Sejuta Pesona Kakadu

Senja di Yellow Water, Kakadu National Park

Perjalanan kami ke Kakadu National Park sangat membekas di hati. Sampai sekarang pun ketika saya menuliskan kembali kisah ini, masih terbayang bentangan pemandangan indah yang kami saksikan di alam yang masih perawan.

Kakadu National Park adalah taman nasional terbesar di Australia. Letaknya di Northen Territory, sekitar 200 km sebelah timur kota Darwin. Kakadu memperoleh status heritage site dari UNESCO karena alam sekaligus budayanya. Orang Aborijin adalah pemilik asli tanah ini. Mereka ‘meminjamkan’ tanah Kakadu untuk dikelola pemerintah daerah sebagai taman nasional.

Apa yang bisa dilihat di Kakadu NP? Tentu keindahan alam dan marga satwanya yang melimpah. Di Kakadu terdapat 290 jenis burung, 60 jenis mamalia, 50 jenis hewan air tawar, 10.000 jenis serangga dan 1600 jenis spesies tanaman. Yang menjadi raja tentu saja buaya, si penduduk asli 🙂

Kami melakukan perjalanan mandiri dengan menyewa mobil biasa (bukan 4WD) ke Kakadu NP. Tadinya kami agak takut dan khawatir karena daerahnya lumayan terisolir, tapi ternyata asyik-asyik aja karena semua jalan mulus dan papan penunjuk jalan jelas. Pastikan mengunjungi Kakadu NP pada musim kemarau (Juni/Juli) karena di musim penghujan banyak banjir di daerah rawa dan lembahnya, sehingga banyak jalan yang terputus dan ditutup. 

Perjalanan ke timur dari Darwin kami mulai setelah kenyang sarapan. Hari itu kebetulan hari ulang tahun perkawinan kami yang ke… (ah, lupakan, ntar ketauan umurnya). Dari Darwin kami mengambil jalan tol menuju kota kecil Jabiru, ibukota Kakadu yang juga merupakan kota tambang Uranium. Tak lupa bensin kami isi penuh sebelum melaju keluar kota. Lepas dari tol, jalan raya mulus dan sepi, tanah merah dan pohon-pohon kering di sepanjang jalan. Kami hanya sesekali mendahului road train (truk gandeng empat!) yang menuju Jabiru. CD One Direction (milik Big A) menjadi teman perjalanan kami :p

Sekitar sejam kemudian, kami singgah di Window on the Wetlands. Visitor centre ini memiliki display menarik tentang hewan-hewan yang hidup di Wetlands. Dari lantai dua, kami juga bisa mengamati pemandangan dan mengintip aktivitas hewan-hewan yang tertangkap oleh teropong. Saya tertawa takjub ketika teropong saya menangkap aksi burung-burung yang sedang mematuk-matuk kulit kerbau. Ingat nggak pelajaran simbiosis mutualisme waktu SD dulu? Ini saya baru lihat beneran contohnya, tidak cuma ada di ilustrasi buku :p Kami cukup lama istirahat di sini, sambil makan pie di kafenya. Juga agar Si Ayah meluruskan kaki dulu sebelum kembali menyetir sekitar 2 jam lagi menuju kota Jabiru.
 

Anindya di Window on the Wetlands

Kami menginap di Kakadu Lodge di pinggir kota Jabiru. Sekitar jam 2.30 siang kami sampai dan langsung cek in. Kami istirahat sebentar dan menata barang bawaan sebelum nantinya berangkat untuk melihat sunset di Ubirr.

Ubirr terkenal dengan lukisan di batu-batu karya orang Aborigin. Mereka melukiskan dongeng asal usul, kisah perjalanan dan hewan-hewan yang hidup bersama mereka: berbagai jenis ikan, kura-kura, possum dan wallaby. Lukisan-lukisan ini berkali-kali dilukis ulang di lapisan yang baru, sejak 40.000 SM. 

Sebelum ke Ubirr, kami singgah dulu ke Bowali Visitor Centre untuk membeli tiket masuk ke Taman Nasional. Biayanya AUD 25/orang yang berlaku sampai 14 hari menjelajahi taman nasional ini. Semua orang di atas 16 tahun wajib mempunyai ‘park pass’ ini, sementara anak-anak di bawah 14 tahun dan penduduk Northen Territory gratis. Pass atau tiket ini nantinya akan dicek secara acak oleh ranger yang patroli. Kalau ada yang kedapatan tidak mempunya tiket, akan dikenai denda. Tapi selama tiga hari kami ada di Kakadu, tidak ada yang mengecek ‘park pass’ kami 🙂 Setelah membayar $25, kami mendapatkan kartu pass dan buku panduan Kakadu yang isinya sangat lengkap dan jelas, termasuk peta yang membantu kami menjelajah Kakadu dengan menyetir sendiri.

Untuk mencapai Ubirr, kami mengendarai mobil di jalan aspal, sekitar 41km ke arah timur laut Jabiru. Jalanan aspal ini kadang banjir dan tidak bisa dilewati di musim hujan. Ketika kami berkendara menuju Ubirr, ada sebagian jalan yang tergenang karena luapan air dari wetlands di seberang jalan. Di titik ini kami malah takjub dan berhenti untuk memotret burung-burung cantik yang dengan cueknya berjalan-jalan di habitat mereka. Untung tidak ada orang lain yang lewat 🙂

Dari tempat parkir di Ubirr, kami masih harus berjalan sekitar 300m menuju galeri-galeri lukisan batu. Sebelum melihat lukisan aborigin, sebaiknya sempatkan ke toilet (gratis dan bersih!) di tempat parkir ini dulu. Kejadian dengan Little A, dia baru bilang akan pipis ketika kami sudah berada di atas dan senja hampir datang. Alhasil saya lari bolak-balik dari galeri ke toilet, takut ketinggalan momen matahari terbenam. Lumayan banget olahraganya. Yang perlu dipersiapkan juga adalah bekal air minum dan krim anti serangga. Begitu maghrib datang, jutaan serangga, nyamuk ganas akan menyerang kita tanpa ampun. 

Tidak rugi kami mendaki ratusan tangga alami ke puncak Ubirr ini. The precils tidak tampak kecapekan sama sekali. Bahkan Little A dengan semangat mendaki sendiri, mengikuti tanda panah oranye yang disematkan di bebatuan.

Hadiahnya adalah pemandangan matahari terbenam yang sangat cantik. Di depan kami, sejauh mata memandang, terlihat hamparan ngarai hijau, yang bakalan penuh dengan air di musim hujan.Di belakang kami bebatuan Ubirr berkilau jingga tertimpa cahaya matahari sore, dan semburat pink menghiasi langit.

Banjir di tengah jalan menuju Ubirr. Bertemu si burung cantik.
Menikmati sunset di Ubirr

Esok harinya setelah sarapan dan berenang di Kakadu Lodge, kami siap menjelajahi Kakadu lagi. Dalam satu hari penuh ini kami akan rencananya akan ke Nourlangie Rock Art Site dan Waradjan Cultural Centre sebelum akhirnya mengikuti tur Yellow Water Cruise sambil menikmati sunset.

Letak Nourlangie sekitar 35 km arah selatan Jabiru. Sayangnya waktu kami ke sana, jalan ke Nourlangie ditutup. Mungkin ada banjir atau genangan, atau mungkin buaya-nya lagi pengen naik ke daratan, whiii :p Akhirnya kami detour mendaki ke Nawurlandja Look Out. Kami harus kembali mendaki bebatuan merah, 600 meter kami tempuh sekitar setengah jam sampai ke puncak. Di atas Nawurlandja, kami bisa melihat lanskap daerah Nourlangie dengan jelas: lembah menghijau dan batu-batu besar yang megah.

Di puncak Nawurlandja

Dari Nawurlandja, kami meneruskan perjalanan ke selatan menuju
Waradjan Cultural Centre, sekitar 35 km lagi. Perjalanan ini mulus karena melalui jalan raya beraspal yang sepi sekali. Kendaraan yang lewat hanya satu dua. Di Waradjan, kami belajar banyak tentang kebudayaan orang-orang aborigin. Dari museum-museum yang pernah kami kunjungi di Australia, ini adalah museum tentang budaya aborigin yang terlengkap dan terbaik. Display, cerita, video, musik dan suara-suara yang ditampilkan membuka mata kami dan memperbarui pemahaman kami tentang suku asli Australia ini. Sayang sekali kami tidak boleh mengabadikan dengan kamera. Cerita tentang orang-orang aborigin dan budaya mereka akan saya tulis dalam bab tersendiri.
Setelah istirahat dan makan es krim di Waradjan, kami bergegas ke tujuan utama kami di Kakadu: mengikuti Yellow Water Sunset Cruise. Kami berkumpul dulu di Gagudju Lodge Cooinda untuk mendaftar. Tiket sudah saya pesan online jauh hari sebelumnya di website mereka: Gagudju Dreaming. Gagudju Lodge dekat sekali dengan Waradjan, hanya sekitar 3 kilometer. Bahkan ada jalan tembusnya untuk pejalan kaki. Tapi terima kasih, kami naik mobil saja 🙂

Yellow Water Cruise ini salah satu kegiatan yang kami nanti-nantikan, disarankan banyak traveller sebagai tur yang ‘wajib’ dicoba di Kakadu National Park. Tur ini akan membawa kami menelusuri Yellow River dengan kapal dan melihat dengan dekat flora dan fauna yang tinggal di habitat ini, termasuk penghuni tetap: buaya! Bisa dibilang seperti menonton tayangan Nat Geo Wild, hanya saja dengan mata kepala sendiri 🙂 Memang harganya tidak murah, tapi pengalaman yang kami dapatkan sebanding dengan harganya. Kami membayar AUD 88 untuk dewasa dan AUD 60 untuk anak-anak untuk tur selama dua jam. Anak di bawah 4 tahun gratis, yay! Ada beberapa pilihan jam tur: dari sunrise, pagi, siang, sore atau sunset. Kata review di tripadvisor, tur sunrise yang terbaik, karena marga satwa mulai terlihat menggeliat bangun mencari makan. Tapi kami memilih ikut tur sunset karena susah bangun pagi :p

Perahu Yellow Water cruise.
Lionel, guide kami di Yellow Water cruise, gak bisa berhenti ngomong 🙂
Tur sunset ini dimulai pukul 4.30 sore. Dari Gagudju Lodge Cooinda kami diantar dengan bus menuju dermaga pemberangkatan perahu. Ada empat perahu yang bersama-sama dengan kami menelusuri Yellow Water. Perahu kami tidak penuh dengan penumpang sehingga ada ruang untuk berpindah-pindah tempat duduk. Kami juga bebas berjalan-jalan kalau ingin memotret atau sekadar mengagumi wildlife. Kami merasa beruntung mendapatkan pemandu yang punya pengetahuan luas tentang kehidupan di Yellow River ini. Lionel, yang banyak omong ini bahkan tahu jadwal nongkrongnya hewan-hewan di sini. Beberapa kali perahu kami diputar agar dapat melihat beberapa hewan yang bersembunyi, seperti beberapa snake bird dan bayi-bayi Jacana.

Perahu berjalan pelan menyusuri Yellow River. Belum sampai lima menit, kami sudah ketemu dengan penghuni tetap sungai ini: yak benar, buaya! Yang pertama kami lihat sedang berjemur di antara ratusan bebek yang bernyanyi dengan cerewet (whistling ducks). Kok bisa bebek-bebek ini cuek aja ada buaya yang nongkrong di situ? Ternyata, kata Lionel, buaya nggak doyan bebek karena bulu-bulunya bikin geli tenggorokan 😀 Selanjutnya, tidak susah menemukan buaya lainnya. Ada yang berkubang di lumpur, ada yang pura-pura jadi batu, dan ada yang dengan kalem berenang di sisi perahu kami! Ketika buaya veteran berenang dengan santai di dekat perahu, orang-orang langsung heboh. Lionel dengan kalem bilang, “Tenang aja, dia cuma lagi patroli wilayahnya kok.” Sementara Si Ayah sibuk memotret dan saya sibuk mem-video, Little A dengan kalem bilang, Mommy, remember, don’t pat the crocodile! Oke, baiklah Nak, akan kuingat nasihatmu :)) Hari itu, terhitung tujuh buaya yang terlihat oleh kami.

Si buaya tidak doyan bebek, konon karena ogah tersedak bulu 🙂

Cilukba!

Buaya besar yang berenang dua meter dari perahu kami … glek!

Selain buaya, Yellow River ini dihuni oleh ratusan spesies burung cantik yang tidak kalah menarik. Salah satu yang menarik perhatian kami adalah burung Jacana, atau yang dijuluki Jesus Bird karena keahliannya berjalan di atas air. Burung ini posturnya kecil, dengan jambul merah di atas kepalanya. Lionel sempat memperlihatkan pada kami keluarga Jacana, penduduk asli Yellow River yang baru saja punya bayi. Ya ampun, si bayi Jacana ini imut dan cantik banget. Dia sedang main-main dan kadang bersembunyi di balik kaki Si Ayah. Kata Lionel, di keluarga Jacana, Si Ayah bertugas mengasuh anak, sementara Si Ibu yang mencari makan. Wow! Ayah The Precils sampai menyesal tidak membawa (karena tidak punya) lensa tele untuk mengabadikan wildlife yang mengagumkan ini. 

Burung cantik lainnya adalah Jabiru, yang namanya diabadikan menjadi ibukota Kakadu. Burung yang satu ini bongsor, lebih besar daripada burung bangau. Bulunya hitam legam dan langkah kakinya panjang-panjang. Kami beruntung bisa menyaksikan burung langka ini sedang mengais makanan di tepi sungai.
Dari 290 spesies burung yang menghuni taman nasional ini, kami sempat berkenalan dengan snake bird yang lehernya persis ular, egret si putih cantik, magpie goose, whistling kite, torresian crow, dan sempat melihat aksi elang laut yang sedang mencari makan. Big A sejak dulu tertarik pada wildlife dan juga terhadap jenis-jenis burung, sementara Little A lebih tertarik pada jenis-jenis tumbuhan. Dia dengan serius mengamati waterlily yang tumbuh di sepanjang sungai, dan kalau ada yang sedang mekar, minta difotokan.

Jabiru, si jangkung yang menjadi maskot kota.

Burung Jacana alias Jesus Bird, yang bisa berjalan di atas air.
Waterlily. Foto pesanan Little A.

Cruise berakhir ketika matahari mulai terbenam. Dari perahu yang tertambat dan bergoyang perlahan, kami menyaksikan air sungai yang berkilauan ditimpa cahaya jingga matahari yang menerobos pohon-pohon di tepi sungai. Sungguh senja yang magis dan indah. Perjalanan singkat di Kakadu menghadiahi kami dua senja terindah: di Ubirr dan di Yellow River.

Burung-burung nongkrong di dahan.
Senja merah di Yellow Water

Esoknya, dengan berat hati kami meninggalkan Kakadu, kembali ke peradaban :p Dalam perjalanan pulang dari Jabiru ke Darwin, kami singgah sebentar di Mamukala Wetlands. Di sana kami kembali menyaksikan marga satwa yang kami kenal dari ‘pelajaran’ Lionel hari sebelumnya. Big A dengan cepat menunjuk beberapa Jacana yang sedang mencari makan. Hewan-hewan yang tinggal di Mamukala ini berubah-ubah sesuai dengan musimnya. Ada display yang sangat menarik dan mudah dipahami di gardu pandang Mamukala.

Kami kembali ke Darwin membawa sejuta kenangan akan Kakadu, terutama kehidupan marga satwanya yang damai karena tidak diusik oleh tangah jahil manusia 🙂

Beware of Crocs! And I’m not talking about sandals :
Mamukala Wetlands, pengunjungnya cuma kami berempat :p

~ The Emak

Road Trip Darwin – Kakadu

Jalanan sepi. Dunia serasa milik kami berdua… eh, berempat :p

Sejak Darwin masuk dalam pilihan “Destination Lonely Planet 2012”, pemkot Darwin langsung gencar pasang iklan ‘Visit Darwin’ di mana-mana. Tahun ini adalah tahun yang paling tepat untuk mengunjungi Darwin dan Northen Territory. Memang pemerintah Aussie paling pinter memanfaatkan momentum seperti ini. Saya termasuk salah satu yang termakan iklan. Memikirkan cara kapan dan bagaimana bisa mengunjungi Darwin tahun ini.

Saat ini kami sudah mengunjungi 5 dari 8 negara bagian di Australia: NSW, ACT, Victoria, Queensland dan Tasmania. Pengennya sih memang mengunjungi SEMUA negara bagian. Mumpung masih tinggal di sini.

Kami yang suka dengan wisata alam, punya dua pilihan tempat wisata alam yang menarik di Northen Territory: Uluru (dulu dikenal sebagai Ayers Rock) atau Taman Nasional Kakadu. Uluru, batu raksasa di tengah benua Australia ini memang menakjubkan. Selain menikmati fenomena alam, kita bisa mempelajari budaya suku asli aborijin di sini. 

Sayangnya dompet kami tidak terlalu tebal untuk mengunjungi Uluru. Tiket pesawat dari Sydney ke Alice Springs (kota terdekat untuk mengunjungi Uluru) lebih mahal daripada tiket Sydney-Bali, apalagi di musim liburan. Sementara, jalan darat atau road trip dari Darwin ke Uluru terlalu jauh bagi kami: sekitar 2000km, bisa ditempuh dalam 25 jam. Selain transportasi, penginapan di sana juga tidak murah. Akhirnya kami mengurungkan niat jalan-jalan ke Uluru, mungkin lain kali?

Untuk teman-teman yang ingin ke Uluru (liburan backpacker mungkin bisa lebih hemat), ada website yang bagus dari pemerintah Aussie, klik di sini. Untuk pilihan akomodasi bisa dilihat di sini.

Kecewa tidak mungkin bisa ke Uluru tahun ini, saya semakin rajin mencari tahu tentang Taman Nasional Kakadu yang letaknya 3 jam dengan mobil dari Darwin. Website dan buku panduan merekomendasikan Kakadu NP dikunjungi pada musim kemarau, yang jatuh sekitar bulan Mei – September. Di musim hujan Kakadu yang sebagian besarnya adalah tanah rawa, tidak bisa dilewati dengan mobil biasa, bahkan 4WD karena banjir.

 

Beruntung, kami punya kesempatan mengunjungi Darwin dan Kakadu di bulan Juni, bersamaan dengan kepulangan kami ke Indonesia. Jadi dari Sydney, kami mampir dulu ke Darwin dan jalan-jalan ke Kakadu selama enam hari, kemudian lanjut pulang ke Indonesia via Denpasar. 

Setelah mendapatkan tanggal dan memesan tiket pesawat, saya mulai menyusun itinerary. Ketika itu saya bingung apakah mau menyewa mobil dan melakukan road trip atau ikut tur saja. Dari website ini, banyak tujuan wisata yang hanya bisa dicapai dengan mobil 4WD, sementara Si Ayah belum pernah menyetir 4WD. Bisa dibayangkan kengerian kami kalau ada apa-apa dengan mobil 4WD di tengah antah berantah. Sempat terpikir oleh saya untuk mengikuti tur saja dari Darwin ke Kakadu. Namun saya tidak menemukan tur yang cocok untuk keluarga dengan anak balita. Biasanya tur yang dijual untuk backpacker atau keluarga dengan anak yang lebih besar. 

Untungnya saya menemukan website operator tur yang dimiliki oleh orang aborijin ini: Gagudju Dreaming. Website ini sangat membantu saya untuk membuat itinerary yang cocok untuk the precils. Dari operator ini saya juga memesan salah satu tur yang ‘wajib’ dilakukan kalau mengunjungi Kakadu:
Yellow Water Cruise, saat sunset atau sunrise. Sesuai contekan itinerary dari mereka, kami akan menyewa mobil biasa (bukan 4WD) dan hanya mengunjungi tempat-tempat yang bisa dan aman dilalui mobil biasa saja.


Inilah itinerary road trip Darwin – Kakadu – Darwin kami:

A= Darwin, B=Jabiru, C=Ubirr, D=Yellow Water Cooinda

Hari 1
Darwin – Jabiru: 255 km, 3 jam 30 menit
Jabiru – Ubirr pp: 2x 41km, 2x 1 jam

Hari 2
Jabiru – Yellow Water: 2x 50km, 2x 1 jam
via An Bang Bang Billabong dan Waradjan Cultural Centre pp

Hari 3
Jabiru – Darwin: 255 km, 3 jam 30 menit

Kami menginap dua malam di Kakadu Lodge di kota kecil Jabiru.

Dalam perjalanan menuju Kakadu NP, kami singgah sebentar di Window on The Wetlands yang mempunyai display menarik tentang keanekaragaman hayati di sana. Di hari kedua, sebelum mengikuti tur Sunset Yellow Water Cruise, kami singgah di Nawurlandja Lookout dan Waradjan Cultural Centre. Pulang dari Kakadu menuju Darwin, kami sempatkan singgah di Mamukala Wetlands. Sebenarnya masih banyak tempat yang bisa dikunjungi di Kakadu NP, beberapa di antaranya hanya bisa dilewati mobil 4WD, yaitu air terjun Jim Jim dan Twins.


Pemandangan dari Window on The Wetlands

Seperti biasa, kami memesan mobil secara online sebelum memulai perjalanan. Kali ini, setelah membandingkan harga, kami memilih memesan melalui Thrifty. Tarif dasar sewa mobil di Darwin lebih murah daripada di Sydney, tapi ternyata kita harus menambah harga sewa sesuai kilometer yang digunakan. Alhasil total sewa sama saja. Untuk enam hari sewa, kami membayar AU$ 338,23. Mobil kami ambil di bandara Darwin dan dikembalikan di tempat yang sama. Sewa mobil di Australia tidak termasuk sopir lho, harus menyetir sendiri. Tips menyewa dan menyetir mobil di Australia pernah saya tulis di sini.

Dari Darwin menuju Kakadu NP kami melewati jalan tol gratis yang lumayan sepi. Semakin ke pedalaman, jalanan semakin sepi. Kadang tidak ada mobil lain kecuali mobil (sewaan) kami. Meskipun sepi, tetap harus hati-hati menyetir mobil di sini karena kadang ada truk gandengan atau istilah di sini: road train. Tidak tanggung-tanggung, truk di sini gandengannya empat atau lima! Jadi harus hati-hati benar kalau ingin mendahului road train, harus dipastikan jalanan lurus dan tidak ada kendaraan lain dari arah berlawanan sepanjang 100m. 

Jalan dari Jabiru menuju Ubirr lebih kecil lagi, tapi sudah dilapisi aspal mulus. Hanya kadang ada jalan menurun yang kebanjiran dari wetlands (rawa). Di sini kita harus hati-hati karena banyak marga satwa liar seperti burung bangau yang menyeberang jalan. Pemandangan selama road trip dari Darwin ke Kakadu NP cukup membosankan, kanan kiri hanya ada pohon-pohon dan tanah merah. Pemandangan yang sama kami lihat selama tiga jam. Beda sekali dengan road trip kami sebelumnya di NSW, Tasmania atau tentu saja New Zealand. Tapi setelah masuk ke taman nasionalnya, kami lumayan dihibur dengan pemandangan gunung dari batu-batu alam yang menjulang, warnanya merah. 

Yang perlu diperhatikan, saat musim kemarau temperatur di Kakadu NP lumayan panas, mencapai 32 derajat celcius. Kami harus banyak minum air putih, memakai tabir surya dan mengenakan topi. Menjelang senja, kami juga harus mengoleskan krim anti serangga.


Meskipun hanya 3 hari 2 malam, road trip ke Kakadu NP ini cukup mengesankan. Tunggu cerita selengkapnya di postingan selanjutnya ya 🙂

Ransel dan koper kami
Mobil kami yang paling mungil 🙂
Berteduh di tempat parkir

~ The Emak

[Penginapan] Barramundi Lodge Darwin

The Emak dan Little A di depan Barramundi lodge
Kami memilih penginapan murah Barramundi Lodge ini karena cuma akan numpang semalam di Darwin, sebelum menjelajah Taman Nasional Kakadu keesokan harinya.
Penerbangan dari Sydney ke Darwin perlu waktu hampir lima jam. Berangkat dari Sydney siang, kami baru sampai di Darwin ketika langit sudah memerah, matahari hampir pamit. Begitu mendarat, saya langsung menelpon resepsionis penginapan ini karena kantor mereka tutup jam 5.30 sore. Kalau ingin cek in lewat dari jam itu harus janjian dulu. Kami menunggu sebentar bersama beberapa orang backpacker yang juga sedang mencari akomodasi. Tak lama ibu paruh baya yang kemungkinan pemilik penginapan ini menyambut kami. Kamar kami di lantai dua sudah siap. Cek in berlangsung mulus tanpa repot, cukup memperlihatkan salinan booking online. Setelah itu kami bergegas ke kamar kami untuk beristirahat.

Rekomendasi penginapan ini saya dapat dari Lonely Planet Australia edisi lama (tahun 2005). Sepertinya penginapan ini memang penginapan yang sudah beredar lama di kalangan backpacker. Ada beberapa pilihan akomodasi mulai dari bunk bed (ranjang susun) untuk backpacker sampai kamar untuk keluarga yang muat sampai 5 orang seperti yang kami tempati. Semuanya dengan fasilitas kamar mandi terpisah/umum. Saya memesan kamar ini dari website booking.com karena website Barramundi Lodge sendiri tidak begitu meyakinkan 🙂 Harganya sama, untuk family room yang muat untuk 5 orang harganya $165 per malam. Lumayan mahal ya untuk ukuran budget accommodation? Maklum aja, bulan Juni yang merupakan musim kemarau adalah musim liburan, termasuk high season untuk Darwin. Kalau ingin harga kamar yang jauh lebih murah bisa berkunjung ke sini ketika musim penghujan dan bukan musim liburan sekolah. Kami pesan kamar untuk 5 orang karena tadinya Mama kami mau ikut liburan ke Darwin ini, tapi akhirnya batal. Kalau mau mencari penginapan untuk 4 orang saja, atau kurang dari itu, bisa pesan kamar yang lebih murah.

Lokasi penginapan ini, 4 Gardens Rd, The Gardens tidak tepat di tengah kota, tapi dekat dengan Botanical Garden dan bisa jalan kaki ke Mindil Beach Market dan Casino. Tadinya saya berencana jalan-jalan ke Mindil Beach Market ini karena kebetulan kami datang Kamis malam (pasar Mindil hanya buka Kamis dan Minggu malam), tapi apa daya kami sudah terlalu capek dan lapar, dan memutuskan untuk jalan (naik mobil) ke kota mencari makan dan belanja kebutuhan bahan makanan untuk road trip ke Kakadu keesokan harinya. Malamnya kami bisa tidur dengan nyenyak karena lokasi penginapan ini lumayan tenang, jauh dari keramaian kota.


Fasilitas yang ada di lodge ini cukup sederhana, sesuai harganya 🙂 Di kamar kami ada satu double bed dan satu double bunk bed (ranjang susun dobel). Ada juga fasilitas kitchenette (dapur sederhana) berupa kulkas kecil, microwave, ketel listrik, toaster, kompor listrik, peralatan makan minum dan peralatan memasak. Semua masih dalam kondisi baik kecuali kompornya yang sudah karatan. Kami hanya memakai peralatan dapur ini untuk memanaskan makanan. Kamar mandi yang cukup bersih letaknya terpisah dari kamar, harus jalan kira-kira 10 meter 🙂 Jarak yang ‘cukup jauh’ ini membuat kami jadi malas mandi (ahlesyan!). Bagi kami, cuci muka dan sikat gigi di kitchen sink sudah cukup (jangan ditiru!). Di lodge ini juga ada fasilitas kolam renang kecil yang bebas untuk digunakan. Sayangnya kami tidak sempat mencoba karena pagi-pagi harus cek out dan segera menuju Taman Nasional Kakadu untuk petualangan selanjutnya.

~ The Emak

Berburu Sunset di Darwin

Sunset spektakuler di Mindil beach, Darwin. Foto oleh Anindito Aditomo.
Kedatangan kami di kota Darwin disambut langit senja ungu dan merah jambu. Pemandangan sunset cantik ini menemani kami yang berputar-putar dengan mobil sewaan di bandara Darwin, berusaha mencari jalan keluar menuju kota.
Darwin, ibukota dari Northen Territory atau Australia bagian utara seringkali tidak diperhitungkan sebagai tujuan wisata oleh turis Indonesia yang lebih memilih mengunjungi kota-kota di pantai timur Australia. Padahal lokasi Darwin ini paling dekat dari Indonesia, bisa ditempuh dalam 2 jam 45 menit penerbangan dari Denpasar. Waktu tempuh Denpasar – Darwin lebih pendek daripada Sydney – Darwin yang memerlukan 4 jam 45 menit. Yang tertarik dengan wisata budaya, khususnya tentang suku aborijin, atau suka dengan wisata alam, Darwin merupakan tujuan wisata yang patut diperhitungkan. Kota ini juga menjadi gerbang ke dua Taman Nasional: Litchfield dan Kakadu.
Saya dan The Precils yang pulang ke Indonesia Juni lalu, sengaja mampir ke Darwin, sekalian untuk merasakan jalan-jalan di Northen Territory Australia. Kami terbang dari Sydney ke Darwin dengan Jetstar dan dari Darwin ke Denpasar dengan Jetstar. Tidak ada alasan khusus mengapa kami memilih Jetstar, selain harganya yang sangat murah waktu itu 🙂 Tiket promo Darwin – Denpasar waktu itu ‘hanya’ AUD 99 untuk dewasa dan separuhnya untuk anak-anak.
Itinerary
Kami punya 6 hari 5 malam untuk menjelajah Darwin dan sekitarnya. Tiba Kamis sore, kami menginap semalam di penginapan budget, Barramundi Lodge. Jumat paginya kami melanjutkan perjalanan ke Kakadu National Park (kurang lebih 3 jam dengan mobil dari Darwin), dan menginap dua malam di Kakadu Lodge. Kakadu punya banyak tempat yang bisa dikunjungi, tapi karena waktu kami terbatas, kami hanya sempat singgah di Window on The Wetlands, mengunjungi Aboriginal Art Site dan menikmati sunset di Ubirr, mendaki gunung batu mencapai Nawurlandja Lookout, mengikuti Yellow Water Cruise untuk melihat marga satwa di taman nasional (termasuk buaya!) dan mampir sebentar di Mamukala Wetlands. Minggu siang kami sudah kembali ke Darwin dan menginap dua malam di Holiday Inn The Esplanade. Di Darwin kami jalan-jalan di Mindil Beach Market dan menikmati sunset spektakular di sana. Saking indahnya, kami sampai dua kali datang ke Mindil khusus untuk melihat sunset. Alasan lainnya sih karena Si Ayah belum puas motret sunset-nya :p Senin pagi kami jalan-jalan di the esplanade di depan hotel dan memberi makan ikan-ikan liar di Aquascene. Hari Selasa, sebelum terbang menuju Denpasar, kami sempat mengunjungi Museum dan Galeri Seni Northen Territory.

Tiba di sebuah kota yang baru pertama kali dikunjungi malam-malam ada kerugiannya, salah satunya susah untuk navigasi dan ‘menghafalkan’ nama-nama jalan di kota. Di Darwin, ini diperparah oleh tidak jelasnya papan nama jalan, yang hanya kecil dan berwarna putih. Kami yang sudah terbiasa melihat papan nama jalan yang jelas di kota lain, berwarna dasar hijau dan menyala dalam gelap, agak frustasi menyetir di Darwin, meski sudah berbekal peta. Padahal kota Darwin hanya beberapa blok saja, tidak sebesar Sydney atau Melbourne. Layout kota Darwin ini lebih mirip dengan Hobart.
Makan malam pertama kami di Darwin tidak terlalu mengesankan, hanya fast food di perempatan jalan. Suasana malam di kota Darwin cukup ramai, terutama anak-anak muda yang berpesta di pub. Di jalan-jalan utama banyak akomodasi dan kios tur untuk backpacker. Becak-becak modern berseliweran mencari penumpang. Saya sendiri merasa kurang nyaman jalan-jalan malam hari di  Darwin, kurang ramah untuk anak-anak. Beberapa kali kami berpapasan dengan orang mabuk dan orang yang cari gara-gara di restoran.
Pagi hari lebih bersahabat. Kami langsung cek out dari Barramundi Lodge dan jalan-jalan di Smith Street Mall menemani Si Ayah belanja di Camera House. Belanja memang bukan hobi Si Ayah, tapi gara-gara ada satu barang maha penting untuk fotografer yang ketinggalan di rumah, terpaksa pagi-pagi mengetuk pintu toko kamera ini. Sambil menunggu Si Ayah, kami juga belanja beberapa kartu pos untuk dikirim ke teman-teman. Ketika terang benderang, lumayan gampang untuk menghafalkan jalan-jalan di kota ini. Cuma ada beberapa jalan utama. Satu blok dari Mal ini ada restoran Indonesia: Ayuriz Cafe, yang letaknya di dalam Darwin Central Hotel, 21 Knuckey St. Kami sempat makan siang di kafe ini. Masakannya lumayan lezat, halal, tempatnya nyaman dan pelayanannya bagus. Kami mencoba ayam penyet, nasi rames dan bakmi goreng di kafe ini. Restoran Indonesia lainnya di Darwin adalah Sari Rasa di 29 Cavenagh Street. Restoran ini agak tersembunyi di dalam. Model makannya seperti warung, kita memilih nasi, sayur dan lauk. Si Ayah senang makan di sini karena masakannya yang pedas. Warung Sari Rasa ini juga halal.

Menunggu pesanan di Ayuriz Cafe

Pantai Mindil terkenal akan pemandangan matahari terbenamnya yang cantik. Setiap Kamis dan Minggu sore/malam di musim kemarau digelar pasar kaget di tepi pantai. Macam-macam yang bisa dijumpai di Mindil Beach Market ini, mulai dari jajanan dari berbagai negara, barang kerajinan, lukisan aborijin, fesyen, aksesoris, lampu hias, sampai tukang tato juga ada di sini. Kami berkesempatan mampir ke pasar ini Minggu sore. Pasar buka jam 4 sore sampai 9 malam di hari Minggu dan 5 sore sampai 10 malam di hari Kamis. Ketika kami datang, tempat parkir mobil yang luasnya selapangan bola sudah hampir penuh. Begitu mendapat tempat parkir (gratis), kami bergabung dengan orang-orang di riuhnya pasar. Si Ayah dan Big A tidak suka keramaian, jadi agak bete saya ajak ke sini. Sementara saya dan Little A masih bisa menikmati melihat-lihat barang lucu-lucu yang dijual di sini. Musik didgeridoo dari pengamen aborijin mengiringi orang yang lalu lalang. Untuk ‘menyogok’ Big A, saya belikan kentang spiral (potato spuds) yang gurih (dan asin) banget. Kalau Si Ayah, cukup dibelikan sate kambing di warung Sari Rasa yang juga buka stand di pasar Mindil ini. Capek melihat-lihat pasar, kami mencari posisi di pantai untuk melihat sunset bersama ratusan orang lainnya. Salah saya yang lupa membawa sarung pantai andalan kami. Terpaksa kami duduk di pasir, hanya beralaskan sepatu, sambil makan sate 🙂

Warung sate Indonesia lumayan laris di Mindil beach market
Hot dog buaya, ada yang mau coba?

Sunset di Darwin sangat istimewa, belum pernah saya melihat sunset di pinggir pantai secantik ini. Entah karena posisi lintangnya atau apa, matahari sebelum terbenam tampak sangat besar, bulat utuh berwarna kuning. Langit memerah dan perlahan-lahan matahari undur diri dari langit dan hilang di cakrawala. Peristiwa terbenamnya matahari ini hanya beberapa menit saja. Untuk fotografer yang mau mengabadikan momen ini, jangan sampai salah ambil posisi atau salah setting-an, bisa-bisa pulang dengan tangan hampa :p Atraksi alam ini mendapat sambutan luar biasa dari wisatawan yang khusus datang ke Mindil untuk menikmati sunset. Tepuk tangan dan suitan membahana begitu matahari ‘berhasil’ tenggelam di cakrawala. Ada yang nyeletuk, “well done” dan “good job“.

Di Darwin, melihat satu sunset ternyata tidak cukup. Keesokan harinya kami datang lagi ke Mindil beach. Kali ini suasana lebih sepi karena tidak ada pasar kaget. Hanya ada beberapa orang lokal dan penjaga pantai yang berkemas pulang. Waktu di Darwin lebih lambat setengah jam daripada Sydney, dan selisih satu setengah jam lebih awal daripada WITA (Bali). Tapi sepertinya sunsetnya tetap sekitar jam setengah enam sore waktu setempat. Kali ini saya tidak lupa membawa sarung Bali sebagai alas piknik. Kami berbekal fast food take away murah meriah untuk piknik di pinggir pantai. Biar ajalah menu makannya biasa banget, yang penting pemandangannya luar biasa. Karena sepi, the precils bisa lebih bebas bermain pasir. Kami tidak sampai nyemplung dan berbasah-basah di laut karena kabarnya pantai di Darwin ada box jellyfish yang membuat kulit gatal kalau terkena. Tak lupa kami membuat foto keluarga dibantu oleh tripod-baru! 😉

Tempat wisata yang menjadi highlight jalan-jalan kami di Darwin adalah Aquascene. Sederhananya, Aquascene adalah tempat kita bisa memberi makan ikan-ikan ‘liar’ dari laut. Ada berbagai macam jenis ikan yang datang ke Aquascene ini, paling banyak adalah Mullet, Cod, Milkfish (bandeng) dan Catfish (lele). Saya juga melihat beberapa ikan pari kecil berenang di tepian. Jam buka Aquascene tidak tetap, tergantung air pasang laut. Biasanya dalam sehari hanya buka sekali saja, pagi atau sore dan hanya 2 – 3 jam saja untuk menghindari overfeeding, agar ikan-ikan tidak kekenyangan. Untuk lebih jelasnya, sila buka website Aquascene di sini. Tiket masuk untuk dewasa $15 dan untuk anak-anak (usia 3-15thn) $10. Tiket keluarga (2 dewasa, 2 anak) cukup bayar $43. Tiket masuk ini sudah termasuk makanan untuk ikan-ikan, yaitu… roti 🙂 Maklumlah ikan bule, makannya roti bukan nasi.

Little A, Big A dan Si Ayah asyik memberi makan ikan di Aquascene
The Precils sangat menikmati aktivitas di Aquascene yang terletak di Doctors Gully Road, tidak jauh dari hotel tempat kami menginap. Kami berjalan kaki di sepanjang esplanade menikmati suasana pelabuhan Darwin, dan kemudian turun ke Aquascene. Cukup 15 menit jalan kaki dari Holiday Inn Esplanade. Tadinya saya kira Little A bakalan takut dengan ikan-ikan ini, ternyata tidak sama sekali. Little A langsung berani memberikan remah-remah roti langsung ke ikan. Dia juga mau berbasah-basah turun di ramp yang menjorok ke laut. Lama-lama, Little A malah ingin mengelus ikan-ikan yang tampak sehat dan besar-besar ini. Kalau saya sih geli sama badan ikan yang licin. Tugas saya memotret the precils dan Si Ayah yang asyik memberi makan ikan. Gantian lah, biasanya Si Ayah yang pegang kamera terus, kali ini giliran dia pegang anak-anak 🙂
Pada hari terakhir di Darwin kami sempatkan singgah di museum dan galeri seni NT. Tiket masuknya gratis (hurray!). Meskipun begitu, pelayanan dan display di museum ini sangat bagus. Di galeri pertama kami bisa menyaksikan hasil karya seni suku aborijin dan juga menonton film tentang kehidupan mereka yang tidak terpisahkan dari kegiatan berkesenian (menari, melukis di batu-batu, melukis wajah, membunyikan musik untuk upacara adat, dll). Selain tentang seni suku aborijin, ada juga display evolusi binatang dan display peringatan Cyclone Tracy yang memporak porandakan Darwin tahun 1974. Pada malam natal tahun 1974, angin siklon Tracy ini datang tidak diundang, menewaskan 71 orang dan merusak 80% bangunan yang ada di Darwin. Kota Darwin yang ada sekarang ini adalah kota modern yang dibangun dari reruntuhan angin siklon tersebut.
Khusus untuk anak-anak dan yang berjiwa anak-anak, ada Discovery Centre yang terletak di dekat kafe museum. Meskipun kecil, ruangan ini nyaman untuk sekedar duduk-duduk sambil mengawasi anak-anak mencoba alat-alat peraga yang ada. Little A tidak bosan-bosan bermain pazel dan membangun menara dari building blocks.
Penghuni superstar dari museum di Darwin ini adalah Sweetheart, buaya air laut sepanjang 5,1 meter yang sempat menghebohkan NT karena menyerang perahu-perahu, antara tahun 1974-1979. Akhirnya buaya raksasa ini ditangkap hidup-hidup, tapi tenggelam ketika transit. Sweetheart ‘asli’ sampai sekarang menjadi penghuni tetap di museum NT. Big A menolak ketika saya ajak melihat Sweetheart, sementara Little A bersemangat. Akhirnya saya gantian dengan Si Ayah untuk melihat Sweetheart. Di dekat display si buaya ditayangkan film dokumenter tentang penangkapan buaya ini. Memang lumayan membuat bergidik melihat buaya sepanjang 5,1 meter (meskipun sudah mati).  Sayangnya di museum ini dilarang mengambil foto, jadi kami tidak bisa berfoto dengan Sweetheart.

The Emak dan The Precils menuju Museum dan Galeri Seni Northen Territory
Di samping museum ini ada Cornucopia Cafe yang menurut review makanannya enak dengan view laut yang indah. Saya sudah memasukkan makan siang di kafe ini ke dalam itinerary, tapi apa daya Si Ayah lebih memilih makan nasi di warung Indonesia, Sari Rasa. Masuk akal sih, karena harga makanan di kafe ini tiga kali lipat harga seporsi nasi lodeh di Sari Rasa :p Kami memang sepakat untuk memangkas biaya makanan ketika liburan, tidak makan di tempat yang fancy. Lebih baik uangnya digunakan untuk liburan selanjutnya, ya nggak?
~ The Emak

Vivid Sydney 2012: Festival Cahaya Yang Menghangatkan Musim Dingin

Salah satu Papan informasi Vivid Sydney 2012

Vivid Sydney adalah festival tahunan yang diadakan tiap musim dingin. Tahun ini berlangsung dari tanggal 25 Mei – 11 Juni 2012.

Festival ini diadakan oleh pemerintah setempat sebagai salah satu program “Destination NSW”, kalau di Indonesia mirip seperti BBJ (Bulan Berkunjung Jember), namun skala dari Vivid Sydney adalah Internasional. Direktur utama Vivid Sydney, Anthony Bastic, menyatakan bahwa Vivid Sydney melibatkan pelaku-pelaku seni dari Perancis, Polandia, Hong Kong, Skotlandia, Amerika, Brazil, Singapura, New Zealand serta Australia. “Vivid Sydney didukung oleh pemerintah New South Wales (NSW) dan sponsor utama untuk menghadirkan kolaborasi kreatif dari 75 seniman tahun ini,” ujar Antony Bastic dalam pers release

Gedung Costum House disulap menjadi sebuah tontonan visual yang menarik.
Gedung MCA menjadi salah satu arena Vivid Sydney yang paling banyak mengundang perhatian pengunjung.
Seorang pengunjung mengabadikan Vivid Sydney dengan iPadnya.

Sementara Wakil Pertama Deputi NSW menyatakan bahwa Vivid Sydney merupakan panggung industri kreatif untuk menghibur masyarakat dan mendatangkan turis. “Tiga pilar dalam Vivid Sydney, Cahaya, Music dan Ide digabungkan untuk merayakan kehadiran sebuah industri kreatif yang profesional untuk Australia dan seluruh dunia,” ujarnya.

Gabungan antara teknologi dan seni menciptakan suasana yang benar-benar vivid di Circular Quay dan daerah The Rock. Festival ini dihadirkan untuk semua umur. “Wow its very interesting, look the Opera House is melting, its cool,” komentar Tiffany, salah satu pengunjung dari Taiwan. Lain lagi komentar dari nenek yang berada di sebelah saya waktu itu, “I’m going to see this Vivid from Cruise and it will be nice,” ucapnya sembari mengeluarkan kameranya. 
Sydney Opera House yang seakan-akan meleleh menjadi daya tarik tersendiri.
Sydney Opera House  berubah menjadi layar raksasa yang mempertontonkan aksi teatrikal seorang perempuan.
Gedung-gedung perkantoran turut memeriahkan Vivid Sydney 2012.
Tampaknya pemerintah NSW Australia benar-benar tahu caranya menarik wisatawan untuk datang ke Sydney. Yang jadi catatan adalah Vivid Sydney hanyalah secuil festival yang diadakan tiap tahunnya. Masih banyak festival kelas dunia yang akan hadir di Sydney. Semakin banyak festival berkelas, semakin banyak pula kemungkinan wisatawan asing akan datang.
Saya berharap sektor pariwisata di Indonesia mengadopsi sistem ini untuk menarik wisatawan asing dan juga menggeliatkan gairah seni kontemporer ke ranah area publik.

Tetap Semangat
2w_^

~ Radityo adalah mahasiswa Photomedia di CATC Design School, Sydney. Baca juga blog pribadinya tentang tips dan trik fotografi di http://fototiptrik.blogspot.com.au

 

Tips Memotret Firework dengan Kamera Poket

Where are you Katy Perry???” teriak seorang pemuda di Darling Harbour Sabtu malam kemarin. Wah saya jadi penasaran, apa betul ada Katy Perry di Darling Harbour. Kebetulan setelah mengunjungi pameran foto di Kenshington street bersama teman saya Tiffany Sabtu malam kemarin, kami mampir ke Darling Harbour. Kami heran kenapa ramai sekali. Ternyata orang-orang menantikan Firework bukan Kety Perry. Sialnya, saya tidak membawa kamera. Firework mengingatkan saya kepada assignment yang diberikan ibu Editor. Beruntung Tiffany bawa kamera poketnya. Kamera poket selalu menjadi penting di saat saat yang genting, anda setuju? Lewat artikel ini saya ingin share bagaimana memotret firework alias kembang api.
Memotret kembang api dengan kamera poket memang susah, apalagi dengan keadaan saya yang serba tidak siap dengan alat perang, tanpa tripod lagi. Namun semua itu bisa diatasin dengan penuh kesabaran dan minimal tahu triknya. Berikut hal-hal yang saya lakukan:
Bertanya. Di Darling Harbour ada banyak fotografer yang ingin memotret firework. Nahh kita harus tanya mereka dimana keluarnya kembang api. Harus tanya ke fotografer yang bawa perlengkapan komplit (asumsikan mereka sudah pernah motret firework di sana sebelumnya), “Where is the firework actually came out???” tanya saya kepada pria dengan kamera 5D markIII. “Over there,” sembari menunjuk tengah pelabuhan, “Can you see the square things in the water? that is the firework machine.” Lega sudah dapat informasinya. Cukup???? Belum. Saya tanya jam berapa dan berapa lama biasanya fireworknya, lalu di jawab “About 8.30 and It’s pretty quick, maybe 5 till 10 minutes i think.” Nahhh itu adalah 3 informasi yang harus diketahui, baik dengan bertanya kepada orang ataupun kepada bung google.
Scouting. Karena sudah tahu tempat keluarnya firework, saya pergi mengelilingi Darling Harbour. Banyak fotografer yang lebih mendekat ke sumber firework, namun yang saya lakukan justru menjauh dari sumber firework, karena kamera poket memiliki lebar lensa hanya 28mm. Setelah melihat-lihat dan keliling-lingling saya akhirnya memutuskan motret firework dari trotoar jembatan dekat jalan raya? Lho?? itu karena posisinya ada di atas Darling Harbour, jadi dengan kamera poket bisa memotret seluruh harbour lengkap dengan firework. Kurang lebih beginilah skema lokasi saya:
Ini adalah ocet-ocetan peta saya sebelum motret. 4 kotak hitam adalah sumber firework dan “x” adalah lokasi saya motret. Dari lokasi saya motret, saya ingin foto firework dengan latar belakang hotel-hotel itu, karena mereka yang gedung yang memiliki lampu-lampu paling menarik.
Mode Kamera. Pada saat itu mode yang saya gunakan adalah Firework, kebetulan ada mode itu di kamera Fuji milik Tiffany. Dasarnya sebenarnya Lowlight mode, jadi kamera poket akan menangkap cahaya yang lebih banyak di malam hari. Namun konsekuensinya adalah kamera tidak boleh goyang sedikitpun. Ganti mode Single Shot ke Continuous Shot, ini wajib, biar sekali jepret dapat lebih dari 1 foto.
Tripod. Alat ini mutlak dipakai untuk memotret firework. Sayangnya, malam itu saya tidak bawa tripod. Mau tidak mau saya harus hand-held. Sangat susah, selain dingin, truk-truk yang lewat bikin trotoar goyang. Tidak kurang akal, pagar pembatas trotoar saya pakai sebagai tripod. Karena posisinya pagar sedikit di atas pundak saya dan memiliki permukaan yang agak rata, saya bisa menaruh kamera poket.
Sabar. Kamera poket memiliki shutter leg seper sekian detik, jadi anda harus sabar dalam menekan shutter kamera. Ikuti alur keluarnya firework, pasti anda akan mendapatkan irama untuk memencet shutter. Pencet shutter sesaat setelah firework keluar dari kandangnya untuk mendapatkan letusan firework di langit. Kalau ngawur bisa-bisa seperti hasil-hasil saya berikut ini:
Foto-foto diatas tampak kacau juga karena operator fireworknya terlalu cepat mengeluarkan kembang apinya 🙁 *pembelaan* hohoo, anyway ada 1 saja foto bagus dari sekian banyak foto firework akan membuat saya senang. Apakah ada yang bagus dari jepretan saya di malam nestapa itu? ADA DONKKKK, ini dia penampakannya:
Hasil maksimal dari buah kesabaran, tapi tetep menyesal tidak membawa tripod dkk. Hiks hiks hiks.
Anyway, setelah 10 menit langit kembali normal dengan ditandai tepuk tangan dari penonton, diantara suara tepuk tangan ada pemuda dengan suara lantang berteriak “I Love You Kety Perry”. Mungkin itu pemuda yang tadi kali ya…
Kalau seandainya berangkat dengan persiapan matang,selain hal-hal diatas, ada beberapa hal berikut yang akan saya lakukan:
  1. Lihat foto-foto keren firework yang serupa di internet lalu cari tahu kira-kira lokasi motretnya si fotografer. 
  2. Bawa perlengkapan perang, seperti tripod, baterei cadangan dan memori cadangan.
  3. Karena firework selalu malam hari, sangat dianjurkan bawa jaket yang tebal biar tidak kedinginan.
  4. Bertanya kepada fotografer atau orang-orang di sekitar area firework tentang detail firework.
  5. Sabar dalam memotret firework.
  6. Tetap konsentrasi motret walau kilauan cahaya firework yang amat keren di hadapan anda.
Special thanks to Tiffany Gaw and Fujifilm FinePix F50fd
note: semua foto dalam artikel ini saya Adjust: Auto Contrast dan Auto Level.

Semoga Bermanfaat
2w_^

~ Radityo adalah mahasiswa Photomedia di CATC Design School, Sydney. Tulisan ini pertama kali dimuat di blog pribadinya: http://fototiptrik.blogspot.com.au

Ps: Baca pengalaman Radityo memotret kembang api malam tahun baru Sydney 2013, di sini.

Family Camping at Lane Cove National Park Sydney

Keluarga kami & tenda kesayangan di Lane Cove NP. Foto oleh Radityo Widiatmojo
Ternyata pengalaman dua kali kemah dengan keluarga dan teman-teman di Sydney tidak membuat kami kapok, malah ketagihan. Untuk kemah ketiga kali ini kami memilih mendirikan tenda di lokasi yang dekat saja dengan kota, yaitu di Lane Cove National Park.
Lokasi Taman Nasional Lane Cove ini dekat sekali dengan pusat kota Sydney, hanya 11 km ke arah barat laut kota. Lane Cove bisa dicapai dengan mobil atau dengan naik kendaraan umum. Stasiun kereta terdekat dari Lane Cove adalah North Ryde. Banyak kegiatan yang bisa dilakukan di Lane Cove yang merupakan paru-paru kota Sydney, antara lain: bushwalking (trekking), bird-watching, piknik, barbekyu, bersepeda atau aktivitas sungai seperti naik perahu, kayak atau kano. Untuk masuk ke taman nasional ini dikenakan biaya $7 per mobil. Di dalam Lane Cove tersedia fasilitas bangku piknik dan tempat-tempat yang bisa disewa untuk mengadakan gathering. Ada juga persewaan sepeda dan perahu.
Untuk keluarga yang ingin menginap di Lane Cove ini tersedia beberapa pilihan akomodasi yang dikelola oleh Lane Cove River Tourist Park. Seperti umumnya Holiday Park di Australia, LCRTP ini menyediakan akomodasi berupa kabin, tempat caravan dan tempat berkemah. Ada tambahan akomodasi spesial untuk mereka yang ingin berkemah di alam terbuka tapi malas mendirikan tenda sendiri, yaitu Luxury Camping atau Glamping (Glamour Camping). Website kemping glamour yang tarifnya lebih mahal dari hotel ini bisa dicek di sini.
Kami yang hidupnya sederhana inginnya camping yang biasa-biasa saja, menyewa tempat untuk mendirikan tenda kami sendiri. Tarif camp site di Lane Cove adalah $37 per malam untuk unpower dan $39 per malam untuk powered alias ada colokan listriknya. Kami yang hidupnya tidak bisa berpisah dengan gadget tentu memilih powered site :p Dekat dengan alam boleh, tapi handphone tetap harus nyala dong 🙂 Satu camp site bisa untuk mendirikan tenda yang cukup untuk enam orang dan satu tempat mobil yang bisa diparkir di pinggir tenda persis. 
Keluarga petualang yang ingin menghemat anggaran akomodasi ketika berlibur di Sydney bisa mempertimbangan camping ini sebagai alternatif penginapan. Fasilitas yang tersedia cukup bagus dan nyaman, seperti kamar mandi dan toilet umum dan juga dapur umum. Biasanya di lokasi camping juga ada taman bermain dan kolam renang.

Lokasi kemah kami dan teman-teman di Lane Cove National Park
Di tempat kemah kami sebelumnya, dua-duanya dekat dengan pantai sehingga anak-anak bisa bermain air di hari Sabtu. Kami biasanya berkemah dua malam, berangkat Jumat sore dan kembali Minggu siang. Di hari Sabtu, kami punya waktu seharian untuk beraktivitas. Pilihan aktivitas di Lane Cove ini lumayan banyak. Atas saran seorang teman yang sudah biasa main di taman nasional ini, kami bushwalking dari camp site ke site no.13, bermain kayak dan barbekyu-an untuk makan siang.

Lokasi No.13 ini cukup luas. Ada lapangan rumput yang bisa dibuat main bola, bangku-bangku kayu untuk piknik dan bantaran sungai yang cocok untuk meluncurkan kayak. Fasilitas piknik ini juga dilengkapi tempat parkir mobil dan toilet umum yang bersih. Anak-anak dan Bapak-Bapak (dan juga Si Om) bergantian mencoba kayak yang dibawa oleh seorang teman kami. Sungai Lane Cove ini airnya tenang. Beberapa kali kami melihat perahu dan kano lain yang melintas.

Little A main bola, tetep pakai dress pinky :p
Big A dan Si Om main kayak di Lane Cove river

Menjelang makan siang, kami mulai menyalakan mesin barbekyu portabel berbahan bakar gas. Saya selalu senang kalau ada acara barbekyu seperti ini karena yang bertugas masak adalah Bapak-Bapak. Sementara itu, Ibu-Ibu bisa ngobrol karena anak-anak juga asyik bermain dengan teman-temannya. Saya biasanya kebagian membuat salad sayuran yang mudah banget karena tinggal memotong-motong sayuran segar dan menuang salad dressing. Salad sayuran andalan saya adalah campuran iceberg lettuce, coss lettuce, daun rocket yang agak pahit, baby spinach yang manis, grape tomatoes dan timun Lebanon. Kadang salah ini saya campur dengan avokad kalau sedang tidak mahal 🙂 Dressing favorit saya adalah Italian dressing yang terbuat dari cuka dan Italian herbs.

Piknik di bawah pohon teduh di Lane Cove NP

Apa menu kemah yang kalian ingat ketika pramuka dulu? Mie instant dan kornet? Atau sarden dan mackarel kalengan? Di sini, menu standar kemah adalah daging barbekyu plus salad segar. Di Kiama, kami bakar-bakar ikan, sementara di Lane Cove kami membakar daging domba dan daging sapi. Tinggal di Aussie membuat kami kreatif membuat bumbu rendaman untuk barbekyu. Si Ayah juga punya resep rahasia untuk merendam daging steak ini, dengan bahan dasar kecap manis 🙂 Tanpa bumbu istimewa pun biasanya daging domba dan sapi dari Australia ini sudah cukup enak dan cepat empuk. Apalagi dengan campuran bumbu spesial dan kecap manis dari Indonesia. Hmm, rasanya oke banget, dimakan dengan salad segar. Nggak pakai nasi juga sudah kenyang.

Dibandingkan dengan tempat kemah kami sebelumnya, di Narrabeen dan Kiama, fasilitas di Lane Cove ini paling juara. Dapur umum dekat sekali dengan lokasi tenda kami, hanya menyeberang jalan kecil. Dapur ini buka 24 jam karena tidak ada pintunya 🙂 Ini memudahkan kami yang pingin ngopi di pagi hari atau tiba-tiba lapar tengah malam :p Di dapur tersedia fasilitas kompor gas dua tungku, kulkas, air panas dan tempat cuci piring. Alat-alat masak seperti panci, wajan dan juga rice cooker harus kita bawa sendiri. Dapur yang lumayan luas ini juga dilengkapi dua pasang meja dan kursi piknik panjang, cocok untuk tempat nongkrong kami. 
Kamar mandi dan toilet juga cukup bersih dan nyaman. Tiap pagi sekitar jam 9-10, kamar mandi ini ditutup untuk dibersihkan. Pengumuman jadwal membersihkan kamar mandi ini dipasang di pintu sehingga kami bisa siap-siap untuk mandi lebih pagi.

Kemah kali ini juga merupakan debut chef Radityo yang aslinya adalah fotografer. Bakatnya memang dobel-dobel 😀 Tiap pagi kami disuguhi sarapan istimewa: nasi goreng teri di hari pertama dan nasi mawut dari sisa-sisa makanan semalam, lengkap dengan sambal bajak dan sambal kecap.

Si Om yang merangkap jadi chef di camp site kami
Kami tidak tahu apakah ini bakal menjadi pengalaman kemah terakhir kami di Australia. Big A yang suka sekali berkemah selalu bertanya-tanya, di mana nanti kemahnya kalau sudah pindah ke Indonesia? Apakah di sana ada toilet dan kamar mandi bersih juga? Hmm, ada yang bisa bantu jawab?

~ The Emak

[Big A Journal] Tasmania – Day 3

Me couldn’t put my book down at Salamanca Square
Today was the last full day I have at Hobart. Tomorrow my Dad will rent a car and we will drive to Cradle Mountain. My Mum said we would be doing the laundry today. So at 8 o’clock My Mum, Sister and I go to a place call Salamanca Square. My Mum likes walking on outings, but she likes statues even more. She would stop and look at a statue even though it might look like a ‘kompos’. My Sister likes walking on outings too. She always likes running and jumping, skipping and all those kind of stuff. Myself on the other hand don’t like outings. I would rather sit in bed and read a book all day. But I don’t have a book at the moment (I finished one before I went to the holiday). And we have to do the laundry before tomorrow. 
Halfway on our trip it started to rain. My Mum tried to make Ayesha (my sister) go faster. Mum had no luck. I tried next (I am better at this than My Mum). I whispered that we were going to the Fairy Shop if she walks faster. Five minutes later we entered Salamanca Square. Mum took us to a cafe called Machine Laundry Cafe. The cafe is like a normal cafe, except there is a wall dividing the laundry and the cafe. The laundry was small but the cafe took 3 quarters of the building. When we stepped into the laundry, we saw five washing machines and 4 dryers. My Mum loaded the clothes into the washing machine. She then put five one dollar coins into the machine and did all those other things to make the machine start. My sister and I were waiting for our Mum to finish. We were waiting at the table and was reading the menu (well, I was reading the menu, Ayesha was playing with her jacket). 
A few minutes later Mum joined us. She asked what we would like to have. I said I’d like a chocolate milkshake. Ayesha said she’d like apple juice. But my Mum ordered a dish and a flat white. After we ordered Mum went to look at the washing. When she came back she said it was only going to be twenty minutes before it finishes. When we got our food we began to eat. The milkshake was delicious. It was nice, cold and taste like chocolate. Even when it’s cold and raining outside I still like drinking cold drinks. The people in Hobart by the looks of it seems used to the weather here. I am used to the weather too, but my parents and sister are not. They still wear coats and jackets.
The washing finished quicker than we ate. So we drank more of our drinks and waited while our Mum place our clothes in the dryer. Once we finished we went outside to take some photos. It was still raining outside. We wore our rain jacket and followed Ayesha just in front of the cafe. Ayesha has just spotted a large chess board. It was like the same one in Sydney at Hyde Park. Ayesha started to place the black pawns anywhere on the chess board. Mum started to help Ayesha and put the chess pieces to their right square. I stood watching on the side and taking photos. Ayesha seems enjoying herself, dragging the pieces onto different squares on the chessboard. A few minutes later when Ayesha was tired and the pieces were neatly tidied, Mum went inside to check of the laundry. She came back outside telling us that it’s finished. We went inside the laundry to where the dryers were. Our one was in the bottom-left corner. After she loaded the clothes back into the bag, we set of to find a toilet.
Ayesha playing with big chess
We found one at the other end of the square. Once we finished we went to a bookshop. It was not a small shop, but not a big one either. There were lot of books everywhere, on the shelves, on tables. Mum took us to the kids section to find a book I wanted called The Mysterious Benedict Society and The Perilous Journey. It took me ten minutes to find the book. I took it out of the shelf carefully and went over to My Mum. She was with Ayesha looking at the picture books. When I told her I found the book she checked the price and we went to the counter. The bookshop was not very crowded today so we didn’t have to line up. When we bought it, one of the staff said it was a really good book. I thought it was a really good book too because the previous book was great. 
We went out of the square to go to the Fairy Shop. When we entered the shop, we were entering a tunnel. At the end of the tunnel was a small room. Inside the room was lots and lots of cushions. There was also a well. The well was not a real well. It was not deep and it was not filled with water. Instead it was filled with sticky notes. Stuck on the roof of the well was a sign that read: Put your wish into the wishing well. I was guessing all the sticky notes in the well were wishes from little girls. I looked around the room. It was all pink on the wall. When we finished looking around we went through another door. On the other side was a shop. It was filled with lots of fairy stuff. It was also filled with some pirate stuff. I asked Mum why there were pirate stuff if this is a fairy shop. She said if girls have younger or older brothers they could look at the pirate stuff rather than the fairy stuff. When I looked around most things weren’t that interesting to me. The only things I was interested in was the klaudiscope, yoyo and the books. The things might be interesting for little kids who like fairies, but for me, and for kids like me who are older and don’t like fairies, it may not be that interesting.
When My Mum told me we would be leaving soon I chose Dinosaur Bubbles (I don’t like dinosaurs but I like bubbles). I went over to My Mum who was with my little sister. Ayesha was still deciding what to buy. She was holding two things: a headband and a notebook. Mum said she had to choose one thing. It took a few minutes but in the end she, I don’t know why she chose the notebook. Maybe she chose it because I have a notebook or maybe because the notebook looks like a bag. Anyway when we were outside, the rain stopped.
We were off walking down the street to the next stop off the journey, a park called Princess Park. Mum told us to turn right at the end of the block. So at the first corner we turned right, which led to a small lane. At the end of the lane there was a staircase. The size of the staircase I think is not big but huge. It went up three levels, up a flight, then landing turn right, then up another flight. At the very top of the stairs we were in a small but long street. I had no idea where we are and had no idea where we were going. I thought we were lost after a few minutes of waling around the blocks. Finally we found a place to sit down. We were in a very small park with two swings, a single bench and two big trees with branches, which hung over the pair of swings. At first I thought we were in Princess Park, but after a few seconds I found it didn’t fit the description Mum gave me. This park wasn’t big. I asked Mum what park this is. She said that this was not Princess Park and that she would find how to get there on the map. Once we finished playing bubbles and swinging on the swing, we set off again. This time Mum knows where we’re going.
After a few minutes we had to climb a hill. It was a very high hill. Ayesha was already tired even though she hasn’t reached a quarter way. When we reached the top, we were on top of a hill looking down on a big patch of grass. Between the grass was a path that went down to the playground and the toilet. It took us only just a few seconds since we ran down the hills. When we reached the bottom we saw a school playing with the equipment. It was school time for the people in Hobart (of course it’s school time in Sydney too). I didn’t want to go on the playground now. It was all too crowded. So I decided that I would wait till they leave and then I would play. They left five minutes later however, so I didn’t have to wait long.
Pirate ship at Princess Park, Hobart
As soon as they were gone I got up and climbed the stairs to the first level of what looked like a ship. In the first level of it there were two small slides. Both near the point of the ship. They were both the same shape and colour, yellow and wiggly. I went and tried them once each. I really wanted to try the extremely long slide. The slide was on the highest level of the playground. It may be the lookout tower on a real pirate ship. To get there I had to first climb the ramp to the second floor. Once I was up there I saw stairs that go to a higher level. When I got there I was under a shelter and there was bars on the each side. At the top of the slide there was kind of like a shelter that covers the top half of the slide. The slide was so steep, it looked scary when I was looking down. I sat down at the top of the slide, pressed my hands to the side of the slide and went sliding down. The slide wasn’t bad. It was fast, but not too fast and it was slippery. I wanted to try it again, this time I want climb the net to get there. The nets were at each side of the ship and it would lead you straight to the second floor. While I was climbing up I accidentally hit the pole at the top for a safety rail. It hurt but I had something worse before and compared to that this is nothing. I reached the top and looked down. It still looked scary but this time I know it’s not scary. I slid down the slide, this time I didn’t hold on. It was so fast! I had to jump a bit at the bottom. It was great.
After a few more rides at the slide, I went to the hammock. The hammock was really wobbly but it was relaxing once I got used to it. Twenty minutes later we stopped playing and went home. I had no idea where we were, but Mum looked like she knew. So I just followed her instead asking questions like I normally do. We went out the gate and down the same hill we went through when we came up here, but instead of turning right, we went through forward. Halfway through our trip I couldn’t help it and asked Mum how much further to the hotel. She said it was not that far. I didn’t ask any questions after that. A few minutes later it started raining. We all quickly went to the nearest shelter. We put our rain jackets on and went walking home.
We all had a rest and waited for Dad. We went to this restaurant for dinner, where they had delicious food. Ayesha , Mum and I went back to the hotel while my Dad takes photos. I slept right away in the nice comfy bed, ready for tomorrow when we go to Cradle Mountain.

~ Big A

Ps: please also read my previous travel journals
Tasmania – Day 1
Tasmania – Day 2 

Tips Memilih Kamera Poket Untuk Traveling

Penampakan Canon S 95
Apa itu kamera poket? Jawabnya simpel: Kamera yang muat di dalam saku, namanya juga kamera poket. Bagi anda yang suka jalan-jalan alias para traveler, kamera poket sangat cocok untuk anda dengan beberapa alasan. Pertama, harganya jauh lebih murah daripada kamera DSLR. Kedua, tidak perlu repot-repot naruhnya, ukurannya kecil mungil sehingga cukup di saku celana anda. Ketiga, sangat ringan dibanding dengan kamera DSLR.
Saat ini mayoritas produsen kamera mengeluarkan produk kamera poket dengan berbagai varian dan teknologi. Mulai dari merk Sony, Samsung, Kodak, Canon, Nikon dan temen-temen mereka lainnya. Ada yang murah dibawah 1 juta, ada pula yang harganya kayak kamera DSLR. Ehm, dari sekian banyak kamera poket, bagaimana anda memilih satu kamera poket yang cocok untuk anda? Jangan terburu-buru memilih kamera poket dulu, pahami dulu seluk beluk kamera poket secara umum.
Gambaran secara umum, yang harus anda ketahui dari kamera poket adalah:
  1. Lensa:anda harus tahu seberapa wide lensa yang dimiliki sebuah kamera poket. Kamera poket yang memiliki lebar lensa minimal 24mm sudah ideal.
  2. Resolusi: berapa megapixel kemampuan kamera poket? Resolusi memang menunjang kualitas foto, namun perlu diingat: Kamera poket dengan resolusi tinggi tidak selalu lebih bagus daripada kamera dengan resolusi lebih rendah. 
  3. memori card: Rata-rata kamera poket menggunakan SD card, namun ada beberapa merk yang menggunakan memori card khusus. 
  4. Baterei: Berapa lama ketahanan batereinya dan anda harus tahu berapa harga baterei cadangan.
  5. Reputasi merk: cari tau dulu apakah si doi expert dalam hal per-poket-an.
  6. Garansi: Cari tahu berapa lama garansi dan tentu pahamin syarat&ketentuan garansi tersebut.
  7. Body: gemuk atau langsing sangat tergantung selera. Semakin langsing makin fleksibel naruhnya di saku. Biasanya kamera poket yang badannya gemuk mempunyai fitur yang lebih komplit.
Semua data tentang kamera poket akan kita ketahui di Spesifikasi kamera. Semua online store pasti akan menyertakan Spec Kamera dengan lengkap. Jika tidak lengkap, jangan beli di website tersebut (jika on-line). Jika beli di Toko Kamera, pastikan anda minta Spesikasi Kamera, KARENA ITU ADALAH HAK KONSUMEN. Jangan malu meminta atau bertanya apa yang anda tidak ketahui. Yang perlu anda baca di spec-list ada 11 point seperti contoh spec-list dibawah ini:
Spec-list Canon S95 diatas hanya yang secuil dari puluhan spec yang tertulis. Mari kita kupas satu per satu:
  1. Image Sensor. Kamera poket saat ini rata-rata memiliki resolusi tinggi. Resolusi tinggi bisa menunjang kualitas foto (tapi tidak selalu). Saya sarankan pilih yang di atas 10 Mega Pixel
  2. Lens. Patokan wide atau tidaknya lensa harus dilihat dari angka yang saya lingkari, jangan baca yang 5.2 (W) – 26.0 (T) mm. 24 (W) – 120 (T) mm artinya lensa kamera ini mempunyai zoom 24mm – 120mm. Lensa dengan sudut lebar akan memudahkan para traveler dalam mengabadikan foto landscape. Saya sarankan untuk membeli yang 24mm.
  3. Focusing Range. Jarak fokus ini berkaitan dengan kemampuan macro kamera poket. Semakin dekat kemampuan focusing, makin keren pula foto-foto makro anda. Saya saran pilih yang mempunyai jarak makro 3 cm sampai 10 cm.
  4. ISO. Rata-rata kamera poket memiliki kepekaan sensor (ISO) terendah di angka 80-100. ISO 80-100 cocok untuk motret landscape karena grain-nya halus, sedang ISO tinggi seperti 3200 cocok untuk motret malam hari (dengan grain kasar sebagai konsekuensinya).
  5. Shutter. Kamera yang memiliki shutter speed di atas 10 detik memiliki kemampuan untuk blub di mode M (manual). 
  6. Flash. Harus ada mode flash Off, mode ini akan menghasilkan foto lebih natural.
  7. Shooting Mode. Wajib ada huruf M di spec-list. Dengan mode M anda akan mendapat hasil foto yang sesuai dengan kemauan anda dalam hal pencahayaan.
  8. Continuous Shooting. Seberapa cepat kamera poket menangkap gambar dalam 1 detik. Pastikan anda memilih kamera dengan kemampuan lebih dari 1 shot per detik.
  9. Data Type. Berhubungan dengan kualitas file yang di capture kamera. Pastikan beli kamera yang memiliki file RAW.
  10. Dimensions. Lihat seberapa gemuk kamera poket yang akan anda beli. Makin tipis makin handy.
  11. Weight. Kamera poket yang berat terkadang kurang nyaman dibawa traveling. Saya sarankan pilih yang tipis dan muat di saku.
Tidak semua spec list seperti di atas, itu merupakan contoh saja. Pada dasarnya point-point diatas harus diperhatikan. Yang lain anggap saja sebagai bonus, macam video, editing di kamera, framing, image slideshow dll-nya.
Dari segi harga, kamera poket sangat variatif, semakin mahal makin hebat pula kamera poket tersebut. Biasalah ada harga ada rupa. Saya klasifikasikan menjadi 4 jenis kamera poket dari segi harga:
  1. Harga 600 ribu – 1,5 juta termasuk kelas low-end. Untuk kelas ini saya rekomendasikan Canon PowerShot A2300 IS.
  2. Harga 1,5 juta – 3 juta termasuk dalam middle-end. Kalau punya duit 3 juta saya akan beli Panasonic Lumix DMC-TZ20
  3. Harga 3 juta – 5 juta termasuk high-end. Saya sekarang memakai canon s95. Seri terbarunya, Canon s100 saya rekomendasikan untuk para traveler.
  4. Harga 5 juta ke atas untuk para profesional dan kolektor. Andai saja duit saya cukup, saya bakal beli Leica D-Lux5 atau FujiX100 🙂
Sau lagi, pastikan dulu anda membaca review dari kamera poket yang hendak anda beli. Saya biasa lihat review kamera di dpreview. Web ini memberi review yang sangat komplit, mulai dari pengenalan, spesifikasi, body&desain, kualitas imaji dan masih banyak lagi.

Beli kamera poket adalah investasi berharga. Kamera poket akan membekukan moment anda selama traveling berupa foto dan foto akan bersua sejuta cerita kan. Bagi para traveler, middle-end dan high-end adalah pilihan terbaik. Semoga bermanfaat. 2w_^

~ Radityo
Radityo, kontributor The Traveling Precils, adalah mahasiswa Photomedia di CATC Design School, Sydney. Untuk mendapatkan tips dan trik fotografi lainnya, kunjungi blog Radityo di http://fototiptrik.blogspot.com.au

Menanti Matahari Terbit di Kiama

Melihat matahari terbit dari dalam tenda. Foto oleh Radityo Widiatmojo.
Sungguh suatu pengalaman magical menikmati indahnya matahari terbit, langsung dari dalam tenda!
Lokasi yang kami pilih untuk menjajal kemah kedua kali ini adalah Kiama, sekitar dua jam bermobil ke selatan Sydney. Kami sekeluarga pernah berakhir pekan di Kiama, tiga tahun yang lalu. Memang suasana kota kecil tepi pantai ini nyaman dan pemandangannya bagus. Ada beberapa Holiday Park di sekitar Kiama. Kami memilih East Beach Holiday Park dari grup Big 4, yang lokasinya di tepi pantai.
Ketika kami datang Jumat malam, lokasi bumi perkemahan sudah gelap. Perjalanan kami sempat tertunda karena ada macet akibat kecelakaan di jalan, plus GPS kami yang ngaco menyarankan jalan berputar menyusuri kampung. Setelah cek in di resepsionis, kami bergegas menuju lokasi untuk tenda. Saya dibantu Big A mendirikan tenda dengan penerangan senter dan cahaya bintang :p Sementara itu Si Ayah membantu teman-teman kami yang lain dari grup “Pramuka Marrickville” yang tendanya lebih besar daripada tenda kami. Untungnya malam pertama kemping kali ini tidak disambut hujan seperti kemping kami yang pertama :p
Kami bisa tidur nyenyak meskipun suhu udara dingin menusuk tulang. Malamnya saya belum tahu lokasi kami menghadap mana, pantai ada di sebelah mana. Dari debur ombak yang mengiringi tidur malam kami, saya bisa menduga kalau pantainya dekat dengan lokasi kami berkemah. Menjelang subuh, saya dikejutkan oleh suara berisik Si Ayah dan Om Thuwid yang mencari-cari sesuatu. Ternyata mereka perlu sarapan dan kopi untuk bekal memotret sunrise. Lokasi kemah kami ada termasuk yang powered, ada colokan listriknya. Jadi kami bisa membawa alat-alat listrik seperti ketel listrik untuk membuat air panas. Sayangnya, saya telanjur mengandalkan teman-teman lain untuk membawa ketel listrik ini. Dalam gelap, kami tengak-tengok tenda lain. Belum ada tanda-tanda kehidupan di sekeliling kami. Saya sarankan Si Ayah dan Si Om untuk jalan ke dapur umum. Pengalaman kami di bumi perkemahan Narrabeen, ada mesin air panas instan di dapur umum. Beberapa saat kemudian, Si Ayah kembali dengan bersungut-sungut: dapur umum baru buka jam 8.30! Ya ampun, lha terus kami disuruh sarapan jam berapa? Akhirnya Si Ayah dan Si Om harus puas sarapan dengan Up&Go, sereal yang sudah dihaluskan dicampur susu, yang sebenarnya milik The Precils.
Setelah Si Ayah dan Si Om pergi berburu sunrise, giliran Big A yang bangun. Saat itu mulai muncul cahaya jingga dari pantai di seberang tenda kami. Pelan-pelan cahaya ini mulai naik, menerangi area berkemah kami. Lama-lama ketahuan bahwa lokasi kemah kami sebenarnya tepat di pinggir pantai, hanya dibatasi rerumputan hijau dan sungai kecil. Saya yang jarang menikmati indahnya sunrise – karena terlalu malas bangun pagi :p – tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Saya ambil kursi lipat, meletakkannya di depan (atau belakang?) tenda. Saya tunggui episode matahari menampakkan diri ini sambil duduk membaca novel The Hunger Games, masih berbalut sleeping bag untuk melawan udara dingin di pagi hari. Ketika langit mulai terang, teman-teman banyak yang bangun dan saya bisa mendapatkan kopi panas untuk teman membaca. 
Sunrise di hari kedua tidak kalah menariknya. Kali ini saya sudah siap-siap meminjam ketel listrik untuk membuat kopi Si Ayah sebelum berburu sunrise. Udara pagi tidak sedingin hari sebelumnya, tapi rasanya saya kok malas keluar meski sudah mendengar suara berisik Si Ayah dan teman-temannya yang mau hunting foto. Little A masih nyenyak dalam sleeping bag di samping saya. Saya iseng membuka pintu tenda untuk melihat seberapa naiknya matahari. Pemandangan yang saya dapatkan di luar dugaan saya. Cahaya jingga menyorot menerobos pintu tenda. Dengan iringan debur ombak di pagi hari, scene ini indah sekali. Saya cuma bisa duduk bengong di dalam tenda, masih dalam sleeping bag, mengamati matahari yang naik pelan-pelan ke langit. Kok kemarin saya tidak terpikir untuk menikmati sunrise ini dari dalam tenda saja ya?

Terus ngapain aja sih selama camping? Kami, grup ‘Pramuka Marrickville’ biasanya berkemah selama dua malam di akhir pekan. Jumat malam kami datang dan mendirikan tenda, biasanya sudah makan malam, jadi langsung tidur malam pertama di tenda. Sabtu, kami punya satu hari penuh untuk berkegiatan, seperti fotografi dan mancing (bapak-bapak), berenang, main bola dan main air di pantai (anak-anak) dan makan-makan! (ini gak cuma Emak-Emaknya lho). East Beach Holiday Park punya fasilitas kolam renang. Anak-anak langsung minta berenang sehabis sarapan. Di sini juga ada fasilitas arena bermain (playground) yang dekat dengan lokasi tenda kami. Tapi sepertinya anak-anak lebih senang main bola di pelataran dekat tenda. Setelah makan siang, anak-anak kembali main air, kali ini ke pantai East Beach yang cuma lima menit jalan kaki dari area tenda. Big A dan teman-teman sudah siap dengan body boardnya. Pantai East Beach ini ukurannya sedang, pasirnya putih halus dan ombaknya lumayan besar. Sambil mengawasi anak-anak besar bodyboarding, emak-emaknya duduk-duduk santai sambil nge-gosip dan makan camilan 😀

Hari Minggu, kami cek out jam 10 pagi, dilanjutkan dengan jalan-jalan di Kiama  Blowhole. Di sini ada mercusuar dan ‘ledakan’ air laut yang terperangkap karang. Kami pernah ke sini tiga tahun yang lalu. Suasananya masih seteduh dan seindah yang dulu.

Si Ayah berburu gambar indah. Foto oleh Radityo Widiatmojo
Pantai East Beach, Kiama. Foto oleh Radityo Widiatmojo
Holiday Park atau Caravan Park di Australia merupakan salah satu alternatif penginapan yang murah. Biasanya mereka menyewakan tempat parkir untuk caravan, tempat untuk mendirikan tenda (dan cukup untuk parkir mobil di sebelahnya), dan juga kabin-kabin kecil yang cukup untuk keluarga. Tarif sewa kabin ini relatif lebih murah daripada di hotel atau apartemen. Untuk yang tidak masalah berbagi fasilitas kamar mandi umum dan dapur umum, menyewa kabin sangat menghemat anggaran. Kami membayar AUD 160 untuk kemah dua malam, untuk 3 dewasa dan 2 anak-anak.
Ketika berkemah di sini, saya kurang puas dengan fasilitas dapur umum dan kamar mandi umumnya. Dapur umum baru buka jam 8.30 pagi, terlalu siang untuk ukuran kami. Ini merepotkan kalau harus mengambil lauk yang akan dimasak untuk sarapan. Kulkas yang ada di dapur juga terlalu kecil. Letak dapur juga terlalu jauh dari area tenda, sehingga repot kalau mau cuci-cuci alat dapur yang kami gunakan di sekitar area tenda. Di area tenda kami, blok F, hanya ada fasilitas kamar mandi umum dan laundry. Dapur umum dan BBQ area terpisah dan harus jalan kaki cukup jauh. 
Kamar mandi umum cukup bersih, jumlahnya cukup banyak sehingga tidak perlu antri. Ada juga kamar mandi khusus anak-anak berupa shower/pancuran kecil. Little A senang mandi di sini. Sayangnya jadwal bersih-bersih mereka tidak pasti, antara jam 9 – 11, dan tanpa peringatan terlebih dahulu. Ketika anak-anak selesai berenang, sekitar jam 10, kamar mandi sedang dibersihkan, sehingga tidak bisa digunakan untuk bilas. Esok harinya, baru jam 9 pagi, kamar mandi sudah ditutup untuk dibersihkan. Si Ayah sampai harus mandi di kamar mandi untuk difabel gara-gara ini.
Kalau dibandingkan dengan lokasi kemah kami sebelumnya, fasilitas kamar mandi, toilet dan dapur umum di Sydney Lakeside Holiday Park memang lebih bagus daripada di East Beach Holiday Park. Dapur umum bisa diakses kapan saja dengan menggunakan kunci, dan letaknya dekat dengan area tenda kami. Hanya saja di Narrabeen tidak ada fasilitas kolam renangnya dan tidak ada pemandangan spektakuler seperti di East Beach.
View spektakuler adalah kelebihan holiday park ini. Untuk bisa mendapatkan pemandangan matahari terbit seperti kami, pesanlah lokasi tenda/caravan di blok F12-17. Saya juga menyarankan untuk membawa sendiri peralatan memasak atau barbekyu, jangan mengandalkan dapur umum. Kalau perlu bawa kulkas portabel sendiri, seperti tetangga di seberang tenda kami.
Kemah pertama dan kedua sukses. Akan adakah kemah ketiga? Rupanya suhu musim gugur yang cukup dingin tidak menyurutkan grup Pramuka Marrickville untuk berkemah lagi. Kali ini kami akan mendirikan tenda di Lane Cove National Park, taman nasional yang ada di tengah kota Sydney.
Tunggu cerita dari kemah berikutnya ya 🙂
 ~ The Emak