Christchurch, yang dijuluki ‘kota paling Inggris’, adalah kota terbesar di Pulau Selatan Selandia Baru. Pada bulan Februari 2011, Christchurch diguncang gempa dahsyat berkekuatan 6,3 skala Richter, yang meluluhlantakkan bangunan di pusat kota, termasuk gereja katedral. Christchurch adalah kota terakhir yang kami kunjungi dalam rangkaian Road Trip berkeliling South Island New Zealand, Desember tahun lalu (2011).
Perjalanan dari Lake Tekapo menuju Christchurch dapat ditempuh dalam waktu 3 jam mengendarai mobil. Jalan yang dilalui cukup mulus melewati Highway No.1. Tidak banyak pemandangan indah yang bisa kami lihat dalam road trip kali ini, kecuali beberapa peternakan dan farm stay di antara Burkes Pass dan Fairlie. Setelah perjalanan melalui Highway, pemandangan berganti menjadi lahan pertanian dan rumah-rumah penduduk. Kami yang sudah seminggu ini melalui jalan-jalan sepi di Pulau Selatan, lumayan takjub melihat mobil yang berlalu lalang cukup banyak, rasanya seperti kembali ke peradaban 🙂
The Precils tidak terlalu rewel dalam perjalanan ini. Little A tertidur di mobil sehingga kami tidak perlu sebentar-sebentar berhenti. Kami hanya berhenti sekali di kota kecil Tinwald di tengah-tengah perjalanan Lake Tekapo – Christchurch. Di sini kami singgah di minimarket untuk membeli buah dan sayur, sekaligus membeli camilan makan siang. Yang menarik, minimarket di Tinwald ini menyediakan troli kecil khusus untuk anak-anak. Little A bukan main senangnya, dengan sukarela membantu membawa belanjaan kami di troli kecilnya.
Little A dengan troli mini di supermarket Tinwald
Kalau Little A senang, maka perjalanan selanjutnya akan berjalan mulus. Mendekati kota Christchurch yang lumayan ramai, saya sempat was-was salah jalan karena kami tidak menggunakan GPS. Hanya berbekal peta yang saya ambil dari Wanaka, saya mencoba mencari jalan menuju motel Tudor Court tempat kami menginap. Untungnya kami tidak nyasar dan selamat sampai di motel.
Kami sampai di Christchurch sekitar jam 3 sore. Setelah beristirahat sejenak di motel Tudor Court, kami segera memulai jalan-jalan di Christchurch. Tak lupa saya mengambil peta kota ini di resepsionis untuk bekal berputar-putar. Dengan semangat, kami langsung menuju pusat kota. Ternyata banyak sekali road block atau jalan yang ditutup, terutama di tengah kota. Si Ayah mencoba melipir ke jalan-jalan yang dipasangi pagar pembatas tersebut, berputar beberapa kali karena banyak jalan yang satu arah. Kami melewati bangunan gereja katedral yang hancur akibat gempa, dan juga bangunan-bangunan lain yang tinggal puing-puing. Saya tidak menduga akibat gempa Christchurch masih separah ini, mengingat gempa besarnya sudah terjadi 10 bulan yang lalu. Mungkin gempa-gempa susulannya yang membuat pembersihan atau rehabilitasi tertunda.
Kabar baiknya, masih ada tempat wisata yang layak dikunjungi di Christchurch: Museum dan Botanical Garden (Kebun Raya). Takut museum keburu tutup, kami segera mencari tempat parkir (gratis) di pinggir jalan dan bergegas menuju gedung dengan arsitektur khas ini.
CanterburyMuseum
Museum Canterbury terletak di samping Botanical Garden, di sebelah barat pusat kota. Pasca gempa, museum ini mulai buka lagi September 2011. Jam buka dari 9 pagi sampai jam 5 sore. Biaya masuk gratis, tapi mereka juga menerima donasi. Kami sampai di museum ini setengah jam sebelum tutup dan disambut dengan ramah oleh petugas. “Masih banyak yang bisa dilihat dalam setengah jam. Ayo, tidak perlu membuka peta, temukan saja kejutan di sana,” kata petugas yang tetap bersemangat menjelang tutup.
Koleksi museum Canterbury ini cukup menarik, mulai dari diorama penduduk asli New Zealand, bangsa Maori, sejarah pendudukan orang Eropa, ekspedisi Antartika dan juga replika pusat kota Christchurch di abad ke-19, lengkap dengan toko-toko kuno dan suara-suara keramaian. Ketika kami ke sana, sedang ada pameran World of Wearable Art, gaun-gaun dari bahan yang unik. Kami mengira Little A yang hobi memerhatikan fesyen akan senang dengan pameran ini, tapi dia malah takut karena suasana di museum ini hanya remang-remang, tanpa penerangan yang cukup.
Dalam waktu setengah jam kami hanya bisa melihat-lihat tampilan di museum dengan cepat. Kami sempat singgah di lantai dua yang berisi pameran “Hearts for Christchurch”. Di dalam ruangan ini dipamerkan karya sulaman berwarna-warni sebagai rasa simpati mereka terhadap gempa Christchurch. Little A senang berada di antara pernak-pernik penuh warna ini. Dari jendela di lantai dua ini kami juga bisa melihat tanaman di Botanical Garden.
Canterbury Museum
Fosil kaki elang raksasa yang sudah punah
Diorama kehidupan penduduk Maori
Esok harinya, setelah cek out dari motel Tudor Court, kami kembali mengunjungi Museum ini. Kali ini Big A ingin kembali melihat-lihat koleksi Wearable Art, dan saya juga ingin membeli beberapa kenang-kenangan berupa gantungan kunci, magnet kulkas dan kartu pos di toko museum. Sebenarnya saya ingin membeli barang-barang khas dari wool New Zealand, tapi ampun mahal sekali harganya :p
Christchurch Botanic Gardens
Kebun Raya yang menjadi paru-paru kota ini wajib dikunjungi pejalan yang singgah di Christchurch. Luas total kebun raya ini 21 hektar, tidak cukup waktu sehari untuk berjalan-jalan dan mengamati semua koleksi tanamannya. Kami mengunjungi kebun raya ini dua kali: sore hari setelah museum tutup dan keesokan harinya setelah kami cek out dari motel.
Yang pertama dicari oleh The Precils di Botanical Gardens adalah taman bermainnya. Dasar anak-anak ya, dari semua tempat-tempat indah yang mereka kunjungi, tetap playground yang menjadi pilihan nomor satu. Kami memarkir mobil kami di Armagh St Parking Area, tempat parkir gratis yang buka sampai jam 11 malam. Tempat parkir ini yang paling dekat dengan area playground. Dari tempat parkir, kami menyeberang jembatan kecil melintasi sungai avon.
The Precils cukup gembira bermain di playground, meskipun fasilitasnya sudah cukup tua dan minta diganti. Little A berpura-pura menjadi princess dan merayakan wedding di castle, karena melihat ada bangunan gerbang seperti pintu sebuah puri. Saya menemukan lubang kelinci (rabbit hole) di antara semak-semak dan mengajak Little A untuk keluar masuk dari situ. Dan begitu menemukan panggung dari sisa akar pohon yang ditebang, Little A segera berdansa dan meminta kami untuk bertepuk tangan 😀 Sementara itu, Big A tidak kalah senang bermain gelantungan di taman. Dua jam cukup membuat The Precils gembira dan Si Ayah juga lumayan puas bisa memotret sesuka hati.
Piknik di tepi sungai Avon
Keesokan harinya, setelah berbelanja oleh-oleh di toko di dalam museum Canterbury, kami menjelajah Kebun Raya dari sudut yang lain. Di samping Museum ini juga ada kios informasi yang dulunya ada di dekat Gereja Katedral. Kami berjalan-jalan melewati air mancur dan mengamati bunga-bunga yang ditanam dengan formasi tertentu. Saya tidak punya pengetahuan cukup tentang jenis-jenis bunga dan pohon, jadi hanya sekadar menikmati indahnya suasana di sini dan membaca papan informasi yang tersedia. Di Kebun Raya ini banyak terdapat pohon-pohon tua yang rindang, membuat suasana nyaman dan sejuk.
Sambil berjalan-jalan, Little A sibuk memotret dengan kamera saku. Big A yang lama-lama bosan berjalan-jalan di antara pohon-pohon, menantang saya untuk lomba lari. Kalau saja dia tidak curang, saya pemenangnya 🙂 Sebenarnya masih banyak yang bisa dilihat di Botanic Gardens ini, antara lain koleksi bunga mawar, koleksi taman New Zealand, koleksi tanaman dari Australia dan juga taman air. Namun karena waktu terbatas, kami tidak bisa melihat semuanya.
Di depan Kebun Raya Christchurch
Little A memotret Si Ayah yang memotretnya :p
Big A menantang The Emak adu lari
Pamer gantungan kunci yang dibeli di Museum
Punting di Sungai Avon
Punting di sungai Avon merupakan salah satu atraksi di Christchurch yang tetap bisa dilakukan pasca gempa. Punting menyusuri sungai ini kurang lebih sama dengan naik gondola di Venice. Stasiun utama punting terletak di Old Boat Shed, bangunan khas berwarna hijau di seberang Botanic Gardens. Di sana kita akan menjumpai perahu-perahu kecil yang ditambatkan oleh mas-mas berseragam khas dengan rompi dan topi bulat. Tiket untuk punting setengah jam di sungai Avon adalah NZ$25 untuk dewasa, NZ$12 untuk anak-anak dan gratis untuk balita. Sayangnya kami tidak sempat mencoba punting ini. Selain uang kami sudah menipis, kami juga harus mengejar pesawat di Christchurch International Airport untuk kembali ke Sydney.
Mobil sewaan di belakang kabin kami di Lake Tekapo Holiday Park
Don’t judge an accommodation by it’s website! Website Lake Tekapo Motels & Holiday Park ini tidak begitu meyakinkan, namun kabin dan fasilitas yang kami dapatkan cukup lumayan, plus bonus pemandangan danau Tekapo yang bisa dilihat langsung dari dalam kabin 🙂
Ketika mencari akomodasi di Lake Tekapo, saya cukup bingung karena pilihan di Wotif sangat sedikit. Pilihan di website informasi lokal juga tidak ada yang cocok, terutama harganya :p Di Lake Tekapo ini banyak didirikan resort-resort mewah yang harganya tentu tidak sesuai dengan anggaran liburan kami. Ada satu hotel waralaba mewah yang terkenal di sini, yang harga vila untuk keluarganya di atas NZ$ 350. Not for us! Dengan anggaran maksimal NZ$ 150 per malam, akhirnya saya menemukan akomodasi yang sesuai untuk keluarga kami: kabin dengan kamar mandi dalam di Holiday Park.
Saya memesan langsung akomodasi ini di website mereka. Harga awal kabin ini adalah NZ$ 120 per malam untuk 2 orang. Anak-anak di bawah usia 14 tahun membayar tambahan NZ$10 per malam, sehingga total NZ$ 140 per malam untuk kami berempat. Ketika tiba di Holiday Park ini saya cukup was-was, takut akomodasinya tidak sesuai dengan yang kami harapkan. Berbeda dengan Holiday Park di Te Anau yang kelihatan baru dan terawat, bangunan-bangunan di Holiday Park ini tampak tua. Dari luar, kantor resepsionis tampak seperti gudang. Ketika masuk ke kompleks Holiday Park yang luas ini, kami melewati dua taman bermain, yang satu sudah rusak dan satunya tampak tua dan tidak terawat. Saya jadi semakin takut melihat kabin kami.
Ternyata yang saya khawatirkan tidak terjadi. Kabin kami yang kecil cukup bagus dan terawat. Ketika kami datang, kamar sudah bersih dan rapi, dengan sprei baru, berikut handuk dan sabun mandi baru. Ukuran kabin ini sekitar 4×7 meter, berisi satu ranjang dobel dan satu set ranjang susun (bunk bed). The Precils langsung excited mencoba naik turun ranjang susun ini. Ada dua set meja kursi seperti di kafe, yang juga bisa kami bawa ke teras. Ada satu TV kecil yang tidak pernah kami nyalakan. Di sudut lain ada fasilitas kulkas kecil, ketel listrik, pemanggang roti, dan bak cuci piring. Peralatan makan lengkap seperti piring, gelas, sendok, garpu juga disediakan di sini. Kamar mandi (pancuran), toilet dan wastafel yang lebih baru daripada kamar mandi di Te Anau, ada di dalam kabin di samping kamar.
Yang paling mengesankan dari penginapan ini adalah pemandangan luar biasa yang bisa kami lihat dari dalam kamar. Kabin kami terletak persis di pinggir Lake Tekapo, hanya dihalangi oleh padang bunga liar warna-warni. Setelah beres-beres barang bawaan kami, terutama bahan makanan, kami bisa santai sejenak di teras berlantai kayu, sambil memandang danau Tekapo dan gunung di belakangnya. Big A menyempatkan menulis jurnal perjalanan, dengan menyeret meja kursi kami keluar.
Di Holiday Park ini tersedia sambungan internet via wifi yang bisa dibeli NZ$10 untuk 24 jam. Ketika laptop kami sudah tersambung dengan internet, Si Ayah langsung duduk manis di depan laptop :p
Kabin mungil kami tampak dari depan
The Precils menjelajah kabin
Little A menatap bebek-bebek yang bebas berkeliaran di depan kabin kami
The Precils bermain meniti kayu di samping kabin
Sayangnya, di sini taman bermainnya tidak sebagus yang ada di Te Anau. Lagipula, playground tersebut cukup jauh dari kabin. Namun The Precils tidak kalah akal. Little A dengan cepat menemukan permainan baru: meniti gelondongan kayu yang dia temukan di samping kabin. Selain bermain titian, Little A juga sibuk mengejar bebek-bebek yang berkeliaran dengan bebas di sekitar kabin. Pada awalnya, Little A hanya memandang bebek-bebek yang lewat. Tapi lama-lama, dia mulai mengejar bebek-bebek tersebut. “The duckies need to sikat gigi,” kata Little A.
Sebelum menyiapkan makan malam, saya punya PR cucian yang menumpuk. Selama dua hari di Te Anau dan sehari di Wanaka kami tidak mencuci baju. Big A dengan senang hati membantu saya mencuci baju di laundry umum yang ada di belakang kabin kami. Little A tidak mau kalah membantu memasukkan koin ke dalam slot mesin laundry. Untuk sekali mencuci baju, kita perlu koin $2 dan untuk mesin pengering juga perlu $2. Deterjen juga dijual di mesin otomatis seharga $2 per bungkus. Cucian langsung kering dan bisa dipakai lagi. Tips ketika bepergian: jangan merepotkan diri sendiri dengan menyetrika 😉
Big A serius membaca sementara Si Ayah serius memasak
Makanan sudah siap tapi Big A masih asyik membaca
Jangan dilihat bentuknya, ‘scramble’ salmon ini enak banget!
Cucian beres, saatnya menyiapkan makan malam istimewa: barbekyu salmon dari Mt Cook Alpine Salmon Farm. Lagi-lagi kami beruntung karena tempat piknik dan mesin barbekyu letaknya tepat di samping kabin. Fasilitas barbekyu dengan gas ini disediakan gratis. Di samping kabin ada tiga mesin barbekyu dan beberapa bangku-bangku kayu. Ketika kami bersiap-siap, sudah ada beberapa orang yang makan malam. Saya lumayan kerepotan menyalakan mesin barbekyu ini. Untung ada traveler lain yang berbaik hati membantu saya. Ternyata saudara-saudara, barbekyu jenis ini harus dinyalakan dengan korek api 😀
Setelah berhasil nyala, saya letakkan dua potong salmon segar di atas aluminium foil. Bumbunya cukup mentega, garam dan lada hitam. Sementara itu, nasi, lalapan dan jus jeruk sudah siap. Ketika salmon mulai matang, saya tidak bisa membaliknya karena ikan ini lengket dengan foil. Si Ayah turun tangan memberi bantuan, berhasil membalik salmon ini sampai matang, tapi si salmon tidak berbentuk lagi. Alhasil, kami makan orak-arik salmon, bukan steak salmon 😀 Jangan salah, rasa salmon ini tidak dipengaruhi oleh bentuknya. Si Ayah berulang kali bergumam kalau ini salmon terenak yang pernah dia rasakan. The Precils pun makan sendiri dengan lahap. Kali ini benar-benar makan malam istimewa di tempat terbuka yang memesona.
Malamnya kami tidur dengan nyenyak. Pagi hari saya dikejutkan dengan pemandangan indah danau Tekapo yang bagaikan cermin memantulkan bayangan gunung di belakangnya. Rupanya bayangan seperti ini hanya bisa didapatkan pagi hari ketika matahari belum tinggi. Saya pun membuat kopi dan menikmati sarapan sereal dengan bonus pemandangan danau Tekapo berkabut tipis ini. Pukul 10 pagi, kami menyelesaikan rutinitas berkemas, cek out dan melanjutkan perjalanan ke Christchurch.
Saya masih ingat suasana senja di tepi danau Tekapo: tenang dan syahdu. Angin malam membelai halus di antara padang bunga liar warna ungu dan merah jambu, bulan menggantikan matahari menerangi danau berair biru turquoise, dengan gereja tua yang berdiri anggun di tepinya, dan di kejauhan tampak Mt John berselimut salju.
Lake Tekapo adalah kota kecil yang terletak di antara Christchurch dan Queenstown. Kota ini menjadi persinggahan utama traveler yang melakukan perjalanan dari Christchurch ke Queenstown atau sebaliknya. Dengan mobil, Lake Tekapo bisa dicapai 3 jam dari Christchurch atau 3,5 jam dari Queenstown.
Biasanya para pelancong hanya singgah sebentar dan melihat keindahan danau Tekapo ini di sekitar Church of the Good Shepherd saja. Gereja tua yang dibangun tahun 1935 ini merupakan atraksi utama yang wajib disinggahi di Lake Tekapo. Bangunan cantik ini cukup fotogenik diambil gambarnya dari berbagai sudut. Tidak heran kalau gereja ini menjadi gereja yang paling banyak difoto di seluruh New Zealand. Si Ayah yang baru saja belajar fotografi cukup antusias ingin mengabadikan senja di sekitar gereja yang juga populer disewa untuk prosesi pernikahan ini.
Jarak gereja tua sekitar 1 km dari tempat kami menginap di Lake Tekapo Motels and Holiday Park. Kami naik mobil menuju ke sana setelah kenyang dengan makan malam. Di musim panas, matahari baru terbenam sekitar jam 9 malam. Semburat jingga dan merah jambu bergantian memenuhi langit. Little A dan Big A saya ajak bermain-main di padang bunga liar yang tumbuh di tepi danau. Bunga Russell Lupines atau lebih populer disebut Lupin berwarna ungu dan merah jambu ini tumbuh di musim panas, dari akhir November sampai awal Januari. Ketika musim dingin tiba, bunga-bunga cantik ini menghilang dan akan muncul lagi begitu musim panas tiba. Kami beruntung mengunjungi New Zealand ketika bunga-bunga ini mekar. Pemandangan cantik padang Lupin ini bisa kami jumpai di mana-mana, di Queenstown, Glenorchy, Te Anau, Wanaka dan paling banyak di Lake Tekapo ini.
Sementara The Precils bermain, Si Ayah asyik memotret Church of the Good Shepherd. Kami pulang setelah langit gelap meskipun Si Ayah belum puas dan belum berhasil mendapatkan foto yang bagus karena ‘peralatan perang‘ nya kurang memadai :p
Senja di Church of the Good Shepherd, Lake Tekapo
Church of the Good Shepherd sebelum gelap
Pagi harinya, setelah cek out dari penginapan, kami kembali mengunjungi gereja tua ini. Agenda utamanya adalah: foto keluarga 😀 Saya yang paling ngebet pengen punya foto keluarga yang lumayan, yang nantinya bisa dibingkai dan dipajang di ruang keluarga. Setelah gagal membuat foto keluarga di Milford Sound, saya ingin foto keluarga kali ini berhasil, dan sempurna. Pagi hari, saya berhasil membujuk anak-anak dan ayahnya untuk memakai ‘seragam’ foto keluarga kami: kaos putih dan celana jeans biru. Tidak ada alasan khusus untuk pilihan ‘seragam’ ini kecuali warna inilah yang kebetulan kami semua punya.
Sesi foto dimulai ketika The Precils asyik bermain di batu-batu di tepi danau. Setelah Si Ayah berhasil menyeting kameranya di tripod, kami berpose. Tuhan memberkati, Little A dan Big A sukarela tersenyum ketika difoto. Padahal semenit sebelumnya Big A manyun karena kepanasan. Kami ulangi foto sekali lagi di antara padang Lupin. Lagi-lagi saya cukup beruntung karena The Precils mau tersenyum. Begitu terdengar bunyi ‘klik’, anak-anak segera bubar sehingga foto keluarga tidak mungkin diulang lagi.
Hasilnya tidak begitu mengecewakan. Saya berani bilang hasil foto Si Ayah bisa diadu dengan tukang foto keluarga profesional 🙂
Dalam perjalanan dari Wanaka ke Lake Tekapo, kami singgah di Mt Cook Alpine Salmon Farm, yang merupakan peternakan salmon tertinggi di dunia. Di sana kami mencicipi salmon (mentah) paling segar yang rasanya super lezat, tidak ada bandingannya 🙂
Perjalanan Wanaka – Mt Cook Alpine Salmon
Kami cek out dari Wanaka View Motel sekitar jam 10 pagi dan main-main sebentar di playground di pinggir danau. Setelah itu kami belanja sunblock, buah, dan sereal di supermarket New World. Ternyata saat itu, The Precils dan Si Ayah secara sembunyi-sembunyi membeli kartu ulang tahun untuk saya, baru ketahuan ketika kami sampai di Christchurch 🙂 Kami juga membeli bekal makan siang, fish & chips yang rencananya kami makan di tempat piknik pinggir jalan, begitu kami merasa lapar.
Jarak Wanaka ke Lake Tekapo sekitar 200 km, bisa ditempuh dalam dua setengah jam dengan mobil. Kami memutuskan singgah di peternakan salmon ini karena sejalan dengan rute kami ke Lake Tekapo. Peternakan salmon sekitar 30 menit bermobil dari Lake Tekapo.
Ketika kami mulai melanjutkan perjalanan, saya tidak berharap akan menjumpai pemandangan seindah ketika road trip menuju Milford Sound. Ternyata saya salah. Sekitar satu jam perjalanan dari Wanaka menuju Omarama, kami melewati Lindis Pass. Ketika saya membaca tanda Lindis Pass (934m) di peta, saya bertanya-tanya, apa itu Lindis Pass. Saya dan Si Ayah main tebak-tebakan, apakah itu jembatan, terowongan atau sekadar jalan di atas lembah. Ternyata, Lindis Pass adalah jalan raya paling tinggi di Pulau Selatan Selandia Baru, yang melewati perbukitan yang dijadikan daerah konservasi. Ketika kami melewati terusan ini, warna kuning mendominasi bukit di kanan kiri jalan. Lautan bunga-bunga liar berwarna kuning membentuk pemandangan yang menakjubkan.
Melewati Lindis Pass, kami melanjutkan perjalanan melalui Twizel, kota kecil yang menjadi pintu menuju Mt Cook, gunung dengan puncak tertinggi di New Zealand. Di sekitar twizel, kami kembali mendapati pemandangan cantik, sungai dan danau kecil berwarna biru turquoise. Sekitar sepuluh menit dari Twizel, kami singgah sebentar di Lake Pukaki Information Centre. Danau Pukaki yang luas, dengan air biru turquoise dan Mt Cook sebagai latar belakang membuat mata kami memandang takjub. Kok bisa air danau ini sebegitu biru? Dari mengintip Wikipedia, saya jadi tahu kalau warna biru ini berasal dari tepung glasial, bentuk lembut dari batu glasier. Ah, andai dulu lebih memerhatikan pelajaran Geografi :p Kami menghabiskan makan siang kami di sini, sambil memandang rombongan turis yang berfoto ria di depan danau.
Lindis Pass
Makan Siang di tepi danau Pukaki
Dari Lake Pukaki, hanya perlu setengah jam untuk sampai di peternakan salmon. Jalurnya mudah sekali karena ada petunjuk arah di tiap tikungan jalan. Peternakan salmon ini dibangun di tepi jalur Hydro Canal, kanal air yang digunakan untuk memproduksi listrik. Berada di ketinggian hampir 2000 m di atas permukaan laut, lokasi peternakan salmon ini paling tinggi di dunia. Namun bukan hanya lokasinya saja yang istimewa, peternakan ini dioperasikan dengan konsep eco-sustainability. Mereka menggunakan 100% energi terbarukan dari tenaga surga dan mendaur ulang 100% limbah yang dihasilkan. Salmon-salmon yang diternakkan hidup di air yang sangat murni, yang bisa ditandingkan dengan air mineral kemasan. Mereka berani menjamin kalau ikan-ikan di peternakan ini hidupnya bahagia dan tidak stress (saya heran cara tahunya bagaimana). Dari fakta-fakta di atas, tidak heran kalau ikan salmon yang dibudidayakan di peternakan ini rasanya sangat segar dan lezat.
Sayang sekali ketika kami datang ke sana, peternakan ini sedang dalam perbaikan, sehingga kami tidak bisa mengikuti tur melihat dan memberi makan ikan-ikan. Yang bisa kami lakukan hanyalah membeli produk salmon di toko mereka. Ada beberapa macam produk salmon yang dijual, segar atau beku, dengan berbagai macam penyajian. Kami membeli satu kotak sashimi salmon seharga NZ$15 dan dua potong salmon steak seharga NZ$15 yang akan kami barbekyu untuk makan malam di Lake Tekapo.
Ketika merencanakan perjalanan road trip ke New Zealand, saya menantang Si Ayah untuk mencicipi salmon mentah. Kami memang sudah beberapa kali makan ikan salmon, tapi selalu dibakar sampai matang. Saya suka salmon yang masih agak basah dan juicy, sementara Si Ayah harus makan salmon yang ‘garing’. Rasanya tidak ada tempat lain yang cocok untuk mencoba salmon sashimi mentah yang bisa langsung dimakan, selain di sini. Big A saja, yang biasanya pilih-pilih makanan, berani menerima tantangan saya ini. Saya juga memberanikan diri mencoba salmon mentah. Ternyata rasanya di luar dugaan saya: segar, manis dan lezat, sama sekali tidak seperti ikan 😀 Salmon segar ini juga tidak ada bau amis ikan sama sekali. Pantes saja banyak orang yang doyan makan salmon mentah dari restoran sushi.
Berikut adalah video Si Ayah yang akhirnya berani mencoba makan salmon sashimi 😉
Kami menikmati piknik makan sashimi di bukit di atas peternakan salmon ini. Dari atas bukit, kita bisa melihat pemandangan kanal air berwarna biru dengan latar belakang puncak Mt Cook yang berselimut salju. Little A senang sekali naik turun bukit kecil ini. Kami yang tidak begitu terburu-buru karena penginapan tinggal menyetir sekitar setengah jam dari sini, menyempatkan diri bermain-main sebentar di sekitar peternakan ini. Big A dan Little A duduk-duduk di atas mobil, makan coklat sambil melihat beberapa orang yang asyik memancing ikan, di samping caravan yang mereka parkir.
Untuk penggemar salmon, Mt Cook Alpine Salmon ini wajib dimasukkan itinerary ketika mengunjungi South Island New Zealand. Kalau ingin tahu jadwal tur dan maintenance mereka, lebih baik telpon dulu atau kunjungi website-nyadi sini.
Peternakan Salmon tertinggi di dunia. Mt Cook tampak di kejauhan.
Hari beranjak senja ketika kami sampai di Wanaka View Motel. Capek dari bermain-main di Wanaka Puzzling World, kami lega mendapati chalet kami yang sudah siap, rapi dan bersih. Pemilik motel, Ibu muda ramah yang membawa anak laki-lakinya menemani kami berkeliling, menunjukkan fasilitas yang tersedia di motel.
Saya memesan motel ini dari website Wotif, seharga NZ$150 per malam. Dengan harga segitu, kami sudah mendapat motel dengan dua kamar (double bed di kamar utama dan dua single bed di kamar The Precils), fasilitas dapur lengkap dan kamar mandi dalam dengan shower. Saya tambah senang karena mendapat fasilitas internet gratis melalui wifi.
Lokasi motel ini cukup strategis, berada di tepian danau, hanya dihalangi oleh taman. Saya suka dengan layout dan interior-nya, modern minimalis. Kami beruntung mendapatkan motel yang baru saja direnovasi, sehingga perabotannya masih baru dan tampak bersinar 🙂 Dari review di Trip Advisor, beberapa orang mengingatkan bahwa motel ini terlalu sempit. Saya biasanya cuek dengan review seperti ini, mirip dengan review tentang apartemen yang kami sewa di Melbourne. Mungkin kamar-kamar ini akan terasa sempit bagi orang bule yang badannya besar. Tapi bagi kami yang badannya mini, chalet kami masih terasa longgar :p Memang ukuran kamarnya lumayan kecil, paling kecil dibandingkan semua penginapan yang pernah kami huni. Ketika saya membuka pintu, daun pintu langsung menabrak pinggir ranjang sehingga hanya ada celah kecil untuk masuk kamar. Untungnya The Emak cukup ramping 😀
Begitu kami memasuki chalet ini, ada ruang serbaguna berisi dapur mungil, meja makan dan sofa panjang. Meskipun kecil, fasilitas dapur ini lengkap, mulai dari kompor, microwave, kulkas, perabotan memasak, peralatan makan sampai alat bersih-bersih. Yang harus kami sediakan sendiri cuma satu: ricecooker 🙂 Ketika datang sore-sore, energi saya sudah habis untuk menenangkan Little A yang tantrum di Puzzling World, sehingga tidak sanggup untuk memasak. Akhirnya, kami makan malam dengan menu andalan: Indomie goreng yang saya beli di supermarket di Queenstown dan telur mata sapi. Anak-anak yang kelaparan langsung makan dengan lahap.
Motel ini menyediakan fasilitas laundry dengan koin, yang letaknya di luar chalet kami. Pemilik motel mewanti-wanti agar kami tidak mencuci baju terlalu malam karena bisa mengganggu penghuni kamar yang bersebelahan dengan laundry. Saya sebenarnya punya simpanan baju kotor dua hari dari menginap di Te Anau, tapi agak malas juga kalau disuruh segera mencuci baju begitu datang dan mau istirahat sejenak. Memang lebih enak kalau fasilitas laundry ada di dalam seperti apartemen yang kami sewa di Queenstown. Tapi, motel dengan harga ‘murah’ ini sudah cukup memenuhi kebutuhan kami kok. Baju-baju kotor sanggup menunggu satu hari lagi sampai di perhentian kami selanjutnya di Lake Tekapo. Yang lebih penting, kamar mandi di chalet kami ini lumayan baru, sehingga The Precils mau mandi dengan sukarela, tanpa dipaksa 🙂
Si Ayah beres-beres di dapur
Meja makan di antara kamar utama dan kamar The Precils
Sebelum supermarket tutup jam 9 malam, Si Ayah menyempatkan diri berbelanja bahan makanan kami yang menipis: sereal dan susu segar untuk The Precils dan buah-buahan untuk kami. Di Wanaka ada supermarket yang cukup besar, bagus dan lengkap: New World. Buah dan sayur yang dijual di sini segar-segar semua, dan harganya relatif lebih murah daripada harga bahan makanan di Sydney. Lokasi supermarket ini sekitar 450 m dari motel, hanya 2 menit kalau naik mobil. Oh, ya, di motel dan di supermarket disediakan tempat parkir gratis.
The Precils tidur cukup pulas malam itu. Tiap ranjang dilengkapi dengan electric blanket untuk menghangatkan tubuh karena malam hari suhu lumayan dingin. Kami cek out jam 10 pagi, menghabiskan waktu untuk bermain di Wanaka Playground, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Peternakan Salmon di Mt Cook.
The Emak dan Big A di depan motel, difoto oleh Little A
The Emak dan Little A berbasah-basah di danau Wanaka
Setelah menemani The Emak mewujudkan impiannya mengunjungi Milford Sound, kali ini giliran The Precils yang bersenang-senang di Wanaka.
Wanaka adalah kota di pinggir danau, 68 km di sebelah utara Queenstown. Wanaka dapat ditempuh sekitar 1 jam dari Queenstown melalui Cardrona, kota kecil di atas bukit. Untuk mengunjungi Wanaka, sebenarnya bisa day trip saja dari Queenstown, tanpa menginap. Tapi karena perjalanan kami dari Te Anau ke Wanaka, dan akan melanjutkan perjalanan ke Lake Tekapo, kami menginap semalam di Wanaka View Motel.
Perjalanan Te Anau – Wanaka
Setelah cek out dari Te Anau Lakeview Holiday Park, kami melanjutkan perjalanan ke Wanaka, dengan singgah dulu di Queenstown untuk makan siang. Rute Te Anau – Queenstown, yang bisa ditempuh dalam waktu 2 jam, sama persis dengan rute Queenstown – Te Anau. Ketika merencanakan perjalanan ini di Google Map, saya sempat bingung karena Peta Google tidak menyarankan saya melalui jalur yang sama dengan ketika berangkat dulu. Google memilihkan jalur lain melewati Cromwell dengan jarak tempuh 4 jam. Waktu itu saya khawatir jalur Queenstown ke Te Anau via Kingston tidak dapat dilalui arah sebaliknya. Tapi ternyata tidak masalah. Jalur yang sama dari arah sebaliknya tetap bisa dilalui. Jalanan juga cukup lebar dan mulus, dengan rambu lalu lintas yang jelas. Kami menempuh rute Te Anau – Queenstown via Kingston kira-kira dua setengah jam, melewati beberapa peternakan domba, sapi dan kuda, lautan bunga liar di tepi jalan, dan danau Wakatipu yang airnya beriak dihembus angin.
Kami singgah sebentar di Frankton (pinggir Queenstown) untuk makan siang di Bombay Palace. Restoran India ini masakannya lezat banget dan porsinya super besar. Saya dan Big A suka dengan Mango Chicken-nya, terenak yang pernah kami makan (memang jarang makan masakan India sih). Si Ayah puas dengan Nasi Biryani-nya. Saya pun hampir kekenyangan berusaha menghabiskan roti garlic naan yang dicelup saus Raita (saus dari yoghurt dan mentimun).
Dengan perut terisi, kami melanjutkan perjalanan ke Wanaka. Saya agak curiga ketika melihat di peta Google, rute ini ‘hanya’ 68 km, tapi waktu tempuhnya sampai 1 jam. Jangan-jangan jalannya tidak mulus dan berkelok-kelok? Ternyata benar, rute yang kami pilih ini melewati kota kecil di atas bukit, Cardrona, yang punya resor salju di musim dingin. Lepas dari Frankton, kami mulai melewati jalan berkelok menaiki bukit. Sampai di atas bukit, hadiah sudah menunggu: pemandangan spektakuler pinggiran kota Queenstown dan sekitarnya. Selanjutnya adalah perjalanan membelah bukit. Di kanan kiri kami tampak bukit dengan gerumbul hijau dan coklat. Pemandangan cukup membosankan, sampai kami melewati kota Cardrona. Di kota kecil ini, ada hotel bersejarah yang bangunannya cantik untuk difoto. Saya melihat foto-foto Cardrona Hotel ini di mana-mana, brosur, kartu pos, majalah, website lokal, dll. Sayangnya kami melewati hotel Cardrona yang bangunannya ternyata kecil sekali seperti kantor pos di kelurahan :p Si Ayah yang sudah capek menyetir males untuk balik lagi. Lagipula cuaca saat itu sangat panas dan kurang kondusif untuk jalan-jalan keluar mobil. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan sampai di tujuan pertama kami: Wanaka Puzzling World.
Devil’s Staircase, dalam perjalanan Te Anau – Queenstown
Pemandangan dari atas bukit menuju Cardrona
Wanaka Puzzling World
Ketika mencari-cari aktivitas di Wanaka yang cocok untuk anak-anak, saya menemukan Wanaka Puzzling World ini. Sesuai namanya, tempat ini berisi teka-teki yang akan menggelitik akal kita. Saya sudah membayangkan Big A yang suka memecahkan misteri dan teka-teki pasti akan senang sekali dengan tempat ini. Terletak 2 km dari danau Wanaka, di pinggir jalan Luggate Highway 84, Puzzling World mudah sekali ditemukan. Halaman depan bangunan ini ditandai dengan Menara Miring Wanaka yang kemiringannya sampai 53 derajat.
Ketika masuk, kita akan disambut oleh meja-meja berisi pazel yang bebas dicoba. Kita tidak dipungut bayaran kalau sekadar duduk memainkan pazel-pazel ini, sambil makan minum dari menu kafe. Tapi rugi dong kalau sampai sini tidak mencoba atraksi utamanya, yaitu Great Maze atau Labirin Raksasa. Labirin sepanjang 1,5 km ini cukup menantang untuk semua umur.
Selain Labirin, Puzzling World juga mempunyai Ruang-Ruang Ilusi. Yang paling menarik dari ruang ilusi ini adalah Ames Room. Trik Ames Room ini digunakan untuk pembuatan film yang melibatkan manusia dengan raksasa atau manusia dengan Hobbit. Ketika dua orang masuk ke ruang ini dan menuju sudut yang berbeda, satu bisa menjadi raksasa dan satunya lagi menjadi Hobbit. Ruang-ruang ilusi lain yang bisa dikunjungi adalah pameran gambar hologram, Tilted House (menciptakan efek miring) dan Hall of Following Faces.
Menara Miring Wanaka
Raksasa Big A dan Hobbit Little A di Ames Room
Si Ayah mencoba Roman Style Toilet :p
Tiket masuk Great Maze dan Illusion Rooms adalah NZ$ 15 untuk dewasa, NZ$10 untuk anak-anak. Anak di bawah 5 tahun gratis 🙂 Kalau hanya ingin mengunjungi salah satu, kita mendapat diskon 1-3 dolar.
Big A yang memimpin kami untuk memecahkan teka-teki labirin. Aturannya, kita harus mencapai empat menara (merah, hijau, biru dan kuning) dan kemudian mencari jalan kembali. Kami perlu waktu sekitar 1 jam untuk menyelesaikan tantangan ini. Kalau tidak ada Big A, rasanya saya tidak sanggup menyelesaikannya. Berulang kali saya berputar-putar di jalan yang sama, sampai akhirnya Big A berteriak, “C’mon, I found a way!” Kami harus berjalan di lorong-lorong kayu dan naik turun jembatan untuk mencapai masing-masing menara. Big A dan Little A berpose di tiap menara begitu mereka mencapainya. “Untuk bukti,” kata Big A.
Setelah sukses menyelesaikan tantangan labirin, kami melihat-lihat toko suvenir di Puzzling World ini yang menjual banyak sekali jenis-jenis pazel. Seperti biasa, saya cukup membeli suvenir berupa kartu pos, seharga 50 sen per lembar 🙂 Little A, mungkin sudah capek dan lapar, merengek-rengek minta dibelikan dua buku Sudoku (permainan angka). Saya tidak mengabulkan rengekannya dan hanya membelikan satu buku. Little A menangis keras dan mengamuk, dan tentu saja tidak mau difoto dengan latar belakang menara miring di halaman depan gedung. Setelah tangis Little A mereda, kami segera menuju motel untuk istirahat.
The Emak mencatat aturan main labirin
Wanaka Playground
Esok harinya, setelah cek out dari Wanaka View Motel, kami menghabiskan waktu dengan bermain-main di Wanaka Playground. Taman bermain yang terletak di tepi danau Wanaka ini mempunyai perosotan khas berbentuk dinosaurus. Pada awalnya Little A takut mencoba perosotan ini, tapi setelah mencoba sekali, dia tidak mau berhenti.
Selain main-main di taman bermain, kami juga nyemplung ke danau Wanaka yang airnya sedingin es. Saya menemani Little A yang ingin menyeberangi sungai kecil di ujung danau. Little A juga asyik bermain dengan bebek-bebek yang berenang dengan anggun di danau. Ketika kami bersenang-senang, tidak terasa dua jam sudah berlalu. Kami harus segera meninggalkan Wanaka karena parkir gratis di tepi danau maksimal 2 jam saja. Dengan ujung celana yang masih basah, saya dan keluarga melanjutkan perjalanan ke Lake Tekapo.
Banyak julukan yang diberikan untuk Milford Sound, antara lain “tempat yang harus dikunjungi sebelum mati”, dan “keajaiban dunia ke-8” versi Rudyard Kipling. Tempat ini juga menjadi tujuan terfavorit dunia tahun 2008 versi Traveler’s Choice – Trip Advisor. Dina, traveler blogger Indonesia yang ‘pekerjaan’nya berkeliling dunia mengaku Milford Sound adalah tempat wisata favoritnya. “Keindahan alamnya luar biasa, membuatku kehilangan kata-kata dan menitikkan air mata,” tulis Dina di blog-nya: Dua Ransel.
Kata “indah” tidak cukup untuk menggambarkan apa yang kita saksikan di Milford. Gabungan kata spektakuler, dramatis, megah, memesona dan memukau mungkin sedikit mewakili. Sejak awal, Milford Sound menjadi alasan pertama saya mengunjungi New Zealand. Ketika saya mulai mencari tahu tentang Milford dengan meng-google foto-foto, pesona tempat ini langsung menyita perhatian saya. Begitu kami menjejakkan kaki di sana, Milford sound tidak sekadar indah seperti di foto, tapi ada aura magis yang menyelimuti tempat ini. Dengan kosakata bahasa Indonesia yang terbatas, saya coba menggambarkan suasana di Milford sebagai tempat yang agung, akbar, sakral, kudus.
Menyaksikan kano-kano kecil yang terapung menyusuri fiord, di antara pegunungan tinggi (kurang lebih 1200 m) di kanan-kirinya, saya merasa betapa kecilnya manusia di antara alam raya ciptaan Tuhan ini.
Perjalanan Te Anau – Milford Sound
Milford Sound terletak di Pulau Selatan Selandia Baru, 120 km di sebelah utara Te Anau. Perjalanan dari Te Anau ke Milford Sound bisa ditempuh dalam waktu 2 jam dengan mobil. Tapi kalau ingin berhenti di beberapa gardu pandang atau tempat menarik sepanjang perjalanan, sediakan waktu kurang lebih 3 jam.
Kalau dilihat dari peta, kelihatannya Milford ini lebih dekat dengan Queenstown daripada Te Anau. Memang letak Milford sebenarnya di balik Glenorchy, kota kecil di sebelah utara Queenstown. Namun tidak ada jalan tembus karena lokasi tersebut adalah pegunungan batu. Yang hobi hiking (atau tramping, istilah Kiwi-nya) bisa berjalan kaki dari Glenorchy menuju Milford melalui trek Routeburn, 32 km, bisa ditempuh dalam 2-4 hari 🙂 Beberapa operator tur menawarkan perjalanan sehari dengan bis untuk mengunjungi Milford dari Queenstown. Biasanya tur ini dilanjutkan dengan pesiar (cruise) menyusuri fiord, aktivitas ‘wajib’ di Milford. Dulu, saya sempat berpikir untuk ikut tur seperti ini, tapi begitu mengetahui panjang tur-nya 13 jam bolak-balik, dari pagi sampai malam, saya mengurungkan niat. Untuk keluarga yang ingin mengajak anak-anak ke Milford Sound, saya sarankan bermalam di Te Anau agar perjalanan tidak terlalu panjang dan melelahkan.
Yang hanya punya waktu sedikit, tapi punya uang banyak, bisa ikut tur Queenstown – Milford Sound dengan pesawat terbang kecil. Cek pilihan dan tarif tur di sini.
Kami sudah memesan pesiar Milford begitu tiba di Queenstown, melalui kios booking di ujung Queenstown Mal. Ada beberapa operator pesiar, antara lain Mitre Peak Cruises, Southern Discoveries, Cruize Milford dan Real Journeys. Kami memilih yang terakhir karena operator ini yang paling tua, terpercaya dan menjadi perintis tur di Milford. Pertimbangan lain, Real Journeys menggunakan kapal besar, yang lebih stabil ketika mengarungi fiord sehingga foto-foto yang kita ambil tidak goyang (semoga!). Kami memilih jadwal pesiar di pagi hari (jam 10.30) dengan harapan kapal tidak terlalu ramai, dan juga karena harganya sedikit lebih murah daripada pesiar di siang hari (jam 12.30, 13.35). Biasanya turis yang datang dengan bis turis dari Queenstown akan ikut tur siang ini. Tarif tur kami NZD 85 untuk dewasa, NZD 22 untuk anak-anak, dan gratis untuk Little A (yipee!).
Karena harus tiba di Milford sebelum jam 10.30, kami berangkat pagi-pagi dari penginapan kami di Te Anau, sekitar jam 7.30. Waktu itu The Precils belum bangun, langsung saja saya angkut ke mobil. Perjalanan kami dimulai dengan menyusuri danau Te Anau sepanjang 30 km ke arah utara. Kabut-kabut tipis yang menyelimuti gunung di depan kami belum hilang, membuat suasana sedikit mistis. Pemandangan danau menghilang, berganti dengan perjalanan menembus hutan. Kemudian kami dikejutkan dengan pemandangan padang luas penuh dengan alang-alang kuning dan bunga-bunga liar setinggi lutut dan gunung megah yang berdiri tepat menghalangi jalan di depan kami. Ini membuat Si Ayah menepikan mobil dan mulai memotret. Tepat di depan kami parkir, ada dua pengendara sepeda motor yang tampak sibuk memotret. Mereka juga memasang kamera video di helm mereka.
Di tengah-tengah perjalanan Te Anau ke Milford Sound, terdapat danau kecil dengan nama Mirror Lake. Danau berair tenang ini bisa digunakan untuk bercermin. Saya tidak turun ke danau ini karena menjaga The Precils yang masih tidur di mobil. Perjalanan kami lanjutkan setelah Si Ayah puas memotret. Sebenarnya ada beberapa perhentian untuk mengambil foto, namun karena saya takut kami telat sampai di dermaga, lookout tersebut kami lewati dan akan kami kunjungi di perjalanan kembali nanti. Beberapa kilometer sebelum Homer Tunnel, kami berhenti karena melihat pemandangan menakjubkan: puncak gunung berselimut salju dan sungai kecil dengan air bening. Ternyata di sini, kami mendapatkan bonus pengalaman istimewa. Kami disambut oleh Kea, burung khas New Zealand yang berbulu hijau. Saya pernah membaca bahwa Kea ini suka sekali memakan sepatu, karet, sepeda dan lain-lain. Kali ini yang menjadi incaran Kea adalah karet jendela mobil kami. Beberapa kali Kea mematuk karet tersebut, sebelum akhirnya Si Ayah mengusirnya. Sepasang pejalan yang mengendarai campervan, yang ikut menyaksikan peristiwa ini tertawa-tawa. Saya juga ikut tertawa karena mobil sewaan ini sudah dilindungi asuransi 😀 Sementara itu Big A yang sudah bangun terlihat cemas karena burung Kea ini tidak mau pergi dan malah nongkrong di atap mobil kami.
Sukses mengusir si Kea, kami melanjutkan perjalanan dan sampai di mulut Homer Tunnel, sekitar 20 km sebelum Milford Sound. Terowongan sepanjang 1,2 km menembus pegunungan Alpen Selatan. Di dalam terowongan hanya ada satu jalur, sehingga kendaraan yang lewat harus bergantian dari arah Milford maupun Te Anau. Kadang ketika jalanan ramai, antrian menuju terowongan ini lumayan panjang. Untungnya kami hanya menunggu sekitar 7 menit sebelum masuk terowongan. Perjalanan menembus gunung ini sangat mengesankan bagi saya. Begitu melewati terowongan, kami disambut dengan gunung megah di kanan kiri, yang di badannya mengalir puluhan air terjun dari salju yang meleleh.
Mirror Lake
Kea, burung khas New Zealand yang memakan jendela mobil kami
Mulut Homer Tunnel
Berpesiar Menyusuri Fiord
Berpesiar menyusuri fiord (cruise) adalah aktivitas ‘wajib’ begitu kita sampai di Milford Sound. Sebenarnya, selain dengan naik kapal, kita juga bisa menyusuri fiord dengan naik kayak/kano. Tapi usia minimal untuk kayaking adalah 16 tahun. Jadi pesiar adalah pilihan bijaksana untuk keluarga yang ingin menikmati keindahan Milford Sound.
Di dekat dermaga Milford, ada tempat parkir mobil yang disediakan gratis untuk pengunjung. Dari tempat parkir mobil, kami harus berjalan kurang lebih 15 menit menuju dermaga, tempat kapal kami menunggu. Kapal kami, Milford Mariner berangkat tepat waktu. Kru yang ramah menyilakan kami mencari tempat duduk yang nyaman di dalam. Di dalam kapal disediakan kopi dan teh gratis. Makanan kecil bisa dibeli di kafe, sementara makan siang harus pesan terlebih dahulu.
Kapal yang kami tumpangi lumayan besar sehingga cukup stabil ketika berlayar. Ada dua level deck untuk melihat-lihat pemandangan. Satu deck yang selevel dengan kursi kami di dalam kapal dan deck terbuka di level atas. Kami ikut Nature Cruise dengan lama pelayaran sekitar dua setengah jam. Ada pilihan pesiar lain dengan durasi 1 jam 40 menit, dan lebih murah yaitu Scenic Cruise. Bedanya, Nature Cruise ini mengarungi fiord sampai ke laut Tasman dan kembali lagi ke dermaga. Scenic Cruise sekadar melihat-lihat fiord dan balik lagi sebelum mencapai laut lepas. Pemandu di Nature Cruise ini juga menceritakan tentang flora dan fauna yang ada di Milford Sound.
Baru 10 menit kami berpesiar, kawanan lumba-lumba menyambut kedatangan kami. Dari atas kapal kami bisa melihat dengan jelas mereka berenang berkelompok. Seekor lumba-lumba bahkan memamerkan keahliannya melompat. Sayangnya, kecanggihan kamera Si Ayah tidak bisa menangkap momen ini :p Little A yang saya gendong di deck takjub melihat dolphin di habitat aslinya ini. Saya juga seakan tidak percaya berada di Milford memandang kawanan dolphin yang bermain-main. Di Sydney banyak ditawarkan tur untuk melihat lumba-lumba, tapi tidak ada jaminan bisa melihat mereka dengan jelas, dan harga tur-nya juga tidak murah.
Selain lumba-lumba, kami juga bisa melihat anjing laut (seal) di habitat aslinya dari dekat. Ketika terlihat sekelompok anjing laut rebahan di karang, kapal kami mendekat dan memberi kesempatan pada kami untuk memotret sepuasnya. Sampai sekarang, Little A masih ingat anjing laut ini kira-kira berusia 3 tahun, sama seperti dirinya 🙂 Kata pemandu tur ini, biasanya di pesiar kita juga bisa menjumpai penguin. Tapi mereka akan hilang bermigrasi ke arah selatan ketika musim panas tiba.
Vegetasi yang tumbuh di kawasan Milford ini terutama dari golongan paku-pakuan (fern) atau nama latinnya Pteridophyta. Simbol New Zealand yang banyak dicetak di berbagai suvenir adalah silver fern. Pemandu tur juga menunjukkan kepada kami fern tree yang banyak tumbuh di teluk-teluk kecil sepanjang fiord. Kalau di Indonesia mungkin mirip tanaman Pakis Haji.
The Precils, selain tertarik dengan lumba-lumba dan anjing laut, juga senang melihat air terjun yang jatuh dari batu karang. Ada beberapa air terjun di Milford, di antaranya yang paling terkenal adalah air terjun Fairy, Stirling dan Lady Bowen. Ketika kami mengikuti pesiar ini, cuaca cerah, matahari bersinar terik. Kami beruntung mendapati cuaca cerah yang jarang terjadi di Milford. Tapi bagi mereka yang mendapatkan hujan ketika berpesiar, akan mendapatkan bonus air terjun yang airnya melimpah. Kapal kami mendekat begitu air terjun ini mulai kelihatan. Di air terjun Stirling, kapal hampir menempel di bibir karang sehingga kami bisa merasakan butir-butir air membasuh tubuh kami. Pemandu tur mengatakan bahwa air terjun Stirling ini berkhasiat membuat kita tampak lebih muda. Tapi mungkin dia cuma bercanda 🙂
Lumba-lumba menyambut kedatangan kami 🙂
Anjing Laut yang leyeh-leyeh di batu karang
Salah satu air terjun di Milford Sound
Di awal pesiar, Little A dan Big A tampak belum benar-benar terjaga, mata mereka masih menahan kantuk. Little A sempat muntah sedikit di dalam mobil ketika kami baru akan sampai Milford Sound. Mereka juga masih lemas karena belum sarapan. Saya sudah menyiapkan beberapa roti tangkup, camilan, dan buah-buahan untuk perjalanan ini, tapi tampaknya The Precils kurang berselera. Big A mau makan setelah saya belikan muffin coklat di kafe. Sementara Little A mau makan buah sedikit-sedikit. Setelah anak-anak kenyang, baru mereka bisa tertawa-tawa dan menikmati perjalanan. Ketika mood Little A membaik, dia meminjam kamera Kakaknya dan mulai memotret.
Pesiar pagi mungkin tidak cocok untuk mereka yang tidak bisa bangun pagi. Selama di New Zealand, The Precils tidak bisa bangun pagi, tubuh mereka tidak mau menyesuaikan dengan waktu Selandia Baru yang 2 jam lebih awal. Jadi kalau di Sydney mereka bangun jam 7, di New Zealand mereka bangunnya jam 9. Tips untuk yang ikut pesiar pagi dengan anak-anak, usahakan mereka makan sesuatu sebelum perjalanan agar tidak pusing dan mabuk laut.
Little A memotret Ayahnya (baju oranye) dari dalam kapal
Little A memotret The Emak dan Big A di dalam kapal.
Di sepanjang pesiar, kami mendapati beberapa kelompok orang yang menyusuri fiord dengan kayak. Tampaknya asyik sekali naik kayak ini, bisa menikmati fiord lebih dekat lagi. Mereka bisa singgah dan beristirahat di teluk-teluk yang ada di sepanjang fiord. Salah satu teluk yang terkenal adalah Anita Bay, yang sering dikunjungi orang-orang Maori untuk mencari takiwai (salah satu jenis batu hijau). Selain berpapasan dengan kayak, kami juga berpapasan dengan kapal-kapal lainnya, yang dari jauh tampak kecil sekali dibandingan pegunungan di kanan kiri kami.
Fiord adalah lembah yang terbentuk oleh aktivitas glasial yang kemudian dipenuhi oleh air laut. Lembah ini bisa sangat dalam, melebihi kedalaman lautan. Di New Zealand, fiord juga dikenal dengan nama ‘sound’. Panjang Milford Sound sekitar 15 km dari laut Tasman. Di ujung fiord dekat laut Tasman terdapat mercu suar St Anne yang membantu navigasi para pelaut. Dari laut lepas, ‘pintu masuk’ fiord ini tidak begitu kelihatan sehingga bertahun-tahun fiord ini diabaikan oleh para pelaut.
Dalam perjalanan kembali dari laut lepas, saya bisa lebih menikmati pesiar ini. The Precils sudah mulai gembira dan bermain berdua di dalam kapal. Saya dan Si Ayah bisa pacaran sebentar di dek sambil tak bosan-bosan mengagumi megahnya fiord ini. Empat hari kemudian, ketika kami bangun di sebuah motel di Christchurch, pada hari ulang tahun saya, Si Ayah meminta maaf tidak bisa memberi saya hadiah ultah. Saya langsung teringat momen ini. Bagi saya, perjalanan ke Milford Sound ini sudah lebih dari cukup sebagai hadiah ulang tahun. Pengalaman ini merupakan hadiah ultah terbaik yang pernah saya terima 🙂
Kapal yang tampak seperti titik, menyusuri fiord di Milford Sound
Tumben Big A mau berpose untuk Little A. Mitre Peak sebagai background.
Kafe Blue Duck di dekat tempat parkir
Di akhir pesiar, kami ditawari paket foto berisi foto kami sekeluarga yang diambil sebelum kapal berangkat, gantungan kunci yang bisa diisi foto kami versi kecil, dua kartupos dari foto kami dan CD berisi foto-foto pemandangan Milford Sound. Harganya lumayan mahal, NZD 30. Tapi karena Little A sudah senang memegang paket tersebut, dan saya dalam hati juga ingin kenang-kenangan dari Milford Sound, akhirnya Si Ayah merelakan uangnya 🙂 Kami mengirim dua kartu pos tersebut ke Opa/Oma dan Uti/Kakung di Indonesia.
Kami yang sudah kelaparan segera menuju kafe yang letaknya di sebelah tempat parkir. Harga makanan di kafe ini cukup masuk akal. Kami memesan pie Mrs Mac, pasta dan wedges (kentang goreng). Air minum disediakan gratis, tinggal mengambil dari keran. Ini adalah air putih tersegar yang pernah saya minum seumur hidup. Sampai sekarang saya masih ingat kesegarannya 🙂
Begitu kenyang, kami bisa jalan-jalan sebentar di dekat tempat parkir sambil mengagumi Mitre Peak yang berdiri megah. Saya sebenarnya ingin mempunyai foto keluarga di spektakuler ini, tapi sayangnya Little A ngambek tidak mau difoto. Akhirnya kami meninggalkan Milford menuju Te Anau. Dalam perjalanan pulang, anak-anak bisa tidur di mobil. Kami berhenti di tiga look out (gardu pandang). Salah satunya adalah di pinggir sungai yang airnya begitu bening hingga nampak batu-batu di bawahnya. Di sungai ini kami bertemu dengan Ibu dari Perancis, pengendara sedan merah yang berpapasan dengan kami di Glenorchy. Tak lupa saya berpesan agar dia mengunjungi Indonesia suatu saat nanti. Air sungai yang jernih mengundang saya untuk mencicipinya. Di buku panduan, tidak ada garansi bahwa air sungai di New Zealand aman untuk langsung diminum. Tapi kata pemandu berkuda di Glenorchy, dia sering minum dari air sungai dan tidak pernah sakit perut. Kata-katanya terbukti benar, saya ambil air sungai ini untuk mengisi ulang botol minum, yang saya habiskan dalam sehari. Untuk yang gampang sakit perut, jangan ditiru ya :p
Kira-kira setengah jam sebelum Te Anau, kami dibuat takjub dengan pemandangan gerumbul kuning di sepanjang jalan. Si Ayah, yang insting fotografinya keluar, segera menepikan mobil dan mengambil beberapa foto yang lumayan dramatis untuk kelas fotografer amatir 🙂 Foto-foto ini menjadi suvenir utama kami dari pengalaman jalan-jalan ke Milford Sound.
Te Anau adalah kota kecil di tepi danau di Pulau Selatan Selandia Baru, 170 km sebelah barat daya Queenstown. Kota ini biasa dijadikan persinggahan para pejalan yang akan mengunjungi Milford Sound atau Doubtful Sound.
Sebenarnya Milford Sound bisa dicapai dengan perjalanan tanpa menginap (day trip) dari Queenstown menggunakan bis turis. Namun saya tidak yakin The Precils sanggup bertahan dalam perjalanan bolak-balik selama 13 jam menggunakan bis. Karena itu singgah di Te Anau merupakan pilihan terbaik. Saya memutuskan menginap di Holiday Park setelah gagal mencari motel di bawah NZD 150 per malam. Budget saya untuk Te Anau memang saya pasang di bawah $150 karena kami sudah lumayan bermewah-mewah di Queenstown. Ini adalah pertama kali kami menginap di lodge, salah satu jenis penginapan di Holiday Park. Tak disangka, The Precils senang sekali menginap di sini karena ada fasilitas taman bermain. Saya juga puas dengan fasilitas mesin barbekyu gratis dan tarif internet wifi yang lumayan murah, ‘hanya’ $10 untuk 24 jam 🙂
Perjalanan Queenstown – Te Anau
Dari Queenstown, Te Anau bisa ditempuh selama 2 jam dengan mobil. Dari kota Queenstown kami menyusuri tepi danau Wakatipu sampai di Kingston, kemudian melewati kota-kota kecil: Athol dan Mossburn. Navigasi untuk rute ini mudah sekali karena ada papan penunjuk jalan di setiap tikungan. Tinggal ikuti rambu menuju Te Anau, dijamin tidak akan tersesat meski tidak membawa GPS. Jalan yang dilalui sudah teraspal semua dan selalu mulus. Sepanjang perjalanan kami menemui banyak pemandangan menarik yang tidak biasa atau belum pernah kami lihat sebelumnya. Dari Queenstown sampai Kingston, mata dimanjakan oleh keindahan danau Wakatipu, dari sisi yang lain dari perjalanan kami ke Glenorchy. Beberapa kali kami menepikan mobil di pinggir jalan untuk mengabadikan panorama indah ini. Dari Kingston, kami melewati beberapa peternakan, baik domba, sapi maupun kuda. Melihat ratusan domba yang asyik merumput di bukit hijau atau kawanan sapi yang leyeh-leyeh di antara gerumbul semak berbunga kuning membuat mata saya takjub. Lebih takjub lagi ketika melihat kawanan sapi yang muncul dari balik padang rumput setinggi tubuh mereka. Pantas saja sapi di sini gemuk-gemuk ya 🙂
Danau Wakatipu, dekat Kingston
Peternakan sapi
Si Ayah berfoto dg bunga Lupin yang tumbuh liar di tepi jalan, dg latar belakang ratusan domba merumput.
Fasilitas di Holiday Park
Holiday Park adalah taman yang menyediakan tempat menginap dan fasilitas yang bisa digunakan bersama. Menginap di Holiday Park menjadi alternatif penginapan murah di Australia dan New Zealand untuk pejalan yang ber-budget tipis. Di Holiday Park sendiri ada berbagai jenis akomodasi, mulai dari sekedar tempat untuk mendirikan tenda, tempat memarkir caravan/campervan/motorhome, kabin sederhana tanpa kamar mandi, kabin dengan kamar mandi dan juga akomodasi seperti motel atau flat turis. Beberapa Holiday Park menyediakan bunk bed seperti hostel, yang lazim untuk backpacker. Pilihan kami adalah lodge, dengan dua kamar yang dihubungkan oleh kamar mandi di tengah-tengahnya. Tarif lodge semalam untuk 2 dewasa dan 2 anak adalah NZD 135. Lodge ini saya pesan langsung dari websitenya, sebelum kami memulai road trip ke Pulau Selatan New Zealand.
Sesuai namanya, Te Anau Lakeview Holiday Park terletak di tepi danau Te Anau. Dari teras depan kamar, kami bisa memandang tepian danau, meskipun terhalang oleh jalan. Kamar pertama berisi satu double bed dan kamar kedua berisi dua single bed untuk The Precils. Masing-masing kamar dilengkapi dengan TV, kulkas mini, ketel air panas, pemanggang roti, dan peralatan makan seperti piring, gelas, sendok, garpu, pisau dan serbet. Selain menyediakan kopi, teh dan gula, kami juga mendapatkan bumbu garam dan lada hitam (yang berguna untuk barbekyu). The Precils senang sekali mendapatkan kulkas mini sendiri. Tanpa disuruh, mereka dengan sukarela menata makanan di kulkas tersebut.
Bangunan lodge kami sepertinya sudah tua, tampak dari kamar mandinya yang seperti kamar mandi tahun 60-an. Ketika lampu kamar mandi dinyalakan, secara otomatis kipas angin yang mengeluarkan suara bising juga ikut nyala. Little A sampai takut dan malas mandi di lodge ini :p Untungnya ranjang dan interior lainnya sudah mendapat sentuhan renovasi.
Kamar The Precils
Little A suka mini kulkas ‘pribadi’ nya
Te Anau, danau yang namanya sama dengan nama kotanya, adalah danau terbesar kedua di New Zealand setelah danau Taupo di Pulau Utara. Sayang sekali, kami tidak sempat jalan-jalan sama sekali di tepi danau atau pun pusat kota Te Anau, bahkan sekedar untuk berbelanja. Menginap dua malam di Holiday Park ini benar-benar kami gunakan untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga sebelum dan sesudah mengunjungi Milford Sound.
Ketika sampai di Koromiko Lodge sekitar jam 3 sore, kami langsung beres-beres dan istirahat sebentar. Sejam kemudian, the precils minta ditemani ke taman bermain. Saya sekalian menyiapkan makan malam. Karena lodge kami tidak dilengkapi dengan fasilitas dapur, saya menggunakan fasilitas barbekyu listrik yang letaknya kebetulan dekat dengan taman bermain. Mesin barbekyu ini mudah sekali digunakan, tinggal memencet tombol dan mesin akan menyala selama lampu hijau menyala. Di samping mesin barbekyu ada meja kursi untuk makan dan bak cuci piring untuk beres-beres. Bahan makanan untuk barbekyu sudah kami beli semua di Queenstown. Capek bermain, the precils makan dengan lahap menu sederhana kami: daging barbekyu, nasi dan lalapan (salad).
Pagi harinya kami melakukan day trip ke Milford Sound, sekitar 2 jam dari Te Anau dengan mobil. Pulang dari Milford Sound, sekitar jam 4 sore, saya lumayan capek, tapi The Precils tetap ingin main-main di playground. Mereka berkenalan dengan dua precils dari Amerika yang diajak ortunya berkeliling New Zealand, menginap di tempat ini dengan berkemah. Pikir saya, hebat bener precil-precil ini, masih balita sudah diajak camping keliling dunia 😀 Little A cepat akrab dengan Bella yang seusia dengannya, 3 tahun. Sementara Kakak Bella, laki-laki usianya sekitar 5 tahun. Saya mengamati, Precils Amerika ini memang pemberani dari ‘atraksi’ mereka di playground.
Menu makan malam hari kedua di Te Anau kembali dari mesin barbekyu, kali ini sate ayam, nasi dan lalapan. Saya membeli daging ayam yang sudah dibumbui dan ditusuk dengan bambu, di sini istilahnya chicken kebab. Daging berbumbu seperti ini praktis karena tinggal dibakar atau dipanggang di atas mesin barbekyu, dengan menambahkan sedikit mentega atau minyak zaitun. Kalau ingin membeli daging ayam yang bersertifikat halal di New Zealand, carilah merek Brink’s. Dengan perut kenyang, kami bisa tidur nyenyak memulihkan tenaga untuk melanjutkan perjalanan ke Wanaka.
Kayaknya asyik juga bersepeda keliling danau
Big A di taman bermain. Di belakangnya adalah kabin-kabin sederhana.
“I want to live in Glenorchy,” kata Big A dengan mata penuh mimpi. Mengingat perjalanan kami yang fantastis mengunjungi Glenorchy, saya maklum dengan keinginan Big A.
Glenorchy adalah kota kecil di ujung danau Wakatipu, bisa ditempuh kira-kira 50 menit dengan mobil dari Queenstown ke arah barat laut. Perjalanan 2x 50 menit menyusuri danau Wakatipu ini merupakan highlight dari perjalanan road trip kami di Pulau Selatan New Zealand.
Tidak banyak yang bisa dilihat di pusat kota Glenorchy yang hanya satu strip jalan dengan beberapa kafe, toko kelontong dan pom bensin. Di ujung jalan, ada dermaga kecil dengan pemandangan menakjubkan: muara sungai Dart yang membentuk danau Wakatipu berair biru, dengan latar belakang agungnya gunung berpuncak salju. Dari pinggir dermaga, ada jalan setapak untuk melihat sungai Dart dari dekat, kanan-kirinya dihiasi bunga Lupin warna-warni yang hanya mekar sebentar di awal musim panas. Dari Glenorchy kita juga bisa melanjutkan perjalanan menuju Paradise, sekitar 30 menit dengan mobil. Yang selama ini penasaran dengan keberadaan “Paradise”, bisa menemukannya dekat Glenorchy 😉
Sebenarnya, yang lebih menarik adalah perjalanan dari Queenstown ke Glenorchy. Pertama kali saya tertarik mengunjungi Glenorchy karena rumor tempat ini sangat menawan. Beberapa traveler bahkan bersumpah bahwa scenic drive dari Queenstown ke Glenorchy adalah perjalanan terbaik yang pernah mereka lakukan. Ketika melihat peta jalur Queenstown ke Glenorchy di Google Map yang persis menyusuri danau Wakatipu, saya sudah bisa membayangkan betapa spektakuler-nya perjalanan ini nanti. Selanjutnya saya juga tahu dari beberapa traveler blog bahwa Glenorchy dan Paradise ini dijadikan lokasi syuting Isengard dalam trilogi The Lord of The Rings. Untuk penggemar berat LOTR, lokasi ini tentu wajib dikunjungi. Ada beberapa tur dengan 4WD dan tur berkuda yang secara khusus mengunjungi lokasi-lokasi syuting LOTR ini. Ketika berangkat, kami tidak yakin akan ngapain nanti di Glenorchy dan belum memesan aktivitas apapun. Saya juga tidak yakin Si Ayah bakal mau keluar uang banyak untuk berkuda atau tur lain, mengingat dia menolak naik gondola di Queenstown sebelumnya.
Keindahan road trip Queenstown ke Glenorchy ternyata bukan rumor. Begitu meninggalkan Queenstown, kami langsung disuguhi pemandangan indah danau Wakatipu, tak putus sepanjang perjalanan. Di setiap tikungan, kami dibuat takjub dengan apa yang akhirnya tampak di depan kami: danau tenang diselimuti awan dengan pegunungan sebagai latar belakang, dan kanan-kiri bunga-bunga liar bermekaran. Saya dibuat kewalahan menjepretkan kamera terus-menerus dari balik kaca mobil, ingin merekam pengalaman luar biasa ini. Jalan ke Glenorchy cukup mulus dan sepi. Kami jarang berpapasan dengan pengendara lain dan sama sekali tidak mendahului mobil lain. Kami berhenti di beberapa gardu pandang (look out) untuk mengambil foto.
Sebelum sampai ke Glenorchy, kami melewati peternakan domba dan sapi yang kemudian saya tahu sebagai Blanket Bay. Di daerah ini juga ada resor mewah yang tarifnya bakalan menghabiskan gaji Ayah sebulan :p Belum pernah melihat domba sebanyak ini sebelumnya, kami berhenti dan mengambil foto. Domba-domba ini tampak sehat, gemuk dan gembira. Ya, siapa yang tidak happy tinggal di tengah keindahan seperti ini, kan?
Peternakan domba di Blanket Bay
Sampai di Glenorchy, kami langsung parkir di pinggir dermaga kecil. Ada beberapa pengunjung lain yang bisa dihitung dengan jari. Termasuk salah satunya adalah perempuan Perancis setengah baya yang mengendarai mobil sewaan dari Apex, sedan merah persis seperti yang kami pakai 🙂 Dia parkir di sebelah kami, menyapa dengan ramah dan tertawa bangga karena mobilnya lebih kotor dari kami. Artinya dia sudah berpetualang lebih lama dan sudah mengunjungi lebih banyak tempat daripada kami. Ibu ini seorang diri berpetualang dari Pulau Utara sampai Glenorchy di Pulau Selatan.
Sesaat kemudian, dermaga kecil Glenorchy eksklusif menjadi milik kami berempat. Little A menemukan “panggung” di dermaga kayu ini. Dia dengan gembira menari-nari dan menampilkan semua kreasinya. Saya agak deg-degan karena pembatas dermaga kecil ini tidak tinggi, sementara Little A berlari dari ujung ke ujung. Cukup lama kami mengagumi kedamaian dermaga Glenorchy ini sebelum beranjak ke Dart Stables untuk melihat-lihat kuda dan kemungkinan kami bisa jalan-jalan dengan kuda sekeluarga.
Saya tahu tentang Dart Stables dari blog ini, kemudian mendapatkan brosurnya dari salah satu kios booking di Queenstown. Sepertinya asyik banget kalau bisa berkuda di lokasi yang memesona ini. Tapi karena kami belum yakin akan pilihan tur yang tersedia, kami tidak booking apa-apa. Little A dan Big A sudah semangat sekali melihat kuda. Ketika sampai di istal dan melihat kuda-kuda yang gagah, kami jadi semakin ingin mencoba naik kuda. Si Ayah menanyakan apakah ada slot berkuda yang masih kosong siang itu. Ternyata hanya tinggal dua tempat kosong untuk trek The River Wild yang berlangsung kira-kira 3 jam. Si Ayah ragu-ragu antara ikut atau tidak karena berarti akan meninggalkan saya dan Little A berdua di Glenorchy selama 3 jam. Lagipula, Little A yang baru berumur tiga tahun juga belum boleh naik kuda. Usia minimal untuk ikut tur berkuda ini adalah 7 tahun. Tidak perlu punya pengalaman berkuda untuk ikut tur ini. Si Ayah dan Big A (9 tahun) juga baru pertama kali ini naik kuda. Akhirnya kami booking The River Wild ride setelah saya meyakinkan Si Ayah kalau saya dan Little A nggak masalah ditinggal di Glenorchy, saya bisa jalan-jalan di pinggir sungai dan nongkrong di kafe. Tarif naik kuda ini tidak murah, NZD 129 untuk dewasa dan NZD 119 untuk anak-anak. Tapi menurut saya, tarif segitu sebanding dengan pengalaman yang didapat.
Karena tur berkuda baru mulai dua jam lagi, kami kembali ke dekat dermaga dan menggelar piknik untuk makan siang. Kami membawa nasi dan lauk dari Queenstown. Setelah perut terisi, kami siap-siap berfoto keluarga di depan boat shed merah yang menjadi ikon Glenorchy. Gudang tua warna merah dengan tulisan Glenorchy di depannya ini memang fotogenic, bagus difoto dari berbagai sudut, apalagi dengan latar belakang pemandangan dermaga. Ternyata di dalam gudang tua ini dipajang foto-foto sejarah tempat ini. Dulunya, sebelum ada jalan darat dari Queenstown menuju Glenorchy, orang-orang mencapai tempat ini dengan kapal uap menyusuri danau Wakatipu. Mereka membawa wool, batu bara dan barang dagangan lainnya dengan kapal ke daerah ini. Sekarang, jalan darat dirasa lebih efisien daripada lewat air. Lagipula, mungkin lebih baik untuk biota danau kalau perairannya tidak dijadikan jalur angkutan.
Kami kembali ke istal pukul dua siang. Big A, Si Ayah dan penunggang kuda lainnya mempersiapkan diri dengan memilih helm dan sepatu boot. Saya ingat ada satu orang yang sudah siap dari sananya dengan kostum berkuda, celana dan sepatu khusus. Ternyata dia memang sudah mahir berkuda. Tur menyusuri sungai Dart ini boleh diikuti siapa saja, baik yang sudah pengalaman maupun yang baru pertama kali naik kuda. Satu grup yang terdiri 5 orang dipandu oleh 1 guide. Yang belum pernah naik kuda akan diberi tahu dasar-dasar mengendalikan kuda sebelum berangkat. Nanti ketika sampai di padang terbuka, yang sudah mahir berkuda mendapat kesempatan untuk jalan-jalan bebas (cantering) dengan kudanya sementara yang masih amatir kembali diajari teknik dasar berkuda.
Setelah memakai helm dan sepatu, mereka diajak ‘berkenalan’ dengan kuda-kuda yang akan diajak jalan-jalan. Wajah Big A antara excited dan cemas. Berkali-kali dia menggumam, “It’s okay, it’s okay,” sambil menarik nafas panjang. Saya tersenyum kecil, kagum dengan keberanian Big A yang baru akan pertama kali ini naik kuda. Big A mendapat giliran terakhir naik ke punggung kuda bernama Pete. Katanya, Pete adalah kuda terkalem dan paling tidak banyak tingkah di istal ini. Big A adalah satu-satunya anak-anak di rombongan ini. Berdua belas dengan dua pemandu, mereka berangkat menyusuri jalanan sepi di Glenorchy.
Little A melepas kepergian Kakak dan Ayahnya dengan wajah sedih. Dia sebenarnya ingin sekali naik kuda dan menyesali dirinya yang masih berumur 3 tahun. Saya berusaha membujuknya untuk pergi dari istal dan jalan-jalan di Glenorchy. Lumayan susah juga membujuk Little A yang sedang patah hati, mulai dari mengajaknya memetik bunga Lupin di pinggir sungai, menawarinya membeli hot chocolate sampai mengiming-imingi dengan Kartu Pos bergambar kuda. Setelah Little A mau dibujuk, saya menyetir mobil kembali ke pinggir dermaga dan memarkirnya di dekat jalan setapak menuju sungai. Kami berjalan-jalan di jalan setapak sembari mengumpulkan bunga lupin warna pink yang menjadi favorit Little A. Setelah itu kami nongkrong di kafe kecil di seberang dermaga, saya membeli kopi dan Little A cukup senang menjilat es krim. Kami juga melihat-lihat suvenir-suvenir lucu yang dijual di kafe ini, sayangnya tidak ada yang berbentuk kuda. Untung ada beberapa stiker lucu yang menarik perhatian Little A. Setelah dibelikan stiker, Little A bisa tersenyum kembali, main-main di taman dekat kafe dan berlari-lari mengejar burung di rerumputan sembari menunggu Big A dan Si Ayah selesai berkuda.
Big A sudah berjanji akan menulis pengalamannya berkuda yang sangat mengesankan bagi dia ini. Saya tidak menyesal mengeluarkan uang untuk pengalaman yang tidak akan dia lupakan seumur hidup ini. Mungkin Si Ayah benar, lebih baik membeli pengalaman naik kuda ini daripada sekedar naik Gondola di Queenstwon.
Oke, sementara menunggu Big A menyelesaikan catatan perjalanannya, sila menikmati foto-foto indahnya Glenorchy yang diambil Si Ayah dari punggung kuda.
~ The Emak
Catatan: Kurs dolar bulan Desember 2011 NZD 1 = AUD 0.76
Benarkah pesta kembang api malam tahun baru di Sydney terbesar dan terbaik di dunia?
Setidaknya begitulah yang selalu disombongkan oleh pemkot Sydney, bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan megahnya kembang api malam tahun baru di Sydney. Memang Sydney, kota terbesar di belahan bumi selatan, beruntung melewatkan malam tahun baru pada musim panas. Sementara di belahan bumi utara, Eropa dan Amerika melewatkan malam tahun baru dengan suhu minus, warga Sydney dan Australia pada umumnya bisa berpesta dengan suhu hangat, dan kalau beruntung, cuaca cerah. Sydney juga beruntung memiliki pelabuhan yang begitu spektakuler. Kembang api malam tahun baru, dengan koreografi yang sama diluncurkan dari 7 titik, termasuk dari Sydney Harbour Bridge. Mungkin kota-kota lain juga bisa berpesta kembang api, namun tidak ada yang mempunyai backdrop secantik pelabuhan Sydney.
Memilih tempat untuk menonton kembang api ini gampang-gampang susah. Untuk melihat panduan lokasi lengkap untuk menonton, bisa meng-klik website ini. Website yang dibuat pemkot Sydney ini berisi informasi penting seputar lokasi menonton, cara menuju kesana dengan transportasi umum (stasiun atau halte bis terdekat) dan peraturan umum di lokasi tersebut, misalnya dilarang membawa minuman beralkohol, dilarang berkemah dll. Website ini selalu di-update tiap tahun.
Lokasi paling populer untuk menonton adalah sekitar Circular Quay yang dekat dengan Opera House dan Sydney Harbour Bridge. Tempat ini biasanya paling cepat penuh. Kalau ingin mendapatkan tempat terbaik, harus datang pagi-pagi banget dan menggelar tikar di sana :p Kalau tidak ingin berdesak-desakan, sebaiknya hindari lokasi yang paling ramai ini. Kami sendiri tidak pernah ‘berani’ nonton di sini.
Pengalaman The Precils
Kami beruntung tinggal di Sydney dan sudah lima kali menonton kembang api setiap malam tahun baru (dan tidak bosan). Pertama kali kami menonton kembang api ini di Mrs Macquaries Point. Waktu itu kami belum begitu berpengalaman dan memutuskan ke lokasi ini karena orang bilang ini tempat terbaik. Memang lokasi ini menjadi favorit fotografer untuk mengabadikan Sydney Firework. Dari Mrs Macquaries Point kita bisa melihat Sydney Opera House dan Sydney Harbour Bridge di belakangnya. Tak heran kalau foto Sydney firework yang menjadi headline di koran dan kanal berita adalah dari lokasi ini. Sayangnya di sini banyak sekali pohon-pohon besar yang menghalangi pandangan ke kembang api. Kalau tidak mendapat lokasi terdepan yang dekat dengan air, pandangan ke kembang api akan terhalang pepohonan. Itulah yang kami alami 5 tahun lalu, menonton kembang api dari balik pepohonan 😀 Lokasi ini juga tidak bebas dari alkohol. Ketika masuk ke taman ini, semua orang diperiksa barang bawaannya dan dilarang membawa alkohol. Namun di tempat ini alkohol dijual dalam gelas-gelas plastik. Tak heran kalau menjelang tengah malam, banyak yang sudah mabuk dan bertingkah aneh. Kalau membawa anak kecil, sebaiknya mencari lokasi atau vantage point yang bebas dari alkohol. Daftarnya bisa dilihat di website ini.
Tahun berikutnya, kami menonton di Darling Harbour. Dari lokasi ini kami tidak bisa melihat kembang api dengan background Sydney Harbour Bridge. Koreografi firework-nya juga berbeda dengan 7 titik peluncuran dari Sydney Harbour. Namun lokasi ini ramah untuk keluarga dan bebas dari alkohol. Kelebihannya, kita diberi suguhan hiburan dari panggung selama menunggu kembang api yang diluncurkan. Waktu itu kami datang sekitar pukul 4 sore dan masih bisa mendapat tempat paling depan, dekat dengan air. Selain kembang api tengah malam, ada juga family firework yang diluncurkan pukul 9 malam, begitu suasana mulai gelap. Biasanya, keluarga dengan anak-anak kecil (termasuk kami) hanya menonton kembang api keluarga ini dan pulang sebelum tengah malam.
Tahun ketiga, kami menonton dari Balmain East. Dari sini kami masih bisa melihat jembatan Sydney Harbour dengan jelas. Kami sampai di lokasi sekitar pukul 6 sore dan berhasil mendapatkan secuil tempat di dekat taman bermain. Suasana sudah ramai sekali, penuh dengan orang-orang yang berpesta. Karena lokasi ini tidak bebas alkohol, orang yang mabuk tidak terhindarkan. Di sini, kami hanya melihat kembang api keluarga pukul 9 dan segera pulang sesudahnya dengan naik bis kota. Pengalaman menonton kembang api di Balmain pernah saya ceritakan di sini.
Tahun 2010, kami menonton di Blues Point Reserve. Lokasi ini tempat terbaik kedua setelah Mrs Macquaries Point karena kita bisa melihat Sydney Harbour Bridge dan Sydney Opera House. Bedanya, di Blues Point ini Opera House-nya hanya kelihatan kecil karena terletak di belakang jembatan. Tempat ini lebih baik daripada Mrs Macquaries Point dalam hal tidak adanya pohon-pohon penghalang pandangan dan juga bebas dari alkohol. Namun karena view-nya yang bagus, lokasi yang berupa taman ini cepat sekali terisi. Kami harus menjaga tempat mulai dari pukul 11 siang. Kami dan teman-teman sudah siap dengan tenda, tikar dan makanan. Mendapat lokasi yang bagus, sayang kalau hanya menonton yang jam 9. Dengan nekat kami tinggal sampai jam 12 malam dan menyaksikan betapa kembang api Sydney memang spektakuler.
Pengalaman itu harus dibayar dengan susahnya mendapatkan jalan pulang. Begitu kembang api selesai diluncurkan, orang-orang segera menuju stasiun kereta api atau halte bis terdekat. Pemkot Sydney memang menganjurkan semua orang memakai kendaraan umum dengan menutup semua jalan menuju kota. Kami susah payah masuk stasiun North Sydney yang penuh sesak dengan orang. Kereta pulang yang kami naiki pun penuh sesak dengan orang, baik yang mabuk maupun yang masih sadar. Kami baru sampai rumah sekitar pukul 2 pagi. Pengalaman pulang yang tidak mengenakkan ini membuat Si Ayah tidak mau lagi menonton kembang api tengah malam, seperti tahun ini.
View dari Observatory Hill
Tahun lalu (2011) saya tidak membuat rencana jauh-jauh hari untuk menonton kembang api, sambil menunggu apakah ada teman-teman yang mengajak untuk menonton bersama. Dua hari sebelum malam tahun baru, kami mengunjungi Sydney Observatory yang letaknya di bukit dekat The Rocks. Dari lokasi ini ternyata kita bisa melihat pelabuhan Sydney, termasuk Sydney Harbour Bridge dengan jelas. Saya langsung pengen menonton kembang api dari sini. Taman Observatory Hill ini baru akan dibuka untuk umum jam 5 sore, sehingga kami tidak perlu menjaga tempat dari pagi. Si Ayah tampaknya juga sudah trauma melakukannya tahun sebelumnya di Blues Point Reserve.
Kami sampai di lokasi ini sekitar pukul 5.30 sore dan masih bisa mendapat tempat di depan. Kami menggelar tikar piknik bersebelahan dengan rombongan anak muda dari Jepang. Lokasi ini bebas dari alkohol. Sepertinya pemkot Sydney semakin banyak membuat lokasi alcohol free karena dampak buruk dari orang-orang mabuk yang kadang merusak fasilitas kota. Makanan dan minuman seperti kopi, donat, kebab dan hotdog bisa dibeli dari warung kaki lima yang berlisensi di sini. Menjelang senja, kami dihibur dengan sky writing yang tampaknya disewa oleh kelompok gereja tertentu untuk menyampaikan pesan dakwah mereka.
Tepat pukul 9 malam, kembang api untuk keluarga diluncurkan. Tahun ini tema perayaan tahun baru di Sydney adalah: Time to Dream. Seperti biasa, koreografi kembang api selama 9 menit ini sangat memukau. Dari tempat kami duduk menggelar tikar, kami bisa melihat 3 titik kembang api diluncurkan di Sydney Harbour, plus kadang dikejutkan oleh luncuran kembang api dari atap-atap gedung di belakang kami. Ada bentuk-bentuk kembang api baru yang belum ada tahun lalu seperti bentuk kembang sepatu, hujan dan kembang api warna-warni dalam satu luncuran.
Pengalaman tahun ini, sejauh ini adalah pengalaman terbaik kami. Suasana di Observatory Hill cukup tenang, orang-orang duduk manis dan tidak berebutan berdiri paling depan ketika kembang api diluncurkan. Setelah selesai, kami berjalan kaki menuju stasiun Wynyard dan naik kereta pulang. Jalanan penuh dengan orang-orang yang ingin merayakan tahun baru. Stasiun lumayan penuh dengan keluarga yang baru saja pulang menonton family firework, tapi secara umum tidak begitu traumatik dibandingkan ketika kami memaksa menonton kembang api tengah malam.
Selamat tahun baru dari Sydney!
~ The Emak
Ps: Pengalaman menonton kembang api Sydney NYE 2013 bisa dibaca di sini.