Suasana food court di Gurney Drive |
When traveling, do you eat like a local or like a trendy travel blogger? 🙂
Di Penang, saya tadinya berencana menjadi yang kedua, biar bisa makan dan pamer foto makanan ikonik di social media. Tapi nasib (dan terik matahari yang membakar) membelokkan pengalaman kuliner kami menjadi lebih otentik, makan di emperan dan warung seperti orang lokal.
Penang identik dengan surga kuliner di Malaysia, mau cari apa saja katanya ada di sini, semuanya enak dan harganya relatif terjangkau. Kami nggak mau ketinggalan dong mendapatkan pengalaman berburu makanan di sini. Kalau jalan-jalan di Asia, harap simpan rice cooker di rumah :p
Sebelum berangkat, saya sudah mempersenjatai diri dengan… apa lagi kalau bukan rekomendasi dari beberapa food blogger (trendy). Ini contekan tempat makan inceran saya, yang sudah saya cetak beserta peta, jalur menuju ke sana lengkap dengan koordinat GPS-nya.
Berikut contekan saya:
1. Roti Canai@Transfer Road, 56 Jalan Transfer, Georgetown
2. Mee Goreng @ Bangkok Lane, 270 Jalan Burma, Lorong Bangkok
3. Famous Teochew Cendol @ Lebuh Keng Kwee, off Penang Road
4. Nasi Kandar @ Line Clear
5. Restaurant Kapitan, 93 Lebuh Chulia
6. Pasembur @ Gurney Drive Hawker Centre
7. Asam Laksa @ Air Itam, Jalan Pasar (on the way to Penang Hill)
8. Ferringhi Coffee Garden, 43-D Batu Ferringhi
Glek, menuliskannya saja sudah menerbitkan air liur. Tapi ternyata, tak satu pun dari daftar tersebut yang berhasil kami coba, hahaha. Begini ceritanya…
Gara-gara mendapat kamar penuh asap rokok di Tune Hotel, rencana kami di sore hari pertama di Penang gagal total. Sambil menunggu kamar diganti, kami keluar cari makan. Ndilalah-nya kok ya susah cari makan siang di sekitar Tune hotel ini. Ada Mal kecil dan food court, tapi baru buka untuk makan malam. Ada resto persis di sebelah hotel, tapi semua makanannya pakai kecap babi.
Setelah jalan dua gang di seberang hotel, perut keroncongan kami terselamatkan oleh warung tenda yang buka di depan rumah susun rakyat, Jl. Zainal Abidin. Alhamdulillah, yang ini dijamin halal.
Kedatangan kami yang tampangnya turis banget membuat si penjual kaget. Ini orang ngapain nyasar ke sini, jauh-jauh dari Surabaya lagi, mungkin begitu pikirnya. Tapi yang penting mereka ramah, pelayanannya cepat dan makanannya enak. Nikmatnya mungkin bertambah karena kami makan dalam keadaan sangat lapar. Si Ayah, seperti biasa, pesan nasi goreng. Kali ini diberi nasi goreng cili padi, mungkin semacam cabe rawit? Saya pesan tom yam yang seger banget. Anak-anak saya pesankan bihun goreng. Tapi karena bihunnya sedikit pedas, Little A saya pesankan ayam kicap yang manis. Ditambah kopi dan teh panas, total kami keluar uang RM 29. Sebelum pulang, Ibu penjual masih memberi Little A dua buah apel untuk pencuci mulut. Tamu istimewa!
Malamnya kami jalan-jalan ke Gurney Drive (pesiaran Gurney) untuk makan malam di food court kaki limanya dan untuk beli konektor colokan listrik karena kelupaan bawa. Di daerah Gurney ini ada dua mal besar: Gurney Plaza dan Gurney Paragon Mal. Dari Tune Hotel, kami naik taksi tanpa argo dengan tarif RM 18 sekali jalan. Perjalanan sekitar 25 menit di malam yang cukup ramai.
Suasana di hawker centre Gurney ini meriah sekali. Kios-kios makanan berdiri di kiri kanan jalan dan meja kursi makan plastik ditata di tengah-tengahnya. Kami beruntung masih kebagian kursi. Si Ayah dan saya bergantian berburu makanan karena harus menjaga Precils juga.
Saking banyaknya pilihan, kami malah jadi bingung mau pesan apa. Kios-kios yang populer biasanya antreannya panjang. Ketika saya jalan sampai ke ujung, ternyata di pojokan berkumpul kios-kios makanan dari penjual Melayu dan India muslim. Suasana di sini tidak sehingar bingar food court yang di tengah, lampunya lebih temaram, dengan diiringi musik seperti qasidah. Di pojok ini, semua makanan dijamin halal.
Menu makan kami malam itu: jelly dan air kelapa (RM 9), pancake apom 12 pcs (RM 6), rojak (RM 5), sate ayam dan lembu 2 porsi (RM 16), dan nasi lemak dengan ayam goreng untuk dibawa pulang (RM 5,50).
Saya melihat kios pasembur seperti yang saya tulis di contekan, tapi urung membeli. Kelihatannya kok campurannya goreng-gorengan, full minyak semua, membuat saya jadi ilfil.
Kami hanya menginap semalam di Tune Hotel (untungnya!), jadi keesokan harinya sudah harus cek out. Nggak enaknya menginap di hotel yang tidak menyediakan sarapan, kami harus keluar untuk cari makan sendiri. Jam delapan pagi, kami sudah berhasil cek out. Tadinya saya berniat sarapan di Roti Canai di Transfer Road, tapi kok rasa-rasanya terlalu lama jalan kakinya. Akhirnya rencana sarapan saya alihkan ke daerah dekat masjid Kapitan Keling. Malangnya, saudara-saudara, kami kelewatan turun dari bus gratis. Akhirnya kami terdampar di dekat benteng Cornwallis. Saya tahu dekat situ ada food court yang direkomendasikan, tapi setelah tanya orang lewat, ternyata baru buka di malam hari. Wajah Si Ayah sudah kecut menahan lapar. Tidak ada tanda-tanda gerobak tukang bubur lewat juga.
Akhirnya saya mengambil inisiatif untuk menyeberang dan mulai berjalan melewati lorong-lorong yang penuh dengan ruko. Ketika tanya ke orang lokal, mereka bilang ada beberapa warung dua blok dari tempat kami berdiri. Jalan satu blok, kami sudah melihat ada warung yang buka. Lho tapi kok sedia masakan Jawa. Masa jauh-jauh ke Penang mau makan masakan Jawa, haha. Akhirnya di perempatan Lebuh Bishop dan Lebuh Penang, kami menemukan warung India yang cukup ramai dengan pengunjung. Tanpa ragu, kami ikut nongkrong di kursi plastik di depan warung.
Tuhan Maha Asyik, cita-cita saya sarapan roti canai kesampaian juga, meski di tempat yang berbeda. Setelah beberapa suap, wajah Si Ayah sudah cerah lagi, apalagi tahu kalau harganya murah meriah 😀 Makan kenyang berempat, dengan kopi dan teh panas, kami hanya keluar uang RM 9,60. Brekky under 10 ringgit!
Sebagai arek Suroboyo yang biasa dengan panasnya kota, saya tidak menyangka akan KO juga menghadapi teriknya kota Penang. Setelah ngadem di museum interaktif Made In Penang dan sempat mampir ke lokasi salah satu street art, lagi-lagi kami kelaparan sebelum waktunya. Kami nge-charge energi sebentar dengan es potong di kedai. Saya bertanya ke pemilik kedai, di mana mencari makan siang, yang paling dekat tentu saja. Syukurlah kami tidak harus berjalan jauh. Setelah kira-kira 150 meter, kami menemukan jalan yang ramai dengan restoran di kanan kiri. Saya juga melihat Restoran Kapitan, seperti dalam daftar yang direkomendasikan oleh travel blogger yang trendi-trendi. Tapi Si Ayah dan Precils bilang tidak sanggup berjalan 50 meter lagi di siang yang teramat menghisap energi itu. Akhirnya kami melipir dan duduk manis di restoran India Kassim Mustafa, yang paling dekat dengan tempat kami berdiri.
Makan dulu baru bayar! Ah, saya suka sekali warung yang begini. Melihat raut wajah pengunjung yang khusyuk makan dengan tangan, saya yakin tidak salah masuk restoran. Kami pesan nasi biryani, roti naan, dan dua macam kari yang pedas dan tidak pedas. Saya ingat jus buah yang kami pesan rasanya nikmat sekali,langsung menurunkan suhu ubun-ubun kami yang mandi matahari. Naan bread-nya juga lembut, hangat dan gurih. Apalagi dicelup kuah kari yang kental. Super yummy. Makanan siang itu memulihkan kepercayaan saya akan lezatnya masakan India tanpa bau langu yang menusuk. Untuk makanan nan lengkap ini kami habis RM 44.
Ganti suasana, kami meninggalkan tengah kota Georgetown menuju pesisir Batu Ferringhi. Meski menginap di hotel Holiday Inn, kami tentu tidak sanggup pesan makan malam di restorannya, haha. Untungnya ada warung-warung makan tepat di depan hotel. Hujan mulai turun, jadi kami malas untuk mencari-cari alternatif lainnya. Anak-anak kecapekan setelah bermain air di pantai sorenya, sehingga memilih untuk menunggu di kamar hotel.
Kami pesan fish & chips (RM 12) untuk anak-anak, dua char kway teow spesial (RM 16) dan ekstra nasi goreng lembu (RM 4), semua dibungkus untuk dimakan di kamar hotel. Penjual di warung-warung ini orang Melayu muslim sehingga halalnya terjamin. Saya suka sekali char kway teow-nya yang dicampur dengan udang besar. Saya sebenarnya masih pengin nambah lagi, tapi sudah terlalu malas untuk turun.
Paginya, saya memutuskan untuk sarapan di hotel saja, daripada rempong cari-cari warung makan yang buka di pagi hari. Di Holiday Inn, biasanya anak-anak sarapan gratis, asal bersama orang dewasa yang bayar. Saya bayar RM 60 untuk tarif sarapan berdua dengan Si Ayah. Little A dan Big A gratis. Tetep mahal sih, tapi daripada ribet, iya kan? Kami memilih makan pagi-pagi sebelum ramai orang. Suasana restoran cukup menyenangkan, kami memilih duduk di meja pojok yang menghadap pantai. Sayangnya rasa makanan di hotel ini tidak seenak yang kami cicipi di pinggir jalan dua hari sebelumnya. Bahkan kopinya pun hanya sekelas kopi sesat, eh, saset. Saya juga heran, hotel sekelas ini tidak mampu punya mesin espresso. Jadi kami hanya makan untuk mengisi perut saja, bukan untuk memanjakan lidah. Untungnya roti-roti dan selainya cukup enak, tidak terlalu mengecewakan lidah bule The Precils.
Sarapan di Holiday Inn yang rasanya yaa… begitulah. |
Pengalaman kulineran di Penang membuat saya pengin mencoba kulineran di Surabaya di akhir pekan. Nginep di hotel sekalian biar berasa staycation-nya. BRB bikin proposal untuk Si Ayah 😉
~ The Emak
Baca Juga:
Penang With Kids: Itinerary & Budget
Menjelajah Penang: Seni, Sejarah, Kuliner & Pantai
Review Tune Hotels Downtown Penang
Review Holiday Inn Resort Penang
Made In Penang: Seru-Seruan di Museum Interaktif