Pengalaman Terbang Dengan Air New Zealand

Disclaimer:
This trip is paid by Tourism New Zealand. 
But all opinions expressed by me are 100% authentic and written in my own words.

Dulu, ketika kami sekeluarga jalan-jalan keliling Pulau Selatan Selandia Baru, saya menghindari perjalanan dengan pesawat domestik. Mengingat pengalaman naik pesawat domestik di Australia yang lumayan repot. Tapi, setelah saya mengalami sendiri selo-nya naik pesawat Air New Zealand dari Christchurch ke Nelson pp, saya nggak akan ragu mengajak Precils terbang antar kota-kota di New Zealand, lain kali kalau berkunjung ke sini lagi.

Bulan Juni lalu, saya memenangkan lomba foto dengan hadiah jalan-jalan ke New Zealand. Hadiahnya untuk satu orang, tapi saya ditemani jurnalis dari The Jakarta Post, penyelenggara lomba. Kami diundang oleh Tourism Nelson Tasman untuk mengeksplorasi kecantikan alamnya. Dari Jakarta ke Christchurch kami naik Singapore Airlines, transit di Changi, Singapura. Dari Christchurch ke Nelson, kami naik pesawat domestik Air New Zealand.

Transit di Christchurch Airport
Pesawat SQ yang saya tumpangi mendarat di Christchurch Airport jam 9.30 pagi waktu setempat. Saya masih punya waktu sekitar dua setengah jam sampai penerbangan berikutnya ke Nelson, jam 12.10. Imigrasi berhasil saya lewati dengan mulus. Seperti biasa, petugas menanyakan apa maksud kedatangan saya ke NZ: diundang Pemda Nelson untuk jalan-jalan. Saya perlihatkan itinerary dari mereka, dan si petugas menimpali, “Wah, asyik banget acaramu. Selamat jalan-jalan ya.” Custom Selandia Baru yang ketat pun berhasil saya lewati. Saya hanya memperlihatkan beberapa oleh-oleh dari kulit dan kayu (wayang-wayangan kecil dan pembatas buku) yang tentu saja diloloskan. Saya tidak membawa makanan sama sekali, jadi gampang lolos.

Tidak ada yang menjemput saya di Christchurch. Teman jurnalis yang mestinya terbang bersama saya pun ketinggalan pesawat di Jakarta (haduh!). Jadi saya ngider sendirian di bandara Christchurch. Biar nggak ribet bawa-bawa koper besar, saya cek in dulu si bagasi ini. Dari Tourism New Zealand (TNZ) saya cuma dibekali e-ticket. Celingak-celinguk mencari konter cek in, ternyata tidak menemukan konter yang melayani penumpang kelas ekonomi. Pelayanan cek in untuk kelas ekonomi digantikan oleh mesin yang mirip-mirip mesin ATM ini.

Saya pun mencoba self check in dengan mesin. Ternyata gampang kok, tinggal memasukkan kode booking. Si mesin ini pintar, langsung tahu saya siapa, dari mana mau ke mana. Ya iya lah. Mesin ini kemudian mencetakkan stiker bagasi yang harus saya pasang sendiri di pegangan tas (ada petunjuknya). Setelah itu, tas harus saya taruh sendiri di ban berjalan (bag drop) yang langsung menuju pesawat. Di dekat mesin cek in juga ada timbangan. Awas, bukan buat orang, tapi buat menimbang bagasi. Mungkin kalau bagasinya kelebihan berat (maksimal 23kg), para penumpang diharapkan membayar sendiri atau bagaimana, saya kurang tahu. Tapi sistem cek in dengan mesin ini mengasumsikan penumpang jujur semua. Dan memang begitu sepertinya penduduk New Zealand ini.

Setelah sukses melepaskan beban berat alias si koper, saya cari-cari kamar mandi. Sebenarnya saya bukan orang yang hobi mandi. Tapi karena di itinerary dianjurkan mandi di bandara, saya manut-manut saja. Malu juga mau ketemu perwakilan turisme Nelson tapi masih muka bantal begini. Saya menemukan fasilitas mandi di toilet untuk orang difabel. Saya cari-cari di toilet perempuan tidak ada kamar mandinya. Untuk memastikan, saya pun bertanya ke petugas airport, boleh nggak mandi di situ. Si petugas malah tertawa, ya boleh-boleh saja, ditaruh di situ karena jarang dipakai orang kok. Saya pun berjanji akan mandi secepat mungkin, jaga-jaga kalau ada orang disabel yang perlu toilet.

Tapi susah berhenti ya kalau mandinya pakai air panas dengan pancuran yang kencang. Di sana juga telah disediakan sabun mandi gratis yang cukup wangi. Saya bawa handuk andalan saya: microfibre towel dari Kathmandu yang lembut tapi gampang kering kembali.

e-ticket dan boarding pass yang dicetak sendiri di mesin

Setelah seger kembali, saya tidak minder nongkrong di lounge keberangkatan yang penampakannya lebih mirip kafe itu. Omong-omong, tidak ada pemeriksaan keamanan apapun untuk penerbangan domestik. Hanya ada pernyataan bahwa penumpang tidak membawa barang-barang berbahaya ketika cek in di mesin. Orang sini baik-baik.

Karena masih kenyang dari sarapan di pesawat, saya nggak jajan apapun. Saya sempatkan jalan-jalan ke lounge keberangkatan internasional di lantai atas. Di sana ada toko Relay yang menjual buku, stasioneri, camilan dan suvenir termasuk kartupos. Bagusnya, toko ini juga menjual perangko, termasuk untuk tujuan internasional. Sebelum pulang kembali ke tanah air, saya sempat mengirim kartupos ke beberapa follower @travelingprecil. Tinggal cemplungin ke kotak pos yang ada di depan toko.

Lima belas menit sebelum jadwal pesawat berangkat, kami dipersilakan boarding, dengan berjalan langsung menuju pesawat, tanpa garbarata. Sepanjang jalan menuju pesawat, para penumpang saling sapa, tampaknya semua orang kenal semua orang. Seperti dengan tetangga yang pulang kampung bareng.

Untuk penerbangan selama 50 menit ini, kami naik pesawat Bombardier Q300  yang kursinya hanya ada 50. Ya, memang seperti naik bus karena penumpangnya juga saling kenal semua, kecuali saya. Pesawat ini punya dua baling-baling di kanan kiri. Saya yang duduk dekat jendela bisa melihat dengan jelas ketika roda pesawat meninggalkan landasan dan ketika nanti kembali mendarat di landasan. Tapi meski terbang dengan pesawat kecil, penerbangan tetap nyaman. Tidak ada guncangan yang berarti, meski kami harus selalu memakai sabuk pengaman. Lucunya, di bawah kursi tidak tersedia live vest. Sebagai gantinya, dalam keadaan darurat, kursi pesawat bisa diambil dan digunakan sebagai pelampung.

Pramugari di Air New Zealand ramah-ramah, seperti kebanyakan Kiwi lainnya. Di pesawat, kami hanya diberi air putih dan permen (kalau mau). Pramugari berkeliling membawa teko air putih dan menyelipkan permen serta gelas-gelas plastik kecil di kantung apronnya. Saya sebenarnya pengen menyimpang gelas plastik dengan tulisan Air New Zealand tersebut untuk kenang-kenangan. Tapi karena bule ganteng yang duduk di sebelah saya mengembalikan gelas miliknya ke pramugari, seraya menatap saya seolah bilang, “Balikin gih,” saya jadi mengurungkan niat.
 
Karena tidak terbang terlalu tinggi, saya selalu bisa melihat pemandangan lanskap New Zealand dari balik jendela. Awalnya lanskap pesisir timur, kemudian dilanjutkan dengan gunung-gunung yang ujungnya berselimut salju, negeri middle earth yang indah.

Bandara Nelson lebih kecil, hanya punya satu boarding gate yang juga menjadi arrival gate. Bandara ini tidak punya ban berjalan, bagasi penumpang disajikan langsung dari troli besarnya di luar bandara. Area cek in juga kecil, hanya ada satu petugas dan dua mesin cek in. Tidak ada pemeriksaan apapun di bandara ini.

Ketika ada pengumuman bahwa pesawat terlambat, tidak ada kepanikan atau gerutu dari penumpang. Orang-orang sini memang santai ya? Ketika kami mendarat di Christchurch, dalam perjalanan pulang dari Nelson, pramugari dengan nada ceria mengumumkan: “Selamat datang di Christchurch. Bagi penumpang yang ingin melanjutkan perjalanan ke Queenstwon, ups, maaf, kalian ketinggalan pesawat. Sila menunggu penerbangan selanjutnya. Tapi buat yang ingin melanjutkan terbang ke Dunedin, selamat! Ini pesawat yang akan terbang ke sana, jadi sila menunggu di sini. Terima kasih sudah terbang dengan Air New Zealand.” Hehehe, santai poool.

Tiket saya ini dibelikan oleh TNZ seharga NZD 398, untuk penerbangan CHC-NSN pp. Tentu saja itu tarif full price. Untuk mencari harga promo, Air New Zealand bagi-bagi tiket murah tiap hari di website Grab A Seat.

Untuk yang pengen naik Air New Zealand, bisa naik untuk penerbangan domestik NZ atau penerbangan internasional dari Australia. Cek rute terbang di website resmi mereka. Sayangnya, hanya ada penerbangan musiman dari Bali menuju Auckland, itu pun tidak bisa dipesan langsung ke website-nya. Saya intip untuk penerbangan Auckland – Denpasar pp, tarifnya sekitar NZD 1200, dengan lama penerbangan 8 sampai 9 jam. Yang tertarik naik pesawat ini atau sekedar membandingkan tarifnya, bisa menghubungi kantornya di Bali di nomor +62-361 7841659.

Setelah tahu selonya penerbangan domestik di NZ ini, saya jadi pengen segera ajak anak-anak kembali ke sini. Ya, keramahan dan indahnya New Zealand selalu bikin pengen balik lagi.

Cek in di bandara Nelson

~ The Emak

Baca juga: 
Berburu Tiket Pesawat Murah ke New Zealand 
Pengalaman The Precils Naik Emirates (Christchurch – Sydney) 
Terbang Ke New Zealand Dengan Singapore Airlines 
Tips Merencanakan Perjalanan Ke New Zealand

Terbang Ke New Zealand Dengan Singapore Airlines

Pesawat SQ di bandara Christchurch
Disclaimer:
This trip is paid by Tourism New Zealand. 
But all opinions expressed by me are 100% authentic and written in my own words.

Sudah lama saya pengin naik Singapore Airlines alias SQ, tapi ya tidak pernah kesampaian wong duitnya hanya cukup untuk budget airline saja. Ketika Si Ayah dibayari naik SQ ke Washington DC awal tahun ini, saya iri banget. Tapi alhamdulillah, rezeki nggak kemana. Keinginan saya mencoba SQ akhirnya kesampaian juga, gratis pula.

Mungkin ada yang belum tahu, saya memenangkan lomba #NZFoto yang diadakan oleh @JPlusSunday dari Jakarta Post, disponsori oleh Tourism New Zealand (TNZ). Hadiahnya  jalan-jalan gratis ke New Zealand, terbang dengan Singapore Airlines. Wuih, rasanya seperti mimpi, bahkan sampai itinerary SQ mampir ke inbox email saya.

Itinerary SQ

Tiket gratisnya memang hanya dari Jakarta. Dari Surabaya ke Jakarta harus saya usahakan sendiri. Saya berangkat bersama seorang jurnalis Jakarta Post. Untuk ke Christchurch, kota di Pulau Selatan New Zealand, kami transit dulu di Changi. Ketika mendapat itinerary ini, saya sempat deg-deg-an, memang bisa tuh waktu transit hanya 55 menit? Padahal ini kan penerbangan internasional, beda terminal lagi. Tapi percaya deh, SQ sudah mengatur semuanya. Transit di Changi mulus-mulus saja tanpa kendala apa-apa. Nanti akan saya tulis tersendiri.

Saya tidak tahu berapa harga tiket gratisan saya ini. Tapi iseng-iseng saya cek di website SQ, harga tiket pesawat dari Jakarta ke Christchurch mulai dari USD 1.400-an. Begitu juga tiket dari Surabaya ke Christchurch via Singapura, harga kurang lebih sama. SQ juga melayani penerbangan ke Auckland (kota di Pulau Utara Selandia Baru) dengan tarif yang mirip. Enaknya naik SQ, dari Singapura bisa langsung terbang ke Christchurch (CHC) atau Auckland (AKL), tidak perlu transit dulu di Australia. Cara lain untuk menghindari transit di Australia adalah naik Malaysia Airlines yang punya penerbangan langsung dari Kuala Lumpur ke Auckland (mulai USD 1000).

Agar transfernya mulus di terminal yang sama, saya naik Garuda dari Surabaya, mendarat di Terminal 2 bandara Soekarno Hatta. Pelayanan cek in oke, bisa tiga jam sebelum keberangkatan. Bagasi saya langsung dikirim ke Christchurch nantinya. Nomor Krisflyer saya bisa langsung dicantumkan untuk mendapatkan poin, meski saya belum punya kartunya dan hanya mendaftar online. Pelayanan imigrasi juga lumayan bagus, banyak petugas sehingga antrenya tidak lama banget. Ada juga auto-gate untuk pemegang e-paspor. 

Terminal 2 memang lebih bagus daripada terminal 1 dan 3, meski tetap ada kekurangan sana-sini. Waktu itu gate saya diganti, tidak sesuai dengan yang tertulis di boarding pass. Pengumumannya hanya dengan secarik kertas yang sobek-sobek di depan lorong menuju gate. Tapi ruang tunggu boarding-nya cukup bagus kok. Kursi dan sofanya nyaman dan cukup untuk semua orang. Toiletnya bersih banget. Ada pojok baca dengan buku dan majalah yang disponsori oleh perusahaan asuransi. Tapi yang paling mengesankan bagi saya adalah sistem boarding menggunakan kartu warna-warni. Ketika memasuki ruang tunggu, kita dicek tiketnya, lalu diberi kartu boarding dengan warna tertentu, sesuai prioritas: merah, kuning, biru dan hijau. Ketika siap boarding, penumpang dipanggil sesuai warna kartunya, dan wajib menyerahkan kartu tersebut ke petugas. Dengan begini, orang nggak rebutan untuk masuk ke pesawat, karena warna lebih mudah diingat daripada nomor tempat duduk. Saya heran, mengapa sistem seperti ini tidak diberlakukan untuk penerbangan lain? Atau jangan-jangan, sistem antre dengan kartu berwarna ini hanya bisa diterapkan untuk orang-orang yang mampu bayar tiket SQ saja? :p

Boarding pass di T2 bandara Soekarno-Hatta
Boarding room di Changi Airport

Pesawat yang saya naiki adalah Boeing 777-200 dan 777-300 dengan urutan kursi ekonomi 3-3-3. Kursi ekonomi SQ ini cukup lebar dan yang ternyaman yang pernah saya coba, lebih nyaman dari Garuda atau Emirates. Posisi awal kursi sudah ter-recline sedikit, disainnya pas untuk postur tubuh orang Asia. Ditambah lagi di depan kursi ada pijakan kaki, sangat membantu untuk yang bertubuh mini seperti saya, agar kaki tidak menggantung 😀

Sayangnya bagasi kabin di atas tempat duduk tidak bersahabat dengan tinggi tubuh saya. Jangankan meletakkan sendiri tas saya di atas, lha wong membukanya saja saya nggak bisa. Ora nyandak. Untung ada mbak-mbak pramugari aka Singapore Girls yang siap membantu. Ya memang ada gunanya syarat tinggi minimal untuk jadi pramugari. 

Saya rasa pramugari SQ ini paling cekatan dibanding pramugrari maskapai lain. Layanan sebelum take off, pemberian handuk hangat, pemberian snack, makanan dan minuman cukup efektif dan efisien. Makanan cepat datang ketika saya mulai lapar. Minum hangat teh atau kopi juga tidak perlu menunggu lama. Begitu juga ketika mengambil kembali nampan makanan, tidak grusah-grusuh dan membuat sampah berhamburan. Sip lah pokoknya. Tambahan lagi, menurut saya, mbak-mbak ini cantik-cantik banget je. Kecantikan paras Asia, gitu. Tentu saja sangat subyektif karena saya juga cewek Asia, menilai kecantikan berdasar ras sendiri 🙂

Dalam penerbangan dari Singapura ke Christchurch, ada series of unfortunate events, yang belakangan menjadi fortunate events alias berkah terselubung buat saya. Rekan seperjalanan saya mengalami kecelakaan di tol Jakarta. Alhamdulillah tidak parah, tapi membuatnya ketinggalan pesawat dari Jakarta ke Singapura. Di ruang tunggu di Changi, saya cemas, berharap dia bisa menyusul ke Singapura entah bagaimana caranya. Tapi sampai pesawat mau lepas landas, dia belum tampak. Alhasil, saya terbang solo sampai New Zealand. Penerbangan malam itu tidak terlalu ramai, dan saya seperti mendapat durian runtuh mendapatkan tiga kursi di barisan saya kosong semua. Dengan ukuran tubuh mini begini, saya bisa tidur nyaman seperti di flat bed. Duh, kelas ekonomi berasa first class 😀

Suasana kabin dan Singapore Girl yang cekatan

My economy seat

Dari Singapore, saya harus terbang hampir 10 jam nonstop sampai ke Selandia Baru, melewati (kembali) Surabaya dan Australia. Enaknya penerbangan dengan full airline, bukan low-cost carrier, di pesawat ada hiburannya. Sistem hiburan di Singapore Airlines ini cukup bagus, tapi masih di bawah entertainment system di Emirates. Pilihan film-nya ada yang baru-baru, tapi masih kalah banyak dengan pilihan di Emirates. Setiap penumpang ekonomi mendapatkan layar pribadi di depan tempat duduknya, tapi sayang belum sistem touch screen. Kadang saya kesulitan memakai remote, untuk bolak-balik pilih program. Akhirnya setelah kenyang makan, saya cuma khusuk mendengarkan lagu saja, sampai terlelap. Dalam perjalanan pulang, saya sempat nonton satu film Korea yang cukup menghibur atas rekomendasi teman seperjalanan saya (yang alhamdulillah tidak ketinggalan pesawat lagi).

Oh, ya, ada amenities yang dibagikan ke penumpang untuk penerbangan SIN-CHC dan sebaliknya. Setiap penumpang mendapat kaos kaki, sikat gigi dan pasta gigi yang dikemas dalam kantung cantik. Lumayan lah 🙂

Goody bag berisi kaos kaki, sikat dan pasta gigi

Yang paling membuat saya semangat naik maskapai ini terus terang adalah makanannya. Kata Si Ayah, makanan di SQ biasa aja. Padahal menurut saya, makanannya enak, apalagi disajikan lengkap dari makanan pembuka sampai pencuci mulut. Plus ada roti dan butter! Oh, mentega, sudah lama saya tidak makan mentega dengan baik dan benar.

Untuk penerbangan jarak pendek seperti dari Jakarta ke Singapura yang cuma 1,5 jam saja, SQ tetap menyediakan makanan berat. Menu yang saya dapat adalah nasi ikan dengan sayuran, dilengkapi jus jeruk dan pencuci mulut. Hidangan ketika pulang juga hampir sama, hanya pencuci mulutnya saja yang berbeda. Oh, banana bread!

Dari Singapura ke Christchurch masuk ke penerbangan long haul dan melewati dua jam makan, sehingga saya mendapat makan malam dan sarapan. Makan malamnya kembali nasi dengan ikan (nggak masalah, enak kok), disajikan lengkap dengan ubarampenya. Saya sangat menikmati makan di pesawat yang minim turbulence dan tanpa gangguan dari Precils atau Si Ayah. Sangat khusyuk ibadah makan saya dimulai dari makan hidangan pembuka (salad yang segar-segar kecut), menyobek roti dan mengisinya dengan mentega dari New Zealand, lalu pelan-pelan menaburkan lada hitam di atas nasi. Hidangan utama saya kunyah pelan-pelan dengan sendok stainless (bukan sendok plastik!), sambil sesekali menyesap air mineral. Selesai makan, saya minta teh dengan susu untuk pengantar tidur. Cracker dan keju saya simpan untuk keadaan darurat tengah malam, haha. Sayangnya saya tidak bisa menikmati pencuci mulut es krim karena semua rasanya cokelat dan saya alergi cokelat, hiks. Tapi semua yang masuk perut tadi membuat saya tidur nyenyak sampai fajar menyingsing.

Waktunya sarapan! Ritual yang sama saya lakukan untuk menu sarapan kali ini: roti dengan mentega dulu, baru omelet dan hash brown (bukan perkedel ya), dan lanjut dengan irisan buah segar dan yoghurt. Muffin saya camil-camil setelah nampan dibereskan, sambil menikmati kopi pagi dengan susu, siap mendarat dengan perut kenyang dan wajah siaga di bandara Christchurch, hahaha.

Menu makan pulangnya tak kalah istimewa. Bagi yang belum pernah merasakan mentega, susu, keju dan daging domba New Zealand mungkin akan mengatakan saya melebih-lebihkan. Tapi itu lah yang saya rasakan. Semua jenis makanan produksi New Zealand jauh lebih enak daripada punya Australia (sorry!). Mungkin karena alamnya yang lebih murni ya?

Saya jadi membayangkan, kalau makanan di kelas ekonomi seenak ini, apa jadinya di kelas bisnis ya? Atau first class? Hohoho, saya catat dulu di Dream Book, semoga impian saya terkabul suatu saat nanti.

Sementara itu, monggo sila dicicipi, foto-fotonya 🙂

Camilan yang bisa dipesan setiap saat
Makan siang di penerbangan Jakarta – Singapura
Makan malam di penerbangan Singapura – Christchurch
Sarapan di penerbangan Singapura – Christchurch
Makan siang di penerbangan Christchurch – Singapura
Makan sore di penerbangan Christchurch – Singapura
Makan malam di penerbangan Singapura – Jakarta

~ The Emak

Baca juga:

[Penginapan] Tudor Court Motel Christchurch

Tudor Court motel di kota Christchurch adalah penginapan terakhir selama road trip kami menjelajah Pulau Selatan Selandia Baru. Kalau di Wanaka dan Lake Tekapo saya bingung mencari penginapan karena tidak banyak pilihan, di Christchurch ini saya bingung karena terlalu banyak pilihan :p Maklum, Christchurch memang kota terbesar di Pulau Selatan New Zealand, yang menjadi gateway jalan-jalan di negara Kiwi ini.
Dua kali gempa besar yang melanda Christchurch, September 2010 dan Februari 2011 mengakibatkan kerusakan pada bangunan-bangunan hotel. Beberapa hotel besar, terutama di tengah kota hancur. Sementara hotel-hotel yang lain belum layak huni karena bangunannya miring. Penginapan yang bisa survive di tengah gempa adalah motel-motel kecil (berlantai satu atau dua) yang ada di pinggiran kota.
Seperti biasa, saya mencari-cari penginapan di website Wotif. Ada beberapa motel bagus menurut review Trip Advisor, yang letaknya paling dekat dengan pusat kota, tapi harganya di atas NZ$ 200, di luar jangkauan kocek saya 🙂 Akhirnya saya menemukan motel Tudor Court ini, yang bangunannya tampak menarik, dengan harga NZ$ 165 per malam, untuk 2 dewasa dan 2 anak-anak. Saya pesan dari Wotif yang tarifnya sedikit lebih murah daripada tarif di website resminya.

Motel ini hanya punya 1 kamar tidur berisi dua single bed untuk the precils. Ranjang utama ada di ruang serbaguna yang menjadi satu dengan sofa, meja makan dan dapur kecil. Kami mendapatkan kamar di pojok, tanpa pemandangan ke luar. Dari jendela yang bisa dibuka, tampak pepohonan dari motel sebelah. Nggak jauh beda dengan pemandangan dari apartemen kami di Sydney :)) Bangunan di motel ini tampak kuno, terlihat dari sofa, pemanas, dapur dan kamar mandinya. Mengingatkan saya pada motel tempat kami menginap di Snowy Mountain. Dapur kecilnya juga hanya ada kulkas kecil, microwave dan bak cuci piring, tanpa kompor. Fasilitas laundry umum ada di luar kamar, menggunakan koin. Saya tidak menggunakan laundry karena sudah puas cuci-cuci baju di Lake Tekapo Holiday Park. Nilai plus dari motel ini: kasurnya nyaman, dengan linen dan sprei berkualitas dari Sheridan. Kami bisa tidur nyenyak, dihangatkan oleh selimut listrik.

Lokasi motel Tudor Court ini di Bealey Avenue, utara pusat kota. Di sepanjang Bealey Avenue banyak terdapat motel. Lokasi tidak terlalu masalah kalau kita membawa mobil, hanya sekitar 5 menit ke pusat kota, Botanic Garden atau Museum. Sore hari setelah mengunjungi museum, Big A minta dibelikan buku karena buku yang saya belikan di Hobart sudah tamat ia baca. Big A akan bilang I am bored setiap menit kalau tidak punya bacaan. Dari penjaga museum kami diberi tahu kalau ada beberapa toko buku di Riccarton Mall. Daerah Riccarton ini terletak di sebelah barat Museum/Botanic Garden. Di kanan kiri jalan Riccarton berderet-deret toko, kafe, motel dan satu mal besar. Saya pikir, enak juga kalau motel kami ada di jalan Riccarton ini, tinggal menyeberang jalan kalau mau belanja ke Mal. Kalau kami punya kesempatan mengunjungi Christchurch lagi, pilihan pertama saya adalah Motel Kauri yang persis di seberang pusat perbelanjaan. Saya ingat kehabisan kamar di motel ini ketika memesan lewat Wotif dulu. Buku yang Big A cari tidak ada di Mal Riccarton. Capek keliling Mal mencari toko buku, kami makan di food court-nya, di bawah pengawasan tukang bersih-bersih karena sebentar lagi Mal tutup (jam 6 sore waktu setempat).

Minggu, 11 Desember 2011, saya dibangunkan oleh The Precils dan Si Ayah. Perasaan saya waktu itu: bahagia yang sederhana. Ini adalah negara ketiga tempat saya merayakan ulang tahun, setelah Indonesia dan Australia. The Precils memberi saya kartu ulang tahun yang diam-diam mereka beli di supermarket di Wanaka. Saya terharu dengan perhatian mereka, tapi juga tertawa melihat gambar Barbie di kartu ultah saya, dengan latar belakang warna pink yang gemerlap. Ini pasti pilihan Little A 😀 Jam 10.30 kami cek out dari motel, kembali jalan-jalan ke museum dan Botanic Garden, kemudian merayakan ulang tahun saya dengan makan siang di restoran Malaysia di Papanui Road. Sorenya, kami harus mengejar pesawat Emirates yang akan membawa kami kembali ke Sydney.

~ The Emak

Mengunjungi Christchurch Pasca Gempa

Punting di sungai Avon, Christchurch
Christchurch, yang dijuluki ‘kota paling Inggris’, adalah kota terbesar di Pulau Selatan Selandia Baru. Pada bulan Februari 2011, Christchurch diguncang gempa dahsyat berkekuatan 6,3 skala Richter, yang meluluhlantakkan bangunan di pusat kota, termasuk gereja katedral. Christchurch adalah kota terakhir yang kami kunjungi dalam rangkaian Road Trip berkeliling South Island New Zealand, Desember tahun lalu (2011).
Perjalanan dari Lake Tekapo menuju Christchurch dapat ditempuh dalam waktu 3 jam mengendarai mobil. Jalan yang dilalui cukup mulus melewati Highway No.1. Tidak banyak pemandangan indah yang bisa kami lihat dalam road trip kali ini, kecuali beberapa peternakan dan farm stay di antara Burkes Pass dan Fairlie. Setelah perjalanan melalui Highway, pemandangan berganti menjadi lahan pertanian dan rumah-rumah penduduk. Kami yang sudah seminggu ini melalui jalan-jalan sepi di Pulau Selatan, lumayan takjub melihat mobil yang berlalu lalang cukup banyak, rasanya seperti kembali ke peradaban 🙂 
The Precils tidak terlalu rewel dalam perjalanan ini. Little A tertidur di mobil sehingga kami tidak perlu sebentar-sebentar berhenti. Kami hanya berhenti sekali di kota kecil Tinwald di tengah-tengah perjalanan Lake Tekapo – Christchurch. Di sini kami singgah di minimarket untuk membeli buah dan sayur, sekaligus membeli camilan makan siang. Yang menarik, minimarket di Tinwald ini menyediakan troli kecil khusus untuk anak-anak. Little A bukan main senangnya, dengan sukarela membantu membawa belanjaan kami di troli kecilnya.
Little A dengan troli mini di supermarket Tinwald
Kalau Little A senang, maka perjalanan selanjutnya akan berjalan mulus. Mendekati kota Christchurch yang lumayan ramai, saya sempat was-was salah jalan karena kami tidak menggunakan GPS. Hanya berbekal peta yang saya ambil dari Wanaka, saya mencoba mencari jalan menuju motel Tudor Court tempat kami menginap. Untungnya kami tidak nyasar dan selamat sampai di motel.
Kami sampai di Christchurch sekitar jam 3 sore. Setelah beristirahat sejenak di motel Tudor Court, kami segera memulai jalan-jalan di Christchurch. Tak lupa saya mengambil peta kota ini di resepsionis untuk bekal berputar-putar. Dengan semangat, kami langsung menuju pusat kota. Ternyata banyak sekali road block atau jalan yang ditutup, terutama di tengah kota. Si Ayah mencoba melipir ke jalan-jalan yang dipasangi pagar pembatas tersebut, berputar beberapa kali karena banyak jalan yang satu arah. Kami melewati bangunan gereja katedral yang hancur akibat gempa, dan juga bangunan-bangunan lain yang tinggal puing-puing. Saya tidak menduga akibat gempa Christchurch masih separah ini, mengingat gempa besarnya sudah terjadi 10 bulan yang lalu. Mungkin gempa-gempa susulannya yang membuat pembersihan atau rehabilitasi tertunda. 
Kabar baiknya, masih ada tempat wisata yang layak dikunjungi di Christchurch: Museum dan Botanical Garden (Kebun Raya). Takut museum keburu tutup, kami segera mencari tempat parkir (gratis) di pinggir jalan dan bergegas menuju gedung dengan arsitektur khas ini.
Canterbury Museum
Museum Canterbury terletak di samping Botanical Garden, di sebelah barat pusat kota. Pasca gempa, museum ini mulai buka lagi September 2011. Jam buka dari 9 pagi sampai jam 5 sore. Biaya masuk gratis, tapi mereka juga menerima donasi. Kami sampai di museum ini setengah jam sebelum tutup dan disambut dengan ramah oleh petugas. “Masih banyak yang bisa dilihat dalam setengah jam. Ayo, tidak perlu membuka peta, temukan saja kejutan di sana,” kata petugas yang tetap bersemangat menjelang tutup.
Koleksi museum Canterbury ini cukup menarik, mulai dari diorama penduduk asli New Zealand, bangsa Maori, sejarah pendudukan orang Eropa, ekspedisi Antartika dan juga replika pusat kota Christchurch di abad ke-19, lengkap dengan toko-toko kuno dan suara-suara keramaian. Ketika kami ke sana, sedang ada pameran World of Wearable Art, gaun-gaun dari bahan yang unik. Kami mengira Little A yang hobi memerhatikan fesyen akan senang dengan pameran ini, tapi dia malah takut karena suasana di museum ini hanya remang-remang, tanpa penerangan yang cukup.
Dalam waktu setengah jam kami hanya bisa melihat-lihat tampilan di museum dengan cepat. Kami sempat singgah di lantai dua yang berisi pameran “Hearts for Christchurch”. Di dalam ruangan ini dipamerkan karya sulaman berwarna-warni sebagai rasa simpati mereka terhadap gempa Christchurch. Little A senang berada di antara pernak-pernik penuh warna ini. Dari jendela di lantai dua ini kami juga bisa melihat tanaman di Botanical Garden.

Canterbury Museum
Fosil kaki elang raksasa yang sudah punah
Diorama kehidupan penduduk Maori

Esok harinya, setelah cek out dari motel Tudor Court, kami kembali mengunjungi Museum ini. Kali ini Big A ingin kembali melihat-lihat koleksi Wearable Art, dan saya juga ingin membeli beberapa kenang-kenangan berupa gantungan kunci, magnet kulkas dan kartu pos di toko museum. Sebenarnya saya ingin membeli barang-barang khas dari wool New Zealand, tapi ampun mahal sekali harganya :p
Christchurch Botanic Gardens
Kebun Raya yang menjadi paru-paru kota ini wajib dikunjungi pejalan yang singgah di Christchurch. Luas total kebun raya ini 21 hektar, tidak cukup waktu sehari untuk berjalan-jalan dan mengamati semua koleksi tanamannya. Kami mengunjungi kebun raya ini dua kali: sore hari setelah museum tutup dan keesokan harinya setelah kami cek out dari motel.
Yang pertama dicari oleh The Precils di Botanical Gardens adalah taman bermainnya. Dasar anak-anak ya, dari semua tempat-tempat indah yang mereka kunjungi, tetap playground yang menjadi pilihan nomor satu. Kami memarkir mobil kami di Armagh St Parking Area, tempat parkir gratis yang buka sampai jam 11 malam. Tempat parkir ini yang paling dekat dengan area playground. Dari tempat parkir, kami menyeberang jembatan kecil melintasi sungai avon.
The Precils cukup gembira bermain di playground, meskipun fasilitasnya sudah cukup tua dan minta diganti. Little A berpura-pura menjadi princess dan merayakan wedding di castle, karena melihat ada bangunan gerbang seperti pintu sebuah puri. Saya menemukan lubang kelinci (rabbit hole) di antara semak-semak dan mengajak Little A untuk keluar masuk dari situ. Dan begitu menemukan panggung dari sisa akar pohon yang ditebang, Little A segera berdansa dan meminta kami untuk bertepuk tangan 😀 Sementara itu, Big A tidak kalah senang bermain gelantungan di taman. Dua jam cukup membuat The Precils gembira dan Si Ayah juga lumayan puas bisa memotret sesuka hati.

Piknik di tepi sungai Avon

Keesokan harinya, setelah berbelanja oleh-oleh di toko di dalam museum Canterbury, kami menjelajah Kebun Raya dari sudut yang lain. Di samping Museum ini juga ada kios informasi yang dulunya ada di dekat Gereja Katedral. Kami berjalan-jalan melewati air mancur dan mengamati bunga-bunga yang ditanam dengan formasi tertentu. Saya tidak punya pengetahuan cukup tentang jenis-jenis bunga dan pohon, jadi hanya sekadar menikmati indahnya suasana di sini dan membaca papan informasi yang tersedia. Di Kebun Raya ini banyak terdapat pohon-pohon tua yang rindang, membuat suasana nyaman dan sejuk.
Sambil berjalan-jalan, Little A sibuk memotret dengan kamera saku. Big A yang lama-lama bosan berjalan-jalan di antara pohon-pohon, menantang saya untuk lomba lari. Kalau saja dia tidak curang, saya pemenangnya 🙂 Sebenarnya masih banyak yang bisa dilihat di Botanic Gardens ini, antara lain koleksi bunga mawar, koleksi taman New Zealand, koleksi tanaman dari Australia dan juga taman air. Namun karena waktu terbatas, kami tidak bisa melihat semuanya.

Di depan Kebun Raya Christchurch
Little A memotret Si Ayah yang memotretnya :p
Big A menantang The Emak adu lari
Pamer gantungan kunci yang dibeli di Museum
Punting di Sungai Avon

Punting di sungai Avon merupakan salah satu atraksi di Christchurch yang tetap bisa dilakukan pasca gempa. Punting menyusuri sungai ini kurang lebih sama dengan naik gondola di Venice. Stasiun utama punting terletak di Old Boat Shed, bangunan khas berwarna hijau di seberang Botanic Gardens. Di sana kita akan menjumpai perahu-perahu kecil yang ditambatkan oleh mas-mas berseragam khas dengan rompi dan topi bulat. Tiket untuk punting setengah jam di sungai Avon adalah NZ$25 untuk dewasa, NZ$12 untuk anak-anak dan gratis untuk balita. Sayangnya kami tidak sempat mencoba punting ini. Selain uang kami sudah menipis, kami juga harus mengejar pesawat di Christchurch International Airport untuk kembali ke Sydney.

~ The Emak