connection is your worst enemy. Untuk tahu moda transportasi dan biaya yang dibutuhkan untuk jalan dari satu kota ke kota lain, saya dibantu oleh website Rome2Rio. Website ini memberi gambaran kasar berapa jarak dari Paris ke Amsterdam, misalnya, dan moda transport apa saja yang bisa dipilih (kereta, bis, pesawat, sewa mobil, dll) beserta kisaran biayanya.

Saya dan Si Ayah benci naik pesawat terbang karena harus cek in awal dan melewati sekuriti. Tambah ribet kalau bawa-bawa koper besar. Dan lagi, biasanya bandara terletak di luar kota sehingga perlu biaya tambahan dari kota menuju bandara. Meski kadang harga tiket pesawat sedikit lebih mahal daripada naik kereta, kami tetap memilih naik kereta karena lebih nyaman bagi kami, dan sama cepatnya. Untuk membantu memilih kereta, saya mengandalkan website Seat 61 yang sangat lengkap membahas perkereta-apian di seluruh dunia. Dari website tersebut saya bisa tahu kereta-kereta apa saja yang melayani jalur yang saya inginkan. 

Kami sudah memutuskan membeli tiket Singapore – Paris (CDG), naik Emirates. Karena itu itinerary saya mulai dari Paris. Pada awalnya saya mengajukan rute klasik Paris – Brussels – Amsterdam saja, agar punya banyak waktu menjelajahi masing-masing kota. Untuk rute tersebut, kita cuma perlu satu jenis kereta saja, yaitu Thalys. Setelah saya amati lebih jauh, ternyata kereta Thalys juga melayani rute dari Brussels ke Cologne (Köln) di Jerman. Dan dari Cologne juga ada kereta ICE menuju Amsterdam. Akhirnya Cologne saya masukkan sebagai day trip.

Rupanya rute yang menurut saya sempurna ini tidak serta merta disetujui Si Ayah yang masih pengin melihat ‘pemandangan’ di Eropa, tidak cuma kota-kota saja. Si Ayah bahkan menanyakan mengapa saya pengin banget ke Amsterdam. Apa yang bisa dilihat di Amsterdam? Duh, sampai pengin nangis saya, hiks. 

Akhirnya saya membuatkan rute alternatif, Brussel dan Amsterdam saya ganti dengan kota-kota di Italia, melewati Swiss, kemudian baru ke Paris. Harga dan jadwal tiket pesawat saya cek di Skyscanner. Ternyata jatuhnya lebih mahal! Hahaha. Tentu saja Si Ayah pilih yang lebih murah. Saya bilang ke dia: Italia harus kita kunjungi sendiri, nanti kita road trip dari selatan ke utara. Swiss pun bisa kita tengok lain kali, lebih keren di musim dingin sambil main salju (pede banget, amin). Begitulah, akhirnya kami sepakat rute klasik tersebut, dengan moda transportasi kereta antar negara.

Rute kereta Thalys
Google Map is your best friend!

Ketika mengajukan visa Schengen, itinerary kami belum selesai. Saya dan Si Ayah masih bertengkar, berapa hari sebaiknya menginap di masing-masing kota. Kami juga punya rencana mengunjungi saudara di kota Lens (1 jam dari Lille). Untuk keperluan visa, kami menggunakan itineray simpel Paris – Lille (Perancis Utara) – Brussels – Paris. Akomodasi kami pesan online dari website booking.com yang bebas biaya pembatalan: 2 malam di Lille, 2 malam di Brussels. Akomodasi di Paris sudah pasti, kami pesan apartemen dari AirBnb untuk 7 malam dibayar di muka. Setelah mendapatkan visa, kami membatalkan pesanan hotel via website booking dot com, dan mulai membeli tiket kereta. Setelah mendapatkan tiket kereta, kami baru memesan akomodasi dengan harga terendah (tidak bisa dibatalkan). 

Berikut Itinerary lengkap kami:
Hari 1: Surabaya – Singapura – Dubai 
(AirAsia/SQ, Emirates, bermalam di pesawat)
Hari 2: Dubai – Paris CDG airport – Lille – Lens 
(Emirates, kereta TGV 1 jam, TER 45 menit, bermalam di rumah saudara)
Hari 3: Lens – Lille (kereta TER, 45 menit), Lille – Brussels (kereta TGV, 36 menit), bermalam di Novotel Grand Place)
Hari 4: Brussels – Cologne (kereta Thalys, 1 jam 47 menit), Cologne – Amsterdam (kereta ICE, 2 jam 41 menit), bermalam di Meininger Hotel)
Hari 5: Amsterdam 
(bermalam di Meininger Hotel)
Hari 6: Amsterdam – Paris
(kereta Thalys 3 jam 17 menit, bermalam di apartemen airbnb)
Hari 7 – Hari 12: Paris
(bermalam di apartemen airbnb)
Hari 13: Paris – Dubai 
(Emirates, bermalam di Dubai airport)
Hari 14: Dubai – Singapura – Surabaya
(Emirates, China Airlines)

Tip membeli tiket kereta antar negara di Eropa bisa dibaca di sini.

Ada yang pernah ke Eropa dengan keluarga? Pilih ke kota mana saja?

~ The Emak
Follow @travelingprecil
 
Baca juga:
#EUROTRIP
VISAMengurus Visa Schengen Untuk Keluarga Membeli Asuransi Perjalanan Untuk Visa Schengen


TRANSPORTASI

Penang With Kids: Itinerary & Budget

Salah satu street art di Penang

Kami jalan-jalan ke Penang (dibaca Pineng), Malaysia alasannya cuma satu: ada penerbangan langsung dari Juanda Surabaya, dengan Air Asia. Selain itu, Penang sebagai pulau terpisah dari mainland Malaysia, mestinya gampang dijelajahi. Pilihan destinasi wisatanya pun komplet: ada wisata kota (seni, sejarah), bukit, kuliner dan pantai.

The Emak berhasil mendapatkan tiket murah nol rupiah SUB – PEN untuk berempat. Tiket promo nol rupiah bukan berarti gak bayar sama sekali ya, kita tetap harus bayar pajak dan surcharge. Kami habis sekitar Rp 2 juta untuk tiket pergi pulang berempat, atau Rp 500 ribu pp per orang. Harga normal Air Asia untuk penerbangan langsung Surabaya – Penang sekitar Rp 750.000 sekali jalan. Lumayan banget kan hematnya?

Tiket sudah di tangan sejak Oktober. Saya nyambi-nyambi membuat itinerary sambil merancang budget dan berburu penginapan. Idealnya, kami akan menginap 1 malam di kota Georgetown dan 1 malam di hotel pinggir pantai di Batu Ferringhi. Dengan begitu kami bisa menikmati semua jenis wisata yang ditawarkan Penang.

Berikut destinasi wisata ramah anak-anak yang bisa dikunjungi di Penang:
– Street art di George Town
– Kuliner
Museum interaktif Made In Penang
– Benteng Cornwallis
– Bukit Bendera (Penang Hill)
– Kuil Kek Lok Si
– Pantai Tanjung Bungah & Batu Ferringhi
– Penang Butterfly Farm

Karena waktu kami terbatas, hanya tiga hari dua malam, jelas tidak bisa memilih semuanya. Ketika saya sudah menyusun itinerary dengan rapi, e ternyata Air Asia mengubah jadwal semena-mena. Tadinya kami terbang Jumat malam dan pulang Minggu malam. Jadwal penerbangan diganti menjadi Jumat pagi dan Minggu siang. Untungnya, jadwal kami bisa dimajukan ke hari Jumat yang bertepatan dengan libur paskah. Kalau nggak, pasti Si Ayah dan Precils bermuka masam karena tidak bisa bolos cuti, bisa-bisa gagal rencana liburan hemat ini.

Pergeseran jadwal ke Easter Long Weekend berpengaruh ke harga penginapan yang saya pesan. Untuk penginapan di kota, saya memang memilih Tune Hotels Downtown Penang karena punya kredit (poin) dari pembatalan ketika akan menginap di Johor Bahru. Sayang banget kalau nggak terpakai, bisa hangus. Untuk hotel tepi pantai, tadinya saya mengincar Hard Rock Hotel. Sejak menginap di kid suite hotel Hard Rock Bali, Little A pengen banget mencoba hotel Hard Rock lainnya. Di Penang, kolam renang HRH ini memang keren banget. Pikir saya, gak papa deh meski tarifnya sedikit mahal, 1,4 – 1,6 juta per malam. Sayangnya, untuk tanggal tersebut, Hard Rock mengharuskan tamu menginap dua malam. Aduh, rencana bermewah-mewah tidak direstui :p

The Emak yang pinter ini segera mencari alternatif tempat menginap lain. Ada beberapa pilihan hotel tepi pantai Batu Ferringhi, antara lain: Bayview Beach Resort (pas ada promo), Parkroyal Penang Resort, dan Holiday Inn Resort. Saya ingat punya poin dari IHG Rewards, keanggotaan hotel dari grup Intercontinental, Crowne Plaza dan tentunya Holiday Inn. Untuk menginap satu malam di Holiday Inn Penang, perlu menukar 20.000 poin. Sedangkan saya baru punya 16.000 ribu poin. Sebenarnya kekurangannya bisa dibayar pake uang, $40. Lumayan juga daripada bayar penuh. Tapi akhirnya saya berakhir mendapat ekstra 4000 poin dari menukar poin kartu kredit Si Ayah. Hehehe, emak-emak banget. Alhasil, berhasil nginep di Holiday Inn Resort gratis!

Konter teksi (limo) di bandara Penang
This is our LIMO 😀 😀

Biaya liburan yang cukup besar setelah penerbangan dan akomodasi adalah transportasi lokal. Di Penang, ada bis gratis yang bisa digunakan untuk keliling kota. Bis ini berhenti di 19 halte yang dekat dengan atraksi wisata. Kami mengandalkan bis ini untuk jalan-jalan di kota. Dari dan ke bandara, kami menggunakan taksi. Di bandara, saya memesan taksi dari konter taksi resmi bandara. Hanya ada satu taksi bandara yang diberi nama Limo. Jangan membayangkan limusin mewah ya. Setelah membayar RM 44,70 kami keluar menuju pangkalan taksi bandara. Ada beberapa mobil taksi putih berjejer-jejer dalam antrean. Giliran kami tiba… yak… limo kami mungkin usianya lebih tua dari saya. Big A rolled her eyes. Little A melongo. Saya tidak bisa berhenti tertawa, just our luck 😀

Untungnya taksi yang membawa kami kembali ke bandara, dari hotel Holiday Inn adalah taksi eksekutif warna biru. Tentu saja sangat nyaman dan tarifnya lebih mahal. Sementara untuk perjalanan dari kota George Town menuju pantai Batu Ferringhi, kami naik bis berbayar.

Anggaran lain tinggal untuk makan, biaya masuk atraksi wisata dan suvenir. Anggaran makan tidak perlu dikhawatirkan karena harga makanan di Penang cukup murah, RM 4-6 per porsi atau sekitar Rp 15 – 25 ribu, mirip dengan di Indonesia. 

Berikut anggaran yang saya susun untuk berlibur ke Penang 3D/2N.

ITEM IDR MYR
Pesawat SUB-PEN pp 4 pax  1,996,000
Airport tax 4x 200.000  800,000
Taxi airport to Tunes hotel 40
Tune hotel Family Room 1 night 179.8
Lunch Day 1 50
Free Bus GeorgeTtown 0
Dinner Day 1 50
Brekky Day 2 40
Bus Komtar to Penang Hill 12
Penang Hill tram 70
Lunch Day 2 50
Bus from Penang Hill to Batu Ferringhi 20
Holiday Inn Resort     0
Dinner Day 2 50
Souvenir 50
Breakfast Day 3 40
Taxi to airport 70
Lunch at Air Asia  150,000
Parkir Juanda  60,000
Sub total MYR 721.8
TOTAL IDR  3,006,000  2,526,300  5,532,300

Ternyata… kami tidak bisa jalan-jalan sesuai itinerary yang sudah disusun rapi. Rencana hari pertama keliling kota berburu street art gagal gara-gara diberi kamar berbau asap rokok yang menyengat oleh Tune Hotels. Duh, mood rusak dan Si Ayah jadi cranky. I tell you what, a cranky husband is worse than cranky kids :p Jadwal berburu street art kami alihkan esok harinya. Kami terpaksa gagal ke Penang Hill di hari kedua. Itinerary kami ganti dengan mengunjungi Museum Made In Penang yang ternyata cukup menarik dan seru (meski mahal). Alhamdulillah, liburan kami berakhir manis dengan menikmati senja yang indah di tepi pantai Batu Ferringhi.

Bis Gratis/Free Shuttle Bus/Bas Percuma
Komtar
Senja di Batu Ferringhi

Total pengeluaran kami selama perjalanan ke Penang 3H/2M ini tidak beda jauh dengan yang dianggarkan. Pengen tahu rinciannya? Boleh kok, syaratnya:

1. Like Facebook atau follow Twitter (@travelingprecil) kami, 
2. Tulis komentar di bawah tulisan ini atau kirim email ke travelingprecils at gmail dot com, berisi akun FB/twitter dan alamat emailmu.

~ The Emak

Catatan: Kurs April 2014
MYR 1 = IDR 3.500

Baca Juga:
Review Tune Hotels Downtown Penang  
Menjelajah Penang: Seni, Sejarah, Kuliner & Pantai
Review Holiday Inn Resort Penang
Mencicipi Kuliner Penang 
Made In Penang: Seru-Seruan di Museum Interaktif