MA Tolak Gugatan BPN Prabowo Lawan Bawaslu

MA Tolak Gugatan BPN Prabowo Lawan Bawaslu


GELORA.CO – Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno atas keputusan Bawaslu ihwal adanya pelanggaran administratif di Pilpres 2019. Apa alasannya?
“Iya betul, putusan menyatakan permohonan ‘tidak diterima’ (niet onvankelijke verklaard),” ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah, seperti dilansir Antara, Kamis (27/6/2019).
Putusan Mahkamah bernomor MA RI Nomor 1/P/PAP/2019 itu menyatakan ‘permohonan tidak dapat diterima’. Menurut Abdullah, permohonan yang diajukan BPN Prabowo-Sandi belum memenuhi syarat.
“Hal itu menunjukkan bahwa terdapat syarat formal yang belum dilengkapi pemohon, atau permohonan diajukan pemohon namun sudah melewati tenggat waktu,” jelas dia.
Sebelumnya, BPN mengajukan permohonan sengketa proses Pilpres 2019 ke MA, setelah permohonannya ditolak Bawaslu. Dalam perkara yang diajukan ke MA, BPN menjadikan Bawaslu sebagai pihak tergugat, terkait dengan putusan bernomor 01/LP/PP/ADM.TSM/RI/00.00/V/2019 pada 15 Mei 2019. 
Dalam permohonannya, BPN mendalilkan adanya kecurangan dalam Pilpres 2019 yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Dalam putusan tersebut, MA juga menjatuhkan hukuman terhadap pemohon untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 1 juta.[dtk]
Anggota Tim Hukum Dapat Kopiah Dari Maruf Amin, Akan Dipakai Dalam Sidang Terakhir Di MK

Anggota Tim Hukum Dapat Kopiah Dari Maruf Amin, Akan Dipakai Dalam Sidang Terakhir Di MK


GELORA.CO – Calon wakil presiden KH. Maaruf Amin membuat kejutan. Seluruh tim hukum yang menjadi pengacara di Mahkamah Konstitusi (MK) mendapatkan kopiah saat berkunjung ke kediaman Maruf Amin di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu malam (26/6).
Layaknya seorang ayah, KH Maruf Amin mengenakan kopiah tersebut satu persatu kepada masing-masing anggota Tim Hukum.
Salah seorang anggota Tim Hukum Pasangan Jokowi-Amin di MK, Hermawi Taslim, mengatakan dia dan teman-temannya terpana dengan apa yang dilakukan KH Maaruf Amin kepada mereka.
Perbuatan Maruf Amin itu, sebutnya, sangat kebapakan bagi mereka semua.
“Suasana tadi di rumah beliau, sangat kekeluargaan. Kami diterima layaknya seorang anak yang kembali ke orangtuanya. Senyum simpul orangtua menyambut kedatangan kami semua. Kami semua dibuat terkejut karena mendapat kopiah dan sekaligus beliau memasangkan kopiah tersebut ke kepala kami masing-masing,” cerita Hermawi Taslim, yang juga Wadir Hukum dan Advokasi Tim Kampanye Nasional Jokowi-Amin. 
Sementara Maruf Amin mengatakan, pemberian kopiah itu sebagai tanda penghargaan darinya atas jerih payah dan semangat juang tim pengacara pasangan 01 di MK.
Tim Hukum dinilai oleh Maruf Amin, menunjukkan kekompakan dan soliditas di hadapan bangsa Indonesia, yang mengikuti sidang-sidang MK untuk memutuskan sengketa pilpres pada 17 April 2019 lalu. 
“Saya kira masyarakat luas yang ikut menyaksikan siaran langsung persidangan sudah dapat memperkirakan pihak mana yg memenangkan perkara itu,  terutama jika dilihat dari dali-dalil dan para saksi yg ditampilkan selama persidangan. Sidang MK ini merupakan gong dari seluruh proses pilpres yang kita lalui” ujar Maruf Amin, sebagaimana dikutip Hermawi Taslim.
Mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu menyatakan rasa bangganya dengan apa yang telah ditunjukkan oleh Tim Hukum TKN yang selama hampir setahun telah mengawal seluruh aspek hukum terkait dengan pilpres ini. 
“KH Maruf Amin juga memberi pengarahan dan berharap jika Pak Jokowi dan dirinya memenangkan kontestasi ini, ia berharap agar tim hukum ini kelak bisa mendampingi mereka dlm menjalankan pemerintahan,” kata Hermawi Taslim lagi.
“Kopiah ini akan kami pakai selama sidang. Itu pesan Kyai. Dan, secara jujur dan tulus kami katakan, kami bangga mengenakan kopiah ini. Tanpa disuruhpun, kopiah itu akan kami kenakan dan bahkan pada waktu-waktu mendatang mengingat kopiah ini memiliki nilai sejarah,” ujar Hermawi Taslim yang juga Wasekjen Partai Nasdem ini. [rmol]

Pulang dari Jerman, Prabowo Bertemu Sandiaga di Kertanegara


GELORA.CO – Capres Prabowo Subianto baru saja kembali ke Tanah Air setelah berkunjung ke Jerman. Begitu tiba di Indonesia, Prabowo langsung menggelar pertemuan dengan sang cawapres, Sandiaga Uno, di kediamannya di Kertanegara, Jakarta Selatan. 
“Saya baru saja bertukar pikiran berdiskusi dengan Pak Prabowo,” kata Sandiaga saat meninggalkan kediaman Prabowo di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (26/6/2019).
Sandiaga mengatakan dia bertemu dengan Prabowo untuk berdiskusi. Diskusi, kata Sandiaga, dilakukan terutama untuk membahas proses sidang gugatan Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK). 
“Kita tentunya mengucapkan terima kasih kepada seluruh tim hukum dan juga para masyarakat yang memastikan bahwa situasi persidangan MK dalam keadaan yang kondusif, aman, tenteram, dan damai,” ujarnya. 
Sandiaga juga berharap putusan MK yang akan dibacakan besok berpihak kepada kebenaran. Dia juga meminta masyarakat menjaga situasi yang aman.
“Harapan kita tentunya kita semua sama-sama berdoa agar keputusan para hakim MK berpihak kepada kebenaran dan keadilan. Kita juga mengimbau pada semua pihak untuk terus menjaga situasi aman, tenteram, dan kondusif,” ucapnya.
Sandiaga sendiri terlihat keluar dari kediaman Prabowo sekitar pukul 18.00 WIB. Begitu keluar, Sandiaga tampak disambut sejumlah orang berpeci yang menunggu di depan kediaman Prabowo. Sandiaga sempat bercengkerama beberapa menit sebelum beranjak pergi.
Seperti diketahui, Prabowo bertolak ke Jerman pada Kamis (21/6). Kunjungan Ketum Partai Gerindra itu dalam rangka kepentingan medis hingga bisnis. [dt]

Jelang Pembacaan Putusan MK, Pengamat: Banyak Misteri yang Belum Terungkap


GELORA.CO – Sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang semula dijadwalkan Jumat (28/6/2019), akan dibacakan lebih awal pada Kamis, 27/6/2019), besok. 
Alasannya, hakim konstitusi sudah siap dengan putusan permohonan gugatan yang diajukan kubu 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Juru bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono mengatakan, saat ini rapat permusyawaratan hakim (RPH) membahas perkara telah selesai.
“RPH pembahasan perkara sudah selesai, MK memastikan siap menggelar sidang pengucapan putusan besok,” ujar Fajar saat dikonfirmasi, Rabu (26/6/2019).
Terpisah, mantan ketua MK, Mahfud MD memprediksi bunyi putusan akhir para hakim MK.
“Menurut saya, besok putusan MK itu akan berbunyi begini, “Memutuskan, satu, menerima permohonan pemohon, dua menolak eksepsi terhadap termohon dan pihak terkait, yang ketiga, mengabulkan atau menolak permohonan para pemohon,” ucap Mahfud.
“Jadi menerima itu belum tentu mengabulkan, menerima itu artinya memeriksa dan itu sudah dilakukan kan,” sambungnya.
Menanggapi hal ini, pengamat politik Universitas Islam Syekh Yusuf, Adib Miftahul mengatakan, keadilan hukum sepenuhnya ada di tangan hakim.
“Secara konstitusi keadilan suatu perkara ada ditangan hakim, dan itu harus ditaati oleh semua pihak. Tentu ini menjadi beban moral tersendiri bagi para hakim untuk bisa mengambil putusan seadil-adilnya,” ucap Adib.
Adib mengatakan proses sidang yang disiarkan live di televisi nasional, menjadi perhatian seluruh pihak, termasuk masyarakat yang terkait langsung pada proses dugaan kecurangan yang terjadi.
“Terlepas dari mampu atau tidaknya pihak pemohon membuktikan dalilnya, kita tidak bisa menampikkan bahwa banyak fenomena yang tidak sesuai yang dianggap sebagai dugaan kecurangan. Proses (sidang) ini live, tentu menjadi perhatian semua pihak,” ungkap Dosen Fisip ini.
Menurut Adib, masyarakat berharap agar MK dapat memberi jawaban atas banyaknya misteri yang terjadi dalam penyelenggaraan pilpres.
“Banyak misteri yang belum terungkap dengan baik, dan masyarakat berharap sidang MK ini akan menguak itu semua,” katanya.
“Putusan Hakim besok akan tercatat sebagai salah satu sejarah keadilan dalam konstitusi kita. Saya harap putusan itu dapat mencairkan semua opini liar yang terjadi selama proses pilpres ini, dan semua pihak bisa bersatu mengilhami putusan tersebut,” tutup Adib. [ts]

Jelang Putusan Sidang MK, Refly Harun Berikan Kabar Buruk untuk Kubu Prabowo-Sandi


GELORA.CO – Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan ada kabar buruk bagi calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengenai sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal tersebut disampaikan Refly dalam saluran YouTube iNews tv, Selasa (26/6/2019).
Refly memberikan pandangannya mengenai putusan MK dari segala sisi.
“Jadi begini kalau kita bicara mengenai putusan MK memang saya bicara semua sisi ya, pertama sisi psikologis. Kalau kita bicara sisi psikologis memang yang paling gampang adalah menolak permohonan. Itu paling gampang. Kenapa? Karena ada status quo berarti tidak mengubah apa-apa,” ujar Refy.
Menurutnya, mengabulkan permohonan sengketa pilpres tak lagi menjadi urusan mudah sejak MK tahun 2004.
“Mengabulkan permohonan itu hal yang tidak mudah apalagi dalam konteks pilpres yang kita tahu sejak 2004 satu permohonan, 2009 2 permohonan, 2014 1 permohonan itu ditolak dan tanpa dissenting opinion,” paparnya.
“Kalau kita bicara tentang data statistik seperti ini memang sedikit kabar buruk bagi 02, itu satu.”
Ia menyebutkan, MK dalam masa Mantan Ketua MK, Mahfud MD, merupakan MK yang paling substansif.
“Yang kedua, MK era Pak Mahfud, itu MK yang paling progresif, paling substansif, paling mengikuti dinamika masyarakat” kata Refly.
“Walaupun yang namanya MK, tidak boleh terpengaruh pada opini publik karena itu kode etik mereka,” ungkapnya.
“Tapi belakangan ini, hakim MK agak regresif, jadi tidak lagi progresif. Terbukti, putusan-putusan yang terkait dengan Pilkada. Entah apa tiba-tiba 2014 MK mengatakan Pilkada itu tidak masuk rezim pemilu dan kami tidak mau menyidangkannya, padahal sebelumnya sudah ratusan kali menyidangkan mereka.”
“Kemudian 2015, 2016 muncul undang-undang yang mengakomodir itu. Karena yang mereka (kubu 02) minta itu gelombang progresif. Gelombang progresif, bisa tidak bertemu dengan gelombang regresif? Kira-kira begitu.”
Menurutnya, hal ini tergantung dengan gelombang mana yang lebih kuat dan cepat.
“Kalau progresifnya cepat dan regresifnya lambat, bisa dia terbawa arus gelombang itu. Tapi kalau regresifnya cepat, dan progresifnya tidak kuat-kuat amat, tidak kuat-kuat amat dalam artian begini, kan segala sesuatunya kan base on pembuktian, kan dalam sidang kemarin ada dua hal, satu paradigma berfikir, kedua soal teknis,” jelas Refly.
“Soal paradigma itu tadi, MK mau bagaimana, paradigma hitung-hitungan, atau paradigma substansif, dengan dalil masing-masing.”
“Tetapi ada soal teknis juga, sejauh mana pembuktian itu bisa meyakinkan hakim dan layak untuk dikabulkan.”
Lihat video di menit ke 3.18:

Kuasa Hukum 02: Jika Tak Ada Dukungan Publik, Putusan MK Jadi Masalah Baru


GELORA.CO – Anggota Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi, Lutfi Yazid mengatakan, semua bukti kecurangan pemilu telah dibuktikan pihaknya di persidangan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, yang dibutuhkan saat ini adalah kepercayaan publik (publik trust) terkait keputusan MK besok.
“Keputusan apapun yang diambil MK jika tidak ada dukungan publik maka akan jadi persoalan tersendiri ke depannya,” kata Lutfi Yazid saat diskusi bertajuk ‘Apakah Kecurangan Disahkan’ di Media Center Prabowo-Sandi, Jalan Sriwijaya I, Jakarta Selatan, Rabu (26/6).
Lutfi menjelaskan, jika putusan MK tidak memperhatikan dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, maka putusan MK menjadi persoalan. Menurut dia, pemerintah siapapun nantinya jika tidak ada public endorsement, maka dia akan bermasalah di dalam perjalanannya.
“MK harus cermat dan teliti dalam membuat keputusan, dengan melihat fakta secara utuh. Tidak dengan melihat kebenaran yang setengah-setengah dan juga tidak melihat salah yang setengah-setengah,” katanya.
Artinya, jelas Lutfi, apa yang dibilang oleh Blogger Ferry Mursyidan Baldan bahwa KPU amburadul itu benar. Bukti KPU amburadul, kata Luthfi, adalah penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada 21 Mei 2019, padahal harusnya sebelum pemilu 17 April.
“DPT aja ditetapkan oleh KPU 21 Mei 2019, itu kan artinya sudah selesai pelaksanaan pemilu,” kata Luthfi.
Luthfi kembali mengingatkan, proses persidangan PHPU Pilpres 2019 dipantau oleh publik, termasukbsaat proses tahapan Pilpres. Oleh karena itu, MK sebagai lembaga terakhir menegakkan keadilan dan konstitusi rakyat harus cermat melihat semua bukti kecurangan yang sudah disampaikan.
“Semua proses ini dipantau dan dikontrol oleh publik. Semuanya menyaksikan dan kita juga sudah menyampaikan keyakinan kita, kebenaran yang kita yakini di dalam sebuah persidangan dan itu menjdai sebuah fakta persidangan,” ujar Luthfi. [ns]

Abdullah Hehamahua: Ceritanya Lain Andai KPK Tak Pernah Tangkap Hakim MK Soal Pilkada


GELORA.CO – Mantan penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua kembali melakukan aksi lapangan. Dia turut turun ke jalan bersama aksi massa Gerakan Kedaulatan Rakyat (GKR) untuk mengawal putusan sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Meskipun sebelumnya telah ada imbauan dari Capres 02 Prabowo Subianto untuk massa menahan diri dan memfokuskan diri berdoa agar hakim MK memutus dengan adil gugatan Pilpres, namun massa tetap keukeuh turun ke jalan. Menurut Abdullah, dirinya tak ada kaitan dengan kubu 02.
“Saya tidak ada urusan dengan Prabowo Sandi, saya juga tidak kenal Prabowo Sandi. Jadi tidak ada urusan dengan Prabowo Sandi, tidak ada urusan dengan Jokowi – Maruf Amin,” ujarnya di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Rabu (26/6).
Abdullah menuturkan kehadirannya bersama dengan masyarakat semata-mata ingin memberikan dukungan kepada hakim MK agar profesional, jujur dan berani mengambil keputusan sesuai dengan nurani. Hakim MK juga didorong obyektif dan memutuskan seadil-adilnya sesuai fakta.
Ditambahkannya, selama 12 tahun menjadi pejabat negara, bersama KPK dirinya pernah melakukan pemeriksaan pejabat negara dan menangkapi koruptor. “KPK pernah menangkap ketua MK, anggota MK berkaitan dengan Pilkada. Andai itu tak pernah terjadi saya bisa saja membiarkan proses sidang gugatan PHPU ini berjalan. Tapi faktanya kan tak demikian,” tegasnya.
“Umur saya 71 tahun sekarang ini, mungkin 1 atau 2 hari atau 1 sampai 2 pekan lagi saya bisa saja meninggal. Saya tidak ingin negara ini hancur, berantakan karena saya tahu negara ini,” sambungnya.
Karenanya, mantan penasehat KPK ini menasehati hakim MK untuk tidak takut pada intimidasi dan ancaman apapun bentuknya. “Memperjuangkan kebenaran dan menegakkan keadilan itu matinya syahid,” katanya.
Abdullah menegaskan, jika MK tidak memperhatikan fakta-fakta tersebut, maka penyelenggara pemilu termasuk partai politik akan mengalami distrust (ketidakpercayaan) dari masyarakat. Akibatnya, hanya sekitar 50 persen saja yang ikut pemilu 2024.
“Saya ingatkan Pak Prabowo-Sandi, Insya Allah 2024 tidak ada lagi yang dukung (kubu petahana) karena mereka sudah hilang kepercayan dari masyarakat,” ujarnya. [ns]

Duh..Jelang Putusan Gugatan Pilpres, Pengamat Pesimis Hakim MK Independen


GELORA.CO – Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutus perkara sidang sengketa pilpres pada Kamis (27/6) besok. Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun menduga akan terjadi perbedaan di antara sembilan Hakim konstitusi.
“Sebab, masing-masing Hakim MK sedang memerlukan data yang lebih valid dari semua fakta yang diungkap dalam persidangan. Kemungkinan akan terjadi dissenting opinion,” kata Ubedilah, saat dihubungi, Rabu (26/6).
Meski begitu, ia tidak dapat menyimpulkan komposisi Hakim yang memiliki perbedaan pendapat. Pasalnya, Ubedilah menilai Hakim Mahkamah Konstitusi belum independen secara utuh karena ada proses politik ketika mereka menjalani seleksi fit and proper test.
“Jadi, karena proses menjadi Hakim MK sarat dengan politik, saya berani menyimpulkan bahwa Hakim MK tidak independen. Karena tidak independen, maka (putusan) itu dipengaruhi dari seberapa besar kekuatan politik mempengaruhi (Hakim) MK,” ujarnya.
Maka itu, jelas Ubedilah, putusan sidang besok merupakan ujian berat bagi Hakim. Ujian berat itu berpijak dari seberapa besar Hakim berpihak pada rasa keadilan masayarakat dan demokrasi.
“Nah, itu akan tarik menarik antara beban psikologis di masa lalu dengan keinginan keadilan di dalam pengambilan keputusan,” katanya.
Lebih jauh, Ubedilah menuturkan, MK juga memiliki sejarah kelam selain memiliki sejarah emas. Hal itu terlihat dari beberapa mantan Ketua MK yang masuk penjara karena terlibat kasus korupsi.
“Nah sejarah kelam itu juga menjadi beban moral bagi Hakim sekarang, karena memungkinkan ada sebuah analitik hakim sekarang bermain dengan kekuatan politik dan kekuatan finansial. Jadi, keputusan yang nanti dimunculkan Hakim konstitusi tidak memenuhi rasa keadilan,” ujar dia.
Mengenai kemungkinan pasangan 01 didiskualifikasi dari pemilu 2019, Ubedilah mengatakan, hal itu tergantung jika Hakim mampu merangkai kecurangan terstruktur, sistematis dan masif (TSM) pada data dan fakta. Menurut dia, definisi TSM sebenarnya menjerat Hakim untuk sulit menemukan TSM itu sendiri.
“Paling mungkin adalah terstruktur, kalau masif perlu saya empirik. Kalau struktur itu data empirik berkaitan dengan analisis,” ucapnya.
Ia mencontohkan, petahana diuntungkan pada kamuflase acara bersama sekitar 3.000 kepala desa, kemudian gubernur mengumpulkan puluhan bupati. Menurutnya, kedua persitiwa tersebut terstruktur dan sistematis karena petahana punya peluang besar melakukan kecurangan dalam proses politik.
“Saya kira ke depan presiden hanya dikasih jabatan delapan tahun, setelah itu tidak menjabat lagi, karena petahana sepanjang sejarah melakukan kecurangan kok. Hanya saja ada yang vulgar dan tidak vulgar,” ujar Ubedilah. [ns]

Massa PA 212 Minta MK Tunda Putusan Sengketa Pilpres 2019


GELORA.CO – Massa Persaudaraan Alumni (PA) 212 menuntut Mahkamah Konstitusi agar menunda pengumuman putusan sidang sengketa perselisihan hasil pemilihan umum Presiden-Wakil Presiden 2019, yang dijadwalkan pada Kamis, 27 Juni 2019.  Sebab, majelis hakim perlu melakukan serangkaian audit untuk dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya.
“Kami minta MK memundurkan untuk mengumumkan dan memutuskan perkara. Sebab banyak yang perlu diaudit terlebih dahulu sebelum MK mengambil keputusan,” kata Marwan Batubara sebagai orator di lokasi aksi unjuk rasa di depan Gedung Sapta Pesona, Jakarta Pusat, Rabu 26 Juni 2019.
Marwan mengatakan, ada beberapa hal yang harus diaudit. Pertama, yakni masalah penggunaan dana APBN yang diduga digunakan capres petahana Joko Widodo untuk kampanye. Hal itu, kata Marwan, melanggar aturan dalam berkampanye.
“Kedua audit terhadap IT KPU, diketahui bahwa IT KPU tidak ikuti standardisasi IT dunia. Padahal dalam undang-undang itu diwajibkan berstandar IT dunia,” ujarnya.
Hal lain yang perlu diaudit, lanjut Marwan, adalah hasil perhitungan suara pemilihan presiden. Dia menilai dalam proses perhitungan tersebut banyak ditemukan kecurangan. Oleh karena itu MK perlu waktu yang lebih lama untuk mengetahui banyaknya kecurangan yang ada.
“Jadi kami minta, MK lakukan audit terlebih dahulu. Kalau memang diperlukan waktu maka pengumuman keputusan bisa diperpanjang. Setelah itu bisa dengan gampang kecurangan ditemukan oleh hakim MK,” ujarnya. [vv]

Tim Hukum BPN: Jokowi yang Sahkan Anak Perusahaan BUMN Bagian dari BUMN


GELORA.CO – Tim Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Iwan Satriawan menegaskan bahwa Calon Wakil Presiden nomor urut 01, Ma”ruf Amin jelas melanggar Pasal 227 Huruf P jo 229 ayat (1) huruf G UU Pemilu No. 7 Tahun 2017. 
Faktanya, status Ma”ruf yang menjabat Ketua Dewan Pengawas di dua bank BUMN, yaitu Bank Mandiri Syariah (BSM) anak usaha PT Bank Mandiri dan Bank BNI Syariah, anak usaha PT Bank BNI 46 sangat terang benderang. 
Sebab, lanjut Iwan, Presiden Jokowi sendiri sebelumnya telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, yang menegaskan bahwa anak perusahaan BUMN adalah bagian dari BUMN. 
“Presiden Jokowi sudah pernah menerbitkan PP 72/2016 yang intinya menegaskan bahwa anak perusahaan BUMN adalah bagian dari BUMN,” kata Iwan di Jakarta, Rabu (26/6/2019). 
Tak hanya PP 72/2016 yang menegaskan bahwa anak perusahaan BUMN itu adalah bagian dari BUMN, tetapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) no 21 Tahun 2017, putusan MK no 48 tahun 2013, peraturan BUMN no 3 tahun 2013, UU keuangan negara, UU perbendaharaan negara, dan UU Antikorupsi, itu kalau disimpulkan bahwa anak perusahaan BUMN adalah BUMN, dan pejabat di anak perusahaan BUMN adalah mewakili representasi dari BUMN, bukan sekadar konsultan. 
“Bahkan putusan MA Nomor 21 P/HUM/Tahun 2017 hasil dari judicial review juga menyatakan bahwa anak perusahaan BUMN itu disebut juga sebagai BUMN. Dalam putusan MA hal itu sudah sangat clear. Untuk lengkapnya putusan MA itu tercantum di hal 41 dari 43 halaman dari putusan Nomor 21 P/HUM/2017 itu,” papar Iwan. 
Lebih lanjut, Iwan juga menjelaskan bahwa pihaknya lebih mengedepankan aspek konstitusionalitas pelaksanaan pilpres ketimbang hanya sekedar pembuktian form C1 dan C1 Plano serta angka-angka dalam perolehan suara saja. 
“Kita ingin keluar dari paradigma yang dua itu. Kita ingin masuk ke paradigma yang kita uji adalah aspek konstitusionalitas pelaksanaan pilpres, bahwa menurut Prof Jimly yang dimaksud dengan sengketa hasil perolehan suara itu adalah yang pertama angka-angka perolehan suara dan faktor-faktor yang mempengarhui keluarnya angka itu,” jelasnya.
Iwan memaparkan, jika mengutip pendapat Prof Jimly tersebut maka sama pendekatannya dengan apa yang di sampaikan pihaknya, bahwa sebenarnya yang diuji bukan hanya sekedar angka-angka saja tapi juga darimana angka itu muncul dan faktor apa yang mempengaruhi angka itu muncul. 
“Dan itu adalah yang kita maksud dari paradigma yang diuji yaitu apakah pelaksanaan pilpres itu sudah diberlakukan sesuai prinsip luber dan jurdil sesuai pasal 22e ayat 1 Undang-undang dasar 1945,” terang dia.
“Jadi yang kita lakukan adalah mengedukasi masyakrakat. kalau paradigma ini yang dipakai, maka kita akan memenangkan peradilan di mahkamah konstitusi,” imbuhnya. [ts]