Orang Utan Trip With Kids: Itinerary & Budget

Tom, penguasa Camp Leakey

Saya sudah bercita-cita mengunjungi Tanjung Puting National Park sejak lama, ketika pesawat ke Pangkalan Bun masih pakai baling-baling dan hanya ada dari bandara Semarang. Niatan saya menguat ketika mengunjungi Singapore Zoo dua tahun lalu. Di sana, orang utan kita dijadikan maskot dan diperlakukan istimewa. Sementara di sini kadang saya menemukan orang-orang yang menjadikan orang utan sebagai bahan olok-olok dengan teman. Waktu itu saya berjanji ke Little A untuk membawanya mengunjungi orang utan di habitat aslinya. “Their real home is in Indonesia?” tanya Little A. Yes!

Alhamdulillah trip mengunjungi orang utan ini bisa terwujud tahun ini ketika ada liburan paskah. Kami memesan tur 3 hari 2 malam. Di tulisan ini saya akan sharing rangkuman itinerary dan budgetnya dulu. Tentang klotok dan taman nasional Tanjung Puting akan saya tulis tersendiri. 

Bisa nggak sih mengunjungi orang utan di habitat aslinya bersama anak-anak? Bisa banget.

Day 1
Pesawat kami berangkat jam enam pagi dari Surabaya. Cuma diperlukan waktu 55 menit untuk terbang menuju bandara Iskandar di Pangkalan Bun. Selain dari Surabaya, Pangkalan Bun (PKN) bisa dicapai dari Jakarta (1 jam 15 menit), Solo dan Semarang. Maskapai yang melayani rute ini adalah Trigana Air dan Kalstar.

Keluar dari bandara, kami disambut guide yang mengantar kami ke pelabuhan Kumai, tempat klotok parkir. Perjalanan dari bandara Iskandar ke Kumai sekitar 30 menit. Setelah beres-beres sebentar dan berkenalan dengan kru klotok (river boat), kapal berangkat dari Kumai jam 9 pagi. Klotok berjalan pelan menyusuri sungai Sekonyer yang menjadi batas luar dari Taman Nasional Tanjung Puting. Di kiri kanan sungai kami melihat pohon-pohon Nipah yang daunnya digunakan sebagai atap rumah oleh penduduk lokal. Daun muda Nipah juga menjadi makanan orang utan.

Setelah tiga jam, klotok ditambatkan untuk istirahat dan makan siang. Jangan khawatir, makan siang sudah disiapkan oleh tukang masak yang ikut sebagai kru klotok. Kami tinggal makan saja. Manja banget ya orang Indonesia? Hehe.

Jam dua siang, kami melanjutkan perjalanan ke Tanjung Harapan. Dari tempat kami parkir klotok, cuma perlu waktu setengah jam. Dari dermaga, kami perlu berjalan kurang lebih setengah jam (1 km) ke tempat pemberian makan orang utan (feeding platform). Jalan setapaknya mulai dari tanah berpasir sampai tanah gambut yang becek dengan akar pohon yang menonjol. Ya namanya juga hutan :p Little A (6 tahun) kuat jalan sendiri. Untuk anak balita mungkin perlu digendong atau jalan pelan-pelan. Jadwal pemberian makan di Tanjung Harapan adalah jam tiga sore.

Sekitar jam tiga sore, petugas meletakkan dua karung buah-buahan dan satu baskom besar susu di feeding platform. Kami para turis (lebih banyak bulenya daripada orang Indonesia) menunggu kedatangan orang utan dengan harap-harap cemas, semua siap dengan gadget di tangan 😀

Kami termasuk beruntung karena bisa bertemu dengan Gundul, orang utan penguasa Tanjung Harapan. Saat musim buah begini, tidak banyak orang utan yang datang ke tempat pemberian makan karena mereka sudah cukup kenyang dengan buah-buahan di alam liar. Selain Gundul, ada beberapa orang utan dan bayi mereka yang ikut nimbrung minum susu, tentu dengan seizin si penguasa.

Sejam kemudian kami kembali naik ke kelotok dan mulai berburu Bekantan. Kalian ingat maskot Dufan? Nah, seperti itulah bekantan (Proboscis Monkey), monyet yang hidungnya panjang, yang merupakan endemik di Tanjung Puting. Kami menemukan banyak bekantan yang nongkrong di pucuk pohon, menunggu matahari terbenam. 

Makan malam alias candle lit dinner disajikan pukul tujuh. Guide kami mencarikan tempat berlabuh yang banyak kunang-kunangnya. Klotok bagian atas disulap menjadi tempat tidur, lengkap dengan kelambu untuk menangkal nyamuk dan serangga. Sayang sekali di langit tidak terlihat bintang karena mendung. Kami tidur ditemani suara-suara binatang malam.

Jalur trekking menuju Tanjung Harapan
Gundul, penguasa Tanjung Harapan

Day 2
Kami bangun disambut oleh suara-suara burung yang bersahutan. Sarapan disajikan jam 6.30. Menunya roti panggang dengan macam-macam olesan dan banana pancake. Yummy. Sambil sarapan, klotok tetap berjalan karena kami tidak ingin terlambat ke Pondok Tanggui. Jadwal pemberian makan di Pondok Tanggui adalah jam sembilan pagi.

Sekitar dua jam kemudian kami sampai di dermaga Pondok Tanggui. Trek menuju feeding platform juga sekitar 1 km, dapat ditempuh dengan jalan santai kurang lebih setengah jam. Belum sampai ke tempat pemberian makan, kami sudah melihat orang utan yang leyeh-leyeh di pohon bersama bayinya: Ricak dan Robby. Anak orang utan diberi nama sesuai huruf awal ibunya. 

Ternyata tidak ada orang utan yang datang di feeding platform Pondok Tanggui. Kami dan turis lainnya menunggu sampai satu jam, tidak ada seorang pun, eh, seekor pun yang datang. Yah gimana lagi, mungkin mereka sudah tercukupi kebutuhannya di dalam hutan. Akhirnya kami trekking untuk melihat vegetasi yang ada di sekitar hutan Pondok Tanggui. 

Dari Pondok Tanggui kami melanjutkan ke Camp Leakey, sekitar dua jam perjalanan. Kami makan siang di jalan, masih dengan menu ikan segar yang baru saja dimasak. Jadwal pemberian makan di Camp Leakey adalah jam dua siang. 

Trekking dari dermaga Camp Leakey menuju feeding platform cukup jauh, dua kali lipat dari camp sebelumnya. Kami butuh waktu 45 menit berjalan dengan kecepatan sedang. 

Hari ini kami beruntung bisa bertemu dengan Tom, alpha male di Camp Leakey. Penguasa hutan ini umurnya 35 tahun dan punya kekuatan delapan orang dewasa. Jadi memang aturannya kita tidak boleh dekat-dekat dengan orang utan, apalagi mengajak selfie. Ingat, ini habitat asli mereka, bukan kebun binatang. Setelah bertemu Tom, kami sempatkan singgah di information centre untuk melihat foto-foto dan display pengetahuan tentang orang utan. Tahu nggak kalau DNA orang utan 97% sama dengan DNA manusia? 🙂

Di sebelah information centre adalah rumah Dr Birute Galdikas yang pertama kali meneliti orang utan di Tanjung Puting sejak tahun 1971.

Jam empat sore kami pergi dari Camp Leakey. Pak Pi’i, guide kami menawarkan trekking malam untuk melihat binatang-binatang nocturnal di Pondok Ambung, tapi kami sudah terlalu capek dan anak-anak juga tidak mau. Hahaha, turis malas :p 

Sebagai gantinya, kami bisa melihat gerhana bulan dari deck klotok dan makan malam bersama ribuan bintang yang terlihat benderang di langit. Karena kecanggihan kamera kami tidak bisa mengabadikan keindahan bulan dan bintang-bintang di malam hari, semuanya kami rekam baik-baik dalam ingatan. Sambil nyanyi lagunya Ed Sheeran ‘… kiss me under the light of a thousand stars…’

Keluarga precils di Camp Leakey

Day 3
Hari ini kami sudah harus balik lagi ke kota, meninggalkan sungai dan hutan yang tenang dan damai. Sarapan dihidangkan jam tujuh. Kemudian jam sembilan kami berangkat menuju Sekonyer Village untuk berjalan-jalan dan melihat suasana desa di tepi sungai Sekonyer ini. Dulu, penduduk ini tinggal di dalam taman nasional, tapi kemudian dipindah ke sini dan beranak pinak.
 

Sambil berjalan kembali ke pelabuhan Kumai, kami makan siang awal, sekitar jam sebelas. Jam dua belas siang kami sudah sampai di Kumai. Setelah berpamitan dengan kru klotok, kami diantar ke bandara dan bisa langsung cek in menuju Surabaya.
 
Sebenarnya ada itinerary untuk 2 hari 1 malam yang bisa dilakukan di akhir pekan. Tapi itinerary 2D/1N ini cukup padat dan melelahkan. Di hari pertama (pagi hari) kita diantar langsung menuju Camp Leakey, camp yang paling jauh dari pelabuhan Kumai. Perjalanan bisa sampai enam jam. Baru di hari kedua, klotok berbalik arah dan singgah di Pondok Tanggui dan Tanjung Harapan, sekalian kembali ke pelabuhan Kumai.

Klotok alias River Boat yang kami sewa

BUDGET
Saya memesan tur ini ke Kak Indra dari @bpborneo. Tarif tur sudah all in termasuk transfer dari bandara ke pelabuhan Kumai, sewa klotok + bahan bakar, gaji kru (kapten, cook, asisten), guide, tiket masuk taman nasional, tiket kamera, biaya parkir klotok, makan 7 kali, camilan beserta teh kopi soft drink. Kami tinggal beli tiket pesawat (saya beli via Traveloka) dan bawa badan saja.

Tiket pesawat Trigana Air SUB – PKN pp       4x 1.150.000 = IDR 4.600.000
Tour all in Adult                                         2x 1.750.000 = IDR 3.500.000
Tour all in Children                                     2x 1.500.000 = IDR 3.000.000

TOTAL (4 orang ) = IDR 11.100.000

Pengeluaran lain (opsional) untuk membeli suvenir dan tip kru (kalau mau memberi).

Sebelum memutuskan ngetrip dengan Backpacker Borneo, saya sudah cek toko sebelah, dan memang Kak Indra yang tarifnya paling terjangkau buat kami. Satu kapal klotok bisa eksklusif untuk keluarga kami saja, empat orang. Tentu kalau ngetrip dengan lebih banyak orang, jatuhnya akan lebih murah per-orangnya. Klotoknya juga akan dapat yang lebih besar. Tapi rata-rata fasilitasnya sama, hanya furniture dan dekorasinya saja yang berbeda. Harga yang lebih mahal biasanya dapat kapal yang lebih baru dengan interior yang lebih bagus.

Sebelum memutuskan ngetrip dengan siapa, coba cek dulu beberapa operator tur yang aktif di sosial media ini:
1) Tukang Jalan
2) Kakaban Trip
3) Ibu Penyu

Kalau ingin naik klotok yang lebih fancy, bisa pesan klotok langganan emak-emak Ostrali ini. Tapi tarifnya dolar 😀 http://www.borneotour.org

Atau kalau nggak sanggup tidur di kapal dan nggak bisa hidup tanpa AC dan mandi air panas, bisa menginap di hotel satu-satunya di sana. Cek langsung di http://rimbaecolodge.com 

Saya sendiri memilih Kak Indra yang putera Borneo asli. Cek blognya di sini, dan website turnya di sini.

Tur mengunjungi orang utan di habitat aslinya ini sangat menyenangkan karena perjalanannya santai. Bagi anak-anak, ini pengalaman istimewa yang akan mereka kenang dan bisa mereka ceritakan ke teman-temannya. Bisa jalan-jalan di hutan, tidur di kapal, mandi dengan air sungai, melihat bintang, melihat orang utan, bekantan, monyet, lutung, gibon, ratusan kupu-kupu di rumahnya sendiri. Pengalaman seperti ini tidak bisa mereka dapatkan di kebun binatang dalam kota.

~ The Emak

Baca juga: 

Menyusuri Sungai Sekonyer dengan Klotok

Kartupos Dari Alor

Si Ayah baru saja pulang dari Alor, Nusa Tenggara Timur. Ketika ditawari menjadi tim penyeleksi beasiswa di pulau ini, dia langsung setuju. Tapi sesaat kemudian dia mengirim pesan WA ke saya, “Alor itu di mana sih?”

IQ boleh tinggi, TOELF boleh mendekati sempurna, tapi Si Ayah ini gak jago geografi. Dia pikir Alor dekat sama Lombok *keselek*. Untuk yang buta peta Indonesia juga, kepulauan Alor itu di sebelah utaranya Pulau Timor (tahu kan, yang bagian timurnya sudah masuk wilayah East Timor?). Untuk menuju Alor, ada penerbangan dari Kupang (yang ini ibukota provinsi Nusa Tenggara Timur, ada di pulau Timor). Sehari ada dua penerbangan Kupang – Alor (jam 10.00 dan jam 14.00), dan dua penerbangan balik Alor – Kupang (jam 11.10 dan jam 15.10). Penerbangan ini dilayani oleh maskapai Trans Nusa. Lama penerbangan dari Kupang ke Alor adalah 50 menit. 


Sementara itu, ada banyak jalan menuju Kupang. Dari Surabaya ada 4 maskapai yang melayani penerbangan ke Kupang: Sriwijaya, Lion Air, Citilink dan Garuda Indonesia.

Dari Alor, Si Ayah membawakan oleh-oleh kain tenun, kacang kenari, kue-kue, dan terutama cerita. Tentang penduduk Alor yang seumur hidupnya belum pernah keluar dari pulau. Tentang jamuan makan malam dengan Bapak Bupati (menu ikan tentu saja). Tentang Bapak Bupati yang semangat mengirim putera daerah untuk sekolah lagi. Tentang anak-anak yang gembira bermain dengan penyu dan mengembalikannya ke laut setelah mereka puas. Dan terutama tentang alam Alor yang sangat indah, meski penduduk lokal merasa biasa-biasa saja.

Selamat menikmati cerita tentang Alor, lewat foto-foto Si Ayah ini.

The beauty of Alor…

And the people of Alor…

~ The Emak

Keliling Dunia di Museum Angkut Malang

Suasana Batavia

Museum Angkut yang baru saja dibuka di kota wisata Batu (30 menit dari kota Malang) ini seketika menjadi hot destination. Nggak heran sih, koleksinya menarik dan penataannya apik. Museum ini juga didesain agar pengunjung bisa berinteraksi (baca: foto-foto) maksimal. Kabarnya, museum ini selalu ramai, tidak hanya di akhir pekan saja. Alhamdulillah, sekarang orang Indonesia cinta museum 🙂

Lokasi Museum Angkut ini mudah dicari, di pojokan jalan Sultan Agung. Kalau datang dari arah Malang, belok kiri di Jl Imam Bonjol Bawah (sebelah kanan ada Matahari- Lippo Plaza). Lokasi museum di belakang Jatim Park 1. Harga tiketnya hari kerja 50 ribu dan akhir pekan 75 ribu. Kalau ingin tiket terusan ke museum topeng bayar tambahan 10 ribu. Anak-anak yang tingginya di atas 85 cm sudah harus bayar penuh. Little A seneng banget sudah harus beli tiket sendiri. Emaknya yang nggak happy, pengennya gratisan atau diskon 😀 Kamera juga harus bayar tiket tambahan sebesar 30 ribu. Tapi kalau ‘cuma’ kamera hape atau tablet nggak bayar kok.

Little A senang sudah nggak little lagi, bayar penuh!

Lokasi Museum Angkut, Jl Terusan Sultan Agung Atas No.2 (klik untuk memperbesar)

Museum buka mulai jam 12 siang. Kami sekeluarga besar mruput datang pas museum buka dengan harapan suasana masih sepi. Eh ternyata sampai di sana tempat parkir sudah penuh semua. Akhirnya kami dapat tempat parkir ‘VIP’ di dekat pintu masuk. Pengunjung banyak sekali tapi bisa antre dengan tertib untuk beli tiket dan masuk ke museum. Saya sudah agak ilfil dengan banyaknya orang, tapi ternyata setelah sampai di dalam kami masih punya ruang untuk menikmati koleksi yang dipajang, tidak berdesak-desakan karena bangunannya besar banget.

Di lantai satu ada koleksi campur-campur mulai dari kereta kuda sampai mobil balap. Ada mobil dan helikopter yang dulu pernah dipakai presiden RI pertama: Ir Soekarno. Ada koleksi sepeda dari perusahaan pembuat mobil ternama. Juga ada koleksi berbagai macam sepeda motor dari seluruh dunia. Dari koleksi-koleksi ini sebagian hanya boleh dipandang, tapi sebagian lain boleh dinaiki. Mobil balap merah ini termasuk yang laris difoto bersama anak-anak. Kalau orang dewasa, mungkin lebih senang berfoto bersama mobil balap F1 dan Michael Schumacher KW. Ada kok, tapi harus antre.

Di lantai dua ada koleksi moda angkut yang lebih tradisional: becak dan bendi dari berbagai daerah, dengan nama dan ornamen yang bervariasi: andong, cidomo, dokar. Moda transportasi lain yang dipamerkan adalah kapal laut, mulai dari kapal yang sangat sederhana dari balok kayu utuh sampai replika kapal yang rumit. Saya dan Big A asyik membandingkan replika kapal Majapahit dan kapal junk dari Hong Kong. Ada juga sih replika kapal Titanic, tapi sudah puas lihat di filmnya, nggak seru lagi :p  

Di lantai dua ini ada berbagai display interaktif yang menarik seperti permainan tebak suara (suara pesawat jenis tertentu dan jenis klakson kereta api), film kartun pendek yang informatif tentang kereta dan nukilan film pendek sejarah kapal terbang, serta display game lainnya. Little A terpaku melihat display cara kerja mesin kereta api dan mesin mobil. Big A sampai hafal fakta-fakta tentang perkeretaapian (di mana kereta api terpanjang, kereta api terberat, stasiun tersibuk dll). Sementara itu Si Ayah tidak bisa membedakan suara pesawat dan gergaji listrik! *tepok jidat* 


Lantai dua cukup menarik dengan display interaktifnya, tapi terlalu bising buat saya. Untungnya, keluar dari lantai dua ini kami diajak ke arena luar ruang: Batavia. Suasana hiruk pikuk Batavia tempo dulu dihidupkan kembali lewat bangunan toko-toko pecinan dan kendaraan yang parkir di jalan-jalan: sepeda, gerobak, becak, bajaj, oplet dan dokar. Di sebelah Stasiun Jakarta Kota ada set pelabuhan dengan berbagai macam mode angkut. Di pojok pelabuhan ada warung zaman dulu yang baru buka besok 😀 Hujan rintik-rintik tidak menghalangi para pengunjung untuk berfoto dengan pose aneh-aneh. Termasuk saya tentu saja. Tapi dari sekian pose foto yang saya coba, yang paling ‘wangun’ kok cuma pose saya naik sepeda bawa segunung krat dan pose dengan motor honda tahun 70-an ya? *why*

Kami keluarga precils berempat berkunjung ke museum angkut ini dengan Ibu, Bapak, adik saya Dila, suami siaganya serta Baby K. Bapak saya paling cocok berpose di depan rumah-rumah Tionghoa. Sementara keluarga Dila keren banget posenya di samping bis Lambaiyan Bunga. Wajahnya Melayu banget, hehe.



Dinamika dan alur pengunjung museum ini enak diikuti. Setelah ada arena luar ruang, kami diajak ke dalam ruangan lagi menikmati koleksi mobil-mobil Australia dan sepeda motor Jepang. Setelah itu ada ruang terbuka lagi. Kali ini dengan tema Broadway. Kalau saja tidak hujan, jalanan Broadway ini asyik untuk foto-foto. Setting bangunannya: kantor polisi, kantor pemadam kebakaran, apartemen, salon, bank dan teater cukup meyakinkan, seperti set film. Ditambah mobil-mobil kuno Amerika yang ‘parkir’ di pinggil jalan, hasil foto bisa seperti di Amrik sungguhan. Padahal KW, hehe.

Dari jalanan Amerika, kami langsung melompat masuk ke Eropa. Disambut dengan vespa-vespa Italia yang diparkir di pinggir pantai. Lantai ruangan ini dari batu-batuan sehingga suasananya mirip dengan lorong-lorong sempit di kota-kota di Eropa. Dari Italia kami menuju… Perancis! Kota Paris dibuat miniaturnya lengkap kafe-kafe cantik dengan menara Eiffel KW2. Big A dengan dramatis bilang, “O la laa, de ja vuuu…” Dia tidak bisa menahan tawa melihat orang-orang sibuk berfoto dengan menara Eiffel KW. Ya biar lah Kak, siapa tahu jadi bisa ke Paris beneran. Sementara Little A asyik-asyik aja diajak pose-pose sama Tantenya.

Dari Perancis, satu lompatan membawa kami ke Jerman. Suasana desa di Jerman ini asyik banget, dengan rumah tradisional dan mobil-mobil VW. Pohon berdaun cokelat seperti di musim gugur semakin menambah romantis suasana. Cocok lah buat pemotretan pre-wed :p Tak lupa kami berfoto di depan tembok Berlin KW3. Btw, orang-orang Jerman memang segedhe itu ya dibanding orang Asia? 😀


Jerman adalah negara kesayangan Big A, karena tugas akhirnya di kelas 6 adalah membuat pameran dan presentasi tentang Jerman. Big A merasa tahu banget tentang Jerman dan cinta segala sesuatu buatan Jerman. Jadi dia betah banget di Jerman buatan ini. Sementara itu… tepat di seberang Jerman adalah: Inggris! Sekarang giliran Tante Dila yang histeris. Dia senang sekali segala sesuatu yang berbau Inggris dan bercita-cita pengen ke sana.


Simbol-simbol London disajikan lengkap: kotak telepon umum warna merah, simbol kereta bawah tanah, penjaga istana, The Beatles dan Mr Bean. Keluar dari London-londonan ini kami bisa melihat Istana Buckingham (nggak tahu ini KW berapa). Tampak depannya cukup mirip, tamannya pun meyakinkan. Cuma kalau mau foto di depan sini, jangan sampai tulisan ‘Istana Buckingham’ ikut muncul. Kenapa? Karena ‘Istana’ itu bahasa Indonesia, bahasa Inggrisnya ‘Palace’ :))

Kejutannya, ternyata istana Buckingham ini tidak cuma depannya doang, ada dalamnya beneran. Langit-langitnya dihiasi lampu gantung mewah. Di pojokan juga ada tahta sang ratu, lengkap dengan Ratu Elizabeth KW. Di tengah istana, anak-anak bisa bermain dengan double decker bus, bis tingkat warna merah yang menjadi simbol khas London. Atau, seperti kami, naik kereta mini keliling istana. Gratis! Little A langsung jatuh cinta dengan kereta mini ini dan bilang kalau Istana Buckingham adalah tempat favoritnya di museum angkut.

Meskipun tiket masuknya cukup mahal (dibanding museum-museum yang lain), kami cukup puas dengan museum ini karena fasilitasnya cukup bagus. Museum ini aksesibel, ada lift dan ramp bagi yang berkursi roda atau membawa stroller. Toilet disediakan di setiap area dan kondisinya bersih. Tempat duduk juga selalu ada di setiap area. Bapak saya pernah terserang stroke ringan sehingga tidak kuat jalan jauh. Tapi di museum ini, beliau bisa beristirahat (duduk) di setiap area sementara kami masih sibuk beredar. Alhamdulillah Bapak kuat ‘keliling dunia’ sampai akhir. Selain kursi tempat duduk, di beberapa area juga ada warung atau kafe makanan kecil untuk pengganjal perut. Kami sempat duduk-duduk di area Broadway sambil nyemil kentang goreng, hot dog, dan minum kopi dan milo hangat. Sebenarnya sambil menunggu hujan reda tapi kok ya nggak berhenti-berhenti. Di wahana terakhir (Hollywood) ada restoran cepat saji CFC. Sebenarnya ada warung apung yang juga menjual makanan tradisional yang tentunya lebih enak dari ayam goreng cepat saji, tapi sayang sekali kalau hari hujan area outdoor tersebut tidak bisa dinikmati.

Yang masih perlu diperbaiki dan ditambah adalah fasilitas mushollanya. Tempat ibadah yang terletak di dekat tempat parkir bus ini kurang besar untuk menampung pengunjung sebegitu banyak. Tempat wudhu juga cuma sedikit. Saran saya membuat musholla baru lagi atau memperbesar fasilitas yang sudah ada ini.

Secara umum kami senang dan puas mengunjungi Museum Angkut. Petugasnya cukup ramah dan sigap membantu. Di dalam ruangan saya juga tidak menghirup asap rokok. Sayangnya ada satu dua pengunjung yang masih membuang sampah sembarangan di area outdoor, padahal tempat sampah sudah disediakan, kira-kira dua meter dari mereka berdiri. Duh, harus diapain ya orang-orang seperti ini?

Bravo untuk pengelola Museum Angkut. Museum ini wajib dikunjungi untuk yang berlibur ke kota wisata Batu dan Malang. Semoga keluarga-keluarga di Indonesia jadi semakin cinta museum 🙂 

~ The Emak
Follow @travelingprecil

Review Hotel Melia Purosani Yogyakarta

View dari kamar No 552

Libur Idul Adha tahun ini, kami pengen staycation di Jogja bareng rombongan sirkus keluarga besar. Terus terang aja kami belum pernah menginap di hotel manapun di Jogja, lha wong punya rumah di dekat sini kok 🙂 Mumpung punya voucher Agoda, sekali-sekali nyoba hotel di Yogyakarta.

Tadinya saya dan Diladol, adik saya tercintah pengen nyobain hotel-hotel baru di Jogja. Memang banyak banget hotel baru yang dibangun di Jogja dua tahun belakangan ini, seperti cendawan di musim hujan. Mulai dari hotel bintang tiga sampai bintang lima. Kali ini kami pengen hotel yang: 1) punya kolam renang untuk anak dan 2) sarapannya enak. Lokasi nggak masalah karena kami bawa mobil sendiri. Dari sini kami coret daftar hotel bintang 3 karena nggak ada kolam renangnya.

Hotel-hotel baru di Jogja yang masuk incaran kami adalah: The 101 Tugu (dekat Tugu Jogja, tentu), Grand Zuri (dekat stasiun Tugu), dan Grand Aston (Jl. Solo). Ada teman yang merekomendasikan Tentrem, hotel bintang lima baru yang terkenal punya tempat main (indoor play area) yang besar banget. Tapi saya kurang sreg sama hotel ini. Teman lain merekomendasikan Santika Premier (Jl. Sudirman) yang menu sarapan tradisionalnya paling top se-Jogja. Lokasi Santika juga gak jauh sih dari Tugu dan Malioboro, bisa naik becak.

Tapi akhirnya kami pilih Melia Purosani, dengan alasan ini hotel bintang lima yang tarifnya paling murah. Persis prinsip Si Ayah banget. Hotel bintang lima di ‘belakang’ Malioboro ini sudah berdiri sejak 1995. Zaman SMA dulu, sudah ratusan kali saya lewat tikungan depan hotel pinky ini dan hanya bisa memandang kagum 😀 Kami memesan hotel ini via Agoda, setelah membandingkan harga di Hotelscombined. Tarif Agoda memang paling murah, bahkan dibanding dengan memesan online dari website hotel. Lagipula, saya memang ingin memakai poin Agoda. Kami memesan 3 kamar dengan tarif Rp 730 ribu per kamar per malam, termasuk pajak dan sarapan.

Kami datang di hari Minggu jam 2 siang, tepat saat cek in dibuka. Nggak mau rugi dong. Pelayanan resepsionis cukup ramah, tapi proses cek in lumayan lama. Seminggu sebelum cek in, saya sudah mengirim email meminta connecting room dan satu baby cot (boks bayi). Jam dua siang, baru ada dua kamar yang siap, itu pun bukan connecting rooms. Ya sudah nggak papa. Kami diberi kamar di level yang tinggi agar tidak berisik dan menghadap ke kolam renang, sesuai permintaan saya di email.

Setelah mendapat kunci, precils langsung melesat ke kamar. They looooove hotels :p Little A langsung loncat-loncat di kasur, sebelum saya usir karena harus difoto dulu sebelum kusut, hehe. Saya cek kelengkapan kamar dan kamar mandi, semua bersih dan rapi jadi tidak perlu komplain.

Kamar yang saya dan duo precils tempati nomor 552, dengan pemandangan ke kolam renang. Kasurnya queen bed, cukuplah untuk tidur bertiga. Sayang sekali Si Ayah harus masuk kerja hari Senin, jadi tidak bisa ikut menginap di hotel. Tapi Si Ayah sempat mencoba kolam renangnya dengan Little A. Di pojok kamar ada 2 seater sofa, coffee table dan meja kerja. Kamar mandinya cukup besar dengan bak mandi (bathtub) dan pancuran (shower) terpisah. Wastafelnya kelihatan tua dan letih, minta direnovasi. Tapi secara umum cukup bersih.

Amenities di kamar mandi lengkap banget: sabun, shower gel, shampoo, kondisioner, sisir, kikir kuku, cukuran, body talc, body lotion, alat jahit, sikat gigi, pasta gigi, penggosok sepatu, shower cap bahkan deterjen. Di atas bak mandi juga ada tali jemuran yang bisa untuk jemur pakaian renang. Hotel juga menyediakan dua botol air mineral gratis. Cuma yang saya heran, botolnya kecil banget, nggak bakal cukup untuk seharian. Minibar menyediakan teh dan kopi gratis, dengan gula dan krimer. Ada hadiah kecil khusus kamar ini yaitu sandal batik yang bisa dipakai di rumah. Lumayan 🙂

Kamar yang ditempati Bapak dan Ibu saya nomor 548, selisih satu kamar dengan kamar saya. Interiornya sama persis, hanya saja ada balkonnya. Di balkon ada dua kursi untuk duduk-duduk. Dari balkon bisa melihat pemandangan kolam renang dan sisi hotel bagian dalam. Kamar mandinya sama, televisinya juga sama. Kami senang karena chanel kabelnya lengkap, mau nonton apa saja bisa: berita, film, petualangan, tayangan anak, olahraga, musik, dan lain-lain. Bapak saya senang bisa nonton Nat Geo Wild seharian. Beliau sampai nanya apa bisa dipasang di rumah, hehe.
 
Sementara Ibu saya senang bisa mandi berendam. Beliau mengaku mandi berendam dua kali biar nggak rugi bayar hotelnya, hehe. Ketahuan kan prinsip ngiritisme The Emak menurun dari siapa? 😉

View dari balkon kamar 548
View dari kamar 544
King bed di kamar 544
boks bayi gratis

Begitu selesai menaruh barang di kamar, kami langsung turun untuk berenang. Suasana kolam dan sekelilingnya sangat nyaman, cocok untuk bersantai. Sore itu cuma ada beberapa bule yang leyeh-leyeh di kursi malas. Little A langsung nyemplung dan senang banget bisa perosotan berkali-kali. Baby K yang hampir satu tahun usianya juga nyemplung berbekal pelampung leher. Tapi cuma bisa sebentar karena airnya dingin. Saya juga menyempatkan berenang beberapa kali putaran. Cuma agak susah juga karena bentuk kolamnya free form. Kolam seperti ini cuma cocok untuk main-main dan leisure swimming saja, bukan untuk olahraga serius.

Di sebelah kolam renang ada fasilitas bilas yang cukup bersih dan nyaman, dengan bilik pribadi dan pancuran air hangat. Kolam ini buka dari pukul 8 pagi sampai 8 malam.

Selesai berenang, kamar ketiga yang kami pesan siap. Kamar nomor 544 ini punya kasur ukuran king yang besar banget. Untuk tidur berempat pun cukup. Di kamar ini juga ada baby cot seperti yang sudah saya pesan. Kamar ini ditempati Diladol, Suami Siaga dan Baby K.

welcome drink: jus terong belanda

Ketika cek in kami diberi kupon welcome drink yang bisa ditukar dengan minuman di bar. Menu hari itu jus terong belanda yang ternyata enak, asem-asem seger gitu. Kami minum-minum di bar setelah makan malam di luar. Tadinya kami ingin mencoba Ayam Goreng Bu Tini, tapi karena sudah tutup, kami melipir ke Bebek Cak Koting di depan eks bioskop Mataram. Banyak pilihan makan malam di Jogja yang lebih enak dan lebih murah daripada di hotel 🙂 Melia dekat sekali dengan Malioboro, cukup 15 menit jalan kaki. Malam hari bisa jalan kaki sampai ke toko Mirota Batik, ujung jalan Malioboro untuk belanja-belanji oleh-oleh sekaligus makan malam di Kafe Oyot Godhong. Yang nggak kuat terbiasa jalan kaki bisa naik becak yang mangkal di samping hotel.

Paginya, kami sengaja mruput sarapan, ketika suasana masih sepi. Kami memilih duduk di sofa di pojok. Tak lupa meminta kursi makan bayi untuk Baby K. Keuntungan sarapan awal, menu makanan masih lengkap, tidak perlu antre dan… masih banyak waktu untuk ambil berkali-kali. Sesuai prinsip ‘jangan sampai rugi’, kami mencoba semua makanan, sedikit-sedikit. Precils yang berlidah bule, seperti biasa sarapan roti dan olesan, disusul sosis dan kentang wedges (sayangnya tidak ada hash brown kesukaan Big A). Sementara saya, mewajibkan diri mencoba bubur ayam di setiap hotel. Buryam Melia saya kasih nilai 7, cukup enak dan gurih, tapi tidak spesial. Nasi kuningnya juga biasa saja. Kalau roti dan pastry-nya bolehlah, ada pilihan whole wheat, sordough dan baguette.

Yang membuat saya senang, Bapak dan Ibu saya menikmati sekali sarapan di hotel. Ibu saya mencoba semua makanan ‘aneh-aneh’ yang tidak biasa beliau makan sehari-hari. Ibu senang sekali dengan baked beans, yang beliau makan bersama dengan… nasi goreng, hahaha. Bapak saya juga senang mencoba beberapa makanan, meski tidak sebanyak ibu.

Sayangnya makanan enak-enak ini tidak ditemani dengan kopi enak pula. Sepertinya kopinya cuma standar kopi sachet seperti yang tersedia di minibar kamar. Padahal negara ini punya kopi-kopi lokal yang rasanya khas dan nikmat. Mestinya nanti hotel-hotel bintang lima seperti ini bekerja sama dengan artisan kopi lokal di wilayahnya untuk menyuguhkan kopi andalan.

Kenyang, kami istirahat, beres-beres sebentar dan cek out sekitar jam 9.30. Ibu saya ingin segera kulakan bahan untuk tokonya, hahaha. Alhamdulillah, staycation kali ini sukses dan semua senang. Staycation berikutnya, enaknya ke hotel mana ya?

~ The Emak
Follow @travelingprecil

Baca juga:
Indrayanti Sang Primadona Gunung Kidul
Griya Pesisir Pantai Pulang Sawal[review penginapan]

 

Parkir Inap di Bandara Juanda Surabaya

Suasana cek in di Terminal 2 Juanda Airport

Home airport baru kami, bandara Juanda Surabaya terminal 2 mulai beroperasi 14 Februari 2014, tepat ketika Gunung Kelud meletus. Waktu itu, bandara yang baru saja dibuka, terpaksa ditutup kembali. Seluruh penerbangan dibatalkan, termasuk penerbangan kami ke Johor Bahru.

Setelah mengganti jadwal terbang, kami pun berkesempatan mencoba bandara baru ini. Saya dengan pedenya bilang ke Si Ayah bahwa terminal 2 letaknya di sebelah terminal 1. Mobil kami pun melenggang ke terminal 1 dan rencananya kami akan parkir inap di sana. Ternyata oh ternyata, letak terminal 2 ini jauh banget dari terminal 1. Dan karena ini Indonesia, tidak ada sky train atau moda transport cepat apapun yang menghubungan terminal 1 dan 2. Perlu setengah jam dalam kondisi jalan ramai. Saya uring-uringan karena kondisi jalan menuju bandara Juanda terminal 2 ini jelek banget, jalan kampung, tanpa petunjuk arah. 


“Jalan ini lurus, belok kiri, trus belok kiri lagi. Itu lho, bekas bandara Juanda lama, puspenerbal.” Begitu kira-kira kalau kita tanya jalan ke orang, dikiranya semua orang tahu letak bandara lama yang sekarang menjadi bandara baru setelah direnovasi.

Saya menyayangkan minimnya informasi bandara baru ini. Bahkan di website resminya, tidak ada keterangan lokasi. Ketika mencari tahu tentang parkir inap pun, saya tidak menemukan info apa-apa. Akun twitter resmi mereka pun tidak merespon ketika ditanya. Meh!

Minimal, kalau info di website belum beres, petunjuk jalan di lapangan sudah harus ada. Saya tidak menemukan satu papan petunjuk pun, dari terminal 1 ke terminal 2. Satu-satunya ‘clue’ bahwa kita menuju jalan yang benar adalah gerbang besar Pusat Penerbangan TNI AL (puspenerbal). 

Berikut peta dari bandara Juanda terminal 1 dan 2. Kapan ya, mereka akan membuat sky train?

Dari T1 ke T2: tujuh km, setengah jam.

Begitu melihat gerbang T2, saya mulai lega. Tampak dari luar memang cukup bagus. Nggak kalah dengan bandara di Sydney. Masuk ke gerbang parkir otomatis, kami mengambil tiket. Tidak ada petugas yang bisa ditanyai apakah bisa parkir menginap, letaknya di mana dan berapa biayanya. Baiklah, kami nekat saja, cari parkir biasa dan langsung masuk untuk cek in.

Gedung bandara baru terasa luas dan lebih lega. Di luar gedung, meski ada tanda tidak boleh merokok, beberapa orang tetap merokok. Ya gimana ya, memang sudah tradisi warisan leluhur? :p Kami juga melihat ada fasilitas air siap minum, fountain persis yang kami temui di Australia dan Singapura. Big A senyum-senyum tidak percaya. “Is it really safe to drink?” Padahal biasanya dia semangat minum dari pancuran 😀
 
Dekorasi toko-toko yang ada di luar konter cek in tampak baru dan cemerlang. Kami paling suka dengan toko Bon Bon, dengan mas-mas bercelemek pink. Gorjes! Tempat cek in juga luas dan nyaman. Setelah cek in, kami naik ke atas menuju imigrasi dan ruang tunggu. Sebelum imigrasi, ada pemeriksaan keamanan, dipisah antara laki-laki dan perempuan. Saya tidak masalah dengan pemisahan ini, karena memang perempuan akan diperiksa petugas perempuan kalau perlu. Hanya saja karena precils dua-duanya perempuan, saya jadi lebih repot, harus saya yang bawa anak-anak. Solusinya, tas serahkan semua ke Si Ayah, biar saya melenggang badan aja, bareng dengan anak-anak tentunya.

Pemeriksaan imigrasi lancar, hanya ada dua konter, tapi memang antrean pas tidak banyak. Sampai kami ke sana akhir April, baru beberapa toko yang buka setelah imigrasi. Duty Free belum buka, penukaran uang juga belum ada. Hanya ada starbucks, burger kings, hokben dan beberapa tempat makan lainnya.

T2 Juanda ini dibuka untuk mengurangi beban T1 yang sudah penuh banget. Terminal 1 tetap beroperasi melayani penerbangan domestik, sementara Terminal 2 melayani penerbangan domestik untuk airline tertentu dan semua penerbangan internasional.

Berikut daftar maskapai di Juanda Airport.
Terminal 1:
Domestik: Citilink, Lion Air, Batik Air, Wings Air, Kaltstar, Trigana, Sriwijaya, Express Air.

Terminal 2:
Domestik: Garuda Indonesia, Air Asia, Mandala Tiger Air
Internasional: Garuda Indonesia, Air Asia, Mandala Tiger Air, Lion Air, Jetstar/Valuair, Silk Air, Singapore Airlines, Cathay Pacific, Royal Brunei Airlines, Saudia, Eva Air, China Airlines.

Yang saya senangi di T2 ini, semua pesawat dilengkapi garbarata alias belalai gajah, jadi tidak perlu naik turun tangga, atau bahkan harus naik bis ke landasan karena parkirnya jauh. Fasilitas seperti ini sudah sepantasnya, karena Juanda ini termasuk airport yang pajaknya paling mahal, Rp 75.000 untuk domestik dan Rp 200.000 untuk penerbangan internasional. Jadi, jangan seneng dulu kalau dapat tiket murah ke LN dari bandara Juanda, masih harus bayar 200 ribu, hehehe.

Pulangnya, ada travelator yang membantu kita berjalan menuju imigrasi. Travelator ini sangat membantu untuk orang-orang tua dan anak-anak (dan Emak-emak yang males :p). Layanan imigrasi sekarang juga lebih cepat, lebih banyak konter yang dibuka. Selepas imigrasi, pemeriksaan custom/cukai juga cepat. Setelah menyerahkan kartu kedatangan, berisi deklarasi barang-barang yang kita bawa, seluruh tas penumpang tinggal dilewatkan ke pemeriksaan X-Ray. 

Surprise, toilet (baru) di T2 Juanda ini lebih bagus dari bandara Senai dan Penang. Hore! Di dekat pintu keluar, sudah ada layanan pemesanan taksi dengan argo. Bagus lah, memang kayaknya bandaranya jadi lebih baik. Tinggal asap rokoknya itu lho… Nggak tau deh bagaimana mengendalikan ‘tradisi’ yang satu ini.

travelator
imigrasi
pemesanan taksi

Alhamdulillah, mobil kami masih ada di tempat parkir, setelah dua hari ditinggal. Biaya parkir baru kami ketahui setelah kami melewati loket parkir. Untuk 44 jam, kami membayar Rp 60.000. Sedangkan pengalaman kami yang kedua, masuk Jumat pagi jam 8 dan keluar Minggu sore jam 4, bayar Rp 75.000. Coba deh hitung sendiri berapa tarif per jam atau per harinya :)) Kami tidak begitu peduli, yang penting kami tahu bahwa parkir menginap di T2 Juanda memang bisa, cukup gampang, nyaman dan aman. Tarif parkir inap lebih murah daripada kalau naik taksi pp ke rumah. Tentu saja, kalau dibandingkan tarif parkir di Sydney airport, Juanda murah banget. Di Sydney, Rp 75.000 (AUD 7) cuma bisa untuk parkir setengah JAM :p

We love Surabaya!

~ The Emak
 Follow @travelingprecil

Staycation in Surabaya: Hotel 88 Embong Kenongo

Cabang Hotel 88 di Embong Kenongo, Surabaya
Untuk menghindari berisik suara terompet, kembang api swadaya dan knalpot brong di malam tahun baru, kami memutuskan staycation di hotel (murah) di Surabaya.
Sebenarnya rencana staycation ini tidak sengaja. Ketika saya cek akun Agoda, ternyata poin saya bakal hangus per 31 Desember 2013 kalau tidak digunakan. Sayang banget kan poin-poin yang didapat dari bantu teman-teman backpacker yang belum punya kartu kredit untuk booking hotel ini hilang begitu saja. Iseng-iseng saya cari hotel yang bisa ditukar dengan 12,500 poin Agoda, dan ketemu hotel ini. Saya pesan dua bulan sebelumnya tanpa membuat rencana malam tahun baru sama sekali. Kalaupun nanti nggak jadi ya gakpapa, toh nggak rugi apa-apa.

Hotel ini relatif baru, salah satu cabang Hotel 88 yang banyak saya lihat di Singapore. Review-nya bagus. Lokasinya oke, di jalan Embong Kenongo 17, dekat dan bisa jalan kaki ke Plaza Surabaya (Delta), Monumen Kapal Selam, Pasar Bunga Kayoon, TIC (Tourism Information Centre), Perpustakaan Kota dan Es Krim Zangrandi. Yang nggak mau jalan kaki, taksi Blue Bird mangkal di depan hotel. Rate standar hotel ini sekitar 350 ribu, sudah termasuk sarapan. Kami dapatnya gratis pakai poin Agoda, jadi ya lumayan, pake banget :p

Enaknya pesan hotel di Indonesia, gak perlu pusing dengan aturan maksimal berapa orang per kamar. Asal muat dan mau empet-empetan aja, monggo, dipersilahkan, haha. Ketika cek in, saya hanya diminta menunjukkan KTP, tanpa ditanya berapa orang yang ikut menginap. Kamar superior kami terletak di lantai dua, untuk non-smoking room. Kamarnya mini banget sih, cuma 17 meter persegi, dengan satu king bed tanpa jendela. Tapi apalah artinya jendela kalau di kamar ada sambungan wifi yang cepat dan gratis. 

Fasilitas kamar ini standar, ada TV kabel, meja kerja, toilet dengan shower terpisah. Air minum botolan, handuk, sabun, shampo, sikat gigi dan sandal hotel juga disediakan. Tapi di kamar tidak ada mini bar (kulkas) dan alat pembuat teh/kopi. Nggak masalah sih, karena di tiap lantai ada dispenser air panas dan dingin. Di lobi juga disediakan teh dan kopi panas setiap saat. Bahkan di malam tahun baru ini ada bonus camilan kacang rebus, ubi dan singkong rebus dan wedang ronde, meski rasa wedangnya tidak karu-karuan :))

Seminggu sebelum malam tahun baru, saya baru tahu kalau di Surabaya diadakan Car Free Night di beberapa ruas jalan. Salah satunya adalah Jalan Jenderal Sudirman yang cuma 50 meter dari hotel ini. Wah, kebetulan banget. Karena anak-anak tidak mau keluar dan memilih menonton film di kamar, saya punya kesempatan pacaran dengan Si Ayah, menengok keramaian di CFN malam tahun baru. 

CFN-nya ramai, dan berisik tentu saja. Tapi saya sudah pakai senjata noise-cancelling earphone. Di sepanjang Jl Sudirman, sampai tugu bambu runcing, berjajar gerai makanan, promosi produk dan komunitas. Di titik-titik tertentu ada atraksi dari berbagai komunitas: capoeira, sepeda lipat, cosplay, ular tangga raksasa, atraksi ular raksasa (beneran). Warga Surabaya tumblek blek di sini, semakin malam semakin ramai saja. Setelah berhasil membelikan nasi kuning untuk makan malam Precils, kami menikmati last supper kami, berupa lontong kikil, sambil menonton sirkus sepeda motor yang ahli menjungkirbalikkan tunggangan mereka. Haha, cara melewatkan tahun baru yang aneh.
Breakfast station di lantai 2

Meski harus berdempetan berempat tidur di satu ranjang, untungnya, kamar hotel kami lumayan kedap suara, jadi kami bisa tidur nyenyak tanpa terganggu kemeriahan pesta jalanan tahun baru di luar sana. 

Pagi harinya, sarapan disediakan mulai jam enam, di lantai dua dan lantai tiga. Saya senang sekali dengan pemisahan ini, karena bisa sarapan dengan nyaman tanpa terganggu asap rokok. Pilihan menu sarapan sederhana: bubur ayam, nasi goreng, pecel dan roti panggang dengan selai. Minumnya ada teh, kopi dan jus jeruk. Pilihan buah hanya ada semangka. Untuk pencuci mulut disediakan singkong rebus dengan gula merah. Saya mencoba bubur ayam dan rasanya lumayan enak.

Karena tempat terbatas, kami tidak bisa berlama-lama di area sarapan ini. Begitu piring atau gelas kami kosong, pelayan dengan cepat mengambilnya. Bahasa halusnya tentu saja ingin mengusir kami karena memang harus bergantian dengan tamu lain. Untung kamar kami dekat dengan area sarapan ini, jadi bisa ambil ini itu dan dimakan di kamar.

Happy New Year 2014!

Mobil tamu bisa parkir gratis di hotel ini. Kalau tempat parkir di depan hotel habis, bisa parkir di pinggir jalan sekitarnya, keamanan dijamin pihak hotel 12 jam. Layanan cek out hotel ini secepat kilat. Saya cukup menyerahkan kartu kunci dan beres sudah karena sudah dibayar oleh Agoda. Little A cukup senang tinggal di sini, meski dia lebih senang lagi kalau hotelnya ada jendelanya. Big A juga senang karena wifinya bisa untuk streaming YouTube tanpa jeda. Si Ayah senang karena bisa numpang mengerjakan PR. The Emak ikut senang karena semua senang. Setelah meninggalkan hotel ini jam 11.30 siang, Little A langsung bertanya, “Kapan kita ke hotel gratis lagi, Mommy?”

Keluarga The Precils mengucapkan Selamat tahun baru 2014. Semoga semua destinasi impian bisa tercapai tahun ini. Cheers.

 ~ The Emak

Baca juga: 
Staycation Surabaya: Hotel Swiss Belinn Manyar

[Penginapan] Griya Pesisir Pantai Pulang Sawal

Beach front accommodation

Setelah berkali-kali gagal menelepon penginapan-penginapan lain di sekitar pantai Pulang Sawal alias Indrayanti, akhirnya Dila, adik saya berhasil menghubungi pemilik Griya Pesisir. Di akun Facebook-nya, penginapan ini tidak begitu meyakinkan. Tapi ternyata, lumayanlah untuk menginap semalam dan menikmati senja dan pagi di pantai. Fasilitas memang sangat basic, tapi pemandangan laut dari balkon luar biasa.
Gunung Kidul, Yogyakarta punya banyak pantai cantik di pesisir selatan. Sayang, belum banyak akomodasi dengan standar bagus untuk pengunjung yang ingin menginap. Biasanya, orang-orang melakukan day trip dari Yogyakarta. Memang jarak Jogja dengan pantai-pantai di Gunung Kidul bisa ditempuh sekitar 2,5 – 3 jam. Tapi kami tidak ingin terlalu capek dan memutuskan menginap semalam di akhir pekan.

Ternyata tidak mudah memesan penginapan di sekitar pantai Pulang Sawal. Saya browsing di internet, tidak ada informasi lengkap mengenai akomodasi di Indrayanti. Saya juga minta tolong teman yang kebetulan main ke pantai ini untuk mencatat nomor kontak penginapan yang bisa dihubungi. Tapi ternyata tidak bisa tersambung. Di tengah ketidakpastian, saya mendapatkan akun facebook Griya Pesisir yang tidak begitu meyakinkan. Tapi tidak ada salahnya dicoba, kan?

Akhirnya Dila berhasil menelepon nomor 0877-3801-7351 ini dan memesan satu kamar untuk kami berdelapan. Harga yang semula Rp 750 ribu dia tawar menjadi Rp 700 ribu 🙂 DP 100 ribu kami kirimkan lewat transfer bank. Ketika memesan, belum jelas fasilitas apa yang akan kami dapatkan nantinya. Tapi pemilik penginapan meyakinkan kamar ini muat untuk 6 orang dewasa dan 2 anak-anak.

Untuk jaga-jaga, kami membawa sleeping bag, thermos, berbotol-botol air mineral dan banyak makanan instan. Sedia payung sebelum hujan, sedia camilan daripada kelaparan :p Mobil New Avanza yang kami sewa seharga 250 ribu perhari pun jadi terlalu penuh makanan 😀

Dua double bed dan satu sofa bed
Basic toilet

Lika-liku perjalanan menuju pantai Pulang Sawal sudah saya ceritakan di sini. Kami menemukan penginapan Griya Pesisir di tepi jalan dekat lapangan tempat parkir pantai yang sudah penuh sesak dengan mobil dan bus. Kami disambut Mas Nardjo, penjaga penginapan yang langsung menyilakan kami memarkir mobil di dalam.

Penginapan ini terdiri atas dua lantai. Lantai pertama dipakai untuk parkir dua mobil, plus dapur dan tempat duduk-duduk. Sementara di lantai dua ada tiga kamar tamu berukuran sedang dan balkon luas yang asyik untuk leyeh-leyeh dan memandang lautan.

Ukuran kamar kami kira-kira 4×5 meter. Ada satu dipan dengan double bed, satu kasur dobel ekstra yang bisa digelar di lantai kayu dan satu sofa bed yang bisa dipakai tidur satu orang dewasa. Di ujung kamar ada kamar mandi basic dengan toilet duduk, ember dan shower head dari pipa pralon kecil 🙂 Wastafel kecil menempel di luar kamar mandi. Mereka juga menyediakan handuk dan dispenser sabun dan shampoo.

Ada dispenser air panas dan dingin di balkon. Tapi kalau butuh air mendidih, kita juga bisa meminta Mas Nardjo untuk memanaskan air di dapur. Pagi harinya disediakan air satu thermos plus kopi, teh dan gula. Dan ternyata kami mendapat sarapan dua piring nasi goreng dengan telur! Rasanya? Ehm… bisa dimakan lah :))

Di kamar kami ada kipas angin, tapi tidak terlalu dibutuhkan karena cuaca yang cukup nyaman. Suhu udara tidak terlalu panas dan angin laut bertiup cukup kencang. Jangan ditanya bagaimana kami bisa tidur berdelapan, hanya dengan 2 kasur dan 1 sofabed. We could manage 🙂

Kami cukup senang menginap di sini. Bapak saya yang sudah tidak kuat berjalan kaki jauh, tetap bisa menikmati suasana pantai dengan duduk-duduk di balkon. Little A ditemani Om dan Tante juga puas main air di depan penginapan persis dan bilas dengan pancuran air bersih di lantai bawah. Ibu saya puas jalan-jalan ke mana-mana dan membeli camilan macam-macam. Saya puas bisa pacaran sama Si Ayah 😉 

Ketika jalan-jalan pagi, saya sempatkan untuk melihat penginapan lain di sekitar. Ada Penginapan Walet di seberang jalan pantai yang menyediakan guest house dan camping ground. Tarif penginapan ini Rp 350 ribu semalam per kamar. Bangunan guest house ini tampak bagus dan lingkungan sekitarnya pun tertata apik dan bersih. Tapi sayangnya lokasinya tidak berada di pinggir pantai persis sehingga tidak mendapat pemandangan laut. Penginapan ini kira-kira 50 meter dari pantai, terhalang kafe Indrayanti dan jalan aspal. Untuk memesan, bisa menghubungi 087838601129 atau 082133065501. Good luck 🙂

Rombongan Darmawisata :))
Griya Pesisir terlihat dari atas bukit

~ The Emak

Baca juga:
Indrayanti Sang Primadona Gunung Kidul
Review Hotel Melia Purosani Yogyakarta

Indrayanti Sang Primadona Gunung Kidul

Pantai Indrayanti alias Pulang Sawal

Sudah lama saya penasaran sama pantai Indrayanti di Gunung Kidul, yang kata orang cantik, bersih dan nyaman untuk jalan-jalan karena ada fasilitas kafe dan restoran untuk leyeh-leyeh sambil memandang laut. Begitu ada kesempatan ke Jogja, saya kasak-kusuk dengan adik saya, Dila, untuk mengatur GK Trip, semalam menginap di pantai ini.

Jalan Menuju Pulang Sawal
Meski lebih dikenal sebagai pantai Indrayanti, sebenarnya nama pantai ini adalah Pantai Pulang Sawal. Dahulu kala disingkat menjadi pantai pulsa :p Tapi karena di pantai ini ada kafe Indrayanti yang terkenal dengan gazebo-gazebo cantiknya, masyarakat lebih suka menggunakan nama ini. Ya sudah, asal dicatat saja, dalam perjalanan menuju pantai ini akan ada papan penunjuk jalan menggunakan nama pantai Pulang Sawal (versi pemda) dan pantai Indrayanti (versi warga lokal). Biar nggak nyasar 🙂
Pantai ini terletak di kecamatan Tepus kabupaten Gunung Kidul, propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari Jogja, kita bisa menggunakan mobil atau sepeda motor menuju Wonosari (ibukota Gunung Kidul). Perjalanan naik gunung ini bisa ditempuh dalam satu sampai satu setengah jam, tergantung padatnya lalu lintas. Setelah memasuki kota Wonosari, kita akan melewati pasar (jalan satu arah), dari sana kita belok kanan melalui Jl. Baron. Ikuti terus Jl. Baron ini sampai nanti ada petunjuk jalan ke kiri, ke arah pantai Pulang Sawal yang searah dengan pantai Sundak, Pok Tunggal dan Siung. Kalau tidak menemukan plang ke arah Pulang Sawal/Indrayanti, ikuti dulu yang ke arah pantai Sundak. Dari Wonosari ke tepi pantai sekitar satu jam. Jalannya beraspal sampai ke parkiran pinggir pantai, meski beberapa ruas jalan sangat sempit dan sulit untuk berpapasan dua mobil.

Yang punya GPS, sila dicatat koordinat pantai Pulang Sawal ini: S8°9’2″   E110°36’44”. Untuk memberi perspektif, sila buka peta pantai-pantai yang ada di Gunung Kidul, di link ini. Yang punya smartphone, sila membuka peta di hp masing-masing. Tapi pengalaman kami, hanya sinyal Telkomsel yang bisa sampai pantai, sementara sinyal XL dan Indosat hilang ditelan ombak 🙂

Kafe dan Restoran Indrayanti
Sunset dilihat dari Pantai Landeng

Kami berangkat jam 2 siang dari Jogja utara dan sampai di pantai Pulang Sawal pukul 4.45 sore. Kami langsung memarkir mobil di dalam area penginapan kami di Griya Pesisir yang letaknya tepat di bibir pantai. Suasana sabtu sore di pantai lumayan ramai. Setelah beres-beres barang bawaan, kami duduk leyeh-leyeh di balkon penginapan lantai dua sambil melihat senja berganti malam. Little A bersama Om dan Tantenya tidak tahan untuk tidak berbasah-basah di pantai, meski saat itu air laut surut sehingga bebatuan nampak di bibir pantai.

Garis pantai Pulang Sawal tidak terlalu panjang, berada di antara bukit kecil di sebelah timur dan batu karang di sebelah barat. Lokasi pantai ini kurang bagus untuk memotret sunset atau sunrise. Begitu langit memerah, Si Ayah berjalan melipir ke barat melewati batu karang. Dia mengambil foto sunset dari pantai tetangga di balik karang: pantai Landeng.

Saya jalan-jalan menyusuri pantai sambil cari makan di kafe Indrayanti. Kafe ini buka sampai malam jam sembilan asal bahan makanan masih ada, hehe. Saya memesan makanan: ikan bakar, filet goreng, tahu, sayur kangkung dll. Total 196 ribu untuk berdelapan. Makanan bisa diantar sampai kamar, kayak room service 🙂 Rasanya tidak istimewa tapi cukup enak. Malam itu kami tidur nyenyak diiringi deburan ombak dan sayup-sayup terdengar lagu dangdut dari arah kampung.

Dreamy Trenggole beach in the morning

Matahari terbit terlihat dari bukit di atas pantai Trenggole

Saya bangun pagi dengan semangat untuk berburu sunrise bersama Si Ayah. Kapan lagi ada kesempatan bisa pacaran berdua? Kami pamit pada ortu dan adik setelah sholat subuh, tak lupa menitipkan anak-anak dan bergegas berjalan ke arah timur, berharap mendapat view yang bagus dari balik bukit. Di balik bukit di sebelah timur pantai Pulang Sawal adalah pantai Trenggole. Pantai ini lebih sepi daripada tetangganya yang lebih terkenal. Kami hanya melihat dua orang backpacker yang tidur di pasir dengan menggelar kantung tidur. Satu orang bangkit dan mulai berenang. Dan Si Ayah pun sibuk memotret ombak yang memecah bebatuan.

Matahari terbit yang kami nantikan tidak juga datang. Tentu saja, pantai Trenggole ini juga berbatasan dengan bukit di sebelah timur. Di balik bukit tersebut ada pantai Goa Lawang yang jaraknya 500 meter ke arah timur. Jalan ke pantai ini hanya jalan setapak yang hanya bisa dilalui oleh orang dan sepeda motor.

Akhirnya kami memutuskan untuk naik ke bukit. Pemandangannya cukup bagus dari atas. Kalau memandang ke arah barat, kita bisa mengintip pantai Sundak. Ternyata matahari muncul dari balik pegunungan kapur. Pantes saja mataharinya tidak kelihatan, saya cari-cari ke arah yang salah ^_^ Kami cukup lama di atas bukit sampai saya lihat tiga titik yang bergerak-gerak di depan penginapan. Lho, ternyata Little A sudah bangun dan langsung turun ke pantai. Duh, waktu pacaran habis dan kami segera kembali ke penginapan.

Tukang Payung buka lapak
Little A puas main air
Little A minta ‘naik gunung’

Di pagi hari, pantai masih sepi, cukup asyik untuk main-main air sampai puas. Yang nggak pengen main air, bisa leyeh-leyeh dengan menyewa payung dan tikar seharga Rp 20.000, dipakai sepuasnya. Di pantai ini, jangan takut kelaparan karena banyak orang berjualan camilan: arem-arem, tahu, bakpao, dll. Warung-warung mie instant pun banyak bertebaran, berjejer dengan bilik-bilik toilet dan kamar mandi.

Pantai Paling Bersih?
Rumor yang beredar, pantai Pulang Sawal ini menjadi primadona karena pasirnya yang putih dan bersih, bebas dari sampah. Kabarnya, yang membuang sampah di sini bakal didenda Rp 10.000. Hmm… saya benar-benar penasaran dan ingin melihat langsung tingkat kebersihan pantai ini, dan tingkat kepatuhan masyarakat Indonesia membuang sampah pada tempatnya 😉

Benarkah pantai ini bersih bebas sampah? Bersih dengan standar siapa dulu, hehe. Mungkin dibandingkan pantai-pantai lain, Pulang Sawal cukup bersih. Tapi saya masih saja melihat puntung rokok dan bungkus mie instan berserakan, botol minuman terombang-ambing di laut dan bahkan, popok bayi bekas pakai tepat di depan penginapan saya. Wait, What? Orang macam mana yang membuang popok bayi di pantai? Grrrhh… Di beberapa sudut warung, batok-batok kelapa muda ditumpuk begitu saja dan mengundang lalat. Saya amati, tempat-tempat sampah di pantai ini diletakkan cukup tersembunyi di belakang warung dan toilet, tidak terlihat langsung dari pantai. Menjelang siang, saya tanya Bapak saya yang setia duduk di kursi balkon mengamati suasana pantai, apa ada petugas kebersihan yang memunguti sampah. Kata Bapak saya, yang memungut sampah adalah mas-mas yang menyewakan payung. God bless them 🙂 Dari TOA lifeguard, berulang kali diingatkan agar pengunjung tidak membuang sampah di pantai.

Colourful beach
Minggu jam 9 pagi, sudah ramai banget

Secara umum, weekend getaway kami kali ini cukup menyenangkan. Ibu saya senang bisa jalan-jalan pagi dari ujung barat pantai Landeng sampai ujung pantai Trenggole di timur dan berbelanja oleh-oleh peyek rumput laut. Bapak saya yang sudah tidak kuat berjalan-jalan lagi, cukup puas menikmati pemandangan pantai dari balkon lantai dua. Tante Dila dan Om Irham puas main air dengan Little A dan puas berfoto-foto post-wed 😀 Si Ayah, meski capek menyetir, cukup menikmati liburan singkat ini. Hanya saja dia kurang puas dengan look out untuk memotret sunrise dan sunset. Kita harus coba pantai lain kalau begitu, ya? 😉

Rasa penasaran saya akan primadona Gunung Kidul ini terpuaskan. Tapi kalau melihat ramainya pengunjung yang memadati pantai ini, saya juga sedikit khawatir, akankah pantai ini tetap menjadi pantai yang cantik dan bersih, atau lambat laut akan tercemar karena ulah pengunjung sendiri.

Untuk keluarga yang ingin berkunjung ke sini, apalagi di akhir pekan, saya sarankan datang pagi atau sore sebelum matahari terik dan pantai ramai. Kalau perlu memang menginap seperti yang kami lakukan agar tidak terlalu capek dan lebih santai. Kalau tidak malas, sebenarnya bisa sekalian menyusuri pantai-pantai yang ada di sekitar Pulang Sawal ini: Pok Tunggal dan Sundak yang konon juga secantik Indrayanti. Tapi tolong… tolong banget, jangan kotori pantai-pantai jelita ini ya. Buang sampah di tempatnya, oke?

~ The Emak

Baca juga:
Griya Pesisir Pantai Pulang Sawal[review penginapan]
Hotel Melia Purosani [review penginapan]

A Quick Rocking Experience At Hard Rock Hotel Bali

Cool guitars 🙂

Meskipun ‘liburan’ kami ke Bali kali ini termasuk sangat singkat, kesan yang kami dapatkan sungguh menyenangkan. Salah satunya karena kami menginap di ‘the bestest hotel ever‘ versi Little A 🙂

Berawal dari mendapatkan durian runtuh tiket gratis Air Asia untuk Surabaya – Denpasar bulan April ini, saya mulai cari-cari hotel untuk menginap di Bali. Kriterianya yang paling penting adalah family friendly, artinya bisa muat untuk dua dewasa dan dua anak dalam satu kamar, tanpa extra bed atau tanpa sembunyi-sembunyi menyelundupkan anak, hehe. Meskipun hotel di Bali banyak banget, ternyata tidak gampang mencari kamar hotel dengan dua double bed. Biasanya hotel menyediakan satu queen/king bed atau dua single bed. Kapasitas juga terbatas untuk dua dewasa dan satu anak kecil. Kalau anak sudah berusia 11 tahun seperti Big A, sudah tidak nyaman satu ranjang dengan orang tuanya. Jadi meskipun ada promo-promo hotel yang murah jatuhnya tetap mahal karena harus ada extra bed atau malah harus pesan dua kamar.

Kriteria lain adalah harus dekat dari bandara karena flight kami kembali ke Surabaya cukup pagi. Kami tidak mau deg-deg-an di jalan terkena macet atau harus berangkat terlalu pagi. Pilihannya tinggal di daerah Jimbaran, Tuban, Kuta Selatan atau Kuta karena saya maunya beachfront, di depan pantai persis. Selain itu saya masih punya syarat lagi: punya kolam renang untuk anak-anak agar kami tidak perlu main di Waterbom. Tiket Waterbom ternyata lumayan mahal juga untuk berempat. Trus syarat yang terpenting adalah tarifnya tidak mahal! Duh, Emak-Emak memang banyak maunya ya? :p

Website andalan saya untuk membaca review hotel adalah Trip Advisor, meski harus diakui terjemahan bahasa Indonesia lucu banget. Mending baca website berbahasa Inggrisnya deh. Hard Rock Hotel Kuta lumayan dapat review bagus, terutama oleh keluarga yang membawa anak kecil. Hotel ini juga dipilih pembaca Trip Advisor menjadi salah satu dari 10 Hotel Keluarga Terbaik di Indonesia tahun 2013. Saya langsung cek harga (sekaligus membandingkan dengan tarif hotel lain) di Agoda, HotelsCombined dan website resminya.

Ternyata paling murah di website resminya, saudara-saudara. Di Agoda malah lebih mahal dan belum tentu dapat diskonan, voucher dan bonus macem-macem. Kami mendapat harga Rp 1.204.764 per malam untuk kamar deluxe (yang paling murah pokoknya), sudah termasuk pajak, termasuk sarapan untuk dua dewasa dan dua anak-anak. Not bad. Dan kalau booking di websitenya, kita tidak perlu bayar di muka. Bisa bayar ketika cek out, tapi nomor kartu kredit kita dicatet. Sebenarnya ada bonus free shuttle dari bandara kalau menginap dua malam, atau bonus free family dinner kalau menginap tiga malam. Sayangnya kami cuma menginap semalam karena ada teman yang mengundang kami menginap di Vila barunya di Canggu.

Sayangnya Hotel Hard Rock ini baru bisa cek in jam 3 sore. Padahal maksud saya setelah makan siang di sekitar Kuta, kami berharap bisa langsung ke hotel sekitar jam 2-an. Saya hubungi akun twitter mereka: @hrhbali untuk mengemis early check in. Ternyata si admin ramah banget dan kami boleh cek in jam 2. Mari kita follow @hrhbali, siapa tahu mereka kasih promo atau bagi-bagi gratisan (modus, hehe).

Sesuai itinerary, setelah makan siang di restoran favorit Little A kami cek in di hotel. Kejutan! Kamar kami di-upgrade menjadi Kids Suite. Whoa! Hadihaha, yay! Saya melirik Big A yang tidak bisa berhenti tersenyum. Ini salah satu impian dia, menginap di Kids Suite, Hard Rock. Berkali-kali dia membuka website Hard Rock dan melihat-lihat kamar spesial ini. Hanya saja saya bilang belum mampu bayar tarifnya. Ntar aja kalau lagi ada diskon. Atau di-upgrade :)) Big A’s dream comes true. “Why do they upgrade our room, Mommy?” tanya Big A. Karena tidak tahu, saya juga jawab sekenanya. “Mungkin mereka tahu kalau kita gak mampu bayar kamar suite.” Big A meringis. “No, maybe because we are good people. Let’s go to our room berfore they change their mind.” Dengan semangat empat lima kami menuju kamar yang terletak di wing 1, ditemani petugas yang membawakan ransel-ransel kami, yang baju seragamnya persis kemeja yang saya kenakan, euw 😀 Senyum Little A mengembang begitu melihat tanda bintang di depan pintu kamar kami: Rock Star!

The Precils dapat kamar sendiri. Asyik!
Kamar The Emak dan Si Ayah. #okesip :p
Posisi wuenak! Udah susah diajak keluar hotel 🙂

Cerita berikut ini seharusnya disensor demi reputasi pemilik blog ini, tapi begini lah yang terjadi setelah kami masuk kamar. “Whoohoo!” Big A berteriak kegirangan dan langsung meloncat ke ranjang atas bunk bed. Little A ikut-ikutan naik ke ranjang, memeluk boneka yang tersedia di sana. Big A meloncat turun dan mendarat di bean bag besar yang disediakan untuk leyeh-leyeh. Saya ikut senang melihat ekspresi precils yang sangat gembira, sambil nyemil coklat-coklat kecil yang disediakan di meja makan. Tapi saya segera menguasai keadaan: ayo foto-foto dulu sebelum semuanya berantakan!

Kamar Kids Suite ini memang sangat asyik, melebihi ekspektasi kami. Ada ruang khusus untuk anak-anak yang didesain sangat cute, dilengkapi dengan amenities yang menarik untuk mereka: bunk bed alias ranjang susun, boneka plush toys, bean bag, peralatan main pasir, buku-buku, dan Play Station 3 termasuk guitar untuk main guitar hero. Lebih asyik lagi, precils mendapat kamar mandi sendiri dengan sikat gigi, pasta gigi, sabun, shampo dan kaca mata renang khusus untuk anak-anak. Kids Suite ini benar-benar memanjakan precils, menjadikan mereka lil’ rocks 🙂

Dari pengalaman kami traveling, beberapa kali kami memesan penginapan dua kamar, tapi the precils jarang dengan sukarela mau tidur sendiri di kamar yang disediakan. Biasanya mereka akan ikut tidur di ranjang utama. Kecuali di Kids Suite hotel ini. Mereka sudah tidak peduli lagi dengan kamar Si Ayah dan The Emak. Asyik kan? :p


Saya sendiri suka dengan perhatian kecil yang diberikan hotel ini. Misalnya kartu selamat datang yang ditulis tangan oleh manajer hotel, buah-buah segar yang disediakan (meski saya tidak tahu bagaimana caranya memotong nanas dengan pisau roti), nama saya di kotak peralatan mandi (berarti boleh dibawa pulang ya?) dan tentu saja cokelat-cokelat selamat datang (yang sebagian besar dimakan Si Ayah, bukan saya). Yang paling saya suka: ada mesin pembuat kopi! Pagi-pagi sebelum cek out, saya sempatkan membuat kopi dari pod yang disediakan. Tentu kopinya lebih sedap daripada kopi instan. Sayangnya mereka tidak menyediakan susu segar untuk teman minum kopi, seperti hotel/motel di Australia dan New Zealand. Di Indonesia, biasanya cuma disediakan kopi bubuk, creamer dan gula. Untungnya kami membawa sendiri susu segar. Punya anak-anak sih, minta dikit gak papa kan? Duh, saya jatuh cinta sama mesin kopi Pod Brewer ini, pengen saya bawa pulang 🙂 Pagi itu baru saya tahu kalau ada yang lupa menyediakan sendok kecil untuk mengaduk kopi. Atau saya aja yang tidak berhasil menemukan?

Masalahnya dengan kamar hotel yang terlalu nyaman, rasanya malas sekali untuk keluar. Setelah selesai beres-beres, Si Ayah, Little A dan Big A duduk nyaman di day bed menonton film di televisi. Si Ayah sedari tadi sudah ‘tidak rewel’ sejak saya beri password untuk menyalakan wifi, yang katanya lumayan kencang. Posisi wuenak mereka ini susah untuk diganggu gugat. The Emak harus ultimatum: renang jam empat, lihat sunset di Kuta jam 5! Hening, tidak ada jawaban kecuali suara dari speaker televisi kabel.

Dengan kolam renang terbesar di Bali ini, saya bisa bilang bahwa Hard Rock sebenarnya bukan hotel, tapi kolam renang raksasa yang kebetulan juga menyewakan kamar-kamar. Kamar kami cukup jauh dari kolam renang utama, harus berjalan melewati lobi dan seluncuran raksasa yang bentuknya persis dengan foto yang saya lihat di website (ya iya laaah). Meskipun seluncuran itu sangat menggoda dan menantang, saya tidak berani bawa anak-anak ke sana karena Little A belum bisa berenang dan tidak membawa pelampung. Kami berjalan melewati pantai pasir buatan, tempat sekelompok anak-anak yang kebanyakan berambut pirang berlomba balap karung. Sepertinya ini aktivitas Kids Club. Sebenarnya The Precils otomatis sudah terdaftar di Kids Club. Tapi kami tidak sempat menggunakan fasilitas ini karena mereka maunya berenang saja. Padahal kalau the precils bisa dititipkan ke club yang diasuh para profesional ini kan Emak dan Si Ayah bisa pacaran… #abaikan.

Saya intip di website mereka, untuk mendaftar ke Kids Club ini harganya Rp 250.000, cukup dibayar sekali dan berlaku selama menginap. Tapi kalau booking lewat website resmi, ada diskonnya kok. Harga ini termasuk minum, makan siang gratis, gift pack dan seluruh aktivitas. Cocok banget untuk yang ortunya punya acara sendiri 😉

Puas nonton precil-precil bule jatuh bangun lomba balap karung, kami melipir ke Kids Pool yang ada di pojokan. Kami berpapasan dengan pelayan restoran yang mengantarkan minuman, meluncur dengan in-line skate. Wuih, ide yang bagus, biar pelayanannya lebih cepat. Asyiknya berlibur ketika orang-orang lain masih di kantor, kami tidak perlu rebutan bangku di pinggir kolam. Suasana cukup sepi, hanya ada beberapa keluarga yang main di Kids Pool yang kedalamannya cuma 30 centimeter ini. Little A dan Big A senang banget main di sini. Awalnya Little A masih takut karena ada ember yang memuntahkan air sewaktu-waktu. Tapi lama-lama dia tidak takut lagi dan asyik balapan seluncur dengan kakaknya. Saya cuma menjaga mereka dari tepi kolam, tidak ikut nyemplung.

Puas bermain air, kami menuju pantai Kuta yang letaknya persis di depan hotel, sambil berharap-harap cemas karena mendung tetap menggantung di langit. Benar saja, kami tidak bisa menyaksikan sunset warna-warni. Setelah langit gelap, kami pulang kembali ke hotel dengan pasir yang lengket di kaki. Yang saya sayangkan, saya tidak menemukan pancuran untuk bilas di sekitar pantai. Di depan hotel pun tidak ada, entah mereka punya atau tidak. Rasanya tidak nyaman berjalan di selasar hotel masih dengan pasir yang menempel. Tidak enak sendiri berpapasan dengan staf hotel yang tetap tersenyum dan menyapa ramah pada kami yang meninggalkan jejak pasir di selasar hotel.

Kids Pool
Ready, Set, Go!

Setelah mandi dengan air hangat dari pancuran besar, rasanya nyaman sekali. Saya suka aroma shampo dan sabun dari hotel ini: jasmine & orange. Terutama suka sama sabun glycerinnya untuk cuci muka (iya, yang ini saya colong). Malam itu ada orang yang mengantar gift pack untuk Little A dan Big A, mungkin karena mereka tidak jadi ikut kegiatan Kids Club. Isinya tas serut, boneka teddy bear dan pin. Boneka teddy ini sebenarnya dijual untuk amal, kerjasama kampanye Yoko Ono untuk memerangi kelaparan pada anak-anak miskin di seluruh dunia. Sementara pin pinky keren yang diberikan untuk kami dari kampanye melawan breast cancer. Saya tersenyum mendapati tulisan di tas serut: “Stolen from Hard Rock Hotel, Bali”. Hakdush!

Selesai mandi, saya berniat menukarkan welcome drink di CenterStage. Ketika cek in, banyak sekali voucher yang diberikan: diskon spa, Hard Rock Cafe, souvenir di toko, dan gratis foto di gitar Hard Rock depan hotel. Duh, yang terakhir ini pun kami tidak sempat karena hari keburu gelap. Ternyata welcome drink juga sudah tidak berlaku lagi pada malam hari. Tapi di CenterStage, yang sebenarnya lobi hotel, kami bertemu dengan Fandy dan Wangi dari Hard Rock. Kami ditraktir jus yang seger banget sambil ngobrol-ngobrol tentang hotel yang pertama kali didirikan oleh Hard Rock di Asia ini. Kata Fandy, mereka memang sedang giat mempromosikan hotel ini sebagai hotel ramah keluarga. Selama ini brand Hard Rock populernya di kalangan anak-anak muda atau yang berjiwa muda. Padahal mereka juga cater untuk keluarga dengan anak-anak. Kalau menurutku sih hotel yang family friendly itu jelas kelihatan dari fasilitas-fasilitas yang diberikan. Kalau sampai ada kolam renang untuk anak, Kids Club, menu makan khusus anak, sampai ada Kids Suite, pasti hotel ini cocok untuk anak-anak. Kata Fandy, kebanyakan tamu mereka yang keluarga berasal dari Australia, sebelas dua belas sama keluarga-keluarga di Indonesia. Baru selanjutnya keluarga dari Malaysia dan Singapura.

Fandy dan Wangi juga memamerkan fasilitas-fasilitas yang mereka punya. Duh, memang tanggung banget kalau cuma menginap semalam di sini. Apalagi besoknya saya harus cek out pagi-pagi. Saya belum merasakan spa, lihat-lihat toko merchandise-nya, main catur raksasa (pura-pura), nongkrong di cafe, mencoba rock climbing (belum tentu bisa, tapi kan harus dicoba), dll. Bahkan kami tidak akan merasakan menu sarapan hotel karena kami minta sarapan kami dibungkus untuk dimakan di bandara. Dan… saya baru ingat, belum sempat mencoba gelato yang katanya enak banget, direkomendasikan oleh teman-teman yang pernah menginap di sini.

Sebetulnya, dari semua cerita tadi, yang paling mengesankan ketika kami menginap di Hard Rock Hotel ini adalah pelayanan yang ramah, tulus dan sigap membantu dari semua staf. Semua bisa membangun hotel dengan fasilitas yang paling mewah, tapi tidak semua hotel bisa membuat seluruh stafnya merasa memiliki, sehingga membuat mereka tulus pada setiap tamu yang datang. Pelayanan seperti ini yang kami rasakan sejak pertama kali kami menitipkan tas di depan hotel, seluruh staf sepertinya menjadi owner dari hotel ini, bertanggung jawab untuk membuat tamu-tamunya betah dan ingin kembali lagi. Kami dilayani dengan baik ketika reservasi, diantar oleh petugas yang sigap membawakan ransel kami. Ketika Big A bingung dengan setting PS3-nya, ada petugas yang siap datang ke kamar untuk mengecek. Kami bertemu staf yang tetap ramah menyapa kami ketika kaki-kaki kami yang berlepotan pasir mengotori selasar. Kami bertemu Fandy dan Wangi yang menemani kami minum di centerstage. Pagi harinya, jam lima, sudah ada staf yang mengantarkan kotak-kotak sarapan kami, dengan bonus senyuman lebar. Tapi yang paling membuat kami terharu adalah staf yang dengan sigap dan tanpa diminta membantu kami mencari taksi pagi-pagi, dan meminta maaf karena kami harus berjalan ke depan hotel karena jalan masuk untuk mobil sedang diperbaiki. Staf ini membawakan ransel saya dan memastikan kami masuk ke dalam taksi yang akan mengantar kami ke bandara.

Tidak heran kalau Little A mengalami post holiday sydndrome setelah kami kembali ke Surabaya. Dia sangat ingin kembali ke hotel ini lagi. Dia bilang kalau Hard Rock Hotel adalah ‘the bestest hotel ever’. Bahkan tadi, ketika saya memasang foto-foto untuk ilustrasi blog ini, Little A masih saja bertanya, “When will we go back to Hard Rock Hotel, Mommy? Next week, okay?

~ The Emak

Quick Bali with Kids

Senja yang mendung di Kuta

Kami sudah sering selalu transit di Bali setiap kali melakukan perjalanan dari Indonesia – Australia atau sebaliknya, tapi rasanya belum pernah mengunjungi Bali dengan ‘baik dan benar’. Trip kali ini pun sekedar kabur sebentar, menginap dua malam di Bali.

Sebenarnya ini liburan spontan, tanpa rencana. Tahun lalu, ketika kami masih tinggal di Sydney, dan koneksi internet masih 10x lipat lebih cepat daripada di sini, saya berhasil mendapatkan tiket ‘gratis’ Air Asia untuk Surabaya – Bali seharga Rp 5000 per orang. Saya beli saja waktu itu tanpa berpikir, kalau pun nanti tidak jadi kami pakai juga tidak rugi-rugi amat, total tiket berempat pp cuma 40 ribu 😀

Jadwal penerbangan kami: berangkat Minggu siang dan pulang Selasa pagi. Jadi kami cuma punya waktu satu setengah hari efektif untuk main-main di Bali. Karena tidak punya waktu banyak, saya putuskan untuk tinggal dekat dengan bandara dan rencananya memang cuma pengen leyeh-leyeh di hotel saja. Tak disangka, salah satu teman menawarkan untuk menginap di Vila barunya di daerah Canggu. Wah, rezeki nggak boleh ditolak kan? Lumayan, sponsor liburan kami bertambah: Air Asia dan teman pemilik Vila. #okesip

Saatnya #pengakuan: kami belum pernah naik Air Asia! Untuk pesawat murah domestik Australia kami mengandalkan Jetstar. Dilihat dari interiornya, kursi Air Asia ini mirip dengan Jetstar. Hampir tidak ada bedanya. Empat hari sebelum berangkat, saya sudah melakukan web check in dan mencetak sendiri boarding pass, jadi cepat banget waktu cek in di counter. Kami juga tidak membawa checked baggage, tas untuk dimasukkan bagasi. Cuma bawa ransel masing-masing udah cukup kok. (Alasan utama adalah malas beli biaya tambahan untuk bagasi :p) Ternyata memang lebih asyik traveling tanpa bawa bagasi 🙂

Karena skip ketika ada tawaran memilih kursi, saya sedikit khawatir tidak mendapatkan kursi berdampingan, kan repot kalau saya dan anak-anak duduknya terpencar. Tapi ternyata bisa diakali. Kalau tidak ingin membeli kursi, usahakan web check in awal. Komputer akan memberikan nomor kursi secara otomatis. Biasanya sih kalau beli tiketnya bareng bisa dapat kursi bersebelahan. Kalau kursinya terpencar, baru ‘terpaksa’ menggunakan pilihan untuk ganti kursi. Berangkatnya saya duduk bertiga dengan Little A dan Big A, sementara Si Ayah duduk sendiri di depan kami. Pulangnya kami duduk terpencar dua-dua, selisih dua baris. Saya dengan Little A dan Si Ayah dengan Big A. Penerbangan dengan Air Asia kali ini lumayan mulus, pilotnya jago kok. Dari SUB – DPS tidak ada penjualan makanan di pesawat, mungkin tidak ada yang pesan? Sementara di penerbangan sebaliknya jual makanan. Big A tampak senang dan motret-motret dengan kamera sakunya. Saya senang karena ini salah satu tanda kalau dia tidak bosan. Penerbangan cuma berlangsung 50 menit. Belum sempat ‘mabuk’, kami sudah disuruh siap-siap mendarat lagi :))

Kami tiba di bandara Ngurah Rai jam dua siang. Teman kami dan sopirnya sudah siap menjemput. Perjalanan dari bandara ke Canggu penuh horor, melewati jalan-jalan kecil yang kalau untuk berpapasan mobil, bisa cuma selisih satu senti. Untung sopir kami jago banget, meliuk-liuk dengan luwes di antara pengemudi Bali yang… tidak pakai aturan. Saya yang baru bulan Juni tahun lalu ke Bali tidak begitu kaget. Si Ayah yang terkaget-kaget melihat perkembangan Bali sejak dia tinggalkan empat tahun yang lalu. Memasuki daerah Petitenget menuju Canggu, sawah-sawah sudah berubah menjadi Vila. Kata teman saya, vila-vila ini ‘dimiliki’ warga negara asing, meskipun mereka sebenarnya dilarang punya properti di Indonesia, tapi ada aja caranya. Saya bertanya-tanya, kalau sawahnya habis, terus pemandangannya apa ya?

Mendekati Canggu, semakin banyak terlihat penjor yang daunnya mulai layu, terpasang di depan rumah-rumah penduduk, dihiasi sajen-sajen cantik. Payung dengan ‘ekor’ warna-warni melambai di tepi pematang. Masih terasa aroma hari raya Galungan dan Kuningan. Di satu ruas jalan kami harus memutar melalui gang kecil karena jalan ditutup untuk upacara. Teman kami bilang: “Yang pengen cepat-cepat ke bandara pasti nangis kalau ketemu upacara di sini.” ^_^

Canggu adalah daerah di antara Kuta dan Tanah Lot. Pantai-pantai yang ada di sini antara lain: Berawa dan Echo beach yang ombaknya terkenal bagus untuk berselancar. Kami sempat melipir ke pantai Berawa di depan hotel Legong Keraton, tapi the precils tidak mau turun. Ya sudah, kami langsung ke vila yang kira-kira dua kilometer dari pantai.

Little A dan The Emak di kabin Air Asia
Foto oleh Big A. Canon Powershot S 95

Vila teman kami ada di tengah sawah yang hijau. Begitu masuk, kami langsung kesengsem sama kolam renangnya. Meskipun kecil, kolam ini cukup asyik untuk berenang. Karena tidak perlu berbagi dengan orang lain, serasa punya kolam renang pribadi. Lucu juga berenang sambil melihat hamparan sawah menghijau, ayam dan bebek yang mencari makan dan petani yang sibuk bekerja. Kalau untuk bule yang jarang-jarang lihat tanaman padi pasti eksotis sekali 🙂

Villa compound ini punya 3 vila: 1 vila dengan dua kamar tidur dan 2 vila masing-masing satu kamar tidur. Satu vila dihuni sendiri oleh teman kami dan istrinya yang sangat ramah menyambut kedatangan kami. Teman kami yang baik ini menyilakan kami menggunakan vila dengan dua kamar tidur. Wah, pengalaman menginap di vila ini asyik sekali. Nanti saya tulis tersendiri ya… Kami menutup hari dengan makan malam ikan bakar yang dibeli dari pasar ikan Jimbaran.

Budget Hari Pertama
Taksi ke bandara Rp 45.000
Tiket pesawat AA SUB-DPS, 4x 5000 = Rp 20.000
Pajak bandara 4x 40.000 = Rp 160.000
Roti Boy Rp 51.000
Total Hari Pertama = 276.000

Kolam renang di Vila Adem Ayem, Canggu
Big A ngelamun di bale bengong

Vila kami letaknya lumayan tersembunyi dari jalan besar, jadi suasananya tenang sekali, cocok untuk yang pengen menyepi. Paginya kami sarapan masakan rumahan yang dimasak sendiri oleh istri teman. Ngopi, sarapan sambil ngobrol di bale bengong pinggir kolam, rasanya tidak pengen pulang! Big A juga asyik ngelamun sambil kakinya kecipak-kecipuk di air kolam. Tenang dan damai. Saya ngobrol ngalor ngidul dengan istri teman yang sudah lama tinggal di Bali. Obrolannya mulai dari pergeseran gaya hidup anak-anak muda di sini yang menurutnya sudah seperti orang bule, sampai pemberantasan anjing-anjing liar di Bali dengan ditembak karena rabies. Jam 11.30 siang kami baru siap menuju Kuta. Hitungannya late check out ya kalau di hotel.

Perjalanan dari Canggu ke Kuta lebih horor lagi daripada kedatangan kami dari bandara. Di tengah jalan kami berpapasan dengan macam-macam tingkah manusia. Ada yang menaruh pasir bangunan sampai menutup setengah jalan, ada yang memarkir mobil besarnya sampai mengambil satu lajur, dan tentu saja banyak sepeda motor di kiri kanan yang melesat cepat, seolah pengemudinya punya nyawa dobel. Di Canggu, beberapa perempatan penting dan ramai tidak ada lampu lalu lintasnya. Kata sopir kami percuma saja, banyak yang tidak menaati. Jadi masyarakat sini mengatur dirinya sendiri. Ya sudah, kami menikmati saja sirkus jalan raya ini. Tipsnya: jangan nyetir sendiri di Bali, serahkan pada ahlinya.

Selanjutnya kami melewati jalan yang lebih lebar di Seminyak. Di kanan-kiri jalan banyak berdiri butik-butik kecil dan kafe-kafe lucu. Saya jadi teringat suburb-suburb di Australia yang suasananya seperti ini. Terutama di Byron Bay. Bule-bule yang berseliweran menambah suasana mirip kampung di Australia. Sepertinya Bali ini sudah diangkat menjadi kampung halaman kedua mereka. Sama mengamati beberapa bule sudah mahir mengendarai sepeda motor seperti orang lokal. Yang saya lihat, banyak yang memodifikasi sepeda motor mereka dengan besi pengait di samping. Tadinya Si Ayah mengira untuk membawa galon air mineral, hehe. Ternyata untuk membawa surf board. Saya cuma bisa tersenyum melihat seorang Ayah Bule yang melesat kencang dengan sepeda motor tanpa helm, membawa anak balitanya yang berdiri di depan. Indonesia banget! Kalau di negaranya sana, mana berani melakukan seperti itu. Membawa anak-anak di dalam mobil yang ‘aman’ saja harus ‘diikat’ di car seat. Mana istilah yang tepat: Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya atau Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung? Tanda bahwa akulturasi budaya sudah berhasil? 🙂

Ruas jalan yang paling ramah pejalan kaki menurut saya adalah Jalan Legian. Jalan sempit satu arah ini ditutup dengan paving, bukan aspal, sehingga kendaraan bermotor lebih pelan ketika lewat. Di sepanjang jalan ada toko-toko kecil, semua ada di sini: fashion, art, cafe. Saya juga mengeja deretan hotel-hotel yang kami lalui, yang namanya sudah saya hafal luar kepala saking seringnya mengintip Hotels Combined 😀 Sopir kami melambat ketika kami melewati Ground Zero, Monumen Bom Bali. Sopir bertanya apa kami mau berhenti dan singgah sejenak? Saya menggeleng, terlalu sedih bahkan untuk mengingatnya. Di pantai-pantai Sydney (Coogee, Bronte, Malabar, Maroubra dll) didirikan monumen kecil untuk mengenang warga lokal korban bom Bali. Biasanya setelah bermain di pantai, kami menghampiri monumen-monumen kecil ini sejenak, menatap bunga yang kadang diletakkan di sana, sambil mengeja nama-nama orang yang nyawanya diambil oleh pembunuh dari negeri kami.

Kami mampir sebentar untuk menitipkan tas di Hotel Hard Rock, dan diturunkan sopir di Mal yang terhitung baru: Beachwalk. Mal ini cukup asyik, konsepnya terbuka dan enak dibuat jalan-jalan. Karena kami ke sana hari Senin, Mal tidak ramai. Kami cuma belanja sebentar di Roxy dan langsung keluar lagi. Tadinya mau makan siang di sini. Tapi harga makanannya bikin niat kami menciut. Resto-resto yang buka di sini kelas menengah ke atas, dengan paket makan siang sekitar 125K – 150K per orang. Benar-benar harga Aussie, sayangnya dolar kami sudah habis.

Vending Machine sandal Havaianas
Mal baru, BeachWalk
Hore, ada trotoar!

Si busur kuning menyelamatkan kami dari kelaparan. Kenyang, kami jalan kaki ke hotel, sekitar 300 m dari Mal. Saya senang karena ada trotoar yang berfungsi sepanjang jalan. Trotoar ini mulus, nggak bolong, nyambung dan tidak dikuasai pedagang kaki lima (penting!). Kalau di sepanjang jalan dibuat trotoar seperti ini, kami tidak akan keberatan jalan kaki. 

Cek in di Hotel Hard Rock, kami disambut dengan kejutan yang menyenangkan: kamar kami di-upgrade jadi Kids Suite! Yay! Rupanya Hard Rock juga pengen menjadi co sponsor liburan kami, hehe. Big A tak bisa berhenti tersenyum, karena menginap di kamar Kids Suite ini sudah menjadi cita-citanya sejak dulu. Hanya saja Emaknya baru sanggup untuk booking kamar biasa.

Kami sangat terkesan menginap di Hard Rock. Tadinya saya pilih hotel ini karena review yang bagus di Trip Advisor. Juga karena sesuai kriteria saya: dekat dengan bandara, pantai, dan ada kolam renang untuk anak-anak. Harganya pun masuk akal, satu kamar bisa untuk dua dewasa dan dua anak tanpa perlu extra bed. Review hotel selengkapnya akan saya tulis di postingan tersendiri ya.

Little A loooove her special room
Kids pool at Hard Rock hotel
Mengintip upacara

Selesai main-main air di kolam renang, kami melihat sunset di Pantai Kuta, yang tinggal menyeberang jalan dari hotel. Big A tidak ikut karena ingin mencoba PS3 yang disediakan di Kids Suite. Pantai Kuta sekarang lumayan rapi, lebih sedikit sampah, dan tidak terlalu ramai (mungkin karena hari Senin?). Pedagang yang berjualan di sana pun tidak terlalu mengganggu. Mereka punya kartu identitas dan mestinya sudah di-training cara berdagang yang tidak mengganggu. Little A gembira banget ketika Si Ayah setuju membelikannya kalung dan gelang dari pedangan asongan.

Sayangnya cuaca mendung, jadi kami gagal menikmati sunset yang berwarna di pantai Kuta. Saya dan Little A asyik bermain pasir, membuat sumur dan benteng untuk menghindari ombak. Sementara Si Ayah sibuk memotret orang-orang yang sibuk memotret 😀 Di sebelah-sebelah kami menggelar sarung Bali, banyak turis mancanegara. Dari obrolan mereka, saya tahu mereka dari Malaysia, Cina, Jepang, Amerika Latin dan tentu saja Australia.

penjaja di Kuta, pakai ID card
Little A pamer gelang dan kalung barunya 🙂

Little A cukup puas bermain di pantai. Sayangnya saya tidak menemukan tempat bilas di dekat pantai, seperti fasilitas standar di pantai-pantai di Australia. Mungkin disediakan, tapi saya tidak bisa menemukan karena hari sudah gelap. Kami kembali ke hotel dengan pasir yang menempel di kaki.  

Budget Hari Kedua
Tips Sopir Rp 100.000
Roxy rash vest Rp 345.000
Mc Donald  Rp 123.000
KFC Rp 117.000
Hotel Hard Rock Rp 1.204.764
Sandal 2x Rp 145.200
Gelang Kalung Rp 15.000
Total hari kedua Rp 2.049.964

Little A was trying to stop the wave
Can’t catch meeee…. :p

Liburan yang benar-benar singkat. Pagi harinya kami harus early check out tanpa sarapan di hotel karena mengejar flight jam 7.35. Pihak hotel sudah mengantar empat box sarapan ke kamar kami jam 5 pagi. Concierge membantu kami mencari taksi (Blue Bird) di depan hotel. Perjalanan ke bandara cukup lancar karena masih pagi sekali, cukup 15 menit. Hanya saja kami perlu berjalan kaki cukup jauh sampai ke area boarding di bandara Bali yang baru ini. Benar-benar olahraga pagi.

The Precils sudah siap-siap dengan seragam sekolahnya. Rencananya, dari bandara Juanda, kami akan langsung naik taksi ke sekolah. Big A menyeletuk gembira, “Ma, kita berangkat sekolah naik pesawat, haha.” Little A yang masih mengantuk, menyambut dengan sedikit merengut, “This is too short, Mommy. I want TEN DAYS holiday.” Hehehe, “Me too, Darling.”

Budget Hari Ketiga
Taksi ke bandara Rp 48.000
Tiket pesawat AA DPS – SUB 4x 5000 = Rp 20.000
Pajak bandara 4x 40 = Rp 160.000
Taksi dari Juanda Rp 101.000
Total hari ketiga Rp 329.000

Grand Total = Rp 2.654.964

~ The Emak

Baca Juga:
Review Hard Rock Hotel Bali