Review Hotel Marrison Singapore

Kamar dengan double bed, sempit tapi ada jendelanya :p

Dalam perjalanan EuroTrip dari Surabaya, saya dan anak-anak terpaksa transit satu malam di Singapura. Gara-garanya, Air Asia membatalkan penerbangan SUB-SIN di hari rencana keberangkatan kami ke Eropa *sigh*. Terpaksa lah saya memajukan terbang ke Singapore satu hari sebelumnya dan menginap semalam di Hotel Marrison, Bugis.

Sebenarnya bisa saja saya meminta pengembalian uang (refund) ke Air Asia dan membeli tiket baru di hari Kamis, jadwal kami terbang ke Paris. Sayangnya harga tiket baru untuk bertiga lebih mahal daripada kalau saya memajukan jadwal dan memesan hotel semalam. Maklum, tiket Air Asia SUB-SIN yang saya beli ini memang dapatnya murah banget, Rp 877.000 bertiga. Ya sudahlah, anggap saja bonus liburan transit 1 hari di Singapura.

Pencarian hotel untuk transit di Singapura pun dimulai. Karena hanya menginap bertiga (Si Ayah sudah punya tiket Singapore Airlines dari redeem poin Krisflyer), saya lebih gampang cari hotel. Penginapan bintang tiga pun bakalan muat untuk satu dewasa dan dua anak (6 dan 12 tahun). Budget saya juga terbatas, maksimal USD 100. Di atas itu hitungannya rugi karena bisa dibelikan tiket pesawat hari Kamis tanpa menginap 😀 *rumit*

Banyak rekomendasi dari teman-teman yang sering pergi ke Singapura. Selain budget, kriteria saya tambah lagi: dekat stasiun MRT. Sebelumnya, kami pernah menginap di hotel Novotel Clarke Quay dan Hostel 5 Footway Inn Project Boat Quay yang jaraknya 10 menit jalan kaki dari stasiunn MRT Clarke Quay (jalur ungu). Tapi, tentu saja dengan membawa anak-anak, yang 10 menit menjadi 20 menit. Capek! Saya seleksi lagi hotel-hotel bintang 3 di Singapura yang dekat stasiun MRT, kalau bisa yang 5 menit jalan kaki.

Pilihan saya mengerucut menjadi 7 hotel bintang 3 yang dekat MRT, dengan harga sekitar USD 100: Tai Hoe (10 menit dari MRT Fraser Park), Marrison, Amaris, Beach Hotel, (ketiganya dekat MRT Bugis), Porcelain (dekat MRT Chinatown) dan V Lavender (di atas MRT Lavender). Ada lagi Ibis Bencoolen yang banyak direkomendasikan teman, tapi jaraknya 15 menit dari MRT Bugis. Mungkin nanti kalau stasiun MRT Bencoolen sudah jadi, hotel ini bakal jadi top choice.

Akhirnya setelah semedi dan menghitung kancing, saya pilih Marrison. Saya pesan hotel ini lewat website Agoda, membayar dengan kartu kredit. Karena kamarnya sempit, saya pesan kamar deluxe yang ada jendelanya. Harganya lebih mahal sedikit daripada kamar standar tanpa jendela. Tarif kamar deluxe dengan sarapan dan wifi gratis untuk bulan Juli lalu adalah IDR 1.285.592 (USD 108,63). 

Saya memang sengaja pilih daerah Bugis karena waktu ke Singapura pertama kali belum sempat jalan-jalan ke sini. Stasiun MRT Bugis ada di jalur hijau, sama dengan jalur MRT dari bandara Changi. Untuk sampai ke Bugis, kita tinggal naik MRT dari Terminal 2 atau 3 di airport, ganti kereta satu kali di MRT Tanah Merah (tetap jalur hijau yang menuju kota). Setelah sampai stasiun MRT Bugis, saya menugasi Big A untuk mencari jalan menuju hotel. Sempat tersesat ke Exit A, tapi akhirnya kami balik lagi mencari Exit D. Jangan sampai salah Exit karena nanti jalannya bakalan jauh muter-muter. Untuk ke Hotel Morrison, gunakan Exit D ke arah Tan Quee Lan St. Di depan Exit D ada pangkalan taksi. Kami celingak-celinguk mencari hotel Marrison, dan… tadaaa… langsung kelihatan di pojokan. Tinggal selemparan batu dari pintu keluar D stasiun Bugis. Precils berlari kegirangan karena nggak perlu jalan jauh, hahaha.

Stasiun MRT Bugis Exit D
Hotel Marrison terlihat dari halte Taksi depan Exit D MRT Bugis

Cek in berlangsung mulus. Meski baru jam 11 siang, kami sudah boleh masuk kamar. Petugas resepsionis hotel tidak banyak bicara, tidak terlalu ramah tapi sangat efisien. Karena restoran hotel sedang direnovasi, kami diberi kupon Toast Box untuk sarapan, yang bisa digunakan sampai 3 bulan ke depan, kapan saja.

Kesan pertama membuka pintu: kamarnya kecil banget! Cuma 11 meter persegi. Tapi semua tertata rapi dan bersih. Hidung saya yang sensitif juga tidak menghirup sedikit pun asap rokok. Alhamdulillah. Lalu saya melirik tanda di atas larangan merokok: denda $200 atau sekitar dua juta rupiah! Hahaha, mana ada yang berani merokok. Saya juga bersyukur memesan kamar dengan jendela, kalau enggak, bisa sesak napas di sini :p Amenities hotel standar: pemanas air, kopi dan gula, air mineral 2 botol, serta sabun dan shampoo dalam wadah tekan di kamar mandi. Tidak ada mini bar atau kulkas. Saluran televisinya hanya ada dua yang berbahasa Inggris, sisanya bahasa Mandarin. Tapi internetnya lumayan cepat, dan itu cukup menghibur the precils dan emaknya.

Kasurnya tidak senyaman hotel bintang empat atau lima, seperti ada lapisan kresek-kreseknya. Seprai juga tipis. Tapi kasur ini masih mending, cukup keras daripada kasur busa di hostel 5 Footway Inn Project Boat Quay. Di Marrison ini, ukuran bednya menurut saya cuma cukup untuk berdua, atau bertiga dengan anak kecil. Kalau keluarga berempat dengan dua anak bakal empet-empetan banget. Lagipula mungkin tidak diperbolehkan pihak hotel. Kalau saya pergi berempat dan perlu menginap di daerah Bugis, saya akan memilih hotel bintang empat seperti Village Hotel yang dilengkapi dua double bed dalam satu kamar.

Kamar mandinya sempit. Pancuran terletak di depan toilet, sehingga dudukan toilet pasti tersiram air ketika kita mandi. Tapi nggak papa sih, yang penting bersih, air panasnya jalan dan pancurannya berfungsi dengan baik.

Tadinya, saya pengen ajak Precils untuk jalan-jalan ke Merlion Park melihat patung singa. Iya, di kesempatan jalan-jalan sebelumnya, kami belum sempat berfoto dengan patung singa. Dosa banget kan? Tapi apa daya, Precils susah banget diajak keluar. Mereka lebih seneng ngadem di kamar ber-AC sambil main game di iPad. Sampai akhirnya kami terpaksa keluar mencari makan untuk berbuka puasa. Restoran halal yang direkomendasikan teman-teman di daerah Bugis adalah Zam-Zam, di depan Masjid Sultan. Kami pun ke sana jalan kaki sambil lihat-lihat suasana sore Bugis, perlu waktu sekitar dua puluh menit. Sebenarnya area Bugis ini asyik dijelajahi. Ada Bali lane yang isinya kafe-kafe trendi, Haji lane berisi butik-butik, dan Bugis St untuk belanja oleh-oleh. Sayangnya precils nggak mau diajak blusukan karena Big A lemes puasa dalam perjalanan. Sementara Little A ya selalu ngikut kakaknya aja.

Sampai di Zam-Zam, restorannya sudah ramai banget. Banyak pelayan yang menyongsong pembeli di depan resto. Saya pun akhirnya memilih membeli makanan untuk dibungkus, dimakan di hotel. Hasil berburu di Zam Zam: nasi biryani, nasi goreng, mee goreng dan tentu saja menu andalan mereka, murtabak. Makanan semelimpah itu cukup untuk buka dan sahur kami keesokan harinya 😀

Hasil buruan di Zam Zam depan masjid Sultan
View dari kamar. Pagi yang gerimis.

Alhasil, transit sehari di Singapura cuma ngendon di kamar hotel seharian. Ditambah lagi, pagi harinya gerimis. Kami menunggu gerimis reda untuk menyeberang ke stasiun MRT Bugis dan mengejar kereta ke Changi menyambut Si Ayah untuk bareng-bareng terbang ke Paris.

Ketika pulang dari Eropa dan transit di Changi, kami memakai dua voucher Toast Box yang sudah lusuh untuk ditukar kopi dan crunchy peanut butter toast. Yum!

Saya merekomendasikan hotel Marrison ini untuk yang pengen jalan-jalan di daerah Bugis karena letaknya yang strategis, dekat sekali dengan stasiun MRT. Harganya juga tidak terlalu mahal, standar hotel bintang 3. Kamar bersih, pelayanan baik dan efisien. Tapi mungkin kasurnya hanya cukup untuk keluarga dengan satu anak saja.

Ada yang punya pengalaman menginap di hotel bintang 3 lainnya? Share di komentar ya.


~ The Emak
Follow @travelingprecil
 
Baca juga:

Review Hostel 5.FootWay.Inn Project Boat Quay Singapore

In Memoriam: Benda-Benda Yang Hilang Dalam Perjalanan

Saya orangnya memang teledor. Jangankan ketika bepergian, di rumah saja, saya sering kehilangan barang-barang. Ketika traveling, saya lebih hati-hati dalam mengemas kembali benda-benda yang kami bawa. Di hotel, saya cek ulang seluruh laci dan kamar mandi, agar tidak ada yang ketinggalan. Tapi, tetap saja, ada benda-benda yang luput dari perhatian kami, turut hilang dalam perjalanan. Berikut kenangan akan benda-benda kesayangan kami yang entah ada di mana sekarang.

1. Topi Big A di Gold Coast
Ini topi kesayangan Big A, dibeli di Target. Menurut Big A, topi ini ketinggalan di apartemen Seacrest, tempat kami menginap selama liburan di Gold Coast. Sejak hilang, kami belum bisa menemukan topi pengganti yang sebagus ini.

Big A memakai topi hijau kesayangannya di Dreamworld, Gold Coast

2. Kacamata Hitam The Emak di Queenstown
Saya jarang-jarang kelihatan cakep di foto (aslinya jelas cakep!). Nah, kacamata hitam ini sering berhasil mengkamuflasekan wajah, entah bagaimana, jadi enak dilihat. Saya tidak bisa memakai kacamata hitam biasa karena mata saya minus, jadi harus memesan lensa hitam di toko optik. Percuma tho gaya kalau gak bisa melihat jelas?
 

Saya baru sadar kehilangan kacamata hitam ini (saya bawa dua kacamata dalam perjalanan, lensa bening dan hitam) di apartemen Queenstown. Bisa jadi kacamata ini sudah hilang ketika kami dalam perjalanan ke New Zealand, dari Tasmania, kemudian singgah di Melbourne. Entahlah. Sekarang saya sudah punya ganti kacamata transitions yang lensanya berubah menjadi gelap ketika berada di lingkungan yang terang. Tapi rasanya kok foto-foto saya tidak secakep ketika memakai kacamata hitam yang lama ya? *nyalahin kacamata :p*

Emak masih pakai kacamata kesayangan di Canberra

3. Camcoder JVC di Darwin
Once upon a time, saya pengen sekali jadi video blogger. Saya pun merengek ke Si Ayah agar dibelikan camcoder. Setelah baca-baca review dan menyesuaikan pilihan dengan budget, akhirnya kami membeli camcoder merk JVC. Ternyata saya tidak begitu berbakat membuat video (kesimpulan saya sendiri setelah melihat jeleknya hasil video dengan tangan yang tidak stabil). Satu-satunya karya ‘masterpiece’ saya adalah video klip 4 menit perjalanan kami ke New Zealand.

Tapi belum dua tahun, camcoder ini hilang dalam perjalanan. Saya terakhir melihatnya di hotel Holiday Inn Darwin. Waktu itu kami berpisah, saya dan precils kembali ke Indonesia, sementara Si Ayah masih harus kembali ke Sydney melanjutkan studinya. Saya pikir Si Ayah yang membawa camcoder ini, sementara dia pikir saya yang membawanya. Ketika unpacking di Malang, saya tidak menemukan camcoder ini di koper.

The Emak yang pernah kepengen jadi vlogger, di Gold Coast.

            

4. Charger iPod Shuffle Big A di Darwin
Ini benda kecil tapi cukup mahal juga harganya. Ketika liburan di Darwin dan Kakadu, kami menyewa mobil dari Thrifty. Karena mobil yang sudah kami pesan online tidak tersedia waktu itu, kami di-upgrade mendapatkan mobil yang lebih canggih. Interiornya keren, termasuk colokan untuk men-charge iPod.  Tapi ya itu, barang sekecil itu luput dari perhatian kami.

Begitu sampai di Malang, baru ketahuan kalau charger mungil ini hilang. Karena beda tipe colokannya, Big A tidak bisa meminjam charger iPhone saya atau iPad Little A. Terpaksa deh saya beli baru di toko Emax. Harga charger ori sekecil ini $29. Apple memang raja tega ya?

Big A dan iPodnya di Fremantle, Perth

5. Topi Si Ayah di pesawat Emirates dari Christchurch
Ini sebenarnya topi yang saya beli di Queen Victoria Market di Melbourne, seharga $20. Tapi karena Si Ayah suka, saya berikan ke dia 🙂 Topi ini sudah menemani Si Ayah liburan ke banyak kota, dan membuat dia tampak trendy. Sayang banget topi ini ketinggalan di pesawat Emirates ketika kami terbang dari Christchurch ke Sydney.

Si Ayah masih memakai topi di Hobart

6. Mini board Little A di Lens, Perancis
Bukan benda yang berharga banget sih. Little A mendapat mainan mini board ini dari Emirates dalam perjalanan ke Paris. Benda ini lumayan menghibur ketika kami harus menunggu kereta di CDG airport. Karena belum lama punyanya, Little A tidak ingat kalau miniboard nya ketinggalan di rumah saudara kami di Lens, tempat kami menginap semalam. Kami juga tidak mengungkit-ungkit lagi 🙂

The Precils di depan stasiun Lens. Big A pegang mini board.

7. Kacamata, Sepatu, Wajan & Satu Tas Dalaman di Campervan
Ini kehilangan yang membuat saya pengen nangis kalau ingat. Murni karena keteledoran saya. Perjalanan kami dengan campervan dari Adelaide ke Melbourne berakhir di Holiday Inn Melbourne Airport. Kami menginap semalam di sana sebelum terbang ke Denpasar. Sore itu kami harus mengembalikan campervan ke kantornya sebelum tutup jam lima. Si Ayah sudah membereskan barang-barang yang ada di campervan, mengangkut koper-koper berat yang isinya barang-barang pindahan kami dari Sydney. Saya diminta mengecek sekali lagi, sapu bersih barang-barang yang masih ada di sana. Kami berdua sama-sama kelelahan setelah 10 hari campervanning. Alhasil, saya luput memeriksa laci tersembunyi di tengah tempat duduk di depan, dan laci-laci dapur campervan yang memang berisi peralatan memasak. Petugas yang menerima kembali campervan pun tidak mengecek.

Saya baru sadar esok harinya bahwa ada barang-barang kami yang ketinggalan di Campervan. Untuk mengambil di kantor Apollo, waktunya tidak cukup lagi karena kami harus mengejar pesawat ke Bali. Si Ayah menelepon kantor Apollo agar mereka mengirimkan barang-barang tersebut ke Sydney, tempat adik kami. Tapi ternyata tidak pernah dikirim. Mungkin semua berakhir di tempat sampah, hiks.

Wajan multifungsi sebagai gayung :p
Si Ayah, kacamata hitamnya bikin ganteng banget!

Ada yang pernah nggak sengaja meninggalkan barang-barang selama perjalanan? Apa saja? Masih teringat nggak sampai sekarang?

~ The Emak

Baca juga:
Tip Packing Ke Eropa
Tip Packing Ke Australia dan New Zealand